Selama ini kita sudah akrab dengan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli. Hari ini, tanggal 11 Oktober secara spesifik ditetapkan sebagai Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of the Girl Child). Mengapa hari ini diperingati khusus untuk anak perempuan? Apakah tidak cukup diperingati sebagai Hari Anak saja? Rupanya, ketimpangan gender serta budaya patriarki mempengaruhi kehidupan perempuan semenjak masa kanak-kanak. Hal tersebut menyebabkan anak perempuan termasuk dalam kelompok rentan yang rawan terhadap praktik berbahaya seperti: pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, sunat perempuan (Female Genital Mutilation) dan lain-lain.
Mengapa memperingati Hari Anak Perempuan Internasional?
Pada tahun 2012, untuk pertama kalinya PBB menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Kampanye merupakan upaya menyuarakan isu berlapis yang harus dihadapi oleh anak perempuan. Anak-anak termarjinalkan karena dianggap belum bisa mengambil keputusannya sendiri sehingga orang tua atau lingkunganlah yang memegang peran untuk memutuskan apa yang harus dijalani seorang anak. Selain secara usia dianggap “lemah”, perempuan masih mengalami berbagai macam kekerasan dan diskriminasi yang bahkan masih sering dinormalisasi oleh lingkungannya.
Untuk itu, demi membantu anak perempuan menyuarakan keinginan, harapan serta membantu anak perempuan untuk memahami bahwa mereka memiliki hak yang setara dengan anak laki-laki, maka ditetapkannya hari ini sebagai momentum untuk angkat bicara. Terutama di masa genting seperti ini, ketika krisis pandemi memperburuk keadaan sosial dan ekonomi semakin melemahkan kelompok rentan. Rancangan Penghapusan Kekerasan Seksual pun tidak kunjung disahkan, bahkan ditunda pembahsannya dengan alasan “terlalu sulit”. Padahal, kekerasan di ranah privat (terutama keluarga dan personal) mendominasi angka kekerasan terhadap perempuan.
Di samping itu Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja), yang memiliki dampak domino bagi berbagai aspek termasuk kesejahteraan buruh/pekerja baru saja disahkan. Hal tersebut menempatkan perempuan, terutama buruh perempuan di daerah rural dalam posisi yang tidak menguntukan dan dapat memperburuk kesejahteraan keluarga dan tidak langsung bisa mengancam kesejahteraan anak-anak mereka.
My Voice, My Equal Future! : Perkawinan Anak Bukan Pilihan Anak
“Enggak enak rasanya dinikahkan waktu masih muda. Hancur. Pinginnya niatnya sekolah. Tapi, gimana juga orangtua saya gak bisa nafkahi,” – Rasminah, penyintas pernikahan anak. (Sumber: tirto.id)
Kutipan tersebut berasal dari reportase Tirto.id terkait peningkatan pernikahan anak selama pandemi COVID-19. Rasminah merupakan seorang penyintas pernikahan anak, yang dinikahkan pada saat berumur 13 tahun dengan laki-laki berumur 27 tahun. Pernikahan anak merupakan salah satu dari harmful practices (praktik berbahaya) yang jamak dialami oleh perempuan. Praktik ini banyak ditemukan di Indonesia, terutama daerah rural. Faktor yang mendukung beragam seperti: faktor struktural (pendidikan, ekonomi ataupun rendahnya pengetahuan terhadap pendidikan seksualitas yang menyebabkan Kehamilan Tidak Direncanakan) maupun faktor sosial (keluarga).
Hancur — merupakan kata yang digunakan oleh penyintas untuk menggambarkan perasaannya terhadap praktik tersebut. Daftar panjang dapat dituliskan ketika membicarakan dampak buruk dari pernikahan anak. Dampaknya antara lain adalah: kematian ibu (kondisi fisiologis anak yang belum siap terhadap kehamilan), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), putusnya pendidikan, kematian bayi dan gizi buruk, belum lagi berbicara mengenai trauma yang dialami oleh anak.
Perkawinan anak yang terjadi rata-rata merupakan keputusan dan pilihan orang tua, tanpa melibatkan aspirasi dari anak. Anak perempuan patuh dan tunduk pada pilihan tersebut karena merasa memiliki kewajiban untuk patuh. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menempatkan anak dalam bahaya.
Mengapa pernikahan anak marak terjadi? Tiga faktor utama yang mempengaruhi angka perkawinan anak antara lain adalah: faktor ekonomi dan pendidikan serta rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Banyak kasus perkawinan anak yang terjadi akibat orang tua menganggap pernikahan anak sebagai jalan pintas untuk keluar dari himpitan beban ekonomi. Namun pada prakteknya, tidak jarang beban orang tua bertambah karena konflik yang terjadi dalam rumah tangga anak yang pada akhirnya mengharuskan orang tua untuk menanggung hidup anak dan pasangan anak.
Selain faktor ekonomi, faktor pendidikan juga merupakan tantangan dalam mengurangi angka perkawinan anak. Terhambatnya pendidikan serta keterbatasan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia di wilayah rural terutama menyebabkan akses terhadap pendidikan yang masih timpang. Hak terhadap pendidikan sudah seharusnya menjadi milik anak. Selain penting bagi anak untuk tetap bersekolah agar tidak dilibatkan dalam perkawinan, sekolah juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Orang tua yang memiliki pendidikan rendah cenderung mendukung praktek menikahkan di usia anak, oleh karena itu akses terhadap pendidikan juga dapat membantu memutus rantai pernikahan anak.
Selanjutnya, perbincangan mengenai reproduksi dan seksualitas yang masih tabu dan terstigmatisasi merupakan faktor tingginya pernikahan anak. Jurnal Perempuan pernah mengeluarkan edisi khusus yang membicarakan mengenai pernikahan anak dan dalam catatannya disebutkan bahwa kampanye Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang ditabukan justru berpengaruh pada tingkat pernikahan anak. Hal tersebut erat kaitannya dengan ketakutan terhadap fitnah dan zina. Anak-anak perempuan yang belum lulus sekolah sering kali dinikahkan untuk menghindari fitnah ketika terjadi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Walaupun begitu, upaya-upaya untuk mengurangi risiko KTD seperti memberikan pendidikan reproduksi dan seksualitas masih terus mengalami hambatan. Di sekolah anak-anak tidak diajarkan pentingnya kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual sehingga anak-anak tidak mengenal diri mereka sendiri serta risiko-risiko yang kemungkinan dapat menimpa mereka.
Ketiga faktor ini kemudian menjadi lingkaran permasalahan yang kemudian diperparah akibat krisis pandemi yang terjadi pada tahun 2020. Gender equality (kesetaraan gender) yang menjadi agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 diprediksi dapat mengalami kemunduran. Dari awal hingga pertengahan tahun 2020, telah tercatat terdapat 34.000 permohonan dispensasi kawin yang masuk (oleh mereka yang belum berusia 19 tahun) ke Badan Peradilan Agama Indonesia. Sepanjang pandemi, terdapat penurunan angka penggunaan kontrasepsi. Fasilitas kontrasepsi tidak dianggap sebagai hal yang esensial. Keterbatasan infrastruktur di daerah rural, terutama yang menyangkut dengan teknologi informasi seperti akses internet masih jauh dari merata. Terlebih di tengah keadaan ekonomi mencekik, pendidikan rupanya bukanlah prioritas.
Dalam memeranginya, setelah menguraikan penyebab permasalahan, dapat ditawarkan beberapa solusi berangkat dari akar permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah menyamakan umur minimal pada Undang-Undang Perkawinan menjadi 19 (sembilan belas) tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki (karena sebelumnya terdapat perbedaan umur antara laki-laki dan perempuan, dimana usia perempuan jauh lebih muda dibandingkan laki-laki). Akan tetapi hal tersebut tidak mencegah beberapa orang tua memutuskan untuk memalsukan umur anak. Selain permasalahan mengenai kesejahteraan tentu saja yang dapat dibantu oleh kebijakan-kebijakan sosial ekonomi, pendidikan HKSR mengambil peran penting dalam memaparkan kepada masyarakat bahaya dan ancaman di balik perkawinan anak dan bagaimana perkawinan anak hanya membawa pada penderitaan anak perempuan.
“Di mana pun itu terjadi, praktik berbahaya merampok masa kanak-kanak anak perempuan, mematikan kesempatan mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan mengancam kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat.