Pada umur 12 tahun, rutinitas akhir pekanku termasuk: mendownload lagu pop terbaru dan memperbaharui header dan template blogspot (Iya, aku mengganti layout tiap minggu). Semuanya aku lakukan lewat laptop, tentu dengan koneksi internet. Beberapa tahun kemudian aku mendapatkan handphone pertamaku dan semenjak saat itu, caraku berkomunikasi tidak pernah sama lagi. Jauh setelah itu, muncul berbagai media sosial seperti Path. Walau aku tidak aktif menggunakannya tapi aku mengamati bagaimana teman-temanku mengambil foto lalu menyertakan geotag bersamanya ketika kami pergi untuk menonton film box office terbaru. Semenjak kehadiran dunia daring, hidupku tidak pernah sama lagi. Beberapa tahun terakhir, mengetahui berbagai risiko yang mengintai, aku mempertanyakan kembali. Haruskah aku memandang teknologi sebagai ancaman?
Donna Haraway, dalam liputan yang dibuat oleh Wired menganalogikan teknologi sebagai sepatu lari di Olimpiade. Sebelumnya, manusia bahkan tidak membedakan kaki kanan dan kaki kiri dalam membuat alas kaki. Sekarang kita memiliki sepatu yang dirancang khusus untuk hampir semua aktivitas, seperti running shoes. Dalam Olimpiade, untuk dapat mendapatkan medali, atlet membutuhkan integrasi dari berbagai faktor seperti “interaksi obat, diet, latihan, serta support dari pakaian olahraga” Bagi Haraway, realitas kehidupan modern kurang lebih seperti itu, dinamis, berubah cepat dan kita harus dengan cepat “mempelajarinya” tanpa harus meniadakan satu sama lain. Termasuk hubungan manusia dengan teknologi.
Dahulu, awal aku mengenal internet, Papaku mengajarkan untuk selalu memalsukan data pribadi tanggal lahir ketika berselancar (tentu saja untuk beberapa hal terdapat pengecualian, ya!) dan juga menggunakan password serumit mungkin yang mengandung karakter dan huruf. Aku selalu berasumsi bahwa semua itu dilakukan agar tidak di-hack, kira-kira begitu. Pemahaman yang masih minim membuatku berpikir bahwa itu adalah alasan tunggal sampai akhirnya beberapa tahun terakhir, aku dapat mengerti bahwa pemahamanku salah. Berikut beberapa pertanyaan yang aku tanyakan pada diriku dan menjawabnya; namun ternyata jawaban-jawabanku dulu kurang tepat. Sudah saatnya pembicaraan terkait perlindungan data sudah menjadi hal yang integral dalam penggunaan teknologi.
Aku bukan orang penting kenapa harus melindungi dataku?
Orang terdekatku pernah menjawab dengan: “Ya udah, ngapain takut. Kamu bukan orang penting ataupun seseorang yang “diincar””. Dulu aku setuju, tapi bagiku pendapat tersebut tidak lagi valid. Mengapa? Pertama, di satu sisi, bagus bila kamu merasa aman ketika di internet. Tapi perlu diingat itu juga merupakan sebuah privilege, bahwa kamu bukanlah seseorang yang dianggap “berbahaya” ataupun mengancam. Mungkin juga kamu merasa bahwa kamu termasuk dalam kelompok mayoritas atau “orang biasa-biasa” saja.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa permasalah ini bukanlah sesuatu yang bersifat one-dimentional atau dapat dilihat dari satu sisi saja. Mengingat bahwa teknologi inheren, sulit untuk dilepaskan, namun juga seperti kucing dalam karung. Kaburnya garis antara yang mana yang merupakan “privasi” dan bukan menjadi pengingat bahwa bahwa semua orang rentan, namun masing2 dari kita memiliki kerentanan yang berbeda2. Dalam skala kecil, mungkin tidak ada yang disembunyikan, namun isu ini harus dilihat dalam pandangan yang lebih luas. Terdapat ancaman terhadap privasi dapat menimpa siapa saja. Dan juga…. life goes on!
Dalam skala yang lebih besar, terdapat isu yang dampaknya masif seperti surveillance. Isu ini memang bukan merupakan hal yang baru karena sudah terjadi berabad-abad lamanya dalam bentuk dan tujuan yang berbeda-beda. Perempuan, sepanjang sejarah, dijadikan objek pengawasan. Tujuannya? Tentu kontrol dan manipulasi. Dalam beberapa dekade belakangan teknologi menjadi perpanjangan tangannya hingga akhirnya menjadi tidak terkontrol. Permasalahannya terletak pada bagaimana, kita tidak merasa in control terhadap data kita melainkan, ada satu entitas yang memegang kendali terhadap itu. Kita dipaksa untuk memasrahkan apa yang mereka lakukan terhadapnya.
Kalau kemudian otoritas, baik swasta maupun pemerintah, memegang dataku, so what?
Seseorang pernah menjawabnya dengan: “Well kamu menikmati semuanya dengan gratis, jadi wajar dong kalau mereka cari uang dari kamu. Win-win itu namanya” Memang sih, selama ini beberapa aplikasi yang kita pakai mendapat keuntungan dari iklan. Apalagi jika iklannya spesifik, kemungkinan target akan tertarik dan membeli pasti akan lebih tinggi. Tapi apakah yang dikatakan win-win benar-benar adil? Padahal, penambangan data tujuannya rata-rata untuk kontrol dan tidak jarang yang berujung pada eksploitasi.
Kontrol yang dimaksud dapat dilakukan dengan cara profiling berdasarkan data dan kemudian digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis. Profiling dapat berupa pengkotak-kotakan berdasarkan kategorisasi tertentu yang kemudian dapat mempertinggi risiko marginalisasi dan diskriminasi kelompok-kelompok tertentu. Algoritma yang digunakan sebagai salah satu cara untuk memupuk dan merawat tingkah laku konsumtif. Wacana mengenai menggunakan AI sebagai pengambilan keputusan sudah banyak bermunculan. Oleh karena itu sudah sewajarnya kita khawatir.
Yah, walaupun memang di sisi lain kita diuntungkan oleh adanya aplikasi-aplikasi gratis dengan aksesibilitas tinggi namun apakah akuntabilitas dari pemegang informasi tentang kita dapat diandalkan? Sedangkan ketika sesuatu terjadi, misalnya kebocoran data pribadi yang berujung pada kerugian sedikit sekali hal yang pengguna dapat lakukan. Contoh lainnya adalah, minimnya advokasi terhadap penyintas kekerasan online yang disediakan oleh platform. Jadi kesimpulannya, not-so-win-win!
Coba perhatikan contoh pesan di bawah ini, apakah teman-teman merasa familiar?
M3N4W4RK4N P1NJ4M4n BUNG4 R1NG4N 2% T4NP4 4NGGUN4N PROS3S C3P4T CUM415-30 MEN1T B1S4 C41R 1NF0 WA:0853-4870-XXXX
Ataupun mendapatkan pesan seperti ini secara konsisten:
Bagaimana ketika menerimanya, rasanya tidak nyaman kan? Apalagi jika sampai tertipu olehnya. Itu salah satu contoh “hasil” dari penambangan data serta transaksi jual-beli data pribadi. Selain itu pasti teman-teman sudah familiar dengan istilah “data is the new oil” Ya.. dari metafora yang digunakan saja sudah terdengar eksploitatif.
Nah sekarang, cara ngelindungin diriku gimana?
Sayangnya pilihan yang kita punya sekarang terbatas. Namun salah satu cara yang efektif adalah bergerak sebagai agen aktif untuk melindungi privasi kita. Perlindungan terhadap privasi juga merupakan cara kita mengambil atau mengklaim kembali pilihan-pilihan kita serta meruntuhkan dominasi dan mencegah niat manipulasi demi kepentingan otoritas. Persis seperti slogan: Take back the tech! Sayangnya, isu privacy ini masih bersifat eksklusif dan tidak aksesibel. Jika menilik dari segi ketimpangan struktural, sosial-budaya, kelas terdapat mereka yang kemudian masih jauh dari literasi digital. Selain itu, privasi harganya juga mahal dan tidak terjangkau bagi beberapa orang. Inilah yang kemudian masih menjadi tugas bersama.
Kamu bisa melihat guide komprehensif yang dibuat oleh Hack Blossom mengenai Cyber Security. Salah satu cara untuk merebut kembali hak tersebut adalah dengan memastikan dan melakukan hal-hal yang membuat kita merasa “in control” serta mengetahui langkah-langkah mitigasi risiko ancaman keamanan. Beberapa caranya antara lain, memastikan bahwa layanan yang kita gunakan terenskripsi. Bila tidak, atau mungkin kita tidak bisa memastikan, gunakan layanan itu dengan asumsi bahwa terdapat pihak ketiga yang dapat mengaksesnya sehingga dengan asumsi tersebut, kita dapat lebih berhati-hati.
Berikutnya, berhati-hatilah dengan WiFi publik (WiFi yang dapat diakses oleh umum seperti yang ada di perpustakaan, kafe atau di fasilitas umum) karena siapapun yang berada dalam network atau jaringan yang sama dengan kamu dapat melihat aktivitas kamu. Sekalipun aktivitas kamu dilindungi oleh password, namun tetap saja, kamu rentan untuk diretas dan data kamu bisa diambil. (Baca artikel Samsara mengenai cara berselancar aman di internet di sini).
“Technology is not neutral. We’re inside of what we make, and it’s inside of us. We’re living in a world of connections – and it matters which ones get made and unmade.” Haraway