Kami masih menikmati hari ke delapan Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR). Di sesi kedua hari itu, kami membahas materi Body Image atau Pencitraan Tubuh. Inna Hudaya adalah pemateri dan didampingi Sartika Nasmar sebagai fasilitator para peserta di hari Minggu yang ceria.
Pukul 10.00 Wib, usai menyeruput kopi dan mencicipi aneka kue tradisional, sesi dimulai. Pada sesi Body Image, Inna lebih banyak memberikan permainan kepada para peserta. Sebelum dia memulai permainan, Inna mengingatkan peserta agar betul-betul “telanjang” untuk mempermudah mereka dalam mengeksplorasi tubuh mereka. Menurut Inna, sesi ini adalah salah satu materi yang penting untuk lebih mengenal tubuh masing-masing. Jika “ketelanjangan” tersebut sulit dilakukan, maka sesi ini bisa saja gagal. Wacana tubuh dalam Body Image tidak hanya membongkar tubuh sebagai sebuah organ fisik, tapi pengaruhnya terhadap psikis dan sosial budaya.
“Jika kalian tidak benar-benar telanjang dan jujur pada diri sendiri, percuma kalian mengikuti sesi ini karena tidak akan mendapat apa-apa. Mudah-mudahan kita semua sudah saling merasa nyaman hingga memudahkan kita untuk jujur mengungkapkan perasaan mengenai tubuh kita,” jelas Inna.
Inna juga dengan lembut memperingatkan para peserta agar tetap saling manghargai jika salah satu peserta merasa tidak nyaman dengan salah satu bagian tubuhnya dengan alasan-alasan tertentu.
Inna membagi 14 peserta menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama ada Astutik Salam, Hellatsani, Ahmad Suhendra, Nafiratul Karima dan Angga Yudhi. Di kelompok kedua ada Yusak E. Kathi, Endang Fatmawati, Indria Susanti, Darmayanti dan Agung Prabowo. Sedangkan di kelompok tiga terdiri dari Juju Julianti, Nurul Hunafa, Syaiful Huda dan Yemmestri Enita. Satu peserta yakni Fira Khasanah tidak bisa hadir hari ini.
Kali ini, meja yang biasanya berada di tengah dipindahkan ke belakang. Peserta dan panitia bergotong royong mengangkat meja satu per satu. Perempuan dan laki-laki mendapat peran yang sama. Setiap kelompok mengambil posisi senyaman mungkin. Ada yang berdiri di tepi sambil tetap mengatur jarak per kelompok. Atau ada pula yang duduk berdempet di atas tumpukan meja di bagian belakang.
Inna memulai permainan. Kapit membagikan selembar kertas berwarna kuning ukuran 10 x 10 centimeter kepada masing-masing peserta. Inna kemudian meminta agar setiap orang menuliskan satu organ tubuh apa saja ke kertas tersebut. Setelah selesai, Kapit dan Wita mengumpul kertas tersebut berdasarkan kelompok. Lalu diacak dan ditukarkan ke kelompok lainnya. Masing-masing menerima kertas yang bukan miliknya.
Peserta akan mempresentasikan organ tubuh yang tertulis di kertas berwarna yang ada di tangan mereka. Inna meminta agar peserta menceritakan pengalaman dan perasaan mereka memiliki organ tubuh yang tertulis tersebut. Ada yang senang, ada yang malu dan ada yang merasa apes. Suasana kelas menjadi ribut dengan candaan-candaan peserta. Inna memberikan kesempatan kepada peserta yang ingin menjadi relawan untuk melakukan presentasi di urutan pertama.
Ada Angga ternyata. Merasa beruntung, Angga mendapatkan kertas bertuliskan perut. Di depan kamera, ia mulai bercerita.“Saya dapat perut. Sebagai lelaki, kadang saya sering berimajinasi punya bentuk perut sixpack, dengan otot-otot yang bidang. Karena mungkin sebagai konsekuensi karena kita hidup di dunia citra, jadi seolah-olah tubuh sixpack adalah tubuh ideal. Walaupun saya sendiri sebenarnya ingin twopack saja. Tapi menurut saya, mau apapun bentuk perut saya, yang penting sehat.”
Nurul Hunafa, peserta berikutnya maju di depan. Dengan senyum, Una bercerita mengenai organ yang sama dengan Angga. “Aku juga dapat perut, sebenarnya aku gak pede sama perutku karena kalau duduk kelihatan gemuk. Bahkan kata saudaraku kalau aku tidur, aku selalu pegang perut. Aku gak tahu kenapa, tapi kadang aku nyaman dengan perutku. Karena, kalau ada organ lain yang sakit, yang pertama selalu kupegang adalah perutku,”katanya sambil tertawa. Semua peserta juga ikut tertawa.
Setelah Una, ada Ithonk yang bercerita tentang hidung. “Sebenarnya aku sih gak pernah merasa ada yang berbeda dengan hidungku. Aku gak pernah perhatiin hidungku, tapi kadang bete juga saat bulu – bulu hidung kelihatan dan waktu pilek. Tapi sebenarnya aku nyaman-nyaman aja sama hidungku. Biasa aja, bukan bagian tubuh yang spesial.” katanya.
Selanjutnya Yemmestri Enita, bercerita dengan singkat. “Saya dapat bibir. Sebenarnya sejak kecil, saya suka bibir saya,” kata Nita. Serentak peserta berteriak, “Cieeeeee…,” Inna meminta peserta lain untuk bertepuk tangan.
Hendra menjadi peserta berikutnya. Bercerita tentang hidung juga. “Saya dapat hidung. Saya tidak terlalu mengistimewakan hidung saya, tapi kadang saya suka perhatikan hidung saya, tidak pesek tapi tidak mancung juga. Yah, sedang-sedang saja. Tapi, di bagian kiri dan kanan ada bintik – bintik, tapi saya bangga punya hidung kaya’ ini.”
Kali ini giliran Hellatsani atau biasa dipanggil Madha. “Kebetulan aku dapat betis. Betisku gede, jujur saja aku senang liat betis cewek-cewek yang ramping, kecil gitu loh. Kaya’ artis-artis, banyak yang seperti itu. Tapi setelah saya lihat-lihat, ternyata betisku bagus. Gemuk-gemuk gitu, lucu kayak pantat bayi.” kata Madha bangga.
Setelah Madha, ada Navi . Dengan sikap malu-malu, Navi awalnya enggan bercerita di depan kamera. Semua peserta ikut tertawa melihat sikap Navi. Tapi, setelah mendapat dukungan dari peserta lain, dia akhirnya bercerita tentang bibir. “Saya sebenarnya gak tertalu pede dengan bibir saya karena kata orang bibir saya gak terlalu tebal dan gak terlalu kecil.” katanya singkat.
Kemudian Agung, bercerita tentang tengkuknya. Agung juga sedikit bingung, siapa kira-kira peserta yang memilih tengkuk untuk dituliskan dalam kertas berwarna. Agung menebak, mungkin karena peserta tersebut tahu kalau tengkuknya berwarna gelap. Agung senyum dan melanjutkan ceritanya. Dengan yakin, Agung juga mengatakan bahwa meski berwarna gelap, tidak ada masalah dengan tengkuknya.
“Siapa yang ingin maju lagi?” tanya Inna. Masih ada peserta yang belum melakukan presentasi sederhana. Madha berteriak menyebut nama Maya alias Darmayanti, salah satu peserta dari LBH Yogyakarta. Maya maju ke depan dan melakukan hal yang sama seperti peserta lain, yakni bercerita.
“Saya dapat mata. Saya sebenarnyasuka dengan mata saya, karena kata orang bulu di bawah mata saya itu rapi. Cuma yang bikin saya tidak cukup pede kalau mata kelihatan gak bersih. Dan, kadang saya ingin pakai kacamata, cuma karena saya gak punya hidung,” Maya berhenti sejenak. Peserta tertawa mendengar kalimat terakhir Maya.
“Masa gak punya hidung?” seru Yusak.
“Maksudnya bukan gak punya hidung, ada tapi seperti Sule’ gitu. Jadi, kata mama hidungku seperti abis diinjak bebek gitu,” tegah Maya. Peserta serentak tertawa. “Tapi, saya suka mata saya. Banyak memancarkan interpretasi. Walau kata banyak orang, kelihatan judes tapi gak apa-apa.” lanjutnya.
Belum juga Maya kembali ke tempat awalnya, Inna langsung memanggil Yusak maju ke depan dan bercerita. Yusak nampak kaget.
Yusak bercerita tentang alisnya. Yusak sangat senang memotong untuk merapikan alisnya. Ada teriakan kecil dari peserta lain. Di alis sebelah kanan Yusak, seperti berpisah dan muncul belahan kecil tanpa rambut. Yusak menegah bahwa belahan tersebut terjadi bukan karena dia yang memotongnya.
Berhenti membicarakan alis Yusak, kini giliran Endang disambut seruan-seruan lucu dari peserta lain karena akan bercerita tentang puting. “ Saya dapat puting. Kemarin sudah lihat – lihatan di rumah, saya lihat puting saya,” katanya. Melihat putingnya kecil, Endang pikir itu bukan masalah dan normal. Apalagi setelah dia mendapat referensi usai melakukan Breast Exam saat SSKR hari ke enam. Tapi, saat Endang masih di Sekolah Menengah Atas (SMA), dia sempat heran. “Saya pernah mandi sama mama saya, tapi kok putingnya lebih besar. Tapi kata mama saya, ini gak papa, kan udah dipake’ menyusui kamu.” Endang tersenyum cengingisan lalu melangkah ke tempat duduk sebelumnya.
Lalu dilanjutkan dengan presentasi Juju. “Siapa sih yang nulis ini. Pas banget yah, soalnya bokongku gak ada. Eh, maaf bukannya gak ada tapi kecil. Jadi gak bisa ngebor,” kata Juju yang diikuti tawa terbahak-bahak dari peserta lain. “Tenang dulu, biar bokong kecil yang penting punya pantat. Kan bisa boker daripada gak ada, tar gak bisa boker.” Juju akhirnya mendapatkan tepuk tangan.
Kemudian Indri, si pendiam yang manis. “Aku dapat badan, kalau aku kata orang – orang gendut, tapi aku sendiri merasa nyaman,” katanya.
Inna mengajak Indri memilih satu organ tubuh yang lebih spesifik. Indri memilih mata. “Kata orang mata saya berkantong, jadi kalo kurang tidur, mata saya kaya’ Panda tapi saya tidak terlalu peduli apa kata orang.” lanjutnya.
Dan, yang terakhir Astutik. “Aku dapat mata. Alhamdulillah mataku normal ada dua. Aku bersyukur dengan mataku jadi aku gunakan untuk melihat hal – hal yang baik dan positif.”
Ahmad Suhendra memberikan komentarnya dan memberi candaan ke Tuti menyinggung produk-produk untuk mata merek Oriflame yang biasa dijual Tuti dalam bentuk katalog produk. Tuti hanya tersenyum dan terus melanjutkan ceritanya mencoba meyakinkan bahwa saat dia kecil, matanya agak bulat tapi karena faktor usia jadi sedikit sipit. “Aku lihat foto kecilku suka melolo gitu.” katanya sambil tersipu-sipu.
Kertas kuning dikumpulkan oleh Wita dan Kapit membagikan kertas Ungu. Inna meminta agar peserta menuliskan organ-organ tubuh mereka yang membuat mereka merasa tidak nyaman. “Sebanyak-banyaknya. Dan ingat telanjang!” kata Inna.
Peserta tampak berpikir keras. Masing-masing dengan posisi yang berbeda. Mungkin juga dengan kebingungan yang berbeda. Dengan cara mengeksplor tubuh yang berbeda pula.
Kertas dikumpulkan dan saya membagikan kembali kertas berwarna orange. Inna kembali mempersilahkan peserta menuliskan tipe tubuh yang ideal menurut mereka. Peserta perempuan menuliskan persepsi ideal tubuh perempuan dan laki-laki menulis ideal tubuh laki-laki. Inna meminta sedetail mungkin. Lagi-lagi, kertas dikumpulkan dan peserta mendapatkan kertas terakhir berwarna hijau untuk menuliskan tipe tubuh ideal mereka untuk gender yang berbeda. Laki-laki menulis tipe ideal tubuh perempuan dan sebaliknya.
Masih dalam posisi berkelompok. Setiap kelompok mendapat dua majalah yakni satu majalah khusus laki-laki dan satu majalah khusus perempuan. Masing-masing peserta kemudian diminta mencari gambar laki-laki maupun perempuan yang paling dekat untuk merepresentasikan tubuh mereka. Cukup lama mereka melakukan pencarian. Lembaran demi lembaran terus dibuka. Satu per satu peserta membuka majalah dengan bergantian. Sambil memuji diri sendiri, beberapa peserta nampak menunjuk beberapa gambar tubuh seorang model dan merepresentasikan tubuh mereka atau salah satu organ tubuh mereka yang dianggap memiliki kemiripan. Beberapa orang terlihat meminta pendapat peserta lain untuk menilai kemiripannya dengan gambar yang ada di majalah.
Waktunya habis. Sudah pukul 11.30 WIB. Seharusnya para peserta makan siang, tapi kami sepakat untuk melanjutkan sesi.
Inna mulai membahas mengenai hasil pencarian peserta. Kelompok dubibarkan. Inna memberikan pertanyaan. “ Susah gak mencari representasi tubuh kalian dalam majalah ini?” Angga ditunjuk oleh Inna dan meminta agar gambar yang ditemukan Angga ditunjukkan ke peserta yang lain. Angga mencoba merepresentasikan tubuhnya dengan gambar tersebut. Dia merasa bahwa beberapa bagian tampak mirip yakni bulu ketiak, jenggot dan kumis. “Mungkin juga warna kulitnya yang agak gelap,” kata Angga.
Apakah teman-teman mudah menemukan representasi tubuh kalian di dalam majalah ini? Inna bertanya kepada peserta dan tiba-tiba saja peserta dengan serentak menjawab tidak. Padahal, majalah tersebut merupakan barometer kecantikan dan kegagahan untuk sebuah wacana ideal yang ditampilkan oleh media.
Yusak memberikan komentarnya. Tapi, sebelumnya harus dilatih untuk mengatakan “merepresentasi”. Dia memamerkan sebuah gambar laki-laki bertubuh sixpack. Yusak bercerita pengalamannya pernah memiliki tubuh sixpack. Saat itu, dia berpikir bahwa itu ideal dan dia memperolehnya dengan latihan selama dua bulan. Tapi ternyata tak mudah mempertahankannya agar tetap sixpack. Hingga akhirnya, Yusak merasa bahwa tubuh ideal itu seharusnya bentuk apapun tapi membuat kita nyaman.
Mendengar pengalaman Yusak, Inna memberikan pertanyaan khusus untuknya. “Dengan postur tubuh yang dulu kamu muliki, ada hubungannya gak dengan kebahagiaan?”
Yusak terdengar menjawab dengan hati-hati. “Ada. Pertama sesuai dengan yang pernah saya harapkan. Masa orang bisa saya gak bisa sih. Latihan, latihan. Apa lagi kalau renang jadi bisa tepe – tepe,” Inna tidak puas. Karena jawaban Yusak lebih berhubungan dengan kepuasan yang dia dapat setelah memperoleh bentuk tubuh sixpack. Inna menjelaskan kembali pertanyaannya.
“Maksud saya, ada gak hubungannya dengan kebahagiaan dengan memiliki tubuh yang ideal itu hingga bisa lebih diterima oleh orang lain?” Yusak merasa tidak ada hubungannya karena sebelumnya sudah merasa diterima oleh masyarakat. Tapi memang ada perasaan bahwa Yusak lebih keren daripada orang lain yang postur tubuhnya tidak sixpack.
Inna mengajak peserta perempuan. Mengobati penasarannya, Inna memberikan pertanyaaan yang lain. Adakah yang merasa gemuk? Banyak yang mengangkat tangan. “Bagaimana dengan teman-teman, ada yang mau share?” Inna meminta.
Ternyata masih peserta laki-laki. Agung bercerita. Enam tahun lalu, Agung tidak segemuk hari itu. Dulu berat badannya hanya 48 kilogram. Dia menggambarkan tubuhnya hampir sama dengan postur tubuh Itonk. Sekarang berat badannya 71 kilogram. Agung memang tidak pernah merawat tubuhnya dengan olahraga hingga bertambah gemuk. Dia merasa tidak nyaman karena tak ada lagi baju yang muat.
Pengalaman Inna juga hampir sama. Sembilan tahun yang lalu, saat pertama kali tiba di Jogja, Inna juga memiliki berat badan 48 kilogram. Tapi, tiba-tiba naik 10 kilo menjadi 58 kilogram dan sulit untuk turun lagi ke ukuran semula.
Rasa tidak nyaman dengan tubuh adalah sikap yang wajar, karena pada saat bersamaan kita juga bisa mencintai tubuh kita. Justru Inna merasa ragu dengan pernyataan orang-orang yang sangat merasa nyaman dengan tubuhnya.
Terkait body image, Inna mengatakan bahwa setiap orang memiliki persepsi sendiri-sendiri tentang dirinya. Ada lima pertanyaan yang Inna tuliskan dalam presentasinya. Bagaimana rasanya melihat diri sendiri di depan cermin? Bagaimana melihat gambaran diri dalam fikiran? Apa yang kamu percayai mengenai penampilanmu? Apa yang kamu rasakan tentang tubuh, termasuk berat badan, tinggi dan warna kulit? Dan, apa gambaran tubuh ideal buatmu?
Rasa nyaman atau tidak nyaman selalu akan muncul ketika kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasa ingin memiliki tubuh yang dinilai ideal di masyarakat kadang menjadi acuan dan melupakan bahwa kita punya tubuh yang sebenarnya mungkin saja sudah ideal.
Sekitar tahun 1500 yang lalu, persepsi tentang konsep tubuh ideal berbeda dengan sekarang, dimana tubuh yang dinilai ideal adalah tubuh yang agak gemuk. Inna memperlihatkan dua lukisan perempuan Eropa. Satu lukisan perempuan telanjang dengan lekuk-lekuk pada bagian perut yang kelihatan besar yang sedang duduk di atas tumpukan kain putih karya Claude Monet. Sedang lukisan yang lain seorang perempuan yang juga bertubuh gemuk memegang gambus. Dua perempuan yang digambarkan ini, dulunya dianggap sebagai simbol kecantikan. Kemudian, Inna memperlihatkan gambar yang lain, seorang perempuan Indonesia dengan postur tubuh yang dikatakan langsing dengan pose seperti menungging, tangan kirinya berada di bagian pantat dengan payudara yang hampir dikatakan sempurna. Sekarang, konsep tubuh ideal menjadi seperti gambar terakhir.
Menurut Inna, teori tentang mitos kecantikan berubah. Semakin kurus semakin bagus, dulu tidak. Body Image adalah bagaimana seseorang menilai tentang penampilan fisiknya. Tapi, ini kemudian berhubungan juga dengan bagaimana penilaian dan penerimaan orang lain tentang diri kita.
Dalam sebuah buku Mitos Kecantikan karya Naomi Wolf, dia menggambarkan bagaimana banyak perempuan meraih pencitraan tubuhnya dengan menilai bahwa kecantikan hadir dari kesempurnaan fisik dengan mencari pencitraan ideal dengan berbagai macam cara. Pada bagian awal buku ini, Naomi menceritakan keberhasilan gerakan kaum feminis meraih hak-hak hukum dan reproduksi dengan diikuti keberhasilan agar perempuan memiliki kenyamanan atas tubuhnya. Khususnya, jujur dengan tubuhnya.
Ini menarik. Perempuan harus bebas dari belenggu atas mitos kecantikan yang telah dengan gamblang dipercaya oleh mereka dengan adanya konstruksi sosial, kebudayaan, religiusitas dan media dengan adanya iklan televisi dan majalah-majalah kecantikan.
Inna memperlihatkan satu gambar perempuan lagi. Hanya menggunakan bra dan celana dalam yang sedang memperhatikan tubuhnya di depan cermin dengan ekspresi yang sedang tidak merasa nyaman. Banyak sekali perempuan yang sebetulnya memiliki tubuh yang sehat dan normal tapi merasakan bahwa ini tidak ideal. Atau Inna mencoba mengingatkan salah satu adegan dalam film Precious ketika dia bercermin dan membayangkan dirinya menjadi Drew Barrymore, perempuan kulit putih dan tidak obesitas. Inna menambahkan bahwa hal-hal seperti ini bisa sangat mempengaruhi self-esteem (harga diri) yang akan menimbulkan penghargaan kita terhadap diri sendiri berkurang dan menjadi rendah diri.
Merasa tidak nyaman dengan tubuh yang anda miliki, direpresentasikan Inna karena adanya beberapa pengaruh yakni represi (tekanan) yang bisa berasal dari keluarga, pasangan dan teman. Namun, yang sangat berpotensi untuk mempengaruhi mitos kecantikan perempuan dan laki-laki adalah representasi media seperti yang digambarkan juga oleh Naomi Wolf.
Perempuan cenderung lebih banyak mengalami tekanan atas hadirnya mitos kecantikan tersebut. Kenapa? Tubuh perempuan adalah objek yang diproyeksikan sebagai keindahan bahkan kadang dinilai dan dihakimi. Patriarki menjadikan perempuan sebagai seks kedua setelah laki-laki dan dianggap sebagai pemuas dan pemenuh kebutuhan laki-laki.
Selain itu, dari wacana mengenai tubuh untuk memenuhi sebuah pencitraan ideal baik perempuan dan laki-laki selalu diikuti dengan stereotip. Fisik misalnya sebagai dasar perempuan digambarkan harus bersikap halus, lembut dan anggun sedangkan laki-laki harus tinggi, kuat dan kokoh. Untuk karakter, perempuan dikonstruksi untuk menjadi afektif atau peduli dengan perasaan orang lain sedangkan laki-laki harus lebih aktif dan setidaknya menjadi “pelaku”. Sedangkan pada peran, perempuan diidentikkan sebagai pekerja domestik dan laki-laki sebagai pekerja publik.
“Stereotip ada dimana-mana, tapi bukan berarti kita harus percaya pada itu,” kata Inna.
Tidak hanya itu, stereotip yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan pun kadang dihubungkan dengan isu seksualitas. Misalnya, untuk perempuan yang cenderung berpenampilan tomboy biasanya dianggap berorientasi seksual lesbian. Sedangkan laki-laki metroseksual dimana mereka senang rapi, berdandan dan lebih merawat tubuhnya cenderung dianggap berorientasi seksual gay.
Perempuan lebih banyak mengalami kecemasan dengan tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki. Perasaan negatif yang berhubungan dengan pencitraan tubuh dapat mengarah pada stres, gangguan makan dan depresi. Serta mengalami poor body image atau penghargaan diri yang minim dan menganggap bahwa tubuh mereka tidak ideal dan buruk.
Lalu, apakah ideal itu? Bagaimana dengan perempuan atau laki-laki miskin, difabel, gemuk, tua, atau yang bertubuh atletis? Dimana posisi ideal anda? Saya gemuk dan pendek. Gigi saya bersusun. Pipi tembem dan memiliki bekas luka tersiram air panas di seluruh kaki kanan saya. Tapi, saya merasa tubuh saya sudah ideal. Tak ada yang mesti dikhawatirkan. Yang penting sehat, bukan?