Berbicara mengenai kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak, sepertinya masih menjadi angan yang sulit diwujudkan bagi para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa kesehatan seksual dan reproduksi adalah isu yang tabu. Padahal, sudah menjadi tanggung jawab bagi orang tua sebagai orang yang memiliki relasi terdekat.
Tak sedikit dari mereka yang sudah mulai memiliki pandangan mengenai pentingnya pendidikan kespro pun, memilih untuk mengurungkan niatnya karena kebingungan perihal metode penyampaian yang tepat bagi anak mereka yang berkebutuhan khusus.
Penyandang disabilitas, cenderung memiliki kerentanan lebih tinggi sebagai korban kekerasan seksual. Ini disebabkan oleh kemampuan untuk melindungi diri mereka yang lebih terbatas karena hambatan komunikasi dan intelektual. Data tahun 2021 menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual masih menjadi kelompok dengan jumlah tertinggi yang mengalami kekerasan, yakni sebanyak 22 kasus dan diikuti perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus. Data tersebut tidak berbeda dengan tahun 2020. Kelompok tertinggi yang dilaporkan mengalami kekerasan adalah golongan perempuan dengan disabilitas intelektual.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 987 kekerasan terjadi pada anak penyandang disabilitas. 264 di antaranya adalah anak laki-laki dan 764 anak perempuan selama 2021 lalu. Lebih dalam lagi, 591 orang merupakan korban kekerasan seksual.
Salah satu sebab terjadinya kekerasan seksual adalah minimnya informasi dan pendidikan seksual yang komprehensif di masyarakat. Beberapa hal yang juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual, antara lain stigma dari masyarakat bahwa disabilitas merupakan makhluk aseksual. Sebagaimana makhluk aseksual, mereka dianggap tidak punya hasrat seksual atau tidak butuh seksualitas. Di sisi lain, ada juga yang menganggap bahwa disabilitas memiliki kebutuhan seksual yang berlebih sehingga layak untuk dijadikan sasaran para pelaku kekerasan seksual tersebut.
Akses layanan kesehatan yang belum ramah untuk diakses juga menjadi ruang yang beresiko terjadi kekerasan seksual pada disabilitas. Selain itu, lingkungan masyarakat yang tidak mendukung pun turut menjadi penyebab kebanyakan kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas.
Bagaimana Cara untuk Menyampaikannya?
Untuk membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak berkebutuhan khusus memang sebaiknya dimulai sedini mungkin. Jika tidak, anak akan justru akan penasaran dan mencari informasi sendiri dari berbagai sumber. Hal tersebut menjadi masalah ketika sumber informasinya tidak valid dan justru membingungkan bagi anak. Sebagai orang tua, menjadi terbuka pada anak untuk membahas kesehatan seksual dan reproduksi akan memberikan banyak manfaat. Tentunya hal tersebut butuh proses dan cara yang berbeda untuk menyampaikannya, mengingat kondisi berkebutuhan khusus.
Beragam jenis disabilitas yang dimiliki tentunya membutuhkan metode belajar yang beragam pula. Teman-teman tuli biasanya mempelajari sesuatu menggunakan bahasa visual. Mereka terbiasa mempersepsikan segala sesuatu dari apa yang mereka lihat, maka kita seharusnya menggunakan media visual yang jelas sehingga mudah dipahami dan tidak membingungkan bagi mereka. Untuk mereka yang memiliki hambatan penglihatan, tentunya membutuhkan alat peraga sebagai sarana belajarnya karena mereka belajar dengan meraba.
Kemudian bagi teman-teman dengan disabilitas intelektual, biasanya akan membutuhkan alur komunikasi khusus karena terkadang apa yang telah disampaikan bisa diterima dan disikapi dengan perspektif yang berbeda. Maka, dibutuhkan metode komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, serta pengulangan sesuai dengan tingkat pemahamannya.
Apa Saja yang Bisa Kita Bicarakan?
Seperti anak pada umumnya, mengetahui anatomi tubuh beserta fungsinya sudah menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki anak dengan disabilitas. Terlebih ketika anak mulai berada pada masa transisi menuju remaja, saat mereka akan mengalami fase pubertas dengan berbagai perubahan bentuk tubuhnya. Untuk itu, kita bisa mulai membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi dari hal berikut:
Pertama, mengenali anatomi tubuh dan consent. Penjelasan mengenai bagian-bagian tubuh pada anak dengan istilah yang tepat beserta fungsinya dan siapa saja yang boleh untuk menyentuhnya bisa menjadi langkah awal untuk memulai pembicaraan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Tak jarang kita mendengar istilah-istilah yang digunakan orang tua untuk menyebut nama alat kelamin. Padahal, tidak ada salahnya menggunakan istilah penis untuk menyebutkan alat kelamin jantan dan vagina untuk alat kelamin betina. Misalnya, siapa saja yang boleh menyentuh penisnya atau vaginanya.
Kedua, kebersihan anggota tubuh. Kita bisa mengajarkan bagaimana cara menjaga kebersihan anggota tubuhnya dan cara merawat diri. Misalnya, kapan anak harus memotong kukunya atau bagaimana cara membersihkan area kelaminnya.
Ketiga, masa pubertas. Perubahan fisik serta hal-hal yang akan terjadi pada tubuh mereka bisa dijelaskan secara detail kepada anak yang akan memasuki masa remaja. Kemungkinan pada perempuan mereka akan mengalami menstruasi, perubahan bentuk tubuh, perubahan suara, serta mungkin ketertarikan kepada orang lain. Begitu juga pada laki-laki, mereka akan mengalami kemungkinan untuk mimpi basah, perubahan bentuk fisik dan suara serta ketertarikan kepada orang lain.
Keempat, kesetaraan gender. Penjelasan terkait apa itu gender dan perannya dalam kehidupan sehari-hari perlu kita ajarkan kepada anak sejak dini agar tidak menimbulkan bias nantinya.
Kelima, relasi sehat. Tidak menutup kemungkinan bagi para penyandang disabilitas juga bisa membangun relasi dengan orang lain. Maka perlu adanya penjelasan terkait cara membangun relasi yang sehat tersebut baik dengan teman, pasangan maupun masyarakat sosial.
Keenam, layanan kesehatan. Penting untuk anak berkebutuhan khusus mengetahui siapa saja orang yang berinteraksi dengan mereka termasuk para pemberi layanan kesehatan. Tidak ada salahnya untuk mengenali siapa dokter yang memeriksa mereka, siapa perawat yang membantu mereka, atau siapa psikolog yang mendengarkan mereka. Hal tersebut juga bisa membuat anak merasa aman dan nyaman serta dianggap keberadaannya.