Sejak setahun lalu, kita dibuat berpikir ulang untuk mencintai film-film rilisan Hollywood. Kita mungkin akan berpikir ulang untuk mencintai tokoh Lester Burnham yang diperankan Kevin Spacey di film American Beauty (1999). Berpikir ulang untuk menonton Woody Allen memainkan karakter Isaac Davis, yang mencintai remaja perempuan jauh di bawah umurnya, dalam film Manhattan (1979). Atau kita mungkin berpikir dua kali untuk tertawa oleh lelucon tentang seks dari Louis CK dan Bill Cosby.
Di belakang kecanggihan teknologi dan estetika yang ditampilkan, film-film dari negeri Paman Sam menyimpan borok besar. Ada orang-orang bermasalah di belakang Hollywood. Kasus mereka merentang mulai pemerkosaan hingga pelecehan anak. Yang menjadi sorotan utama adalah kasus Harvey Weinstein. Oktober 2017, The New York Times merilis investigasi puluhan tuduhan pelecehan seksual selama puluhan tahun oleh produser besar itu. Setelahnya, pengakuan para bintang top ikut mencuat ke publik.
Tidak ada kompromi lagi sejak saat itu. Pertarungan besar melawan patriarki dan pelecehan seksual telah dilancarkan di Hollywood. Gerakan tagar #Metoo muncul dan kini sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Para aktris turut bersuara menuntut pembayaran gaji yang sama dengan para pemeran laki-laki.
Atmosfir Progresif Film-Film Hollywood
Sebenarnya problem itu sangat kontras dengan atmosfer progresif yang diproyeksikan di layar perak Hollywood akhir-akhir ini. Tokoh utama perempuan dalam film animasi tidak lagi terbatas pada putri-putri Disney yang sedang menunggu pangeran. Putri-putri itu telah melangkah lebih jauh melewati peran yang diambil Pocahontas dan Mulan dua dekade-an lalu–Pocahontas (1995) dan Mulan (1998).
Anak-anak jaman sekarang menonton Moana (2016) dan berdecak kagum ketika pelaut perempuan berambut keriting itu membuktikan dirinya sama dengan dewa yang dipuja-puja. Di film itu, Disney membuat Moana jatuh cinta, bukan kepada laki-laki, melainkan kepada lautan. Moana peduli dengan lingkungan dan menjelajah melampaui batas-batas kampungnya.
Film Brave (2012) memberi bayangan anak-anak tentang memanah dan berkuda yang tidak melulu lekat dengan aktivitas laki-laki. Seorang putri dataran tinggi Skotlandia bernama Merida melawan tradisi dan menolak perintah orang tuanya untuk menikah. Dia lebih memilih pergi ke hutan yang gelap dan mengasah kemampuan memanah. Untuk mengubah nasibnya, pertama-tama Merida mengubah apa yang ada di dalam dirinya.
Lain lagi Elsa, Ratu Arendelle di film Frozen (2013). Elsa bukanlah gula-gula seorang raja. Elsa adalah pemimpin bijaksana yang bisa mengendalikan kecemasan-kecemasan dalam dirinya. Kita telah melalui perjalanan panjang sejak 29 tahun yang lalu Disney merilis The Little Mermaid (1989). Ketika itu, putri duyung Ariel tidak menunjukkan keinginan untuk menikahi pangeran yang diselamatkannya.
Genre superhero menampilkan lebih banyak perempuan beraksi bersama-sama dengan rekan lelaki mereka. Kini mereka tak lagi sekadar sidekicks. Wonder Woman adalah pahlawan yang membawa kekuatan setara ke pertempuran. Film standalone Black Widow kabarnya akan dirilis beberapa tahun ke depan, setelah selama ini dia ikut menyelamatkan dunia bersama The Avengers. Tidak ada wanita di Dewan Jedi, tetapi perjuangan mereka bergantung pada seorang perempuan yang bertempur dengan pasukan terakhir, dan mereka dipimpin oleh Princess Leia yang dihormati. Wolverine, superhero kebanggaan dalam semesta X-Men, kini terlahir lagi dalam tubuh anak perempuan.
Hillary Clinton tidak terpilih, tetapi Presiden AS perempuan ada di tokoh Elizabeth Lanford (Sela Ward) di lanjutan film blockbuster Independence Day (1996). Hollywood juga menceritakan capaian sejarah tiga perempuan kulit hitam NASA dalam Hidden Figures (2016) dan Katherine Graham pentolan penerbit The Washington Post yang menjunjung tinggi kebebasan pers dalam The Post (2017).
Meskipun statistik belum menunjukkan peran lebih perempuan pada posisi pengambilan keputusan, setidaknya Hollywood telah mempromosikan kesetaraan perempuan pada produk akhir mereka. Mereka mencoba mencuri perhatian dan simpati lewat visual yang ditampilkan. Bagaimanapun, peran visual bagi anak-anak dan remaja era digital tak bisa diremehkan. Sebagai suatu kampanye kesetaraan, cara itu terbilang ampuh. Lalu, bagaimana kabar industri film domestik kita dalam masalah ini?
Bagaiamana dengan Film-Film Indonesia?
Bicara film lokal, baru-baru ini kita memilih Marlina (2017) sebagai film resmi mewakili Indonesia di penghargaan Oscars. Selain itu, hanya beberapa film-film lokal terbaru yang menampilkan perempuan-perempuan progresif. Kita mungkin akan kesulitan menyebutkan selain Ini Kisah Tiga Dara (2016) dan Kartini (2017). Di luar urusan belakang layar, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan perempuan luar biasa yang layak diceritakan.
Sebagai permulaan, kita bisa mengambil contoh peristiwa 90 tahun lalu. Pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta, di mana 30 organisasi perempuan di seluruh Jawa dan Sumatra berkumpul untuk memperjuangkan kesetaraan di Hindia Belanda. Kini kita mengenal tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Bagaimana setelah kemerdekaan 1945, Soekarno dan Soeharto berhasil menjinakkan 22 Desember menjadi hari untuk perayaan keibuan masih menjadi misteri.
Perempuan-perempuan yang menginisiasi Kongres Perempuan 1928 adalah pahlawan yang bisa diangkat ke film. Beberapa di antaranya adalah para istri dari tokoh-tokoh nasional. Ketua kongres kala itu adalah R.A Sutartinah, yang ikut menggerakan Taman Siswa bersama suaminya, Ki Hajar Dewantara. R.A Soekonto adalah sosok besar dari organisasi Wanita Oetomo. Yang juga ikut berperan penting adalah Soejatin Sastrowiryo, yang kala itu masih berumur 21 tahun.
Faktanya, kita punya banyak perempuan hebat yang layak dikenal selain Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia. Kita telah mengenang Rangkayo Rasuna Said sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Jakarta. Mungkin tak banyak yang mengingat nama Rasuna Said sebagai aktivis kesetaraan perempuan yang vokal dari tanah Minang. Justru banyak dari kita akan langsung menghubungkan nama Rasuna Said dengan jalan yang selalu macet setiap pagi dan sore. Bila industri film kita menghendaki, citra itu dapat dirubah di layar perak.
Jauh sebelum itu, ada Laksamana Malahayati yang memimpin armada laut Aceh berjuang melawan penjajahan Portugis. Ada Christina Martha Tiahahu yang melawan kolonial Belanda yang serakah di pulau rempah-rempah. Kesultanan Aceh abad ke-16 memiliki empat sultana yang memerintah, seperti halnya dinasti Majapahit yang lebih tua memiliki penguasa Suhita dan Kencanawungu.
Jika kita ingin menggali lebih dalam daripada penggambaran patriarkal yang kini tersedia, cerita rakyat kita juga berlimpah dengan model perempuan hebat. Dalam penggambaran yang paling komikal sekalipun, kita bisa mengangkat cerita Nyai Roro Kidul menjadi lebih progresif. Lebih dari sekadar figur mistis di film-film horror, kita bisa mengilustrasikan Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut yang perkasa, layaknya Poseidon. Tentunya ide itu lebih dekat dengan masyarakat, dibanding penggambarannya sebagai istri gaib dari Raja-Raja Jawa.
Kita bisa memulai mengangkat cerita perempuan-perempuan hebat Indonesia ke layar perak. Citra visual dalam film mempunyai efek yang tidak bisa dihiraukan lagi. Sudah saatnya kita memberi kesan progresif pada industri film lokal dengan menampilkan para perempuan yang bisa menginspirasi. Dengan itu, kita bisa mengajarkan generasi yang lebih muda untuk menghargai perjuangan perempuan lewat cerita-cerita mereka. Kita mesti percaya terhadap kekuatan visual, bahwa ia bisa merubah cara pandang masyarakat selama ini terhadap perempuan.