Kita mungkin akan enggan berimajinasi bagaimana bila hal buruk terjadi dalam hidup kita: Apakah aku dapat tertolong? Apakah aku dapat selamat? Apakah setelah ini hidupku berarti? Bagaimana aku mencari pertolongan?

Itulah yang dirasakan korban kekerasan seksual. Seketika semua bisa runtuh. Kehilangan harapan, pekerjaan, kepercayaan diri dan trauma dalam waktu yang bersamaan. Tak bisa sedetikpun dapat membayangkan bagaimana bila menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal yang brutal, dan perkosaan adalah kekejian yang bisa menghancurkan hidup seseorang dalam penderitaan.

Sebab itulah, dengan semangat dari 16 Days of Activism – 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengingatkan kita kembali bahwa hak, pemulihan dan perlindungan korban kekerasan seksual adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.

“Tolong!”
Ketika seorang korban perkosaan datang kepada kita dengan skenario-skenario ini, setidaknya kita bisa memberikan pertolongan pertama kepada mereka. Mengapa? Karena kondisi korban harus disamakan dengan kondisi darurat yang membutuhkan penanganan khusus serta respon segera.

Skenario-skenario ini dibayangkan bila ada seorang korban yang tidak bisa mengakses pertolongan apapun seperti jauh dari akses Rumah Sakit atau pos kepolisian terdekat sehingga ia harus menghubungi kita sebagai orang kepercayaannya. Dengan begitu kita bisa memahami bagaimana kondisi korban dan segera menyegerakan langkah penanganan untuk korban.

Aku mendengarmu, aku percaya dengan ceritamu…

Validasi semua yang dirasakan korban, dengarkan ceritanya dengan empati, tanpa penghakiman. Ini adalah hal pertama yang harus kita lakukan. Sungguh, bagi korban untuk bercerita saja ia akan kesulitan dan mungkin ketika datang kepada kita ia hanya akan menangis. Maka dengarkan ia baik-baik, karena korban sedang dalam situasi yang sangat sulit dan berat. Mungkin kita juga akan terkejut, tapi dampingilah ia, ketika situasi sudah memungkinkan untuk berbicara, tanyakanlah apa kebutuhannya, apa yang bisa kita bantu untuknya.

Mulai dari langkah pertolongan awal

Apabila melapor ke aparat penegak hukum belum memungkinkan karena memang kita juga harus melihat kondisi kesiapan korban, kita bisa segera mencari informasi tentang kontrasepsi darurat, serta penanganan kesehatan yang memungkinkan termasuk pemulihan psikologis. Kita harus jeli melihat apakah korban juga mendapatkan tanda-tanda kekerasan fisik lainnya.

Bila akses rumah sakit dekat, segera bawa korban ke Unit Gawat Darurat agar korban bisa segera diberikan penanganan. Apabila memang akses Rumah Sakit jauh, kita bisa mencari apotek terdekat untuk mencari kontrasepsi darurat terlebih dulu. Kontrasepsi darurat adalah metode kontrasepsi yang dapat digunakan untuk mencegah kehamilan setelah adanya hubungan seksual beresiko, maksudnya konteks ini adalah tanpa pengaman maupun karena paksaan. Pemakaian kontrasepsi darurat direkomendasikan untuk digunakan dalam 5 hari, tetapi lebih efektif jika digunakan lebih cepat setelah hubungan seksual. Banyak resiko yang harus ditanggung oleh korban akibat kejahatan perkosaan. Selain trauma, ia bisa beresiko mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan, maka itu kontrasepsi darurat sebisa mungkin diberikan untuk korban perkosaan.

Selanjutnya usahakan mencari informasi untuk pencegahan Infeksi Menular Seksual termasuk HIV dan tes kehamilan. Memang ini tidak semudah ketika membaca, tapi sudah banyak kanal informasi dan hotline yang bisa dipercaya untuk mencari tahu tentang informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, serta tempat layanan kesehatan yang bebas stigma. Namun dengan melihat situasi korban, usahakan untuk pergi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan semua layanan komprehensif tersebut. Meskipun pihak Rumah Sakit akan menanyakan beberapa hal atau meminta persyaratan tertentu seperti laporan kepolisian, yang bisa kita lakukan adalah berdialog dengan pihak Rumah Sakit bahwa mereka tidak boleh menolak siapapun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, terlebih situasi korban adalah situasi darurat karena tindakan perkosaan itu sudah terjadi, dan membutuhkan pertolongan penanganan kesehatan khususnya kesehatan seksual dan reproduksi korban.

“…karena perkosaan itu aku hamil, aku sudah tidak sanggup lagi, aku harus bagaimana…”

Situasi korban perkosaan tidak pernah mudah. Untuk berbicara dengan orang lain saja mungkin korban akan penuh pertimbangan. Waktu berlalu, korban yang tidak mendapatkan pertolongan pertama seringkali tidak menyadari dirinya mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan akibat perkosaan tersebut. Bagaimana apabila ini terlanjur terjadi? Idealnya, apabila perempuan mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan mereka memiliki pilihan; melanjutkan dan merawat sendiri, melanjutkan lalu adopsi, atau menghentikan kehamilan tersebut. Faktanya, untuk mengambil pilihan aborsi bagi korban perkosaan memang sulit di Indonesia, apalagi bila harus mengakses layanan kesehatan tersebut di Rumah Sakit, kerangka aturan aborsi dan prosedur yang panjang berbelit justru memperlama korban mendapatkan akses aborsi aman.

Lagi-lagi kita harus mengembalikan situasi korban pada situasi kegawatdaruratan, apakah ada pilihan alternatif selain yang ada dalam peraturan? Tentu ada. Prosedur aborsi tersebut, meski sudah diakui aman oleh dunia kesehatan termasuk World Health Organization, tidak dikenali dan dipayungi dalam aturan di Indonesia. Namun pada prakteknya, menjadi pilihan alternatif yang aksesibel, aman dan mudah bagi perempuan. Tentu, pilihan-pilihan tersebut dapat dibicarakan dengan korban, melalui konseling yang komprehensif termasuk konseling Kehamilan Tidak Direncanakan.

Mengangkat kembali hak korban perkosaan

Sebenarnya, semua pertolongan pertama tersebut sudah tercantum dalam aturan terkait perlindungan korban perkosaan dan aturan hukum terkait kesehatan. Meski masih harus dipertanyakan implementasinya.

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Dalam peraturan pemerintah terbarunya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (PP No.7/2018) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya, pasal 37 PP No.7/2018 ayat (1) menyebutkan bahwa Saksi dan/atau Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat berhak memperoleh Bantuan. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan No. 36/2009)

Aturan ini merupakan payung hukum untuk pembolehan aborsi bagi korban perkosaan. Namun dengan limitasi tertentu, diantaranya sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP No. 61/2014) 

Mengatur penanganan kesehatan seksual bagi korban kekerasan seksual. Dalam pasal 29 PP No. 61/2014 ayat (1) menyebutkan bahwa korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual. Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban; b. upaya forensik untuk pembuktian; dan c. identifikasi pelaku.

Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang b. pengobatan luka dan/atau cedera; c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual; d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan; e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan f. rehabilitasi psikososial. Selanjutnya, Pasal 37 PP No. 61/2014 juga memberikan ruang untuk konseling bagi korban perkosaan yang memilih untuk menghentikan kehamilan mereka akibat perkosaan yaitu konseling pra dan pasca tindakan.

Tentu saja segala skenario diatas tidak bisa menampung keseluruhan situasi spesifik yang dialami oleh korban maupun kita sebagai pendamping korban. Misalnya, harus berhadapan dengan stigma dari pemberi layanan kesehatan, aparat penegak hukum, situasi psikis korban, atau ketika mengakses kontrasepsi darurat di apotek. Kekerasan seksual bagai fenomena gunung es, sejak dulu situasinya sudah memprihatinkan. Namun dengan pengetahuan dan pengerahan daya bersama, kita bisa mendorong aturan penghapusan kekerasan seksual. Pertolongan pertama kita merupakan tindakan nyata untuk korban, karena bisa jadi, hal itulah yang bisa menyelamatkan nyawanya, hidupnya…

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here