Beranda blog

Ilusi Kebaruan Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025: Regulasi Berbahaya yang Memukul Mundur Pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi
06 Maret 2025

Kami, aliansi masyarakat sipil yang konsisten mengawal perkembangan aturan turunan pada UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 serta aktif  memberikan masukan pada proses penyusunan aturan turunan guna mendapatkan akses layanan yang adil dan inklusif¹, menyatakan keberatan atas substansi di dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.02 tahun 2025. Keberatan ini utamanya kami tujukan pada pasal-pasal diskriminatif yang justru mencederai perlindungan kelompok rentan, menghilangkan otonomi tubuh tiap individu, serta menjauhkan korban dari akses layanan kesehatan yang terjangkau dan memulihkan.

Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif. Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan, ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.

Proses Penyusunan yang Tidak Partisipatif

Sejak awal dalam proses penyusunan PMK ini (dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak. Kementerian Kesehatan cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah tubuh tiap individu. Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial. Proses penyusunan aturan ini menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil. Kementerian Kesehatan  nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.

Hilangnya Otonomi Tubuh Perempuan Disabilitas

Hari ini kami kecewa mendapati PMK No.02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam menempatkan Orang Dengan Disabilitas. Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan Orang Dengan Disabilitas terutama Disabilitas Mental dan Disabilitas Intelektual. Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya..”. Ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi. Mestinya daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari Orang Dengan Disabilitas, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak tersebut.

Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus “diperbaiki” harus ditinggalkan, dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based approach yang menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri.

Diskriminasi terhadap Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Permenkes ini kembali menempatkan orientasi seksual sebagai disfungsi dan gangguan (Pasal 52). Ini sangat bertentangan dengan UU Kesehatan yang telah mengakui dan melindungi individu yang mengalami diskriminasi secara sosial karena orientasi seksual dan identitas gendernya. Ketentuan ini juga berlawanan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, yang secara tegas menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa.

Lebih dari itu, Permenkes ini secara eksplisit mempromosikan upaya-upaya korektif paksa terhadap orientasi seksual yang dianggap sebagai kelainan melalui deteksi dini (Pasal 54) dan upaya rehabilitatif (Pasal 56). Padahal, upaya korektif yang dulu dikenal dengan istilah “terapi konversi” telah dinyatakan Komite Anti Penyiksaan PBB sebagai tindak penyiksaan yang harus dihentikan. Indonesia telah berulang kali ditegur PBB dan didorong untuk mencabut kebijakan diskriminatif dan memberikan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan. Alih-alih memberikan perlindungan, Negara semakin melanggar mandat dan komitmennya untuk menegakkan Hak Asasi Manusia lewat Permenkes yang menambah daftar panjang kebijakan diskriminatif. Tenaga medis yang seharusnya bebas dari tindak diskriminasi dan mengutamakan keselamatan pasien justru diberi kuasa penuh oleh Negara untuk melakukan kekerasan dan penyiksaan.

Dampak dari kebijakan ini tidak bisa diabaikan. Permenkes ini jelas memperburuk terwujudnya pemenuhan hak dasar atas kesehatan fisik dan mental kelompok rentan, secara khusus kelompok LGBTIQ, yang selama ini sudah sangat kesulitan mengakses layanan kesehatan karena stigma sebagai gangguan/kelainan seksual. Upaya korektif terhadap orientasi seksual ini memenuhi unsur-unsur penyiksaan², yang diantaranya adalah menimbulkan penderitaan fisik dan mental luar biasa yang berdampak pada kehilangan keberhargaan diri dan trauma berkepanjangan; serta dilakukan untuk tujuan tertentu – berdasarkan keyakinan keliru bahwa orientasi seksual adalah gangguan sehingga upaya korektif bertujuan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya. Melalui Permenkes ini, unsur-unsur penyiksaan berikutnya terpenuhi, yakni Negara secara sengaja melakukan serta menyetujui upaya korektif melalui pejabat-pejabat yang berwenang, dalam hal ini tenaga medis, kesehatan, maupun institusi layanan kesehatan. Dengan memberlakukan kebijakan yang menegaskan orientasi seksual sebagai gangguan yang perlu ‘dikoreksi’, negara tidak hanya mengabaikan hak warganya tetapi juga memperkuat sistem yang menyetujui, menormalisasi serta melakukan penyiksaan.

Pembatasan Akses Layanan Aborsi

Dalam hal layanan aborsi, PMK ini berpeluang menambah pengalaman traumatis bagi korban akibat alur yang berlapis, rumit dan penuh dengan syarat administratif. Mekanisme ini mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Aturan ini menyaratkan empat (4) surat yang harus diperoleh secara kumulatif untuk mengakses layanan, termasuk Surat Keterangan Penyidik (pasal 60), berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebagai tambahan, bahkan ketika korban memilih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan membutuhkan layanan aborsi, hingga ini belum ada mekanisme internal dalam kepolisian yang dapat menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu, pelaporan pidana seharusnya dipisahkan dari hak individu atas keputusan prokreasi.

Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan, sebagaimana telah diatur dalam UU TPKS No.12 Tahun 2022. Tim pertimbangan yang terdiri dari lebih dari satu (1) tenaga medis juga dapat menjadi penghambat yang tidak sensitif terhadap situasi korban. Selain itu, aturan ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Dalam hal situasi darurat medis, aturan ini mengharuskan persetujuan suami dan/atau keluarga untuk mengakses layanan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 62. Ketentuan ini mencabut otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, persyaratan persetujuan suami atau keluarga harus dihapus demi menjamin hak perempuan atas keputusan medisnya sendiri.

Tuntutan Kami

Masyarakat Sipil telah mengajukan catatan kritis dalam proses advokasi sebelumnya terkait kebijakan ini. Namun, hingga kini, peraturan yang dikeluarkan masih belum  mencerminkan perlindungan bagi kelompok rentan dan korban. Oleh karena itu, kami kembali mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan regulasi yang efektif, berperspektif korban, dan tidak diskriminatif dengan: revisi terhadap Permenkes No. 02 Tahun 2025, khususnya dalam hal berikut:

      1. Merevisi Peraturan Menteri Kesehatan No.02 Tahun 2025 dan melakukan perubahan di antaranya:
        • Menghapus semua penggolongan orientasi seksual sebagai disfungsi, kelainan, dan/atau gangguan serta upaya kuratif dan rehabilitatif yang mengikutinya;
        • Menghapus Surat Keterangan Penyidik sebagai syarat administratif dalam layanan aborsi;
        • Menghapus Tim Pertimbangan dalam alur akses layanan aborsi, karena prosedur ini menambah hambatan bagi korban dalam situasi darurat dan berisiko mengurangi aksesibilitas layanan;
        • Menghapus persetujuan Suami dan keluarga untuk akses aborsi dalam situasi darurat medis;
        • Menghapus ketentuan yang menyatakan bahwa Orang Dengan Disabilitas tidak cakap mengambil keputusan, dan  memastikan bahwa Individu Dengan Disabilitas berhak memberikan persetujuan sendiri tanpa harus melalui wali/tenaga medis serta mendorong penyediaan mekanisme supportive decision-making sebagai dukungan kepada Orang Dengan Disabilitas untuk membuat keputusan;
        • Menghapuskan segala bentuk perlukaan termasuk penghapusan upaya-upaya simbolis dalam bagian P2GP
      2. Memastikan prinsip penyediaan layanan kesehatan yang inklusif, non-diskriminatif serta patuh pada standar hak asasi manusia, termasuk rekomendasi WHO dan perjanjian HAM internasional yang menegaskan bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukan penyakit. Dalam implementasinya, sistem, budaya, dan infrastruktur layanan kesehatan harus mengakomodasi kebutuhan LGBTIQ dengan cara yang bermartabat dan inklusif, serta melindungi kelompok LGBTIQ dari praktik berbahaya seperti diskriminasi, penyiksaan berbentuk upaya korektif, dan kekerasan berbasis SOGIESC.
      3. Melakukan perluasan akses dan metode aborsi (tidak terbatas pada metode prosedural, tetapi juga medikamentosa) di dalam kerangka task shifting untuk memastikan keterlibatan profesi lain seperti bidan, apoteker, paramedis, sebagaimana diatur dalam KUHP 2023 dan mengacu pada panduan termutakhir WHO terkait aborsi. Adanya perluasan akses dan metode ini adalah cara untuk memastikan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer dan mengakomodir situasi keterbatasan layanan.
      4. Melibatkan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi. Untuk menjamin bahwa masyarakat sipil, khususnya kelompok advokasi perempuan, penyandang disabilitas, serta kelompok LGBTIQ, terlibat secara aktif dalam pemantauan implementasi regulasi kesehatan yang menyangkut hak dan perlindungan mereka. Sekaligus mendorong penyedia layanan kesehatan untuk mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam penanganan korban kekerasan seksual, tanpa stigma atau diskriminasi.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi

      1. Save All Women and Girls (SAWG)
      2. Yayasan Kesehatan Perempuan
      3. Perhimpunan Jiwa Sehat
      4. Samsara
      5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
      6. Arus Pelangi
      7. Qbukatabu
      8. Institute for Criminal Justice Reform
      9. PKBI Yogyakarta
      10. Front Anti Kekerasan Maluku Utara
      11. Woi Sulawesi Utara
      12. Gerak 28 September
      13. Transmen Indonesia
      14. Koalisi Perempuan Indonesia
      15. Marsinah.id
      16. Alemu
      17. LBH Masyarakat
      18. Amerta Raksa Kayana
      19. Komunitas Perempuan Bumi
      20. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
      21. SIGAB Indonesia
      22. Diksi Foundation
      23. HWDI – Sulawesi Selatan
      24. Yayasan Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo
      25. Jakarta Feminist
      26. Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS)
      27. Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN)
      28. OHANA
      29. CIQAL
      30. SAPDA
      31. Feminis Themis
      32. PPDI Kalimantan Timur

¹https://lbhapik.or.id/siaran-pers-masyarakat-sipil-mendesak-pemenuhan-hak-atas-kesehatan-yang-inklusif-adil-dan-setara-dalam-seluruh-proses-penyusunan-kebijakan-turunan-uu-no-17-tahun-2023-tentang-kesehatan/
²Berdasarkan Pasal 1 UU. No 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia

Peraturan Pelaksana UU Kesehatan No.28 Tahun 2024 Masih Diskriminatif, Masyarakat Sipil Tuntut Perbaikan

Peraturan Pelaksana UU Kesehatan No.28 Tahun 2024 Masih Diskriminatif, Masyarakat Sipil Tuntut Perbaikan

PP Kesehatan No.28 tahun 2024 diterbitkan sebagai aturan turunan untuk mengimplementasikan UU Kesehatan No.17 tahun 2023 yang telah disahkan setahun lalu. Tanpa adanya keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna, peraturan yang berisi lebih dari 1.000 pasal ini telah menutup peluang agar kepentingan masyarakat luas terakomodir dengan utuh. Padahal masyarakat memiliki hak partisipasi dan wajib dilibatkan untuk memastikan penyusunan kebijakan berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal penyusunan kebijakan berkenaan dengan korban kekerasan seksual, pengalaman korban, dan pendamping harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. Jika hal mendasar ini saja tidak tersedia, sudah selayaknya kita bertanya, untuk siapa peraturan ini dibuat?

Kami dalam aliansi masyarakat sipil yang konsisten memantau perubahan aturan sejak sebelum UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 disahkan mencatat ada sederet persoalan kritis dalam peraturan pelaksana ini yang harus diperbaiki dalam penyusunan aturan operasional berikutnya. Persoalan tersebut diantaranya adalah, kuatnya stigma dan diskriminasi serta aturan yang masih didominasi oleh pemikiran ableist kepada Orang Dengan Disabilitas. Sebagaimana terlihat pada pasal 19 (3), pasal 58 (5), dan Bagian Ketiga terkait Kesehatan Penyandang Disabilitas, dimana Kementerian Kesehatan masih menempatkan kedisabilitasan sebagai penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan. Stigma dan diskriminasi juga termuat dalam Pasal 148 huruf (b) dan (c), Pasal 155, Pasal 167, Pasal 171 jo. Pasal 172, dan Pasal 783, serta pasal lainnya. Untuk itu, aturan operasional dari PP ini harus menempatkan kesehatan penyandang disabilitas dalam perspektif Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Menempatkan kedisabilitasan sebagai suatu penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan justru melanggengkan stigma dan tindakan diskriminasi kepada orang dengan disabilitas, khususnya disabilitas psikososial.

PP No.28 Tahun 2024 ini mengabaikan asas non-diskriminatif yang secara jelas tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2023, bahkan melanggengkan stigma yang dapat menghambat individu untuk mengakses layanan kesehatan serta kuat berpotensi membahayakan dan memperburuk kesehatan fisik dan mental individu. UU Kesehatan No.17 Tahun 2023 Pasal 28 ayat 4 dengan jelas menyatakan bahwa: “Penyediaan akses pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup masyarakat rentan dan bersifat inklusif non-diskriminatif”. Dalam penjelasan pasal tersebut, poin (g) menyebutkan bahwa masyarakat rentan itu termasuk “individu yang tersisihkan secara sosial karena agama/kepercayaan, ras atau suku, orientasi seksual, identitas gender, penyakit, serta status kewarganegaraan.” Namun ironisnya P No.28/2024 Pasal 114 ayat 1 P justru menyebutkan “kehidupan seksual yang sehat meliputi terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual.” Pasal ini bertentangan dengan asas non-diskriminatif di pasal 28 ayat 4 UU No.17/2023 karena memposisikan orientasi seksual sebagai gangguan. Memposisikan orientasi seksual sebagai gangguan menunjukkan bahwa ada upaya-upaya untuk mengoreksi atau mengubah orientasi seksual seseorang. Padahal, orientasi seksual bukanlah gangguan, tapi variasi. Situasi ini akan membuat individu dengan orientasi seksual yang beragam menjadi semakin rentan mengalami diskriminasi dan menjadi korban kekerasan seksual akibat upaya-upaya koreksi tersebut.

Diskriminasi atas layanan juga termuat dalam pasal 110 tentang pemberian kontrasepsi darurat yang hanya diberikan kepada korban perkosaan. Selain diskriminatif, hal ini juga tidak konsisten dengan upaya lain di dalam undang-undang yang telah mengatur akses kesehatan bagi korban perkosaan dan korban kekerasan seksual lainnya. Pembatasan atas pemberian kontrasepsi darurat juga berpotensi menghambat upaya pemulihan kesehatan terutama bagi korban kekerasan seksual dan korban perkosaan. Akses layanan untuk kontrasepsi darurat dan penanganan kesehatan korban kekerasan seharusnya juga dimandatkan pada unit-unit atau lembaga pendamping korban berbasis masyarakat sebagaimana dimandatkan pada UU TPKS, tidak terbatas pada fasilitas kesehatan.

Bagi korban, PP ini berpeluang menambah pengalaman traumatis dalam mengakses layanan akibat dari mekanisme yang terlalu panjang untuk mengakses layanan aborsi. PP ini telah mengabaikan pengalaman perempuan korban, pengalaman individu dengan kondisi darurat medis yang membutuhkan layanan aborsi untuk mengambil keputusan secara utuh. Adanya tim pertimbangan sebagaimana tertuang dalam pasal 120, berpotensi menghambat penyediaan akses aborsi. Syarat tim pertimbangan ini selain tidak sensitif terhadap situasi kekerasan seksual, perkosaan, dan indikasi medis terutama pada kehamilan beresiko yang membutuhkan layanan secara segera. Hal ini juga mengabaikan fakta terbatasnya tenaga medis terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Secara geografis dan ketersediaan akses, tidak semua korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan berada di wilayah dengan fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Adanya task shifting untuk memastikan kewenangan tata laksana aborsi aman dapat diberikan mulai dari fasilitas kesehatan tingkat primer. Sehingga akses aborsi aman dengan ragam metode dapat tersedia di fasilitas kesehatan tingkat primer yang paling dekat dengan masyarakat dan korban.

Surat keterangan penyidik dalam pasal 118, berpotensi menghambat korban mengakses layanan aborsi. Faktanya, tidak semua korban kekerasan seksual dan korban perkosaan dapat dan berkehendak untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian. Layanan aborsi adalah layanan kesehatan yang menjadi bagian dari hak pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual dan perkosaan. Hak pemulihan kesehatan telah jelas disebutkan pada UU TPKS No.12 Tahun 2022. Untuk itu, pengaturan di dalam PP wajib diperbaiki pada aturan operasional berikutnya untuk memastikan korban mendapatkan hak atas pemulihan kesehatan yang komprehensif.

Dengan banyaknya catatan kritis dan persoalan yang ada di dalam peraturan pemerintah ini, maka aliansi masyarakat sipil mendesak agar masyarakat sipil termasuk pendamping korban kekerasan seksual dan perkosaan diberi ruang untuk melakukan monitoring dan pemantauan untuk memastikan akses aborsi diberikan sesuai dengan kebutuhan korban. Termasuk juga tersedianya mekanisme yang jelas dalam menyampaikan kritik dan komplain atas penyediaan layanan kesehatan yang mengukuhkan stigma dan diskriminasi.

Kami dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif, memiliki tuntutan untuk peraturan pemerintah ini, di antaranya:

  1. Mendesak Kementerian Kesehatan untuk membuka ruang seluas-luasnya dan memastikan pemenuhan hak partisipasi masyarakat dalam pembahasan aturan turunan/operasional seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan panduan nasional lainnya;
  2. Mendesak Kementerian Kesehatan untuk melakukan perbaikan dalam penyusunan aturan operasional tentang layanan kesehatan yang memuat prinsip non diskriminatif, bebas stigma, inklusif, berpusat pada korban/penyintas dan memastikan prinsip-prinsip atas layanan tersebut terimplementasi dengan utuh dan menyeluruh;
  3. Mendesak Kementrian Kesehatan untuk mengakomodir kebutuhan nyata masyarakat di antaranya:
    a) Menghapuskan stigma dan diskriminasi kepada Orang Dengan Disabilitas dengan menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia dalam penyediaan layanan kesehatan,
    b) Memastikan layanan aborsi tersedia secara komprehensif termasuk akses ke kontrasepsi darurat sebagai pemenuhan hak pemulihan kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan korban perkosaaan, dan individu dengan indikasi kedaruratan medis;
    c) Memastikan konsistensi implementasi penyediaan layanan kesehatan yang inklusif dan non-diskriminatif, terutama bagi kelompok rentan termasuk di dalamnya kelompok dengan ragam orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender.
  4. Mengajak seluruh masyarakat sipil untuk terus memantau implementasi Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penyediaan layanan kesehatan.

Salam solidaritas! 
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan yang Adil dan Inklusif 
Jakarta, 09 Agustus 2024 

Kami di dalam aliansi: 

    1. Save All Women and Girls (SAWG)
    2. Yayasan Kesehatan Perempuan
    3. Perhimpunan Jiwa Sehat
    4. Dokter Tanpa Stigma
    5. Asosiasi LBH APIK Indonesia
    6. LBH APIK Jakarta
    7. Transmen Indonesia
    8. Koalisi Perempuan Indonesia
    9. Mubadalah.id
    10. Marsinah.id
    11. Samsara
    12. Yayasan Curahan Hati Sambung Kasih
    13. YIFOS Indonesia
    14. Qbuka Tabu

Narahubung:
Ika Ayu – (Save All Women and Girls/Samsara) 0818278587
Nanda Dwinta (Yayasan Kesehatan Perempuan) 081586602575
Febda Risha (Asosiasi LBH APIK Indonesia) 081392946185

Kritik Terhadap RUU KIA: Duplikasi Undang-Undang yang Tidak Perlu

Pernyataan sikap Save All Women and Girls (SAWG) terhadap Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan: DUPLIKASI UNDANG-UNDANG YANG TIDAK PERLU

Save All Women and Girls (SAWG) mengkritisi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan.  RUU KIA telah diketok pada pembahasan tingkat 1 DPR RI pada 25 Maret 2024 dan akan dilanjutkan pembahasannya dalam rapat paripurna untuk disahkan. Dalam analisis kami, ditemukan beberapa ketidaksesuaian dan tumpang tindih yang signifikan antara RUU KIA dan Undang-Undang Kesehatan No.17 tahun 2023.

Di dalam UU Kesehatan, kesejahteraan ibu dan anak dijelaskan pada pasal 22, pasal 40, pasal 41, pasal 43 yang juga mengatur terkait hak kesehatan ibu dan anak. Pemberian ASI juga telah diatur dalam UU Kesehatan pasal 42. Saat ini, RPP dari UU Kesehatan juga sedang disusun oleh Kementerian Kesehatan, dimana pengaturan yang lebih detail soal kesehatan ibu dan anak juga telah dimasukkan. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan efisiensi dalam penyusunan undang-undang.

Selanjutnya, rancangan undang-undang ini justru melanggengkan beban perawatan dan pengasuhan yang melekat kepada peran ibu. Adanya rancangan undang-undang yang baru juga memiliki implikasi menambah pembiayaan negara untuk menjalankan implementasinya. Maka, tidak bijak untuk mengesahkan undang-undang baru dengan pengaturan substansi yang menyerupai regulasi lain yang sudah ada. Kami mempertanyakan urgensi pembentukan RUU KIA yang jelas-jelas tumpang tindih dengan UU yang sudah ada.

SAWG menekankan pada pentingnya upaya penyempurnaan undang-undang yang sudah ada daripada membuat aturan baru yang menghasilkan duplikasi dan kebingungan hukum. Sebagai contoh, saat ini aturan terkait layanan aborsi bagi korban kekerasan seksual dan indikasi darurat medis di UU Kesehatan, serta turunan UU TPKS No.12 tahun 2022 sampai saat ini belum terimplementasi.

Oleh karena itu, SAWG mendesak Pemerintah dan DPR untuk:

  1. Menghentikan pembahasan RUU KIA pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan dan memusatkan perhatian pada penyusunan RPP UU Kesehatan dan peraturan turunan UU TPKS yang jauh lebih mendesak.
  2. Mendorong DPR untuk memprioritaskan revisi aturan ketenagakerjaan agar memasukkan ketentuan cuti bagi perempuan hamil dan pendamping perempuan hamil, sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat

Informasi lebih lanjut atau wawancara, harap hubungi:

Nanda Dwinta – +62 815-8660-2575

Profil SAWG

Save All Women and Girls (SAWG) adalah jaringan beranggotakan organisasi dan individu yang memiliki kapasitas, keahlian dan produk yang berkaitan dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR), serta kepedulian terhadap isu aborsi aman di seluruh wilayah Indonesia. SAWG hadir untuk merespon situasi dan advokasi atas ketiadaan layanan aborsi aman di Indonesia karena masih menjadi hal yang tabu dan mendapati stigma yang kuat di masyarakat.

Dekriminalisasi, Bukan Legalisasi!

Dekriminalisasi, Bukan Legalisasi!

Topik tentang aborsi di Indonesia selalu terdengar sangat familiar sekaligus liyan. Ketika bicara tentang aborsi, hampir semua orang akan merasa begitu akrab dengan berbagai berita buruk, ancaman pidana, dan kengerian yang sengaja diromantisasi demi menebarkan ketakutan. Sementara di sisi yang lain, hampir semua orang juga tak pernah tahu bahwa aborsi telah diakui sebagai bagian dari layanan kesehatan yang seharusnya diberikan dengan kualitas terbaik, dilakukan dengan aman, dan dapat diakses oleh semua yang membutuhkannya.

Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia (sebagaimana di seluruh dunia) seperti silang-sengkarut yang tak ada habisnya sejak zaman baheula. Banyak orang memilih untuk tak terlibat dalam gumpalan benang kusut yang tak tahu di mana ujung pangkalnya itu dan menelan mentah-mentah informasi simpang siur yang disodorkan media, pun regulasi timpang yang dijejalkan oleh pemerintah dan negara. Akibatnya, stigma mengenai aborsi begitu langgeng di masyarakat yang sejak awal hampir tak diberikan celah untuk melihat isu ini dari sudut pandang yang lain.

Di Indonesia sendiri, aborsi kerap ditampilkan sebagai tindakan amoral yang harus dilawan dan diberangus dengan segala cara. Sialnya, negara dengan segala kuasanya juga turut serta mengupayakan cara-cara terbaik untuk memberangus akses aborsi yang aman, salah satunya melalui kriminalisasi. Bahkan, regulasi aborsi di Indonesia ditempatkan dalam KUHP yang mengatur tentang tindak-tindak pidana. Meski secara hukum di Indonesia aborsi masuk dalam kategori legal bersyarat, tetap saja tidak dapat menyangkal fakta bahwa aborsi di Indonesia dianggap sebagai tindak kriminal.

Negara jelas-jelas latah dalam menempatkan posisinya. Pilihan individu atas tubuh mereka tak seharusnya menjadi urusan negara, termasuk ketika pilihan itu adalah melakukan aborsi. Satu-satunya tugas negara adalah melindungi dan memastikan bahwa tiap individu mendapatkan pemenuhan atas hak-hak mereka, termasuk akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang utuh di mana aborsi aman menjadi salah satu bagian di dalamnya. Maka itu, perlu adanya gerakan masif untuk mendorong negara menghentikan segala bentuk kriminalisasi atas aborsi di Indonesia.

Di tengah carut-marut regulasi aborsi yang ada di Indonesia, mulai dari PP 61 tahun 2009 hingga KUHP terbaru yang isinya tak jauh-jauh dari kriminalisasi aborsi, sudah waktunya kita meninjau ulang perihal seberapa jauh regulasi yang ada berpihak pada kepentingan warga negaranya. Aborsi adalah pilihan, terlepas aksesnya legal atau tidak. Aborsi adalah kebutuhan, terlepas bagaimana sikap negara dengan berbagai produk hukumnya.

Meskipun tidak ada data yang pasti, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan angka aborsi ilegal di Indonesia mencapai 22 kasus per 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan setidaknya terdapat 69,4 juta perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia. Jika berbasis pada angka BPS dan perkiraan WHO, setidaknya ada sekitar 1.526.800 perempuan yang melakukan aborsi ilegal. Kriminalisasi yang terus dilakukan negara pada akhirnya tidak hanya menjadi jalan buntu yang baru, tapi lebih buruk menyebabkan tingginya angka kematian akibat penolakan atas layanan aborsi dan aborsi tidak aman. Lantas, atas semua kekacauan ini, apakah kita masih berharap negara dapat memperbaiki situasi melalui legalisasi aborsi?

Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah legalisasi aborsi kemudian diperlukan untuk menjawab permasalahan yang ada di Indonesia terkait akses aborsi aman? Legalisasi aborsi artinya menjadikan aborsi sebagai tindakan yang disetujui oleh negara dan tidak mencederai regulasi yang ada. Tentu saja, legalisasi aborsi dapat membantu memudahkan banyak orang dalam mengakses layanan aborsi yang lebih ideal, tapi legalisasi aborsi nyatanya tak mampu menjawab permasalahan yang ada.

Sebelumnya telah dikatakan bahwa aborsi di Indonesia tidak sepenuhnya ilegal, tapi masuk dalam kategori legal bersyarat. Artinya, aborsi legal dilakukan, tapi hanya untuk beberapa situasi saja seperti korban tindak pidana kekerasan seksual (dengan batasan usia kehamilan) dan kondisi darurat medis. Namun, alih-alih menjawab permasalahan terkait akses aborsi yang aman, legalisasi aborsi justru memunculkan masalah baru seperti peluang negara untuk melakukan kriminalisasi dan pembatasan akses aborsi itu sendiri. Hal ini bahkan sudah dapat dilihat dengan gamblang dalam setiap aturan aborsi yang ada di Indonesia saat ini. Sekali lagi, legalisasi aborsi nyatanya tak mampu menjawab permasalahan yang ada.

Dekriminalisasi aborsi menjadi tuntutan yang lebih relevan untuk situasi aborsi di Indonesia saat ini. Secara sederhana, dekriminalisasi aborsi dapat dipahami sebagai penghapusan sanksi kriminal atas aborsi dari berbagai produk hukum yang ada, dan mereformasi aturan-aturan untuk mengupayakan pemenuhan akses aborsi aman. Dekriminalisasi atas akses aborsi yang aman perlu dilakukan karena aborsi merupakan bagian dari layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang utuh. Sebagaimana layanan kesehatan lainnya, aborsi aman seharusnya dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya tanpa ada bayang-bayang ketakutan akan kriminalisasi.

Mendesak negara untuk berhenti melakukan kriminalisasi pada siapa saja yang memilih, mengakses, maupun menyediakan layanan aborsi dengan metode aman di Indonesia adalah hal yang saat ini perlu kita usahakan bersama. Dekriminalisasi aborsi akan menjadi pintu awal untuk mengupayakan pelayanan aborsi dengan metode aman yang aksesibel untuk mendukung pemenuhan hak atas kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Satu-satunya regulasi yang perlu dilakukan negara terkait aborsi adalah menjamin tersedianya layanan aborsi aman yang aksesibel, berkualitas, dan bebas ancaman bagi siapa saja yang membutuhkannya.

6 Desember 2022, Pasal Kontroversial Seputar HKSR dalam UU KUHP

6 Desember 2022, Pasal Kontroversial Seputar HKSR dalam UU KUHP

RUU KUHP telah sah menjadi undang-undang dan sedang dalam masa sosialisasi hingga tiga tahun ke depan. Banyak kemajuan substansial yang berarti seiring perumusannya, tetapi tetap memiliki beberapa pasal karet. Sebelum kita cermati beberapa pasal yang berpotensi menghambat progresivitas hak pilih perempuan atas kehidupan reproduksinya, mari mengingat usaha perlawanan yang telah dilakukan masyarakat sebelum RUU KUHP disahkan.

Selain gelaran aksi protes oleh koalisi masyarakat sipil di depan Gedung DPR RI pada Desember 2022 lalu, kritik pun dilayangkan oleh YLBHI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. Menurut Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, beberapa pasal berpotensi menginvasi ruang privat masyarakat, serta membungkam demokrasi dan kebebasan pers. Beliau juga menyoroti potensi kriminalisasi bagi penyedia edukasi kesehatan reproduksi.

Sementara itu, Komnas HAM menggarisbawahi substansi pemenuhan HAM dalam RUU ini, terutama tindak pidana yang mengurangi keasasian hak atas integritas tubuh dan merentankan korban kekerasan pada kriminalisasi. Sedangkan Komnas Perempuan mempublikasikan Pernyataan Sikap di situs resminya pada 9 Desember 2022. Beberapa poin pernyataannya menyebutkan overcriminalization (kriminalisasi yang berlebih) pada perempuan dan minimnya kepekaan terhadap unsur gender.

Ancaman Kriminalisasi Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi dalam UU KUHP

Mari kita bahas lebih lanjut pasal UU KUHP yang dimaksud oleh Ketua YLBHI, tentang pemberi edukasi kesehatan reproduksi. Pasal 408 mengatur bahwa tindak pidana dapat dikenakan pada pihak yang secara terang-terangan mempertunjukkan atau memberikan akses alat kontrasepsi pada anak. Lebih jauh, pasal 410 mengatur pengecualian pemidanaan: apabila tindakan dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam rangka edukasi.

Mari berefleksi sejenak. Perlu dipertanyakan kembali, siapakah yang dimaksud dengan “pihak berwenang”? Sejauh mana otoritas pihak berwenang? Bagaimana sikap pihak berwenang pada remaja? Siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan seksual sejak kecil; apakah orang tua dan guru di sekolah lewat kurikulum, atau dokter dan bidan? Apakah pemerintah sudah mengambil peran di situ? Pada era ini, justru pihak independen lah yang lebih banyak bergerak untuk memberikan pendidikan seksual yang komprehensif, seperti akademisi, organisasi non-pemerintah, atau influencer di media sosial yang bisa menjangkau lebih banyak pihak termasuk remaja.

Pertanyaan selanjutnya, apakah realitanya aktivitas seksual yang berisiko pada kehamilan tidak direncanakan (KTD) hanya dilakukan oleh orang dewasa? Tidak bisa dimungkiri, KTD dapat terjadi pada siapa saja⎯baik melalui kesepakatan hubungan seksual, atau perkosaan dan kekerasan. Hal ini sejalan dengan tuntutan Komnas Perempuan untuk memperluas definisi perkosaan dan kekerasan serta mengakomodasi pasal penghubung dalam UU KUHP dengan UU TPKS.

Berapa banyak kasus perkosaan dan kekerasan yang berakhir secara kekeluargaan dan korban dinikahkan dengan pelaku? Pasal-pasal ini berpotensi menjauhkan individu, terutama remaja, dari upaya pencegahan KTD. Dapatkah secara tidak langsung kita menyimpulkan bahwa yang berhak terhindar dari KTD hanya orang dewasa?

Pasal 409 pun tidak jauh berbeda. Pasal 409 menyatakan bahwa siapa pun yang mempertunjukkan alat atau memberi informasi pada akses untuk menggugurkan kandungan juga dikenai pidana. Hanya saja, dalam pasal ini, klausul ‘pada anak’ tidak ada.

Pasal 408 dan 409 memiliki kesamaan. Penyebaran informasi seputar hak kesehatan seksual dan reproduksi dibatasi pada pihak yang berwenang saja. Pada kenyataannya, informasi seputar kontrasepsi dan layanan aborsi selalu dibutuhkan. Saat informasi yang akurat ditabukan dan dipersulit, informasi yang tidak bertanggung jawab justru makin menguat. Lebih jauh lagi, hal ini dapat memicu pilihan aborsi tidak aman yang membahayakan nyawa, meningkatnya fenomena pembuangan bayi, serta rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan anak karena kelahiran tidak direncanakan.

Regulasi atau hukum bersifat melindungi. Ia haruslah dinamis mengikuti perkembangan zaman, tetapi perlu berkelanjutan. Jangan sampai, regulasi justru menambah panjang daftar problema kehidupan bereproduksi masyarakat, yang sejatinya adalah urusan privat.

Mari kita berharap dan berupaya agar 2023 menjadi tahun yang berpihak pada hak pilih perempuan atas tubuhnya sendiri.

24 Juni 2022, Pembatalan Perlindungan Konstitusi AS pada Hak Aborsi Roe v Wade

Rekapitulasi dan Refleksi Progresivitas Hak Reproduksi Perempuan Sepanjang 2022: Pembatalan Perlindungan Konstitusi AS pada Hak Aborsi Roe v Wade

Dunia digemparkan oleh pembatalan perlindungan hak aborsi Roe v Wade di Amerika Serikat. Padahal, AS identik dengan semangat liberalisme dan pionir dalam HAM serta demokrasi. Pilihan aborsi sudah dilindungi oleh hukum sejak putusan Mahkamah Agung AS pada 1973 karena sejalan dengan konstitusi AS. Hukum perlindungan hak aborsi dikenal dengan istilah Roe v Wade.

Pada 1969, seorang wanita bernama Norma McCorvey atau Jane Roe ingin melakukan aborsi atas kehamilan ketiganya. Menurut Roe, kehamilan tersebut adalah hasil dari perkosaan. Namun, hukum negara bagian Texas—tempat ia tinggal—melarang tindak aborsi kecuali atas alasan keadaan darurat yang mengancam nyawa ibu. Kemudian, bersama pengacaranya, Roe mengajukan perkara tersebut dengan Henry Wade menjadi jaksa penuntutnya. Kasus ini dimenangkan oleh Roe. Saat pemerintah negara bagian Texas mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat , keputusan diambil oleh suara mayoritas bahwa aborsi adalah hak kebebasan yang dijamin oleh Konstitusi AS. 

Sejak saat itu, aborsi bersifat legal di AS untuk trimester pertama. Beberapa negara bagian memperbolehkan aborsi pada trimester kedua. Sedangkan trimester ketiga tidak diperbolehkan kecuali rekomendasi dokter yang menyatakan bahwa kondisi kehamilan membahayakan nyawa perempuan atau ketidakmampuan janin bertahan hidup. 

Sebelum Roe v Wade dianulir pada tahun 2022, sempat terjadi beberapa momen pergolakan yang cukup signifikan antara kelompok pro dan anti aborsi, seperti dilansir Kompas. 

Naik Turun Hak Aborsi Roe v Wade di Amerika Serikat

Pada tahun 1980, ada UU yang mengatur larangan penggunaan dana federal untuk fasilitas aborsi. Pada 1989, UU tersebut mengizinkan pemerintah negara bagian untuk membatasi aborsi di klinik dan/atau oleh tenaga medis. Pada 1992, peradilan Planned Parenthood v Casey menghasilkan beberapa keputusan yang mendukung aborsi, tapi juga menciptakan hambatan prosedural baru, seperti larangan aborsi untuk alasan non-medis. Disebutkan juga bahwa ada waktu tunggu antara pemeriksaan kehamilan dengan pelaksanaan prosedur aborsi. Pembatasan ini menyebabkan kasus individu hamil tidak dapat mengakses aborsi karena batas usia kehamilan bisa saja sudah terlewati selama masa tunggu. Selain itu, perempuan remaja harus mendapatkan pendampingan orang tua, atau harus pergi ke negara bagian lain atau negara tetangga untuk melakukan aborsi. Situasi ini menambah kerentanan perempuan; mereka menjadi sangat mudah untuk tereksploitasi secara finansial dan mendapatkan trauma fisik dan psikologis pasca aborsi karena metode yang tidak aman. 

Setelah beberapa dekade pasang surut implementasi perlindungan hak aborsi Roe V Wade di AS, pada 24 Juni 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan pembatalan perlindungan hak aborsi Roe V Wade. Negara-negara bagian pun memiliki otonomi untuk melarang dan mengkriminalisasi pilihan aborsi. Putusan ini memicu gelombang protes di AS. Warga turun ke jalan untuk melancarkan aksi protes di depan gedung-gedung pemerintahan. Para figur publik memanfaatkan media sosial untuk berbagi cerita mengenai pilihan aborsi yang pernah diambil. Salah satu platform yang mengumpulkan cerita-cerita tersebut adalah Ms. Magazine. Di sana, audiens dapat membaca pengalaman dan perjuangan para individu yang melakukan aborsi, serta bagaimana mereka mendapatkan hidup mereka kembali setelah mengakses aborsi. 

Putusan ini memang sarat dengan kepentingan politik—terutama karena hakim Mahkamah Agung dipilih oleh Partai Republik yang beraliran konservatif. Namun, kita juga perlu menyoroti dampak dari putusan ini terhadap kualitas hidup perempuan. Sejatinya, hak reproduksi adalah hak asasi. Meskipun aksesnya dilarang, perempuan tetap membutuhkan aborsi. Dengan hambatan ini, perempuan perlu pergi ke negara lain untuk mencari layanan aborsi. Pencarian layanan ini semakin merentankan perempuan pada diskriminasi, aborsi tidak aman, dan eksploitasi finansial. Kerugian ini seperti tidak sepadan dengan seseorang yang hanya sedang menggunakan hak pilih atas tubuhnya sendiri. 

12 April 2022, Saksi Perjalanan Panjang UU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual

Rekapitulasi dan Refleksi Progresivitas Hak Reproduksi Perempuan Sepanjang 2022: Perjalanan Panjang UU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual

Bermula dari RUU PKS

Perjalanan panjang UU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual dimulai pada 2012, saat kasus kekerasan seksual banyak bermunculan. Saat itu, Komnas Perempuan menginisiasi gagasan bahwa perlu ada payung hukum yang mengatur penghapusan kekerasan seksual. Namun, mengacu pada keterangan Komnas Perempuan, penyusunan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sendiri baru dimulai pada 2014.

Sayangnya, kerikil terus menghalangi langkah progresif RUU PKS. Pembahasan di DPR RI terus mengalami tarik-ulur. Berulang kali, pembahasan tertunda karena agenda RUU PKS keluar-masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI. Butuh hampir satu dekade untuk RUU PKS disahkan.

RUU PKS kembali masuk Prolegnas Prioritas pada Desember 2021. Sejak saat itu, pembahasan RUU PKS terus berjalan. Pada 12 April 2022, RUU PKS akhirnya resmi disahkan menjadi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Namun, apakah UU TPKS telah mencakup pencegahan dan perlindungan bagi penyintas kekerasan seksual secara komprehensif? Mari kita cermati beberapa celah kritik pada hak pilih perempuan dalam UU TPKS.

Dikutip dari laman berita Kata Data, pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, mengungkapkan beberapa poin yang masih mengganjal pada UU TPKS. Terdapat beberapa poin perbedaan antara RUU PKS dan UU TPKS. Pertama, mengenai definisi kekerasan seksual itu sendiri. Definisi kekerasan seksual dalam UU TPKS luput menyebutkan satu poin penting: ketidakmampuan seseorang untuk memberikan persetujuan (consent) karena adanya relasi kuasa atau relasi gender.

Kedua, terkait cakupan kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, bentuk kekerasan seksual mencakup pelecehan, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual. Sementara, dalam UU TPKS, pemaksaan aborsi dihilangkan.

LBH Jakarta juga mempertanyakan jaminan terhadap penanganan, perlindungan, dan pemulihan penyintas kekerasan seksual. Termasuk, metode penanganan kasus secara cepat tanggap dan non-diskriminatif, mekanisme perlindungan bagi penyintas secara fisik dan psikis, serta pemulihan untuk keberdayaan perempuan dalam bidang sosial dan ekonomi.

Refleksi Implementasi UU TPKS

Beberapa contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi pasca pengesahan UU TPKS menunjukkan bahwa masih banyak kekerasan seksual yang berakhir damai, meski telah ada keterlibatan aparat penegak hukum dan pejabat pemerintahan. Kasus perkosaan dan pencabulan di Tuban, Banyuwangi, dan Kediri, seperti yang telah dirangkum oleh VICE, berakhir dengan pernikahan korban dengan pelaku atas kemauan keluarga. Solusi tersebut bahkan didukung oleh penegak hukum. Ini menunjukkan bahwa penanganan kekerasan seksual belum sepenuhnya fokus pada korban. Hak perlindungan serta pemulihan korban pun menjadi tidak terpenuhi.

Jelas, perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan. Ada unsur pemaksaan kehendak dalam perkosaan. Pernikahan dengan pelaku, sebagai solusi penanganan kasus perkosaan,  adalah pilihan yang sangat tidak tepat. Solusi tersebut juga melanggar UU TPKS Pasal 10c tentang pemaksaan perkawinan dengan pelaku perkosaan. Padahal, merujuk pada KUHP, ada beberapa upaya penanganan pertama pada penyintas perkosaan yang bisa dilakukan, seperti visum, tes IMS, tes kehamilan, dan sebagainya. Tidak lupa, pengalaman dan perasaan korban juga penting dan perlu untuk divalidasi.

Kasus-kasus pernikahan dengan pelaku masih dapat terjadi atas dasar musyawarah  kekeluargaan. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari penanganan TPKS, penegak hukum harus berperan secara empatik dan berorientasi pada penyintas.

Pada kasus-kasus pernikahan dengan pelaku, proses penanganan kasus kekerasan seksual tidak dilakukan secara komprehensif. Tidak ada pendampingan dari pihak yang lebih plural, berperspektif HAM, dan sensitif gender, seperti LPSK, tenaga kesehatan, dan psikolog.

Skeptisme pun kemudian muncul. Jika tahap penanganan saja masih sangat minim, bagaimana dengan jaminan perlindungan dan pemulihan penyintas? Belum lagi,  jika penyintas harus hidup bersama pelaku, apa bentuk perlindungan dan pemulihan yang bisa didapatkan?

Tidak dimungkiri bahwa penyintas perkosaan dapat mengalami kehamilan. Dengan kekerasan yang dialami, kehamilan yang dialami belum tentu diinginkan. Di Indonesia, perihal ini telah diatur dalam PP No 61 Tahun 2014; bahwa layanan aborsi dapat diberikan pada penyintas perkosaan.

Di sinilah, pihak yang mengalami kehamilan dapat sepenuhnya menggunakan haknya untuk kehidupan reproduksinya. Setiap orang, tak terkecuali penyintas kekerasan seksual, memiliki otonomi untuk mengambil keputusan terkait kesehatan seksual dan reproduksinya tanpa paksaan dari siapa pun.

Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi Anak Berkebutuhan Khusus

Kesehatan Seksualitas dan Reproduksi Anak Berkebutuhan Khusus

Berbicara mengenai kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak, sepertinya masih menjadi angan yang sulit diwujudkan bagi para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa kesehatan seksual dan reproduksi adalah isu yang tabu. Padahal, sudah menjadi tanggung jawab bagi orang tua sebagai orang yang memiliki relasi terdekat.

Tak sedikit dari mereka yang sudah mulai memiliki pandangan mengenai pentingnya pendidikan kespro pun, memilih untuk mengurungkan niatnya karena kebingungan perihal metode penyampaian yang tepat bagi anak mereka yang berkebutuhan khusus.

Penyandang disabilitas, cenderung memiliki kerentanan lebih tinggi sebagai korban kekerasan seksual. Ini disebabkan oleh kemampuan untuk melindungi diri mereka yang lebih terbatas karena hambatan komunikasi dan intelektual. Data tahun 2021 menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual masih menjadi kelompok dengan jumlah tertinggi yang mengalami kekerasan, yakni sebanyak 22 kasus dan diikuti perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus. Data tersebut tidak berbeda dengan tahun 2020. Kelompok tertinggi yang dilaporkan mengalami kekerasan adalah golongan perempuan dengan disabilitas intelektual.

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 987 kekerasan terjadi pada anak penyandang disabilitas. 264 di antaranya adalah anak laki-laki dan 764 anak perempuan selama 2021 lalu. Lebih dalam lagi, 591 orang merupakan korban kekerasan seksual.

Salah satu sebab terjadinya kekerasan seksual adalah minimnya informasi dan pendidikan seksual yang komprehensif di masyarakat. Beberapa hal yang juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual, antara lain stigma dari masyarakat bahwa disabilitas merupakan makhluk aseksual. Sebagaimana makhluk aseksual, mereka dianggap tidak punya hasrat seksual atau tidak butuh seksualitas. Di sisi lain, ada juga yang menganggap bahwa disabilitas memiliki kebutuhan seksual yang berlebih sehingga layak untuk dijadikan sasaran para pelaku kekerasan seksual tersebut.

Akses layanan kesehatan yang belum ramah untuk diakses juga menjadi ruang yang beresiko terjadi kekerasan seksual pada disabilitas. Selain itu, lingkungan masyarakat yang tidak mendukung pun turut menjadi penyebab kebanyakan kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas.

Bagaimana Cara untuk Menyampaikannya?

Untuk membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak berkebutuhan khusus memang sebaiknya dimulai sedini mungkin. Jika tidak, anak akan justru akan penasaran dan mencari informasi sendiri dari berbagai sumber. Hal tersebut menjadi masalah ketika sumber informasinya tidak valid dan justru membingungkan bagi anak. Sebagai orang tua, menjadi terbuka pada anak untuk membahas kesehatan seksual dan reproduksi akan memberikan banyak manfaat. Tentunya hal tersebut butuh proses dan cara yang berbeda untuk menyampaikannya, mengingat kondisi berkebutuhan khusus.

Beragam jenis disabilitas yang dimiliki tentunya membutuhkan metode belajar yang beragam pula. Teman-teman tuli biasanya mempelajari sesuatu menggunakan bahasa visual. Mereka terbiasa mempersepsikan segala sesuatu dari apa yang mereka lihat, maka kita seharusnya menggunakan media visual yang jelas sehingga mudah dipahami dan tidak membingungkan bagi mereka. Untuk mereka yang memiliki hambatan penglihatan, tentunya membutuhkan alat peraga sebagai sarana belajarnya karena mereka belajar dengan meraba.

Kemudian bagi teman-teman dengan disabilitas intelektual, biasanya akan membutuhkan alur komunikasi khusus karena terkadang apa yang telah disampaikan bisa diterima dan disikapi dengan perspektif yang berbeda. Maka, dibutuhkan metode komunikasi yang sederhana, mudah dipahami, serta pengulangan sesuai dengan tingkat pemahamannya.

Apa Saja yang Bisa Kita Bicarakan?

Seperti anak pada umumnya, mengetahui anatomi tubuh beserta fungsinya sudah menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki anak dengan disabilitas. Terlebih ketika anak mulai berada pada masa transisi menuju remaja, saat mereka akan mengalami fase pubertas dengan berbagai perubahan bentuk tubuhnya. Untuk itu, kita bisa mulai membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi dari hal berikut:

Pertama, mengenali anatomi tubuh dan consent. Penjelasan mengenai bagian-bagian tubuh pada anak dengan istilah yang tepat beserta fungsinya dan siapa saja yang boleh untuk menyentuhnya bisa menjadi langkah awal untuk memulai pembicaraan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Tak jarang kita mendengar istilah-istilah yang digunakan orang tua untuk menyebut nama alat kelamin. Padahal, tidak ada salahnya menggunakan istilah penis untuk menyebutkan alat kelamin jantan dan vagina untuk alat kelamin betina. Misalnya, siapa saja yang boleh menyentuh penisnya atau vaginanya.

Kedua, kebersihan anggota tubuh. Kita bisa mengajarkan bagaimana cara menjaga kebersihan anggota tubuhnya dan cara merawat diri. Misalnya, kapan anak harus memotong kukunya atau bagaimana cara membersihkan area kelaminnya.

Ketiga, masa pubertas. Perubahan fisik serta hal-hal yang akan terjadi pada tubuh mereka bisa dijelaskan secara detail kepada anak yang akan memasuki masa remaja. Kemungkinan pada perempuan mereka akan mengalami menstruasi, perubahan bentuk tubuh, perubahan suara, serta mungkin ketertarikan kepada orang lain. Begitu juga pada laki-laki, mereka akan mengalami kemungkinan untuk mimpi basah, perubahan bentuk fisik dan suara serta ketertarikan kepada orang lain.

Keempat, kesetaraan gender. Penjelasan terkait apa itu gender dan perannya dalam kehidupan sehari-hari perlu kita ajarkan kepada anak sejak dini agar tidak menimbulkan bias nantinya.

Kelima, relasi sehat. Tidak menutup kemungkinan bagi para penyandang disabilitas juga bisa membangun relasi dengan orang lain. Maka perlu adanya penjelasan terkait cara membangun relasi yang sehat tersebut baik dengan teman, pasangan maupun masyarakat sosial.

Keenam, layanan kesehatan. Penting untuk anak berkebutuhan khusus mengetahui siapa saja orang yang berinteraksi dengan mereka termasuk para pemberi layanan kesehatan. Tidak ada salahnya untuk mengenali siapa dokter yang memeriksa mereka, siapa perawat yang membantu mereka, atau siapa psikolog yang mendengarkan mereka. Hal tersebut juga bisa membuat anak merasa aman dan nyaman serta dianggap keberadaannya.

POPULER