Semua perdebatan terkait tinjauan Islam mengenai aborsi dapat ditengahi dengan penggunakan perspektif perempuan. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk mendorong adanya formulasi fiqh kontemporer tentang aborsi . Tujuannya untuk kehidupan perempuan bisa menjadi lebih aman, sehat dan membahagiakan.
Kenyataannya pandangan keagamaan tertentu ikut bertanggungjawab terhadap perempuan. Larangan aborsi ternyata tidak efektif untuk menghentikan praktek aborsi, bahkan menghantarkan para perempuan untuk secara terpaksa dan diam-diam menerima praktik-praktik yang tidak aman. Selain itu, ada hal yang hilang ketika persepktif perempuan tidak digunakan dalam membahas persoalan aborsi. Bahwa hukuman pelanggaran aborsi hanya ditujukan kepada perempuan tanpa menyentuh pasangannya yang mengakibatkan dia hamil.
Dalam agenda perumusan fiqh aborsi dengan perspektif perempuan, yang harus pertama kali dilakukan adalah identifikasi pertimbangan-pertimbangan yang sangat kuat dan memaksa (dharuriyyat) bagi praktek aborsi. Fiqh klasik, setidaknya dalam madzhab Hanafi, telah memberikan contoh; misalnya pertimbangan kekeringan air susu, karena si ibu hamil masih memiliki bayi masih kecil yang sedang disusui, sementara suami tidak memiliki kecukupan untuk membeli susu atau membayar perempuan lain untuk menyusui bayi tersebut. Pertimbangan seperti ini perlu dirumuskan kembali dalam konteks sekarang; misalnya kehamilan akibat perkosaan yang sangat mengganggu kondisi perempuan, kondisi tubuh tidak kuat melahirkan atau pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu dikaji dan dirumuskan terlebih dahulu dengan para pakar di bidang masing-masing. Yang sangat penting juga, bahwa agenda perumusan ini harus didasarkan kepada prinsip-prinsip yang diturunkan dari teks-teks al-Qur’an dan hadits yang menjadi perujukan pembicaraan ulama tentang aborsi.
Prinsip-prinsip (kaidah ushul fiqh) [S1] yang coba ditawarkan adalah
Pertama prinsip penghormatan kepada kehidupan manusia , baik terhadap kandungan maupun terhadap ibu yang mengandung. Aborsi dalam hal ini tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa sebab dan alasan yang kuat.
Kedua, prinsip nyawa ibu lebih diutamakan daripada nyawa kandungan (al-umm ashl an-nasl, wa al-ashl muqqaddamun ‘ala al-far’)
Ketiga, prinsip bahwa penentuan ketetapan harus diberikan kepada yang paling minimal resikonya baik terhadap diri ibu maupun kanndungan (idza ta’aradhat al-mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma bi irtikad akhaffima)
Keempat, prinsip bahwa setiap diri diharuskan untuk berupaya untuk tidak menjerumuskan kepada kerusakan dan kehancuran dirinya (wa la tulqu bi aydikum ila at-tahlukah).
Prinsip-prinsip dan kaidah ushul fiqih ini sebenarnya menghimbau semua komponen masyarakat, siapapun ia, memperoleh amanat untuk memelihara kehidupan kemanusiaan, baik yang terikat dalam kandungan maupun ibu yang mengandung. Membiarkan praktik-praktik aborsi terjadi merajalela adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pada saat yang sama menejerumuskan ibu-ibu pada pilihan aborsi yang tidak aman yang mengancam jiwa mereka, juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Kontroversi aborsi memang sangat menyulitkan, tidak sesederhana pandangan orang dengan polarisasi dua kutub; pro life dan pro choice.
Saat ini, perumusan fiqh tentang aborsi harus memihak kehidupan kemanusiaan dengan makna yang sesungguhnya, bukan sebatas persoalan nyawa. Baik kehidupan janin saat di dalam kandungan, saat kelahiran, paska kelahiran dan masa –masa pertumbuhan serta perkembangan berikutnya. Maupun kehidupan ibu yang mengandung, saat kehamilan, melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan. Ketika realitas sosial masih membebankan persoalan kandungan –apalagi dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan-terhadap perempuan semata; baik beban mental, fisik, dan ekonomi; pada seluruh fase kehamilan, kelahiran dan paska kelahiran, maka pusaran utama dalam perumusan fiqh aborsi adalah perempuan, dengan mendasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan riil kehidupan nyata yang dialami perempuan hamil. Dengan melihat realitas yang seperti ini, pemihakan terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan dan sangat penting.
Kesimpulan:
Dalam fiqh, pandangan ulama mengenai aborsi sangat beragam, karena itu sangat tidak bijaksana jika hanya ‘nada pelarangan’ yang didengung-dengungkan kepada masyarakat. Karena pada praktiknya, pelarangan aborsi justru menempatkannya pada sudut yang gelap, tidak terjamah tangan-tanagn medis dan membahayakan perempuan. Larangan aborsi hanya bisa difatwakan ketika disertai dengan pendampingan dan penguatan.
Jika tidak, larangan aborsi sebenarnya hanya akan menyerat kepada kondisi yang membahayakan dan menistakan. Pada saat yang sama aborsi juga tidak bisa diperkenankan begitu saja, karena menyangkut moralitas kehormatan kemanusiaan, baik bagi kandungan, ibu yang mengandung, keluarga maupun masyarakat luas. Mungkin cukup tepat jika diusulkan adanya Lembaga Konsultasi aborsi, yang menjadi media konseling bagi para perempuan-atau pasangan- yang ingin melakukan aborsi aman. Sebelum menjatuhkan pilihan aborsi, dia bisa memperoleh informasi yang tepat, tentang moralitas kemanusiaan, kondisi fisik, dan mental tubuhnya, serta informasi pelayanan medis yang paling aman dan sehat. Menurut Faqih, lembaga ini paling tidak terdiri dari ulama yang arif, psikolog yang bijak dan ahli medis yang professional. Pada prinsipnya kehidupan manusia harus dihormati, dimuliakan dan dilestarikan.
*sumber ; Makalah “Penghentian Kehamilan (yang Tidak Dikehendaki) Secara Tidak Aman) ; Tinjauan Islam oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam sebuah Workshop mengenai kesehatan reproduksi, 21 Agustus 2003 di Yogyakarta. Faqihuddin Abdul Kodir MA merupakan Direktur Fahmina Institute. Beliau adalah dosen STAIN Cirebon dan alumnus fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah.