Keseharian kita adalah keseharian yang patriarkis, bias gender dan pastinya mendiskreditkan perempuan. Sampai hari ini budaya patriarki masih melekat kuat di masyarakat Indonesia. Sederet contoh bisa kita sebutkan. Misalnya, ungkapan masyarakat tentang laki-laki tidak boleh menangis supaya tidak kelihatan lemah seperti perempuan, gaji suami harus lebih tinggi ketimbang gaji istri, perempuan yang sekolah tinggi-tinggi akan susah diatur jika sudah berkeluarga, atau cibiran perawan tua untuk perempuan yang belum nikah tapi malah mengejar studi dan deretan contoh-contoh lainnya.

Contoh-contoh di atas merupakan sebagian kecil bukti bahwa budaya patriarki masih mencengkram dalam keseharian kita. Farrah Aulia Azliani dalam Magdalene mencatat bahwa tiga faktor utama yang menyebabkan budaya patriarki masih melekat dalam keseharian kita, yaitu: peran orang tua, konstruksi sosial-masyarakat tentang laki-laki dan perempuan dan peran media dalam menggambarkan perempuan.

Orang tua dan keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seorang anak, termasuk dalam membentuk pandangan anak tentang laki-laki dan perempuan yang sampai hari ini masih berwatak patriarkal. Anak laki-laki diarahkan untuk bermain mobil-mobilan dan di luar rumah, sedangkan anak perempuan diarahkan untuk bermain boneka dan berada di dalam rumah.

Persepsi orang tua yang patriarkal dalam mendidik anak-anaknya tersebut tidak lepas dari konstruksi sosial masyarakat tentang laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki harus tampil macho dan kuat, sedangkan perempuan harus tampil lemah gemulai dan kemayu. Konstruksi terhadap laki-laki dan perempuan ini menubuh dalam masyarakat; bahwa perempuan itu urusannya dapur, sumur dan kasur. Belum lagi bagaimana konstruksi sosial masyarakat yang sangat ketat atas bagaimana perempuan berpakaian.

Selain itu, konstruksi sosial masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan tersebut ditambah dengan citra negatif terhadap feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Feminisme dianggap melemahkan laki-laki lah, disinyalir menstimulus perempuan membuka aurat dan membangkang pada suami lah serta feminisme mengajarkan untuk tidak percaya pada pernikahan dan citra negatif lainnya.   

Konstruksi sosial masyarakat tersebut dianggap sesuatu yang tetap, final dan dipertahankan; bahwa kodratnya laki-laki demikian dan kodratnya perempuan demikian. Padahal, yang namanya konstruksi sosial masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Pada konteks ini, perbedaan antara sex (kelamin) dan gender, menarik untuk dicermati lebih lanjut. .

Dua hal tersebut jelas berbeda. Kelamin (sex) diidentifikasi murni sebagai kategori biologis, sedangkan gender sebagai kategori sosial –terkonstruksi secara sosial (Jonathan Wolff, 2013: 299). Kelamin (sex) bersifat terberi (given) yang masing-masing orang tidak bisa meminta ataupun menolak terlahir dengan penis atau vagina atau kedua-duanya, sedangkan gender bersifat konstruksi sosial tentang, misalnya, sifat-sifat dan peran serta hak-hak laki-laki dan perempuan. Singkatnya, kelamin (sex) bersifat nature dan gender bersifat nurture.

Perbedaan antara sex dan gender tersebut menjadi dasar feminisme dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahwa bukan kesetaraan kelamin yang diperjuangkan feminisme, melainkan kesetaraan gender yaitu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam pelbagai sektor kehidupan. Pada perbedaan antara sex dan gender tersebut, perjuangan kesetaraan gender dan upaya melepas cengkraman budaya patriarki dalam keseharian kita harus ditempatkan.

Selain peran keluarga, kontruksi sosial masyarakat dan peran media, perempuan juga turut berperan dalam melanggengkan budaya patriarki. Banyak perempuan merasa nyaman berada di bawah ketiak budaya patriarki misalnya dengan menganggap biasa istri harus taat dan patuh pada suami apapun kondisi dan persoalannya. Perasaan biasa dan nyaman perempuan tersebut terus mereproduksi budaya patriarki di masyarakat.

infografis budaya patriarkiFaktor lain yang melanggengkan budaya patriarki adalah agama. Di tengah mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama, faktor agama sangatlah penting dalam menentukan laju keseharian, termasuk dalam melanggengkan budaya patriarki. Ayu Utami dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang menceritakan bagaimana agama mengkonstruksi perempuan sedemikian rupa sebagai kelas dua. Perempuan dikonstruksi oleh agama sebagai makmum dan laki-laki sebagai imam dalam keseharian.

Meskipun penyangkalan-penyangkalan telah banyak dilakukan bahwa agama menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi faktanya agama masih berperan penting dalam mereproduksi budaya patriarki. Di bagian akhir, Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang juga mewartakan penyangkalan terhadap agama yang bias gender dengan menghadirkan ayat-ayat kesetaraan.

Penjelasan-penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa budaya patriarki mendiskreditkan perempuan. Hal ini karena budaya patriarki pada dirinya terkandung ilusi hierarki bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya ketimbang perempuan. Dalam keseharian, budaya patriarki melahirkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan; perempuan dianggap lemah dan rendah. Pada posisi ini, perempuan berada dalam kondisi rentan, misalnya; sangat rentan mengalami diskriminasi, sangat rentan mengalami pelecehan seksual dan lain sebagainya.

Dengan demikian, budaya patriarki harus dilawan dan dikikis demi kesetaraan gender. Perjuangan melawan budaya patriarki tidak terbatas pada perempuan, melainkan laki-laki harus turut serta di dalamnya. Hal ini karena budaya patriarki juga merugikan laki-laki; bahwa laki-laki harus memenuhi kriteria tertentu supaya disebut betul-betul laki-laki dan jika tidak memenuhi kriteria patriarkis, maka akan dinomorduakan layaknya kedudukan perempuan dalam budaya patriarki.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here