Dua Garis Biru dengan lugu dan polosnya berhasil menyajikan momen-momen ajaib tentang ketertarikan antara Dara dan Bima, kasih yang tak berjeda, perilaku seksual, dan keputusan-keputusan berat yang harus mereka buat. Film besutan Gina S. Noer ini berhasil mengantarkan saya pada bagaimana rasanya melompati dua fase hidup tanpa persiapan sama sekali. Proses yang a melelahkan untuk dua remaja polos seperti Dara dan Bima. Film ini berhasil menguras energi saya ketika menontonnya.

Sebagai tuntutan dan norma sosial yang berlaku, Bima dan Dara harus mengemban peran yang besar di masa remaja mereka. Bima harus menjadi suami dan bapak pada satu waktu bersamaan, begitu juga Dara. Ia menjadi ibu dan isteri pada satu waktu bersamaan.

Bima dan Dara sama-sama belum siap untuk lakon hidup yang harus mereka terima. Sebagai seorang remaja yang punya mimpi untuk kuliah di Korea, Dara tampak bingung ketidak mengetahui dirinya hamil. Ia belum mengerti perubahan emosi yang dialami seorang perempuan ketika mengandung, termasuk memahami kondisi fisik selama hamil dan melahirkan. Dalam film ini, terlihat bagaimana Dara kemudian mengalami hate-love relationship dengan ibunya sendiri.

Begitu juga Bima. Ia belum mengerti bagaimana rasanya menjadi suami sekaligus bapak. Membanting tulang tiap hari. Namun keduanya, Dara dan Bima, berani untuk mencoba hal-hal baru yang mau tidak mau harus mereka lakukan. Kegetiran saya rasakan pada bagian ini, dimana tanggungjawab ditanggung dengan kepolosan.

Angga Yunanda yang memerankan Bima berhasil menunjukan kepolosan dalam menghadapi permasalahan tanpa dibuat-buat dan berlebihan. Adegan-adegan diam, bengong, dan bingungnya Bima yang sebenarnya lucu tapi getir. Dari titik itu, kita bisa belajar bahwa menertawakan permasalahan orang lain itu tidak lucu.

Gina S. Noer menggarap film ini dengan sangat apik. Ia menawarkan perspektif lain dari permasalahan pernikahan anak dan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sepanjang film ini kita disuguhi sudut pandang mereka yang mengalami pernikahan anak dan KTD tanpa menggurui sama sekali.

Selama ini kita terbiasa menghakimi mereka yang mengalami KTD dan pernikahan anak.  Tanpa sedikit pun tahu bagaimana rasanya ada pada posisi itu. Orang tua dari anak yang mengalami KTD juga tidak bisa lepas dari penghakiman tersebut. Dalam film ini ditunjukan bagaimana Ibu dari Dara dan Bima yang terguncang secara emosi. Pengalaman mereka sebagai seorang ibu, harapan-harapan pada anak mereka, semua diadu dalam satu gelombang emosi.

Dara dan Bima adalah contoh pasangan remaja yang berdiri sejajar. Dengan kepolosan mereka, mereka berhasil membuat keputusan-keputusan berat. Bersama-sama. Masing-masing dari mereka tidak menganggap yang lain di depan atau yang lain di belakang. Mereka menghadapi segala sesuatu bersamaan. Sayangnya masyarakat dengan institusinya tidak demikian.

Beban Ganda Perempuan

Film ini dibuka dengan adegan dimana Dara adalah siswa cerdas dengan standar penilaian guru. Sedangkan Bima sebaliknya. Pada adegan awal, nama Dara dipanggil di depan kelas karena nilai ujiannya 100 dan Bima dipanggil di depan kelas karena nilai ujiannya paling buruk dengan nilai 40. Gina, sutradara film ini, memberikan isyarat pada kita sejak awal film. Bahwa perempuan pada akhirnya yang akan menjadi korban dari prasangka masyarakat dengan institusinya, terlepas sebaik apapun prestasi seorang perempuan

Hingga kemudian sekolahan, institusi yang dimiliki negara, mengetahui Dara hamil. Dara mewakili 1,45 juta anak perempuan di Indonesia yang barangkali mendapat perlakuan serupa. Dikeluarkan dari sekolah, dicabut hak atas pendidikannya. Secerdas apapun dan sebesar apapun potensial mereka, pada akhirnya mereka dinilai dari kemampuannya menjadi seorang perempuan yang diharapkan oleh masyarakat.

Data dari UNICEF, sebuah lembaga dibawah PBB yang fokus pada anak, dirilis pada 2017 menyebutkan 14% anak di Indonesia menikah pada usia dibawah 18 tahun. Anak perempuan kemudian yang menanggung beban ganda. Mereka mengurus rumah dan anak, tidak mendapat hak atas pendidikan, hingga pandangan negatif dari masyarakat sekitar. Cita-cita mereka sulit tercapai.

Untung saja Dara lahir dari keluarga kelas menengah ke atas. Meskipun ia dikeluarkan dari sekolah. Ia dengan bantuan keluarganya masih bisa melanjutkan sekolah, bahkan ke luar negeri. Dara bisa mewujudkan cita-citanya.

Namun bagaimana dengan 1,45 juta anak perempuan Indonesia lain. Film ini secara simbolik mempertanyakan itu. Apakah kebijakan kepala sekolah dengan mengeluarkan Dara dan membiarkan Bima, bisa diterima sebagai sebuah kebijaksanaan. Hanya karena Dara perempuan dan Bima laki-laki.

Pada kenyataannya, kebanyakan remaja tidak seperti Dara. Banyak yang berakhir putus sekolah, menikah muda, mengalami kekerasan domestik dan berakhir terjebak dalam kemiskinan. Remaja perempuan ini tidak saja diambil hak nya atas pendidikan, namun juga kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Dara dan Bima adalah contoh remaja yang tidak mendapatkan keadilan. Hak mereka atas informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi telah dibatasi oleh negara. Sekolah tidak memberikan mereka pendidikan tentang tubuh dan kepemilikan tubuh mereka. Dan ketika mereka pada akhirnya mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan, mereka harus mengalami stigma dan diskriminasi.

HKSR adalah hak asasi bagi semua individu untuk membuat keputusan mengenai aktivitas seksual dan reproduksi mereka: bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Konklusinya bila akses HKSR terpenuhi, seseorang dapat memiliki pilihan atas aktivitas seksual dan reproduksinya. Apakah, kapan, dan dengan siapa terlibat dalam aktivitas seksual dan memiliki anak. Serta untuk mengakses informasi dan sarana untuk melakukannya.

Hal ini tentu jauh dari keadaan perempuan hari ini. Dua Garis Biru cukup mewakili realitas tersebut. Tidak ada pendidikan seks bagi remaja. Tidak ada akses terhadap HKSR. Perempuan lah yang ujung-ujungnya menanggung dampak lebih berat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here