Yani Oktaviana atau Yacko adalah seorang rapper, seorang dosen, seorang ibu, seorang perempuan, dan seorang feminis. Untuk menyebut yang terakhir, tentu karena perempuan kelahiran Surabaya ini adalah seseorang yang sangat vokal menyuarakan hak-hak perempuan. Yacko pernah merilis sebuah lagu berjudul Hands Off pada tahun 2017 yang liriknya sangat vokal menolak tindakan pelecehan seksual. Seperti dikutip dari wawancaranya bersama Globet Rotter Magazine, “The message is clear, we will not accept or tolerate street and sexual harassment any longer.” Pesannya jelas, kami tidak akan menerima atau menoleransi lagi tindakan pelecehan seksual. Yacko terbukti konsisten dengan apa yang ia ucapkan. Belum lama ini, ia kembali merilis sebuah lagu berjudul FYBV, akronim dari Fuck Your Bad Vibes, bekerja sama dengan Lacos. Ia bahkan merilis lagu tersebut tepat pada hari pertama kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau yang secara global disebut sebagai 16 Days of Activism.  

Mendengarkan FYBV: Sebuah Nada Perlawanan dari Hip Hop

Sejak menit-menit pertama, Fuck Your Bad Vibes menegaskan sebuah sikap perlawanan yang jelas. Musuhnya adalah siapa saja yang berperangai misoginis dan mencari perlindungan di bawah sistem patriarki.

A misogyny deserves no priority
You’re looking for a toy, I am not looking for a boy
Horsing around like a cowboy, use patriarchy as a decoy

Seorang misoginis tidak pantas mendapatkan tempat
Kau mencari sebuah mainan, aku tidak mencari seorang bocah
Berjalan seperti seorang koboi, menggunakan patriarki sebagai perangkap

Yacko barangkali bukanlah yang pertama menggunakan hip hop sebagai senjata perlawanan. Hip hop sendiri adalah sebuah perlawanan, setidaknya jika dilihat berdasarkan sejarah panjang di baliknya. Musik rap sebagai salah satu elemen dalam budaya hip hop mulai berkembang pertama kali di Bronx, New York, Amerika Serikat pada tahun 1970. Saat itu orang-orang kulit hitam menggunakan hip hop sebagai salah satu bentuk protes melawan rasisme yang mereka hadapi setiap harinya di Amerika Serikat. Seperti dilansir dari National Public Radio, mengutip salah seorang penulis, Todd Boyd dalam bukunya The New H.N.I.C: The Death of Civil Rights and The Reign of Hip Hop mengatakan, ”Hip hop sendiri bersifat politis, bahasanya politis. Ia menggunakan bahasa sebagai senjata- bukan senjata untuk melanggar ataupun senjata untuk menyinggung, tetapi senjata yang mendorong orang-orang untuk berpikir.” Meski sayangnya, pada periode awal setelah kemunculannya, senjata tersebut justru banyak melukai perempuan termasuk perempuan kulit hitam di Amerika.

Untuk menyebut contoh, Snoop Dogg adalah salah seorang rapper kulit hitam dari Amerika yang di dalam lirik-lirik lagunya sering mengobjektifikasi perempuan sebagai boneka seks, sebagai sebuah kelompok yang inferior, atau selalu bergantung kepada laki-laki. Meskipun setelah itu ia berusaha mengubah penampilannya menjadi lebih baik. Seperti dikutip dari Wikipedia, melansir penelitian yang dilakukan oleh Charis Elizabeth Kubrin dan Ronald Weitzer dalam jurnal akademik berjudul Men and Masculinities, selama tahun 1987 hingga 1993 setidaknya ada lebih dari 400 lagu hip hop yang liriknya memuat kekerasan terhadap perempuan baik dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan, maupun pembunuhan. Lirik-lirik lagu seperti ini terbukti mendorong para pendengar pria melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh lagi lagu-lagu tersebut bahkan telah membentuk stereotip bagi anak-anak muda perempuan kulit hitam di Amerika sebagai akibat karena mereka sering diobjektifikasi hanya untuk memenuhi hasrat seksual para pria.

Namun, tentu saja, ini tidak akan terjadi selamanya. Memasuki era 90-an, datangnya gelombang besar para rapper perempuan pelan-pelan mulai mengubah situasi. Jika pada era 80-an, duo rapper perempuan, Salt N’ Pepa bisa dikatakan memasuki gelanggang hip hop sendirian melawan dominasi laki-laki, maka pada era 90-an, Lauryn Hill, Queen Latifah, Missy Elliott, Foxy Brown, Lil’ Kim, dan masih banyak yang lainnya ramai-ramai memasuki industri ini dan mulai mengambil tempat. Mereka membawa semangat feminisme ke dalam lagu-lagunya dan penampilannya. Vice dalam artikelnya yang berjudul How Black Female MCs Changed The Conversation Through Hip Hop memuji Lauryn Hill sebagai seorang rapper perempuan yang berani mendobrak era dimana para rapper perempuan hanya dipakai sebagai simbol seks semata. Hill telah mengambil tempat di dalam industri hip hop untuk menegaskan bahwa seorang rapper perempuan bisa berpenampilan sebagaimana dirinya ingin terlihat, dan menolak mengikuti standar yang ditetapkan oleh sistem patriarki.

Tidak jauh berbeda seperti Lauryn Hill, Yacko lewat Fuck Your Bad Vibes juga menggunakan semangat yang sama untuk memberitahu penikmat lagunya bahwa seksisme, misogini, body shaming, atau segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak lagi dapat ditoleransi. Lewat lagu ini ia seperti menegaskan bahwa dirinya tidak lagi takut menghadapi ancaman para misoginis sekalipun itu datang dari hip hop, sebuah kultur yang amat dicintainya.

Y.A.C.K.O is the name you can count on
Rep Indo we go on and on
You know I got none but love to hip hop
Imma kill this beat, make you feel the heat
Get up out your seat
Spread it out on the street  

Y.A.C.K.O adalah nama yang bisa kamu perhitungkan
Rep Indo terus melaju
Kau tahu aku tidak punya apapun selain cinta buat hip hop
Akan kutaklukkan dentuman ini, membuatmu merasakan baranya
Bangkitlah
Teriakkanlah di jalan-jalan

yacko hip hop

Yacko dan Kampanye 16 Hari Untuk Aktivisme

Yacko merilis lagu FYBV pada tanggal  25 November 2018, tepat pada hari pertama kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (selanjutnya disebut 16 Days of Activism). Melalui akun resminya, Yacko Oktaviana, ia mengunggah video FYBV berdurasi tiga menit 45 detik itu di kanal Youtube dan hingga tiga hari setelahnya, video tersebut telah ditonton tiga ribu lima ratus kali. Apa yang membuatnya memilih tanggal tersebut?

Yacko memilih tanggal 25 November sebagai waktu rilis FYBV didasari bahwa setiap tahunnya, kegiatan kampanye ini dimulai tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yaitu Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut dirasa tepat menyuarakan isu ini karena kekerasan terhadap perempuan juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.”

Keterangan tersebut diambil dari akun resmi Yacko atau tepatnya dikutip dari kolom deskripsi lagu FYBV. Yacko tentu benar. Momentum ini memang sangat relevan dengan lagu terbarunya. Tetapi apa sebetulnya yang mendasari kampanye ini? Dari mana asalnya kampanye 16 Days of Activism? Siapa yang mencetuskan? Bagaimana itu bisa terjadi?

Pada awalnya, ide tentang kampanye selama 16 hari ini datang dari Women’s Global Leadership Institute bekerja sama dengan Center for Women’s Global Leadership. Penyebabnya tidak lain karena masifnya tindak kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. Perempuan dalam hal ini menjadi objek kekerasan paling utama. Kekerasan tersebut bahkan dihadapi seumur hidup sejak perempuan masih bayi hingga ia tumbuh dewasa dan menjadi tua. Siklus kekerasan ini meliputi sunat perempuan, pernikahan dini, pernikahan paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, diskriminasi dalam dunia pendidikan; pekerjaan; dan sosial budaya, pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, sampai pada pembunuhan.

Sebagai contoh, pada tahun 1960 aktivis politik dari Republik Dominika yaitu Patria, Minerva, dan Maria Teresa atau yang lebih dikenal dengan Mirabal bersaudara dibunuh oleh rezim yang berkuasa saat itu. Mereka adalah korban kekerasan berbasis gender. Pembunuhan ini melatarbelakangi ditetapkannya tanggal 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tentu ada jutaan kasus lain yang dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender termasuk yang terbaru adalah kasus yang menimpa Agni, mahasiswi Universitas Gajah Mada yang diperkosa oleh mahasiswa berinisial HS. Seperti dilansir dari The Conversation Indonesia, kasus kekerasan berbasis gender semacam ini justru sulit diselesaikan karena kuatnya budaya victim blaming atau budaya menyalahkan korban di Indonesia. Kampanye 16 Days of Activism adalah salah satu upaya untuk melawan siklus kekerasan ini. Di Indonesia, kampanye ini telah berlangsung sejak tahun 2003 dan diperingati setiap tahun sejak tanggal 25 November hingga 10 Desember. Selama kurun waktu tersebut, setidaknya ada tujuh hari yang merupakan hari peringatan untuk melawan kasus kekerasan. Untuk mengetahuinya lebih jelas, berikut keterangannya:

25 November:  Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

01 Desember:  Hari AIDS Internasional

02 Desember:  Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan

03 Desember:  Hari Internasional bagi Penyandang Cacat

05 Desember:  Hari Internasional bagi Sukarelawan

06 Desember:  Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan

10 Desember:  Hari Internasional untuk Hak Asasi Manusia

Apa yang dilakukan Yacko lewat hip hop adalah sebaik-baiknya usaha melawan kekerasan berbasis gender. Sekalipun akan terasa naif jika lantas usaha semacam ini hanya dipandang sebagai perayaan sebagaimana kampanye 16 Days of Activism yang diadakan setiap tahun. Justru kedua-duanya seharusnya menjadi jalan menuju kesadaran untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Tentu kesadaran bagi siapapun, terutama bagi mereka yang sampai saat ini masih bersikap seksis, misoginis, dan mencari perlindungan di bawah kuasa patriarki.

   

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here