Membaca pasal aborsi di draf terakhir RKUHP membawa ingatan pada film Happening (2021). Film yang diangkat dari buku berjudul L’événement ini mengambil latar tahun 1960-an di Prancis. Namun, kondisi yang dialami oleh sang karakter utama sangat cocok dengan situasi di Indonesia saat ini. Kehamilan tidak direncanakan. Ketidakinginan individu untuk melanjutkan kehamilannya. Ketiadaan ruang aman untuk melakukan aborsi, dimulai dari segi legal, kemudian berimbas ke aspek sosial dan medikal.
⚠️ Tulisan Mengandung Spoiler ⚠️
Film yang disutradarai oleh Audrey Diwan ini menceritakan pengalaman seorang siswi SMA bernama Anne Duchesne (Anamaria Vartolomei) saat mengalami kehamilan tidak direncanakan. Pada saat KTD terjadi, Anne tengah duduk di bangku kelas tiga SMA. Artinya, Anne harus segera menjalani ujian kelulusan dan mendaftarkan diri ke jenjang selanjutnya, yakni perkuliahan. Mempertahankan kehamilan di luar status pernikahan, dengan mimpi yang masih banyak menunggu, bukanlah pilihan bagi Anne. Namun, regulasi yang melarang berat tindak aborsi, bahkan turut mengancam tiap individu yang juga membantu, menjadi tantangan berat bagi Anne.
Penolakan Legal yang Berimbas Secara Medikal dan Sosial
Anne yang semula berkutat pada studinya dan terkenal sebagai salah satu murid tercerdas, lantas mulai mengalihkan fokusnya ke pencarian cara untuk mengakses aborsi. Anne mendatangi beberapa dokter obstetri dan ginekologi, sendiri, tanpa pendamping. Alih-alih mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, Anne justru berkali-kali menemukan penolakan. Mendapatkan penekanan kalau tindak aborsi yang ingin Anne lakukan tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, dan tidak ada pilihan lagi baginya. Alih-alih mendapatkan prosedur aborsi yang aman, Anne malah ‘ditipu’ dengan diberikan obat penguat embrio yang dikenalkan sebagai obat penyebab menstruasi. Merasa terpojok, Anne pun sempat memutuskan untuk melakukan prosedur aborsi sendiri, tanpa panduan dan pengalaman: memasukkan besi panas ke vaginanya, sampai ke rahim. Dan gagal.
Meminta pertolongan dan dukungan pada teman-temannya pun tampak percuma bagi Anne. Beberapa orang di sekitarnya, termasuk teman-teman terdekatnya dan remaja-remaja yang sudah pernah melakukan hubungan seks, memutuskan untuk membalikkan badan saat Anne mengungkapkan kondisi yang tengah ia alami. Tidak ada yang mau terseret ke penjara karena memberikan bantuan untuk tindak aborsi. Bahkan, sahabat karibnya dengan tegas menolak, “Urusanmu bukanlah urusan kami (teman-teman Anne).”
Anne-Anne Lain di Kehidupan Keseharian
Anne pada akhirnya memang berhasil melakukan aborsi dan kembali mengejar mimpi, setelah melewati berbagai rintangan yang tampak tiada henti. Namun, haruskah tiap individu yang mengalami kehamilan tidak direncanakan menghadapi halang-rintang dulu untuk bisa mendapatkan otonomi diri, seperti yang Anne lalui?
Kesulitan yang Anne hadapi berakar pada regulasi. Peraturan melarang tindak aborsi, bahkan siapa pun yang turut membantu dan berpartisipasi. Sama seperti yang tengah disusun dalam RKUHP saat ini. Apa yang Anne jalani mungkin akan terulang di sini jika pengesahan RKUHP benar-benar terjadi. Tidak akan ada lagi ruang-ruang bagi individu yang ingin melakukan aborsi, atau bagi individu-individu yang percaya bahwa aborsi merupakan bagian dari otonomi diri.
Menutup tulisan ini, Anne sempat berkata pada salah satu dokter yang ia datangi. “Aku ingin seorang anak suatu hari nanti, tapi bukan diganti dengan kehidupanku. Aku bisa membenci anak itu karena itu. Aku mungkin tak akan pernah bisa menyukainya.” Mungkin itu yang perlu diingat sebelum menghakimi tindak aborsi: ketidaksiapan justru dapat menghancurkan.