Pertengahan September 2015. Amelia Bonow, seorang bartender, mendapatkan ancaman yang mengerikan dari seseorang di internet.

“Seseorang mendapatkan akses ke postingan lama yang saya buat di Facebook, lalu menggunakannya dengan seenaknya, dan menulis artikel yang sangat kacau dan menyeramkan, dan menyebutkan dimana saya tinggal,” katanya seperti dilansir dari Vice. Akibatnya, gadis itu harus mengungsi untuk sesaat dari tempat tinggalnya, dan pergi mencari tempat yang lebih aman.

“Sekitar setahun yang lalu, aku melakukan aborsi di Planned Parenthood di Madison Ave, dan aku mengingat pengalaman ini dengan segenap rasa syukur yang tidak dapat diungkapkan,” ujarnya dalam status yang dia unggah di Facebook.

Dua puluh empat jam sebelum itu terjadi, Amelia baru saja menulis status di Facebook tentang pengalamannya melakukan aborsi di klinik Planned Parenthood, sebuah klinik aborsi legal di Amerika Serikat yang saat itu terancam ditutup. Amelia menulis statusnya itu setelah mendengar bahwa anggota partai Republik, salah satu partai terbesar di Amerika Serikat dengan presidennya, Donald Trump, berusaha menghentikan keberlanjutan Planned Parenthood.

“Aku menceritakannya padamu sekarang ini karena yang bergulir di balik wacana penghentian Planned Parenthood bergantung pada asumsi yang menyebutkan bahwa aborsi adalah sesuatu yang harus dilakukan secara diam-diam. Banyak orang masih percaya bahwa pada tingkat tertentu, jika kamu perempuan baik-baik, aborsi adalah sebuah pilihan yang harus diiringi dengan perasaan sedih, malu, dan kecewa. Padahal, kamu tahu? Aku juga orang baik dan melakukan aborsi membuatku bersyukur dengan cara yang benar-benar tidak dapat diungkapkan,” lanjutnya.

Amelia mengakhiri pernyataannya itu dengan tagar #ShoutYourAbortion dan tidak lama setelahnya, banyak perempuan di media sosial mulai mengikuti apa yang dia lakukan. Dalam waktu sesaat, tagar itu menjadi sangat viral setelah seorang kawannya, Lindy West, membagikan pengalaman Amelia kepada pengikutnya di twitter yang jumlahnya mencapai lebih dari enam puluh ribu orang. Internet kemudian bekerja. Satu per satu perempuan di negeri paman Sam itu mulai berani mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka mengenai aborsi secara terbuka. Mereka berbicara yang sejujurnya tanpa harus merasa bersalah, menyesal, atau terteror seperti sebelumnya. Namun, tentu saja, hal itu tidak hanya mendatangkan dukungan yang besar dari mereka yang setuju dengan aborsi tetapi juga sebaliknya. Mereka yang mengaku anti-aborsi mulai mengirim balasan untuk menyerang tagar #ShoutYourAbortion.     

Sebelum saat-saat itu terjadi, gelombang besar kelompok konservatif di Amerika memang telah menekan pemerintah untuk mengesahkan undang-undang yang mempersulit prosedur aborsi, dan dengan begitu, mendorong pemerintah agar membatasi hak atas tubuh perempuan. Hal ini lantas menuai perlawanan dari kelompok yang pro-aborsi.

“Undang-undang telah berhasil membatasi akses dan melanggengkan stigma. Membuat perempuan merasa malu sampai-sampai mereka tidak bisa mendapatkan akses layanan kesehatan yang dapat menyelamatkan kehidupan mereka,” kata Amelie.

stigma aborsi

Perdebatan Aborsi yang Tidak Pernah Selesai

Perdebatan seputar legalisasi aborsi memang terus bergulir dari waktu ke waktu, baik itu di Amerika Serikat maupun di negara-negara lain. Pemerintah Argentina, misalnya pada tahun 2018 nyaris menyetujui undang-undang yang melegalkan prosedur aborsi. Sayangnya legalisasi tersebut gagal setelah kelompok anti-aborsi di pemerintahan memenangkan suara terbanyak. Argentina adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik. Meski negara tersebut tidak mencantumkan agama resmi namun lembaga keagamaan Katolik memiliki kekuasaan politik yang sangat kuat di Amerika Selatan dimana hampir 80% dari 43 juta penduduknya tercatat sebagai penganut Katolik. Seperti dikutip dari The Conversation, mereka secara terang-terangan melarang aborsi dan mengatakan bahwa tugas mereka adalah mempertahankan kehidupan. Namun, meski demikian, tidak sedikit penganut Katolik di sana yang sepakat dengan adanya legalisasi aborsi, termasuk salah satu di antaranya adalah Cristina Fernández de Kirchner, mantan presiden Argentina yang mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2015.

“Kita telah menolak legalisasi tanpa mengusulkan alternatif lain, sehingga situasinya akan tetap sama,” ujarnya setelah mengambil suara untuk mendukung aborsi. Dia sepenuhnya mendukung aborsi setelah melihat ribuan perempuan turun ke jalan dan menyuarakan bahwa aborsi sesungguhnya adalah hak perempuan atas pelayanan kesehatan.

Luis Naidenoff, anggota dewan dari provinsi Formosa juga mengatakan hal yang sama. Luis adalah seorang Katolik yang agamis tetapi dia memilih untuk ikut mendukung aborsi.

“Kehidupan pribadi seseorang tidak seharusnya diputuskan oleh negara,” ujarnya. Negara Argentina batal melegalkan aborsi setelah 38 anggota dewan menolak hal tersebut dan membuat 31 anggota dewan lainnya yang mendukung aborsi kalah dalam pemungutan suara.

Mengakhiri Stigma Aborsi

Kenyataannya, stigma merupakan penyebab utama mengapa aborsi sampai saat ini dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan bukannya sebagai hak perempuan atas pelayanan kesehatan. Seperti dilansir dari International Network for the Reduction of Abortion Discrimination and Stigma, stigma lahir sebagai akibat dari manifestasi geografi, budaya, dan agama. Dan oleh karena itu, pemahaman mengenai stigma akan terus berkembang. Di seluruh dunia, para peneliti mulai mencari tahu bagaimana stigma aborsi berperan di dalam hukum yang berlaku, kebijakan kesehatan, komunitas, hingga kehidupan perempuan. Jika upaya ini terus dilakukan bukan tidak mungkin stigma aborsi dapat berakhir.    

Apa yang dilakukan oleh Amelie Bonow dengan tagar #ShoutYourAbortion mungkin terlihat sepele tetapi berkat keberaniannya berbicara di depan publik, dia telah mendorong lebih banyak orang untuk ikut mengakhiri stigma yang terlanjur melekat.

“Menghapus stigma adalah tantangan terbesar,” kata Amelia.

Sampai saat ini, tagar #ShoutYourAbortion telah berubah menjadi sebuah gerakan kampanye untuk mendukung aborsi di seluruh penjuru Amerika Serikat. Tagar tersebut bahkan telah memiliki sebuah laman website resmi yang dapat diakses di shoutyourabortion.com.

‘Aborsi itu normal. Cerita kita adalah milik kita sepenuhnya untuk diungkapkan. Ini bukan lagi sebuah perdebatan.’

Kalimat tersebut tertulis di halaman muka laman Shout Your Abortion.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat memang telah melegalkan aborsi. Namun, ada lebih banyak negara lainnya yang menganggap aborsi sebagai tindakan ilegal. Di Indonesia sendiri, aborsi diperbolehkan jika kehamilan beresiko membahayakan nyawa perempuan atau jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan. Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini belum memberlakukan legalisasi aborsi secara penuh, dan bahkan wacana seputar hal tersebut masih sangat jarang. Aborsi dianggap tabu dan masyarakat cenderung menghindari pembicaraan mengenai hal itu. Padahal, bukan tidak mungkin legalisasi aborsi bisa terwujud di negara manapun termasuk di Indonesia.

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here