Aku memang bukanlah yang pertama kali berseru, tapi semoga saja aku bukanlah yang terakhir untuk berseru…

Selaku seorang transpuan yang masih closeted, karena kekhawatiran dan pertentangan keluarga akan bagaimana masa depanku selaku transpuan, tapi anggaplah latar belakang keluargaku termasuk sangat beruntung. Bisa disekolahkan dan diongkosi kuliah Teknik Industri di negeri Abang Sam, di salah satu universitas unggulan di sana, dan lulus.

Aku sadar, kalau latar belakangku itu penuh privilese sosio-ekonomi dibandingkan banyak sekali, kalau bukan kebanyakan teman-teman transpuan lain di Indonesia yang bahkan tidak tamat SD, karena mesti bertahan dari kerasnya hidup akibat tak tahan dirundung, bahkan diusir keluarga, teman dan sekolah.

Saudara-saudara transpuanku, aku tahu dan sadar betul kalau ada jurang yang sangat lebar di antara kita, entah karena latar belakang, suku bangsa, agama, antar golongan. Namun, janganlah jurang itu menjadi dalil untuk kita agar tidak bergandengan tangan dan maju bersama-sama!

Saudara-saudara transpuanku, aku paham akan kenyataan bahwa banyak di antara kita maju bergerak dan bersuara melalui jalur seni. Aku pun ikut menyambut gembira langkah tersebut. Seni memang mestilah berjiwakan kebebasan. Dan kualitas seni itupun beragam, luwes, sebagaimana identitas transpuan kita yang mewakili keberagaman dan keluwesan itu.

Namun begitu, saudara-saudara transpuanku, pernahkah di antara kalian berpikir: bagaimanakah jika kita ikut berjuang dijalur IPTEK?

Aku paham, akan banyak sekali saudara-saudara transpuan sekalian yang berpikir: sebagian besar di antara kita bahkan tidak punya privilese untuk bersekolah tinggi, belajar, bereksperimen, boro-boro bekerja di bidang yang notabene bergengsi itu. Semua gara-gara stigma terhadap kita transpuan.

Iya, aku tahu betul stigma yang kalian maksudkan, sebab akupun juga mengalami dan merasakannya. Tetapi, ketahuilah wahai saudara-saudara transpuanku, bahwa setelah aku menyusuri jalan IPTEK, aku dapat dengan yakin berkata bahwa ibarat dua sisi koin, penguasaan IPTEK adalah sungguh mutlak bagi kemajuan kaum kita (transpuan), bahkan sama pentingnya dengan jalan kesenian yang telah dipilih oleh banyak saudara-saudara transpuan kita. Ya, menguasai IPTEK itu hukumnya penting dan perlu bagi transpuan! Tapi, mengapa penting dan perlu?

Ringkasnya, memang ujung-ujungnya tak jauh-jauh dari persoalan harta, harkat dan martabat bagi kaum transpuan. Namun begitu, ada satu hal yang membedakan jalan IPTEK dengan jalan kesenian: dinamisme itu sendiri!

Ya, memang kesenian dan IPTEK itu sama-sama dinamis. Tapi “dinamisme” di kesenian itu sifatnya sangat relatif, sekalipun luwes. Kesenian itu tidak mengenal benar atau salah. Karena di kesenian, kata “selera” sangat berperan besar. Ada yang suka asin, hijau, ada yang suka biru, manis. Hari ini trennya baju Wakanda, hari esok trennya long dress. Itu sah-sah saja dalam kesenian.

Sementara, perlu kita ketahui, bahwa “dinamisme” di IPTEK itu sifatnya cenderung lebih “absolut”, karena IPTEK selalu bergerak kearah yang satu: lebih maju, efektif, efisien. Karenanya, pengaruh “selera” tidaklah begitu mendapat tempat dalam IPTEK, setidaknya jika dibandingkan dengan didunia kesenian. 1 + 1 = 2.

Karena perbedaan itulah, aku berpikir kalau berjuang dijalur IPTEK akan sedikitnya lebih membawakan rasa kepastian bagi kemajuan kita kaum transpuanDengan kepastian untuk terus maju, kita takkan lebih mudah diombang-ambing angin perubahan. Karena dalam IPTEK, yang kita pegang dan kejar adalah kemajuan. Dan kemajuan tidaklah sama dengan perubahan. Perubahan itu bisa baik bisa buruk, tapi kemajuan hanya mengenal satu kata: ke arah yang lebih baik.

Sampai sini, mungkin ada yang bertanya: ah, bagaimana aku terlibat dalam dunia IPTEK kalau tidak cukup intelek, pandai, atau makmur/sejahtera? Ah, jangan sepesimis itulah, saudara-saudara transpuanku! Isaac Newton yang kita kenal akan hukum fisika klasik dan kalkulusnya pun, dulunya anak yang “biasa-biasa saja” kalau tidak mau dicap “bodoh” disekolah; demikian pula dengan Thomas Alva Edison penemu lampu listrik, yang bahkan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu tolol, tidak dapat mengikuti pelajaran!

Perlu contoh dari kalangan transgender? Saya tahu memang sangat langka. Tetapi, kisah hidup Prof. Lynn Conway (1938-), seorang pensiunan dosen Amerika Serikat yang aktif di bidang ilmu & teknik komputer, melalui proyek DIS & ACS-1 di IBM, setidaknya punya gema yang relatif senada dengan kisah perjuangan saudara-saudara transpuan sekalian. Ketika kecil, Lynn ditinggal ayah, dikekang oleh ibu yang konservatif, menghabiskan masa remaja dengan merasa tersiksa “terperangkap tubuh yang salah”. Ketika kuliah di MIT yang kesohor pun, Lynn muda mesti kucing-kucingan mencuri hormon untuk transisi (walaupun transisinya akhirnya mandeg), didamprat psikiater Harvard Medical School (ingat kualitas Harvard yang mendunia itu?) ketika berkonsultasi hendak menjadi dirinya sendiri, bahkan harus drop out dari MIT, walaupun Lynn akhirnya lulus dari Columbia University, New York. Setelah dewasa, Lynn sempat bekerja di IBM dan berpartisipasi dalam proyek DIS yang legendaris itu, bertransisi, operasi kelamin, bahkan menikah dan memiliki 2 anak. Namun, status transpuannya menyebabkan Lynn dipecat dari IBM dan diceraikan istrinya. Lynn pun sempat luntang-lantung sebelum direkrut Xerox pada 1972, di mana Lynn lalu menemukan “panggung” terbesarnya: Revolusi Mead-Conway dan sistem VLSIIngat, Lynn tumbuh besar disaat “Alan Turing Law” masih berlaku di Amerika Serikat!

Berkaca dari kisah-kisah di atas, wahai saudara-saudara transpuanku sekalian, yakinlah bahwa selama kita memiliki rasa ingintahu yang menggebu untuk memecahkan misteri alam semesta, atau sedikitnya, untuk memecahkan persoalan kerja/sehari-hari menjadi lebih mudah, disanalah IPTEK akan menunjukkan kharismanya.

Mari aku kisahkan sekelumit kisahku: di sekolah, prestasiku pun termasuk “biasa-biasa” saja. Hanya aku ini sangat kepo, ingin menyelesaikan masalah secara instan, tapi ber”gigi”: aman, nyaman, dan berkelanjutan. Maka akupun memilih untuk belajar Teknik Industri, dan karenanya, rasa kepo-ku itu menjadikan aku haus proyek, sehingga aku belajarlah pemrograman Python, R untuk mengolah data, sistem manajemen Toyota Way, Lean Manufacturing, Ekonometri dll. Akupun terlibat proyek riset, dan meskipun saat ini aku tidak bekerja dibidang yang aku pelajari dulu, tapi pegangan disiplin IPTEK itulah yang terus memacuku untuk terus maju, belajar, dan berkarya. Baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku ingin menunjukkan, kalau kita, transpuan bukanlah sampah, bukanlah angin lalu. Tapi kita adalah manusia yang berguna, berdaulat dan mapan! Bahwa kita adalah saksi dan kemajuan peradaban manusia, bukannya parasit maupun penonton!

Saudara-saudara transpuanku, ketahuilah bahwa dunia ini semakin bergerak kencang, dan IPTEK akan terus maju, semakin pesat, dengan atau tanpa kita. Karenanya, meskipun kaum kita masih didera berbagai persoalan hidup yang begitu beratnya, masih maukah kita sama-sama bergandengan tangan mengarungi lautan peradaban yang makin ganas ini? Aku sadar penuh bahwa perjuangan kita takkan mudah, tapi ingatlah, semakin kita terlambat bergandengan tangan dan maju bersama melalui IPTEK, semakin tertinggallah kita oleh kemajuan peradaban, dan semakin muluklah cita-cita kita untuk hidup sejahtera dan bermartabat.

Jadi, masih maukah kita berkelit dan terlelap, bahkan tenggelam, atau maukah kita bergandengan tangan dan maju bersama, menjadi pemenang?

Aku tahu, kalau jauh lebih mudah berucap daripada bertindak, tapi kembali lagi: kalau bukan kita, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?

(Artikel ini pertama kali terbit di blog Ionna Pavla, IPTEK Ketimbang Seni: Manifesto dan Ajakan Seorang Transpuan Pejuang)

Ioanna Paula adalah seorang transpuan di Jakarta yang masih closeted karena masalah keluarga dan lingkungan. Sekarang bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah bank swasta besar, Ioanna juga memiliki ketertartikan dalam dunia teknologi, kuliner, aktivisme dan menulis. Untuk pertanyaan dan tanggapan, silahkan hubungi Pavla ke project.magdalena@gmail.com.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here