Di ruang publik, perempuan tidak sepenuhnya memiliki tubuhnya. Ada ‘hal-hal lain’ yang memilikinya. ‘Hal-hal lain’ itu bisa berupa tradisi, agama, politik dan sosial yang berkultur patriarkis serta ekonomi.
Bisa dikatakan, keseharian perempuan di Indonesia adalah keseharian yang tidak sepenuhnya memiliki tubuhnya. Ada banyak fakta dan peristiwa untuk menjelaskan hal ini. Beberapa waktu yang lalu, saat menjadi bintang tamu di acara Q & A Metro TV yang bertajuk ‘Polusi Ruang Publik’, Shandy Aulia mendapat komentar negatif atas pelbagai ekspresi ‘seksi’-nya di media sosial dari salah satu sutradara Indonesia bernama John De Rantau yang juga menjadi panelis dari acara tersebut.
Lengkapnya, John De Rantau menyatakan bahwa Shandy Aulia tidak sepenuhnya dapat menyalahkan orang yang mem-bully dan berkomentar tidak senonoh atas foto-fotonya di media sosial. Komentar tidak senonoh dan bully dinilai sebagai akibat yang sebabnya adalah foto-foto (yang katanya) ‘vulgar’ di media sosial yang tidak mencerminkan budaya ketimuran. Singkatnya, komentar dan bully adalah asap yang meniscayakan keberadaan api terlebih dahulu.
“Saya pernah liat kamu dengan pakaian yang sangat tipis yang memperlihatkan seluruh bentuk lekuk dan aurat kamu. Maaf, seluruh laki-laki nusantara kayak menginginkan kamu […].” terang John kepada Shandy di acara tersebut. Cuplikan video antara John dan Shandy tersebar di media sosial, menjadi viral dan diperbincangkan oleh publik.
Tak hanya John De Rantau yang berpandangan demikian terhadap tubuh perempuan di ruang publik. Di Indonesia, masih banyak, bahkan sangat banyak, orang-orang yang berpandangan laiknya John dan tidak terbatas pada laki-laki saja, tetapi juga pada perempuan. Karena kultur patriarkis dan upaya pendisiplinan terhadap tubuh perempuan tidak terlokalisasi pada satu gender saja.
Demikian pula dengan apa yang terjadi pada Shandy Aulia juga menimpa banyak perempuan Indonesia –dari mulai figur publik seperti Shandy yang memiliki banyak fans dan pengikut hingga perempuan di kampung-kampung. Kita bisa dengan mudah menjumpai di kolom komentar postingan foto perempuan di Instagram kalimat-kalimat seperti ‘lebih cantik jika berhijab’, ‘ingat aurat, tobat mbak, ntar kena azab baru tahu rasa loe’, ‘gilaaa, gede banget melonnya’, dan lain sebagainya. Begitulah netizen dan orang-orang merenggut hak kepemilikan atas tubuh dari perempuan itu sendiri.
Pakaian dan Pendisiplinan Atas Tubuh
Salah satu jalan merampas hak kepemilikan atas tubuh dari perempuan adalah dengan mengatur cara berpakaian; bahwa berpakaian yang longgar dan tertutup itu bagus, sopan dan baik, sedangkan yang ketat dan terbuka itu tidak sopan, buruk dan tercela. Pada upaya mengatur tubuh perempuan lewat pakaian ini, muncul istilah-istilah seperti ‘vulgar’, ‘seksi’, ‘mesum’, ‘ketat’ dan lain sebagainya yang memiliki konotasi negatif di benak masyarakat.
Selain itu, jenis pakaian kerap kali diasosiasikan dengan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kalimat seperti ‘salah siapa berpakaian minim, terbuka dan ketat’ kerap dilontarkan oleh orang-orang saat melihat kasus pelecehan seksual dan atau pemerkosaan yang dialami oleh perempuan. Jenis pakaian yang minim, terbuka, dan ketat dianggap sebagai ‘undangan terbuka’ untuk melakukan pelecehan seksual –entah verbal maupun fisik—dan atau pemerkosaan. Tak ada satu orang pun di dunia ini, baik perempuan maupun laki-laki, berpakaian supaya dirinya diperkosa dan dilecehkan. Sangat konyol, bukan?
Tidak ada hubungan antara jenis pakaian yang dikenakan seseorang dengan kasus pelecehan seksual yang menimpanya. Hal ini dibuktikan dengan observasi yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman yang menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukan akibat dari jenis pakaian yang dikenakan. Studi yang melibatkan 62.224 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia ini menyatakan bahwa jenis pakaian yang digunakan korban pelecehan seksual bervariasi dan jauh dari kesan ‘ketat’ dan ‘terbuka’ seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).
Pameran bertajuk What Were You Wearing? Survivor Art Exhibition, yang menampilkan pakaian asli korban kekerasan seksual, diselenggarakan oleh UNESCO pada rentan Oktober – November 2018 juga menampilkan pesan yang sama; bahwa untuk mencegah tindak kekerasan seksual tidak perlu mengubah cara dan jenis pakaian karena keduanya memang tidak memiliki korelasi sebab-akibat. Bukan jenis pakaiannya yang diubah, bukan pula tubuh perempuannya yang didisiplinkan, tetapi kultur patriarkis dan –meminjam istilahnya Shandy Aulia—dirty mind-nya yang diubah, dikritisi dan disalahkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat melekatkan penilaian moral pada jenis pakaian yang dikenakan oleh perempuan secara arbiter dan taken for granted; menganggapnya sebagai keyakinan yang harus terus dipertahankan dan diberlakukan universal. Di samping itu, penilaian moral tersebut tidak berdiri sendiri, ia dikondisikan oleh banyak hal; mulai dari tradisi yang patriarkis, keyakinan agama, struktur sosial-politik yang maskulin dan kepentingan ekonomi (komersial). Melalui pakaian, perempuan dipisahkan dari kepemilikan atas tubuhnya sendiri.
Idealitas Kecantikan
‘Hal lain’ yang juga menjauhkan perempuan dari memiliki tubuhnya sendiri adalah mitos kecantikan; cantik yang ideal. Tubuh perempuan dikondisikan dan dibangun citranya oleh pasar –pasar tubuh perempuan. Bahwa perempuan cantik yang ideal adalah yang bekulit putih dan langsing. Dalam konteksi ini, terdapat komersialisasi atas tubuh perempuan. Sehingga, banyak perempuan berlomba-lomba untuk ‘menjadi putih dan langsing’ dengan pelbagai cara.
Tubuh perempuan ideal dicipta-kondisikan, misalnya, oleh industri klinik kecantikan. Kita bisa melihat pamflet dan reklame klinik kecantikan yang menampilkan sosok perempuan ideal yang putih dan langsing. Dan pasar dapat mencipta-kondisikan tubuh perempuan ideal tersebut –asalkan kau punya duit. Bukan lagi EveryBODY is beautiful, tapi everybody which is white and slim is beautiful.
Alhasil, ruang publik menjadi arena bagi perempuan untuk menyatakan hak kepemilikan atas tubuhnya dengan mendefinisikan dirinya sendiri secara terus menerus, bukan ‘hal-hal lain’ yang memiliki tubuh perempuan dan menyematkan definisi atas apa itu keperempuanan. Definisi keperempuanan dan tubuh perempuan akan selalu bersifat dinamis.