Komentar seksis nan misoginis yang kamu jumpai sehari-hari di internet bukan sekadar isapan jempol yang akan hilang begitu saja ketika kamu melewatinya! Kita kerap fokus pada permasalahan seksisme yang ekstrim dan terkadang gagal mengidentifikasi contoh-contoh yang “kurang sensasional”. Dampaknya bisa dari perundungan hingga femicide.  Tujuannya? Menciptakan iklim teror dan dominasi terhadap perempuan. Call out sekarang, tingkatkan kesadaran!

Internet, media sosial dan netizen, pada awal kemunculannya, dikenal dengan istilah “dunia maya”. Kata tersebut merupakan lawan dari “dunia nyata” dan kita mengira dunia ini hal yang berbeda di dunia nyata. Kata “maya” merupakan sesuatu yang “tidak nyata dan hanya angan-angan”, atau lebih tepatnya mungkin sesuatu yang tidak dapat disentuh,sedangkan, walau tidak dapat disentuh, internet menjadi bagian yang inheren dalam kehidupan kita, semua yang terjadi di “dunia maya” merupakan kehidupan kita juga.

Kita tidak bisa log off dari internet dan sosial media. Kamu yang sedang membaca artikel ini sedang berselancar dan menggunakan fasilitas internet. Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pergerakan dan aktivisme juga menjadi lebih terjangkau dengan bantuan internet. Kita tidak bisa dengan mudah log off, walau berbagai momok mengintai seperti ancaman penyalahgunaan privasi dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Bentuk KBGO yang paling jamak ditemui di internet adalah perundungan. Salah satu contohnya adalah sempat ramai di Twitter adalah txtdarifeminis, yang memicu tanggapan-tanggapan yang kebanyakan berupa ujaran kebencian serta sikap antipati terhadap “feminisme” atau mungkin yang mereka pikir sebagai “feminis”. Mulai dari anggapan bahwa feminis (di internet) terlalu “radikal dan liberal” ataupun terlalu “vulgar”. Bahkan beberapa waktu lalu beredar cuplikan percakapan antara dua orang, yang menyatakan bahwa “Membuatkan makanan untuk ayah adalah bentuk kepatuhan terhadap ketimpangan dan dominasi kultur patriarki”.

Akibat berbagai miskonsepsi dan generalisasi, cuitan dari second account dan akun alter  dengan ungkapan anti-feminis membanjiri timeline bahkan tidak jarang yang berbau kekerasan. Beberapa dari mereka bersembunyi dalam anonimitas. Saya ingat, salah satu teman saya yang mengikuti Women’s March Jakarta pada tahun 2018 fotonya tersebar di sosial media dengan caption berupa ancaman pembunuhan hingga perkosaan. Kekerasan semacam ini bertumbuh, menjamur dengan media sosial sebagai pupuknya.

Internet memang memfasilitasi anonimitas, namun ini menjadi pedang bermata dua. Samsara sendiri menghargai anonimitas karena dapat dimanfaatkan agar kita dapat merasa lebih nyaman untuk berbagi. Akan tetapi, anonimitas juga dapat menjadi berbahaya, Ketika kita log in sebagai seseorang yang tidak diketahui, kita cenderung menjadi tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kita ungkapkan, termasuk ancaman verbal tertentu. Mungkin beberapa dari kita menganggap hal tersebut sebagai angin lalu dan tidak mau ikut serta dalam perdebatan itu. Apakah penting bagi kita untuk melihat, alasan di balik rasa antipati tersebut? Namun, yang paling penting adalah, apa dampaknya? Bukankah hal tersebut hanya sebatas jejeran huruf yang tidak berarti. Kan tinggal scroll lalu kita bisa melanjutkan hidup kembali?

Tiga puluh tahun lalu, di sebuah kampus di Montréal, Kanada (École polytechnique) seorang laki-laki bernama Lépine, yang berusia seperempat abad masuk ke suatu ruang kelas, bersenjata api dan memerintah semua laki-laki untuk keluar dan menyisakan 9 perempuan di dalam ruangan. Dengan menggunakan senjatanya, Lepine menembaki semua perempuan di dalam kelas, membunuh 6 diantaranya, sambil berteriak “You are all a bunch of feminists, and I hate feminists”! Kejadian kejam dan menyedihkan tersebut menarik atensi publik namun kebanyakan masih menolak dan menyangkal bahwa ini merupakan permasalahan sosial dan struktural seperti: misoginis dan kekerasan dengan senjata api.

Berdasarkan pernyataannya dan lingkungan di mana ia dibesarkan, bisa diketahui bahwa Lépine sangat dekat dengan dikotomi “laki-laki yang berkuasa dan perempuan di kutub subordinat”. Butuh waktu yang sangat lama bagi publik untuk menyadari hingga akhirnya hari tersebut diangkat menjadi salah satu hari penting di Kanada, untuk mengingat dampak dari akar tersebut (White Ribbon Day). Ancaman yang seseorang ungkapkan, hate speech lambat laun akan bereskalasi. Normalisasi hal-hal yang kita anggap lumrah bisa berujung pada tindak kekerasan.

Tidak jarang pula tangkapan layar yang berupa jokes dan ungkapan di group Facebook beredar dan isinya menertawakan perempuan dan memperlakukan perempuan dan tidak jarang merendahkan hingga membayangkan perempuan sebagai objek yang submisif, memiliki potensi untuk berakhir dalam kekerasan domestik yang terjadi yang didasari oleh dominasi. Apa hubungannya dengan kasus Montreal di atas? Sampai sini mungkin kita menganggap bahwa perbandingan itu tidak apple to apple dan terkesan berlebihan, namun disinilah masalah itu muncul.

“Pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang didasari oleh kebencian, penghinaan, kesenangan atau rasa kepemilikan terhadap perempuan” dapat disebut sebagai Femicide. Istilah ini dicetuskan oleh Diana Russell. Singkatnya, pembunuhan terhadap perempuan ini semata bermotifkan: karena mereka perempuan. Akar permasalahannya, tentu dari memaklumi serta mengendapkan nilai-nilai misoginis.

Pembunuhan memang merupakan dominasi paling ekstrim yaitu terorisme seksis, bentuk lain yang mungkin tidak asing di telinga kita adalah dominasi dan teror. Selain itu, pembunuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan struktur sosial. Diskriminasi dan dominasi termasuk pelecehan (bahkan pelecehan verbal) harus dikenali sebagai suatu kesatuan dengan femicide, yang merupakan potensi awal dari pembunuhan. Tujuannya tentu saja untuk menciptakan iklim ketakutan.

Apa yang kita kenal femicide merupakan contoh ekstrim. Namun itu merupakan perpanjangan dari normalisasi semacam itu. Mungkin ungkapan-ungkapan toxic yang kita dengar tidak hanya akan berhenti sampai situ penutur bisa jadi memanifestasikan kebenciannya kemudian melalui tindakan. Belum lagi ketika kita dikelilingi oleh media yang tidak sensitif terhadap perspektif gender yang seringkali memberitakan kekerasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang sensasional, sama sekali tidak sensitif!

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Tentu tidak serta-merta menjauhi sosial media akibat iklim yang toxic dan tidak sehat tersebut karena itu sama saja menutup mata. Untuk mencapai iklim yang seimbang di mana kebebasan berekspresi tetap dijunjung namun tanpa toleransi ujaran kebencian yang seksis dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemegang kepentingan, penegak hukum dan kita semua. Beberapa hal diantaranya yang dapat dilakukan antara lain:

    • Mendorong media agar memperkuat mekanisme dan kode etik perilaku, mengutuk para pelaku ujaran kebencian dan memerangi secara aktif bentuk-bentuk kekerasan di media sosial
    • Menetapkan standar yang jelas dalam media mengenai apa yang bisa disebut sebagai komentar seksis dan konsisten menjalaninya
    • Integrasi perspektif kesetaraan gender
    • Call out untuk meningkatkan awareness dan menjatuhkan hukuman sosial bagi pelaku
    • Advokasi dan perlindungan korban dan penyinta

Stop scrolling over and be aware!

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here