“Kekuatan komunitas yang disertai dengan rasa tanggung jawab bersama terhadap satu sama lain telah berkontribusi besar pada kemenangan atas HIV”
Setiap tanggal 1 Desember, dunia memperingati hari AIDS Sedunia dan pada tahun ini, 2020, tema yang diangkat adalah “Global Solidarity, Resilient Services” atau “Solidaritas Global, Layanan yang Tangguh”. Hari ini dikhususkan untuk mengingat, pentingnya persatuan demi mengeliminasi endemik HIV dan tentu saja untuk mendukung orang-orang dengan HIV dan mengingat mereka yang meninggal akibatnya. Sepertinya kita perlu banyak belajar dari pandemi COVID-19 yang mendominasi tahun 2020 kita di mana solidaritas merupakan salah satu alasan kita tetap bertahan. Kita menyaksikan sendiri banyak perbuatan baik atas dasar solidaritas yang dilakukan baik individu maupun komunitas yang membantu bertahan hidup di tengah ketidakpastian.
Awal diumumkannya kasus (yang terdeteksi) pertama COVID-19 di Indonesia, media memberitakannya secara berlebihan dan respon kita adalah panik yang berlebih, bahkan tidak lama kemudian peliyanan terhadap korban terjadi terutama para tenaga medis. Akan tetapi, semakin kita mengedukasi diri kita, kita sekarang mengetahui lebih dalam karakteristik dari virus dan bagaimana ia menyebar sehingga kita tahu bagaimana cara melindungi diri kita. Kita juga sadar penuh bahwa tidak ada kelompok yang kebal, namun pasti terdapat kelompok rentan, dan kelompok rentan ini perlu kita jaga secara khusus.
Kata kuncinya memang edukasi dan solidaritas, begitulah bagaimana cara kita bertahan. Mitigasi pandemik, terutama di Indonesia, memang jauh dari cukup namun kita bisa mengambil beberapa hal positif terkait kepedulian terhadap sesama. Akan tetapi hal tersebut masih sulit untuk diterapkan pada endemik AIDS, mengingat masih kuatnya stigma yang melekat dan keengganan untuk mengetahui lebih lanjut.
Apakah sebenarnya AIDS itu? Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan infeksi yang terjadi akibat terganggunya sistem kekebalan tubuh. Hal yang merusak sistem kekebalan tubuh ini adalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV. HIV menular melalui beberapa cairan tubuh seperti: darah, asi, air mani dan cairan vagina terutama melalui hubungan seks tanpa pengaman (kondom), transfusi darah dan melalui jarum yang terkontaminasi (menurut Environmental and Occupational Medicine tahun 2007).
Dalam meningkatkan solidaritas, banyak yang enggan terlibat hal tersebut diakibatkan karena kuatnya stigma negatif yang melekat. Cara bekerja stigma bisa diibaratkan sebagai vicious circle sehingga salah satu caranya untuk mengakhirinya adalah dengan memutus rantainya: mulai meningkatkan kesadaran, tidak tinggal diam melihat diskriminasi.
Salah satu dampak dari stigmatisasi adalah: potensi untuk mengkhawatirkan hal yang kurang tepat dengan berlebihan. Contohnya adalah mengenai cara penyebarannya. Memang betul, penyebaran virus HIV melalui cairan tubuh, namun pernyataan ini problematis karena tidak spesifik; cairan tubuh seperti apa? Ada yang berpikir bahwa saliva, keringat bahkan air mata. Itu tidaklah benar, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan bahwa HIV hanya bisa ditularkan melalui darah, sperma, asi dan cairan vagina. Hal tersebut dapat berujung pada peliyanan bahkan hingga persekusi terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).
Selain pada ODHA, alat kontrasepsi yang berperan penting dalam pencegahan penyebaran PMS (Penyakit Menular Seksual) yaitu kondom, juga mendapat stigma yang buruk dan dikaitkan dengan “kemerosotan moral”. Terbukti, tujuh tahun silam, tahun 2013 ketika upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kondom ditolak mentah-mentah secara terang-terangan oleh suatu golongan masyarakat. Padahal dengan atau tidak adanya kontrasepsi, aktivitas seksual akan tetap ada dan bahkan akan lebih berisiko ketika yang menunjang kegiatan seksual yang aman ditiadakan. Atau mungkin kita cenderung mereduksi fungsi kondom dan menganggapnya semata sebagai alat pencegah kehamilan. Sehingga, orang yang sudah merasa memakai kontrasepsi lain (misal PIL KB ataupun IUD) atau merasa tidak memiliki risiko dapat hamil memilih untuk tidak menggunakannya. Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Carey RF dkk (1992) telah membuktikan bahwa kondom efektif untuk mencegah HIV, jika digunakan dengan benar.
Lantas jika kita ingin memulai perubahan harus mulai dari mana? Kabar baiknya, hal-hal terkecil ini dapat kita mulai dari diri sendiri. Menurut saran dari CDC (Centre of Disease Control and Prevention), ketika kita menyaksikan tindakan diskriminatif hal pertama yang dapat kita lakukan adalah memberi contoh yang baik atau yang disebut sebagai “model positive”. Karena, salah satu tindakan awal yang terbaik adalah mengedukasi diri sendiri agar dapat mengetahui langkah-langkah berikutnya berikutnya.
Ketika ada teman atau anggota keluarga yang merupakan ODHA dan kamu menyaksikan secara langsung teman lainnya atau anggota keluargamu menyudutkannya, kamu bisa langsung menegur, tentu dengan akurat dan bertahap agar pihak tersebut tidak menjadi antipati. Atau mungkin kamu memiliki seorang teman dengan ODHA mulai membuka bisnis makanan rumahan namun tidak ada yang mau membeli karena takut tertular melalui makan, kamu tentu saja bisa menyebarkan kesadaran bahwa hal tersebut sebatas stigma dan memberi contoh baik yaitu tetap mempromosikan dagangannya dan membelinya. Orang-orang lambat laun akan terpengaruh dan dapat membuka diri!
Selain itu, bentuk dukungan lain yang dapat kita berikan adalah menggunakan bahasa yang suportif ketimbang yang cenderung merendahkan. Ketimbang menggunakan kata seperti “menderita HIV/AIDS” atau “terkontaminasi oleh virus HIV” kita bisa menggunakan alternatif kata yang lebih suportif seperti “didiagnosa HIV” atau “orang dengan HIV (ODHA)”. Seringkali kita mendengar kata “memerangi HIV/AIDS”, mungkin kata tersebut terkesan agresif dan berisiko untuk menempatkan ODHA sebagai kubu yang harus “diperangi” dan dapat berujung pada diskriminasi. Alternatifnya, kita dapat mengatakan “menangani/menanggapi HIV/AIDS”.
“Kekuatan komunitas yang disertai dengan rasa tanggung jawab bersama terhadap satu sama lain telah berkontribusi besar pada kemenangan atas HIV”