Halo, Puan! Kita pasti sudah terlalu sering mendengar ungkapan-ungkapan ini :

“Capek kuliah,mau nikah aja biar bahagia tiap hari ga ada beban.”

“Orang yang nikah kayaknya hidupnya sempurna banget ya.”

“Capek pacaran nih, mau nikah aja biar terjamin.”

 

Banyak perempuan yang memiliki pola pikir bahwa menikah bisa membuat bahagia dan merupakan jawaban dari semua masalah. Padahal, kenyataannya tidak seindah yang ada di dongeng. Saat kecil, kita disajikan dongeng-dongeng romantis yang membuat kita memimpikan pernikahan sebagai akhir yang bahagia. 

Tentu tidak salah jika kamu punya keinginan untuk menikah, tapi… pola pikir seseorang bahwa ia baru merasa bahagia jika menikah dengan seorang pangeran idaman dan menggantungkan harapan secara penuh padanya merupakan pertanda adanya gejala Cinderella Complex di dalam dirinya.

 

Tentang Cinderella Complex & Penyebabnya

Istilah tersebut dikemukakan oleh terapis New York, College Dowling dalam bukunya The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence. Dowling menjelaskan Cinderella Complex sebagai suatu keadaan perempuan yang ditekan rasa ketakutan, lalu berharap suatu saat bisa diselamatkan oleh seseorang dan bisa hidup bahagia selamanya.

Norma dan nilai yang tumbuh di masyarakat sangat kental dengan prinsip patriarkis yang menegaskan pembatasan tertentu dalam hal gender, mengajarkan secara turun-temurun bahwa kedudukan laki-laki dalam berbagai peran kehidupan mendominasi dibandingkan perempuan.

Secara sistematis , perempuan disajikan media hiburan bahwa happy ending dalam dongeng bisa menjadi kenyataan. Perempuan diajarkan untuk harus bergantung kepada laki-laki dan tidak berdaya tanpa laki-laki di sisinya.

Pola asuh orang tua selalu mengajarkan jika perempuan cenderung kurang bisa mandiri. Mereka dianggap makhluk rentan rapuh, terlalu lembut, sangat membutuhkan perlindungan. Kebalikan dari laki-laki yang diajarkan bahwa mereka harus tangguh dan punya rasa tanggung jawab besar serta bisa menjadi pelindung perempuan suatu hari nanti.

Pandangan ini secara tidak langsung memaksa perempuan untuk bergantung pada laki-laki dan diharapkan dapat menjadi seseorang yang selalu tunduk dan patuh pada laki-laki. Kecenderungan perempuan untuk bergantung pada laki-laki sebagian besar adalah perasaan yang rumit. Ketidakberdayaan menyebabkan perempuan cemas karena perasaan ini mengingatkannya pada masa kecil, saat dirinya masih tidak berdaya dan membutuhkan bantuan orang lain. Konflik batin inilah yang menjadi akar masalah bagi mayoritas perempuan terhadap cara dirinya berpikir, bertindak, dan berbicara.

 

Bagaimana cara menghadapinya?

Cinderella Complex hanya sebuah istilah yang menggambarkan fenomena ini,bukan gangguan psikologis . Kita semua punya peran dalam melepaskan banyak perempuan dari ini, tidak ada kata terlambat.

Mengedukasi diri dan rutin berefleksi agar tidak terpengaruh fenomena ini serta kritis terhadap isu pernikahan dan segala romantisasinya adalah langkah awal untuk terhindar dari malapetaka yang mengecewakan di kemudian hari.

Tentu saja keinginan untuk menikah adalah hal yang valid, Puan. Namun, pastikan segala keputusan yang telah kamu ambil dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Jadilah mandiri walaupun kamu sudah menikah. Karena sesudah pernikahan, kita masih akan merasakan perpisahan dengan pasangan. Entah karena meninggal ataupun karena perceraian. Dengan menjadi mandiri, kamu akan lebih mudah bertahan dalam situasi apapun, khususnya saat kamu akhirnya menjadi single kembali.

Percayalah bahwa sejatinya Tuhan menciptakan perempuan sebagai penggerak generasi kehidupan dan memiliki hak sebagai manusia seutuhnya  untuk menjadi diri sendiri versi terbaiknya serta berkontribusi untuk menyeimbangkan dan mengisi dalam dinamika hubungan dengan pasangan. Lebih indah untuk dibayangkan,bukankah begitu, Puan?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here