Beranda blog Halaman 19

Manfaat Ganja Bagi Kesehatan

Selama ini ganja memiliki reputasi yang cukup buruk, khususnya dalam masalah kesehatan. Penggunaan ganja dalam takaran yang tak tepat dan sembarangan memang bisa menyebabkan banyak masalah kesehatan, seperti kecanduan, rasa cemas, atau kerusakan otak yang berkaitan dengan ingatan.

Namun, rasanya tak adil jika melihat ganja hanya berdasarkan efek buruk yang disebabkan karena pemakaian yang berlebihan. Ganja ternyata juga memiliki sisi baik dan bisa dimanfaatkan dalam hal kesehatan.

Menurut Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Naraya, ganja memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Dalam riset yang dilakukan LGN, tanaman ganja bisa mengobati penyakit diabetes.

“Paling utama untuk diabetes. Karena melihat kondisi diabetes di Indonesia yang pengobatannya kebanyakan masih menggunakan pengobatan alternatif, maka kita juga mau menawarkan alternatif lain yaitu dengan tanaman ganja,” kata Dhira.

Selain penyakit diabetes, tanaman ganja juga mampu mengobati kanker seperti kanker kelenjar getah bening dan kanker payudara. Zat cannabidiol yang terdapat dalam ganja bisa ‘mematikan’ gen bernama ‘Id-1’ yang digunakan sel kanker untuk menyebar ke seluruh tubuh.

“Masih banyak lagi penyakit yang bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi tanaman ganja seperti epilepsi, alzheimer, paru-paru, jantung, anak-anak yang cacat otak, hepatitis C, dan HIV/Aids,” kata Dhira.

Menurut Dhira, seluruh elemen yang ada di tanaman ganja bisa dimanfaatkan mulai dari akar, biji hingga daunnya.

“Kalau diabetes dari akar ganja direbus seperti jamu, nanti airnya diminum. Selain itu, ada bentuk lain seperti dihisap untuk membantu menenangkan kecemasan seseorang, bijinya juga bisa dijadikan minyak dipakai untuk kesehatan jantung dan otak, kemudian dijadikan pasta,” kata Dhira.

 

Penulis : Nina Suartika

Editor : Wita Ayodhyaputri

untitled-poster

IDAHOT 2016: Negara Pelaku Utama Penindasan LGBT

Komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di DIY menyatakan sikap untuk menolak dan melawan segala bentuk ketakutan berupa homophobia, biphobia, atau pun transphobia. Lantaran tindakan anti-LGBT dilakukan dengan cara kekerasan, memberikan stigma, dan mendiskriminasikan komunitas LGBT.

“Negara pelaku utama penindasan itu. Negara menindas melalui tangan milisi sipil reaksioner, institusi pendidikan, juga aparat pemerintah dan penegak hukum,” kata Direktur People Like Us Satu Hati (PLUSH) Mario Prajna Pratama saat membacakan pernyataan sikap komunitas LGBT DIY dalam peringatan The International Day Against Homophobia, Transphobia and Biphobia (Idahot) 2016 alias Hari Internasional Melawan Homo/Bi/Transphobia di Jalan Taman Siswa Yogyakarta, Selasa, 31 Mei 2016 petang.

Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami LGBT di DIY, menurut Mario juga dilegitimasi melalui pembuatan Peraturan Daerah DIY Nomer 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.Dampaknya, sebanyak 21 waria selama 2015 ditangkap dan ditahan di camp assessment tanpa peradilan.

Kemudian penyerangan oleh milisi sipil reaksioner alias ormas yang mengatasnamakan agama dilakukan sejak 2000. Berupa pembubaran acara Kerlap Kerlip Warna Kedaton 2000 di Kaliurang, upaya penyerangan acara Idahot 2010, penyerangan acara Q! Film Festival 2010, penyerangan diskusi aktivis feminis Irshad Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) pada 2012, juga penyerangan peringatan Transgender Day of Remenbrance 2014.

“Semua kasus berhenti di kepolisian!” kata Mario.

Selain itu, sepanjang kurun 2014-2016 telah terjadi pengancaman, pelarangan, dan pembubaran diskusi bertema LGBT oleh pihak kampus. Kemudian sejak 20 Januari 2016-19 Maret 2016 tercatat ada 39 kasus kekerasan terhadap LGBT, seperti intimidasi kegiatan One Billion Rising Jogja, juga penutupan Pondok Pesantren Waria Al Fatah.

Kian maraknya kekerasan terhadap LGBT membuat mereka menyelenggarakan peringatan Idahot 2016 yang diikuti sekitar lebih dari 50 orang itu secara sembunyi-sembunyi. Upaya itu untuk mencegah tindak kekerasan oleh orang atau kelompok lain yang menolak keberadaan LGBT.

Anggota Komisi A DPRD DIY Rendradi Suprihandoko menyayangkan tindakan kekerasan yang dialami LGBT tersebut. Semestinya, aparat penegak hukum menjadi garda terdepan penegakan hukum serta memberikan perlindungan yang sama kepada LGBT.

“Mereka (LGBT) punya hak yang sama. Gubernur seharusnya mengambil langkah. Ormas juga instrospeksi,” kata Rendradi saat ditemui di ruang Komisi A DPRD DIY, Rabu, 1 Juni 2016.

Penulis: Goestin

Editor : Wita Ayodhyaputri

untitled-poster2

Hukum Kebiri Tidak Akan Menyelesaikan Masalah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang dikenal publik dengan Perppu Kebiri, secara resmi sudah di sah kan oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun banyak kalangan yang menolak, namun pemerintah tetap tak bergeming.

Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Budi Wahyuni mengatakan bahwa pemberian hukuman kebiri merupakan bagian dari kejahatan. Menurutnya, adanya hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan masalah kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.

Kebiri Dinilai Tak Efektif bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Pemerintah secara resmi sudah mengesahkan Perppu mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Namun, hukuman tersebut justru dinilai tidak efektif karena tidak akan mengurangi efek jera bagi pelaku kejahatan seksual.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, hukuman kebiri sebenarnya sudah diterapkan di beberapa negara sebagai hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Namun, ternyata hukuman tersebut dianggap tidak efektif karena beberapa negara yang menerapkan hukuman tersebut masih memiliki kasus kejahatan seksual yang tinggi.

Pemprov Jatim Harus Bentuk Satgas Pencegahan Kekerasan Anak

Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Muhammadiyah Sidoarjo mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera membentuk Satgas Pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Ketua Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Nuning Rodiyah mengatakan, keberadaan Satgas sangat diperlukan mengingat semakin tingginya tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur.

Soal Kekerasan Seksual, Guru Juga Harus Inovasi Cara Mengajar

Untuk meminimalkan maraknya kekerasan seksual yang melibatkan anak baik sebagai korban dan pelaku, pengamat pendidikan Isa Anshori mengatakan guru harus mulai melakukan inovasi dalam mengajar.

Hal ini dikarenakan pendidikan di Indonesia yang ada saat ini tidak bisa merespon perilaku dan perkembangan siswa.

You are What You Do, Not What You Wear

“Cewek yang suka pake rok mini itu pada dasarnya emang minta diperkosa!”

“Dasar perempuan nakal, pantes aja diperkosa, malam-malam jalan sendirian, sih!”

Pernyataan di atas tentu sudah sering kita dengar, mulai  dari obrolan di warung kopi pinggir jalan, hingga statement yang keluar dari mulut para pejabat saat mengomentarai kasus kekerasan seksual. Wajar saja pernyataan semacam itu lantas keluar dari mulut setiap orang ketika patriarki sudah mendarah daging dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, namun apakah hal tersebut bisa dibiarkan?

Soal Pemerkosaan, Negara Gagal Ciptakan Sistem Pendidikan

Rentetan kasus perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang terjadi belakang ini dinilai sebagai bentuk kegagalan negara dalam menciptakan sistem pendidikan yang baik.

POPULER