Di balik pandemi COVID-19, ada pandemi yang lain; pandemi kekerasan, pandemi diskriminasi, pandemi stigmatisasi, hal-hal yang sebelumnya sudah menjamur dan semakin muncul ke permukaan saat pandemi COVID-19.
“Kita semua memiliki hak kesehatan seksual dan reproduksi yang sama”; kalimat yang layak diulang-ulang karena walaupun terlihat sederhana namun sulit sekali untuk membangun kesadaran. Hal tersebut tidak lain dikarenakan stigma reproduksi serta tabu seksualitas. Salah satu komitmen Samsara adalah mengkampanyekan isu yang berkaitan dengan HKSR agar akses pengetahuan ini terjangkau sehingga dapat meningkatkan awareness.
Pengetahuan memang merupakan kekuatan, namun jika dihadapkan oleh masalah-masalah struktural maka akses individu terhadap kebutuhannya akan tetap terbatas. Dalam level struktural, isu stigma ini menghambat individu mengakses layanan, yang merupakan implikasi dari hilangnya kontrol individu terhadap dirinya. Terlebih saat pandemi Covid-19 yang menimpa dunia, kita tahu bahwa sektor yang paling terdampak adalah sektor kesehatan. Tulisan ini fokus membahas kaitan antara akses terhadap layanan kesehatan selama pandemi. Samsara menemukan bahwa di balik pandemi ada pandemi lain yaitu pandemi diskriminasi.
Bagaimana Pandemi COVID-19 Memengaruhi Layanan Kesehatan Reproduksi?
Kita tahu bahwa Pandemi Covid-19 berdampak langsung terhadap kenaikan signifikan angka Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Angka-angka tersebut tidak sekadar goresan pena. Di balik angka-angka statistik terdapat pengalaman masing-masing orang dengan latar belakang, identitas yang beragam. Melalui riset dan FGD bersama kelompok komunitas di daerah Maluku dan Papua, Samsara menemukan penemuan yang mengkhawatirkan namun dapat diprediksi dan seharusnya dapat diantisipasi sejak awal.
Berdasarkan informasi dari Women Research Institute, dampak-dampak langsung pandemi terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi antara lain: tutupnya praktik bidan (sebanyak 600 bidan menutup praktik), penurunan penggunaan metode kontrasepsi modern sebanyak 30-40% dibandingkan sebelum lockdown, selain itu layanan antenatal, persalinan dan pasca persalinan yang tidak bisa diakses secara leluasa.
Penemuan tersebut sejalan dengan temuan Samsara, yaitu akses layanan sebelumnya terbatas menjadi sangat terbatas terlebih karena layanan kesehatan reproduksi bukanlah prioritas. Samsara juga mendapati bahwa terdapat perubahan pola mengakses layanan kesehatan. Orang-orang menghindari untuk bertatap muka sehingga memilih untuk mengakses layanan telemedicine. Bagi mereka yang harus mengakses layanan tatap muka menemukan kesulitan untuk menemukan jadwal lowong dan menyesuaikan jadwal praktek dokter atau bidan. Di daerah rural dengan kondisi demografis yang berbeda dengan wilayah urban, terutama di wilayah kepulauan seperti Maluku, orang-orang yang mengakses layanan tenaga kesehatan cenderung terhambat mobilitasnya, terutama bagi mereka yang membutuhkan penanganan medis. Di beberapa daerah terpencil transportasi dan mobilitas dibatasi sehingga harus menempuh waktu yang cukup lama.
Melalui Focus Group Discussion yang dilakukan bersama komunitas dan bidan daerah Maluku dan Papua, para tenaga kesehatan yang fokus pada isu kesehatan seksual dan reproduksi mengaku kesulitan untuk bergerak karena fokus tenaga kesehatan adalah seputar penanganan COVID-19. Di beberapa daerah di Maluku seperti Ternate dan di Sumba terdapat klinik yang secara rutin melakukan sosialisasi dan pembagian kontrasepsi namun terhenti semenjak bulan Maret 2020. Sedangkan jelas bahwa pendekatan alternatif seperti telemedicine merupakan hambatan bagi kelompok masyarakat yang tidak terbiasa atau tidak memiliki sumber daya.
Ada pandemi yang lain bernama stigma dan diskriminasi
Banyak penelitian yang menggarisbawahi bahwa akar permasalahannya terletak pada stigma dan membentuk efek domino. Walaupun pendekatan telemedicine terbukti efektif, masih terdapat permasalahan yang sama: siapa saja yang dapat mengakses layanan berkualitas tanpa penghakiman dan penolakan? Stigma menyasar kelompok yang dimarjinalkan dengan faktor-faktor yang berinterseksi misalnya menyasar pada remaja, jenis kelamin, ekspresi gender, orientasi seksual, karakteristik jenis kelamin dan yang paling sering ditemui: status pernikahan.
Misalnya pada salah satu aplikasi konsultasi online, terdapat seorang remaja yang berusia di bawah 16 tahun yang mengatakan bahwa saluran vaginanya terasa berdenyut sehabis masturbasi dan berkonsultasi secara online untuk mendapatkan diagnosa. Akan tetapi tenaga kesehatan yang menjawab memberi saran yang kurang akurat dan cenderung menghakimi semacam: “jangan melakukan hubungan seks pra-nikah” atau “jangan memasukkan benda asing ke dalam vagina”. Informasi-informasi misleading semacam ini seakan angkat tangan dan menutup mata terhadap kenyataan bahwa edukasi kesehatan seksual dan reproduksi sangat tidak memadai di Indonesia.
Pada akhirnya mau seperti apapun bentuk layanannya, jika akar permasalahan diabaikan maka sulit untuk mencapai layanan yang berkualitas. Pengetahuan memang power namun masih sering terbentur oleh pandangan-pandangan normatif. Layanan-layanan yang sulit diakses masih banyak sekali bahkan yang esensial seperti kontrasepsi, yang misalnya tersedia di apotik-apotik kecil kurang bisa diakses oleh remaja di area yang kecil atau lingkupnya kecil karena terhalang oleh stigma. Jika dibawa ke lingkup yang lebih luas, banyak puskesmas dan rumah sakit yang menolak untuk memberikan layanan. Jadi, pengetahuan memang power namun masih sering terbentur oleh pandangan-pandangan normatif. Samsara juga kerap menemui kasus di mana sumber daya material yang ada telah memadai akan tetapi semua itu menjadi sia-sia dan tidak tepat sasaran bila kita masih terperangkap pada anggapan-anggapan moralistik. (Baca artikel: Kontrasepsi untuk Orang Muda: Sulitkan Mengaksesnya?)
Stigma dan diskriminasi yang beredar di masyarakat berakar dari budaya-budaya yang berusaha untuk mengontrol perilaku serta tubuh seseorang untuk mencapai ekspektasi standar norma ideal. Stigma ini berakar kuat dari budaya dan akan berbeda pada masing-masing kelompok. Sehingga, diperlukan pendekatan berbasis komunitas dan intervensi seperti pembuatan policy yang mendukung (Baca Publikasi Policy Brief Samsara terkait Peraturan Pemerintah no. 61 Tahun 2014).
Para penyedia layanan kesehatan harus di-address kembali terkait sumpah profesi, yaitu akan berkomitmen untuk memberikan layanan terlepas dari latar belakang, identitas serta jenis penyakit pasien.
Apa yang dapat kita lakukan? Amplifying! Ingat bahwa ini adalah tanggung jawab bersama untuk terus menerus untuk mengampanyekan isu ini. Usaha sekecil apapun yang kita lakukan yang bersifat mengedukasi atau bahkan mengkritik dapat memunculkan masalah yang tenggelam ini ke permukaan.
Di Papua sendiri akses ke fayankes utk pelayanan memang sedikit sulit, bukan lagi soal letak fayankes yang jauh, nda jauh kok, dgn adanya PKM” di dekat wilayah kerja distrik sy pkir sdh sngt membantu, tapi karena stigma dari nakes yang menjudge rendah para pasangan muda, yg mnurut mereka krn korban KTD yg datang untuk mau terima pelayanan kesual dan kespro sehingga mereka lebih memilih tinggal dirumah, nanti sudah dekat lahiran baru datang, bahkan masih ada yg memakai jasa dukun beranak.