Ketika melihat brosur online Pelatihan Bidan melalui WhatsApp, Marwa Yustina langsung tertarik. Ia mendaftarkan diri sebagai peserta dan diterima. Sehari sebelum pelatihan, ia berangkat dari Puskesmas Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur. Ia harus naik angkutan umum selama 45 menit menuju Desa Buli dan melanjutkan empat jam perjalanan menuju Kota Sofifi, Pulau Halmahera. Di sana, ia kemudian menggunakan speed boat sekira 45 menit hingga akhirnya tiba di Kota Ternate.  

“Saya mengikuti pelatihan ini karena saya ingin menambah pengetahuan saya terkait Asuhan Pasca Keguguran untuk disosialisasikan kembali di wilayah kerja saya. Menurut saya ini penting, makanya saya tertarik untuk hadir sebagai peserta,” kata Marwa.

Marwa adalah Koordinator Bidan di Puskesmas Wayamli. Ia bertanggung jawab untuk tiga desa di sekitar Puskesmas. Jika umumnya peran utama Bidan adalah melayani tindakan persalinan, Marwa juga bertindak sebagai tenaga promosi kesehatan di wilayahnya. “Di Puskesmas kami kekurangan tenaga promosi kesehatan, sehingga kami juga harus bisa melakukannya tapi ilmu kami juga terbatas,”

Tekad Marwa mengikuti kegiatan Pelatihan Bidan untuk Penatalaksanaan dan  Rujukan Kehamilan Tidak Direncanakan dan Asuhan Pasca Keguguran sangat kuat. Rasa penasaran di awal, berubah menjadi memuaskan. Menurutnya, pelatihan ini berisi informasi baru sekaligus mengingatkan kembali pengetahuan-pengetahuan yang sempat terlupakan semasa kuliah. Salah satu informasi baru yang ia peroleh dari kegiatan ini dan menarik baginya adalah Misoprostol.

Misoprostol Untuk PPH

Misoprostol merupakan analog prostaglandin sintetik yang hingga kini terdaftar sebagai obat pencegahan dan pengobatan tukak lambung di Indonesia. Misoprostol dijual dalam merk dagang bermacam-macam, mulai dari Gastrul, Chromalux, Cytotec, Invitec, Noprostol, Citrosol dan Cytostol. Misoprostol memiliki fungsi yang beragam baik untuk tukak lambung, pencegahan dan penanganan PPH serta fungsi obstetrik lainnya. PPH (Postpartum Haemorrhage) umumnya dikenal sebagai kondisi di mana seorang perempuan kehilangan 500 ml darah atau lebih dalam 24 jam setelah melahirkan. Di Indonesia, istilah PPH biasanya disebut dengan istilah HPP (Haemoragic Post Partum) atau perdarahan paska persalinan dan perdarahan post partum.

PPH merupakan penyebab paling umum kematian ibu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut definisi WHO, kematian ibu (maternal death) adalah kematian yang terjadi selama kehamilan, saat melahirkan dan 42 hari setelah melahirkan, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Di tahun 2015, data Survei Penduduk Antar Sensus menunjukkan penurunan AKI menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Sayangnya, Indonesia masih gagal mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) ke-5 untuk menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat dan pasca kehamilan, di mana 75 persen kasusnya disebabkan karena perdarahan, sisanya karena infeksi, tekanan darah tinggi saat kehamilan, komplikasi persalinan dan aborsi tidak aman (WHO, 2014).

PPH primer atau perdarahan postpartum, umumnya disebabkan oleh atonia uteri — kondisi saat uterus gagal berkontraksi. Dalam situasi tersebut, Misoprostol mampu bekerja membantu kontraksi dan menghasilkan perubahan fisiologis yang sama saat rahim mengalami kontraksi sehingga dapat mengurangi perdarahan secara alami.

Pada pelatihan bidan di Ternate dan Sorong, sebagian peserta bidan mengaku pernah menangani kasus atonia uteri dan beberapa kasus tak dapat tertolong. Mereka kehilangan pasien.

“Pernah ada yang meninggal karena atonia uteri di wilayah kerja kami. Saat itu, situasinya sulit di Puskesmas. Kami tidak sempat merujuk dan tidak punya stok darah. Banyak rumah sakit penuh dan tidak bisa dihubungi sementara rumah sakit lainnya sangat jauh,” kata Windy Ika Putri, bidan asal Sorong, Papua Barat.  

Peserta lain asal Desa Moti, Halmahera Selatan, Nuraeni juga bercerita bahwa ia pernah menangani pasien yang mengalami perdarahan karena Retensio Plasenta, adalah suatu kondisi di mana rahim gagal berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta. Pasiennya tidak tertolong.

“Ini kasus pertama saya, ketika baru bertugas di kepulauan,” kata Nuraeni.

Ia menghela nafas.

“Pasien saya sudah merasa nyeri sejak siang dan jam 3 subuh sudah mulai lahiran. Bidan dipanggil jam 7 pagi, pasien sudah perdarahan. Akhirnya saya mau paksa melakukan manual plasenta tapi tensinya (tekanan darah – red) di bawah 80. Kita mau rujuk ke Ternate lewat laut paling cepat 1 jam 20 menit. Tapi dari rentang waktu perdarahan dan meskipun sudah usaha memperbaiki keadaan umumnya jadi terpaksa manual saja. Pasien saya mengeluh ulu hati sakit dan selang beberapa lama, dia meninggal.” lanjutnya dengan suara yang pelan dan bergetar.

Saat itu, perasaannya campur aduk. Ia bersedih dan merasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan pasiennya. Ia bertanya-tanya, apakah pasien meninggal karena kesalahan penanganan atau karena hal lain.

Beberapa Bidan lain juga hampir memiliki pengalaman yang sama. Ketika ditanya penyebab kematian ibu yang mereka dapatkan di wilayah kerja, sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri. Meskipun PPH dikenal sebagai komplikasi dalam Kebidanan, namun tidak banyak tenaga medis khususnya bidan mengenal Misoprostol dan fungsinya untuk pencegahan dan penanganan PPH. Bahkan pada tahun 2017, International Federation of Gynecology and Obstetrics  (FIGO) telah mengeluarkan rekomendasi regimen atau dosis Misoprostol untuk kegunaan pencegahan dan penanganan PPH. Akses informasi, wewenang dan kapasitas bidan menjadi tantangan mereka dalam menyelamatkan ibu dan bayi di wilayah pedesaan dan kepulauan.

Misoprostol dan Oksitosin  

Salah satu penanganan umum PPH yang dilakukan para bidan di desa dan pulau di mana infrastruktur, fasilitas dan akses transportasi yang masih minim adalah memberikan Oksitosin yang juga berfungsi untuk memperkuat kontraksi pada rahim, termasuk ketika mengalami atonia uteri. Bahkan WHO merekomendasikan bahwa Oksitosin merupakan salah satu alternatif  untuk penanganan PPH.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi oleh WHO tentang Stabilitas Injeksi Oksitosin di Iklim Tropis: Hasil Studi Lapangan dan Studi Simulasi tentang Ergometrine, Methylergometrine dan Oxytocin menyatakan bahwa stabilitas Oksitosin lebih baik daripada kedua obat tersebut terutama karena tidak memiliki efek buruk dari paparan cahaya dan mungkin akan lebih stabil ketika disimpan dalam gelap dengan atau tanpa pendingin. Ergometrine dan Methylergometrine merupakan obat-obatan yang dianggap berharga dalam pencegahan dan penanganan PPH. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Oksitosin tidak kehilangan potensi atau efektivitasnya setelah 12 bulan dalam lemari pendingin dan 14 % akan menurun setelah satu tahun pada suhu 30 derajat celcius dalam gelap (rata-rata 9-19 %), namun tidak ditemukan efek destabilisasi cahaya.

Meskipun stabilitasnya jauh lebih baik, Oksitosin direkomendasikan disimpan dalam lemari pendingin sebanyak mungkin sebelum disuntikkan. Bahkan semua produk harus diberi keterangan “simpan dalam lemari pendingin”. Periode pendek transportasi saat mendistribusikan Oksitosin tanpa pendingin dapat diterima (tidak melebihi satu bulan pada suhu 30 derajat celcius atau dua minggu pada suhu 40 derajat celcius). Dalam penelitian itu juga menyatakan bahwa fasilitas kesehatan persalinan harus menyimpan Oksitosin dalam lemari pendingin dan hanya boleh diambil ketika akan digunakan. Ketika lemari pendingin tidak tersedia, penyimpanan sementara dapat dilakukan pada suhu 30 derajat celcius untuk jangka waktu tidak lebih dari tiga bulan.

Sebagian besar bidan yang hadir pada pelatihan bidan mengatakan bahwa Oksitosin masih dapat dijangkau di wilayah dan tersedia di fasilitas kesehatan. Di wilayah Ternate, penyimpanan Oksitosin sebagian besar disimpan dalam lemari pendingin. Tapi, berbeda dengan pengalaman bidan di wilayah Sorong, Papua Barat. Sebagian besar bidan di wilayah Sorong khususnya di pulau-pulau terpencil mengatakan bahwa Oksitosin tidak disimpan pada lemari pendingin melainkan lemari biasa bahkan ketika suhu lebih dari 30 derajat celcius.

“Kami simpan dalam lemari biasa saja karena listrik susah. Kendala kami di Papua memang soal listrik,” kata Aminah, salah satu Bidan dari Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. “Kalau kami yang bertugas di Puskesmas yang sudah punya listrik, kami simpan di kulkas tapi bagaimana dengan pustu-pustu yang tidak ada listrik. Biasanya, kita ambil dari dinas lalu disimpan sampai satu tahun di lemari biasa saja selama tidak kadaluarsa untuk kami pakai pada manajemen kala III,” lanjutnya.

Bisa saja, kendala tersebut tidak hanya terjadi di wilayah Papua. Data Kementerian ESDM 2016 dalam artikel berjudul Ribuan Desa Belum Dialiri Listrik oleh Indriyani Astuti menyebutkan bahwa terdapat 12 ribu desa belum teraliri listrik dengan baik, 2.915 desa hidup dalam gelap atau tidak mendapatkan aliran listrik sama sekali dan 9.000 desa lainnya hanya dialiri listrik selama dua hingga tiga jam per hari.

Pada tahun 2014, International Confederation of Midwives (ICM) dan International Federation of Gynecology and Obstetrics  (FIGO), dua organisasi besar perkumpulan para medis mengeluarkan pernyataan bersama bahwa FIGO dan ICM telah berkomitmen untuk meningkatkan akses  ke Misoprostol untuk manajemen PPH, khususnya di wilayah dengan akses terbatas di mana Oksitosin IV sebagian besar tidak tersedia atau tidak memungkinkan untuk diberikan.

Dibandingkan dengan metode lain untuk pencegahan dan penanganan perdarahan pasca persalinan, Misoprostol merupakan tablet yang murah, sederhana, tahan panas,  mudah dikelola, dan tidak membutuhkan penyimpanan khusus. Obat ini bisa dikonsumsi secara oral, rektal atau melalui vagina tanpa membutuhkan injeksi. Juga, dapat diberikan oleh tenaga medis awam dan perempuan hamil, bahkan bisa tersedia di wilayah yang tidak memiliki aliran listrik sekali pun.

Misoprostol untuk Menurunkan AKI

Mari belajar dari Nepal di mana “Pertaruhan dengan Kematian” sering menjadi ancaman bagi perempuan yang mengalami kehamilan di pedesaan. Di sana, fasilitas kesehatan sedikit dan jarang, kadang jalan tak bisa dilewati berbulan-bulan, praktik budaya yang tumbuh kemudian menciptakan jarak pada perawatan profesional. Di Indonesia, kita masih punya banyak wilayah terpencil yang situasinya sama di mana infrastruktur, fasilitas, akses informasi dan layanan terbatas juga praktik-praktik budaya dan ketidakadilan sosial lainnya masih hidup.

Tahun 2014, Indonesia masih memiliki sekitar 20.168 desa tertinggal berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) dengan persentase 27,22 persen dari jumlah total desa yang ada di Indonesia, yakni 74.093 desa. Sebaran desa tertinggal terbanyak berada di Pulau Papua, dengan jumlah mencapai 6.139 desa.

Kembali ke cerita soal Nepal. Pada tahun 2015, hanya ada sedikit negara yang berhasil memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium PBB yang kelima untuk mengurangi rasio kematian Ibu, salah satunya adalah Nepal. Meski Misoprostol merupakan obat kontroversial bahkan di negara tersebut, Kementerian Kesehatan menempatkan Misoprostol langsung ke tangan perempuan yang membutuhkan, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pegunungan terpencil yang membutuhkan perjalanan panjang menuju fasilitas kesehatan. Hal ini, menjadi pro dan kontra pada kebijakan medis internasional yang menyatakan bahwa cara terbaik mengurangi kematian ibu adalah dengan cara berinvestasi pada fasilitas kesehatan.

Faktanya, investasi pada fasilitas kesehatan belum tentu menjamin keadilan sosial bagi perempuan. Di wilayah Papua dan Papua Barat, kehadiran Bidan Desa atau bahkan Puskesmas belum tentu menjamin mengangkat derajat kesehatan ibu dan bayi di sana: kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, perkawinan anak, masalah kehamilan dan persalinan (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak dan terlalu dekat), infrastruktur dan juga soal akses layanan masih menjadi masalah.

Lain lagi persoalan tenaga medis. Ketika ditanya, dukungan apa yang tenaga medis butuhkan, Vita, seorang Bidan yang bertugas di Pulau Misool, Raja Ampat, Papua Barat  pun berkata, “Mohon sampaikan kepada pusat, kami butuh lebih banyak alat, keterampilan dan tenaga tambahan untuk bekerja,” Para Bidan lain, banyak bercerita pengalaman mereka dalam menangani PPH. Beberapa pasien selamat dan ada yang tidak bisa diselamatkan. Beberapa meninggal di dalam perjalanan menuju lokasi rujukan. Beberapa juga meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan.   

Nuraeni bahkan tampak terharu ketika mengatakan bahwa Misoprostol baginya adalah “obat dewa” yang bisa menyelamatkan nyawa perempuan khususnya yang berada di wilayah-wilayah terpencil. Itu juga bahkan akan memudahkan kerja-kerja para Bidan sebagai tenaga medis terdepan dalam kesehatan ibu dan anak.  

Sebagai Bidan di wilayah terpencil yang minim fasilitas dan keluhan ibu dan anak yang bervariasi, bagi para Bidan merupakan tantangan. Namun, persoalan lain adalah kapasitas dan informasi yang diperoleh Bidan sangat terbatas. “Sebenarnya, dengan berbagai macam keluhan pasien yang datang ke kami, seharusnya bisa kami tangani. Namun, kemampuan kami juga terbatas. Kadang, kami sedih, seharusnya kami tak perlu “membunuh” pasien jika kami punya banyak pengetahuan dan fasilitas,” keluh Nuraeni.

2 KOMENTAR

    • Hallo kak Jeoffrey,

      Samsara membuka layanan konseling kehamilan tidak direncanakan. Silahkan menghubungi kontak hotline Samsara untuk informasi terkait kehamilan tidak direncanakan. Terima kasih

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here