Beranda blog Halaman 15

Alessia Cara – Scars to Your Beautiful

She just wants to be beautiful;
she goes unnoticed, she knows no limit.

Baris di atas merupakan pembuka untuk lagu ‘Scars to Your Beautiful’ yang dinyanyikan oleh Alessia Cara. Dari judulnya saja, tentu sudah banyak yang sempat menduga bahwa single ketiga dalam album ‘Know-It-All’ ini akan bercerita tentang body image. Alessia Cara sendiri, ketika diwawancarai di akhir Mei 2016, menjelaskan bahwa pada dasarnya lagu ini memang tentang body image.

Sebenarnya, Scars to Your Beautiful bukanlah lagu pertama yang bertutur tentang body image. Hampir delapan belas tahun lalu, tanggal 10 Agustus 1999, TLC merilis ‘Unpretty’ yang mengakui adanya kecantikan dalam sebuah ketidaksempurnaan, baik yang terlihat maupun tidak. Beberapa tahun yang lalu (2014), Meghan Trainor juga mempromosikan body positive dalam ‘All About that Bass’. Beyoncé pun tak jarang merilis lagu-lagu bertema body image. Lalu, apa yang membuat Scars to Your Beautiful menjadi menarik untuk dibahas?

Dalam lagunya, Alessia Cara melakukan pendekatan yang menarik untuk mengampanyekan pentingnya mencintai diri sendiri—dengan apa adanya dan juga untuk segala apa yang tidak ada padanya. Gadis kelahiran tahun 1996 ini memilih menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam menceritakan kisah seorang gadis yang begitu ‘terobsesi’ dengan standar kecantikan yang digelontorkan oleh para covergirls. Sebagian dari kita mungkin akan menertawakan obsesi yang tidak sehat tersebut. Bagaimana tidak? Bila dipikir-pikir, betapa bodohnya orang yang begitu terobsesi dengan ‘postur Barbie’ yang hanya sekadar rekaan industri kosmetik. Bahwa perempuan harus cantik, bahwa cantik harus putih, dan bahwa-bahwa lainnya yang kita tahu memang sengaja dibuat supaya produk-produk kosmetik yang mereka jual terus dibeli.

Menyadari bagaimana kita menertawakan—dan terutama meremehkan—mereka yang hanya mengejar standar kecantikan artifisial tersebut, Alessia Cara seolah menampar kita dengan Scars to Your Beautiful. Sekencang-kencangnya. Alessia Cara seolah ingin menunjukkan bahwa mereka yang terobsesi dengan standar kecantikan tersebut memang benar-benar ada; dan sekalipun kita terus menertawakan atau meremehkan mereka, bukan berarti mereka akan berhenti mengejar standar kecantikan. Justru dengan meremehkan mereka, kita malah berusaha melakukan simplifikasi terhadap masalah yang ada. Menganggap masalah tersebut bukanlah sesuatu yang serius.

So she’s starving, you know,
“Covergirls eat nothing,” she says, “Beauty is pain
and there’s beauty in everything. What’s a little bit of hunger?
I can go a little while longer,” she fades away

Kita terlalu sibuk tertawa dan meremehkan sehingga luput dalam menyadari bahwa untuk mengejar sebuah standar kecantikan, ada orang-orang yang rela untuk kelaparan, dan terus-menerus kelaparan hingga akhirnya menghilang. Entah Alessia Cara yang kurang keras dalam menampar atau memang kulit kita yang terlalu tebal jika kita masih tertawa di poin ini. Tentu, Alessia Cara sendiri mungkin tak bermaksud menghakimi kita yang masih terus tertawa dan meremehkan. Yang mengagumkan dari Alessia Cara adalah kesediaannya—yang dituangkannya dalam baris-baris selanjutnya—dalam membantu mereka yang tersakiti oleh standar kecantikan ini untuk melihat bahwa kecantikan bukan hanya tentang apa yang terlihat saja. Sebuah kesediaan yang sebenarnya kembali menampar kita untuk mencoba melakukan hal yang sama.

Kualitas ini, bisa dibilang, merupakan satu hal yang membuat Scars to Your Beautiful berbeda dari kebanyakan lagu tentang body image. Narasi yang coba dibangun oleh Alessia Cara bukan hanya tentang bagaimana kita melihat ke dalam dirinya, jauh lebih dalam dari penampakan luar yang distandarisasi dengan standar kecantikan, untuk menemukan bahwa kita semua merupakan seorang bintang dan kita semua bersinar sama cantiknya. Alessia Cara juga mencoba membangun sebuah narasi tentang bagaimana kita sebaiknya berhenti tertawa dan meremehkan dan mulai mengubah cara pandang kita terhadap cara orang lain memandang kecantikan, alih-alih memaksa seseorang berubah—baik berubah dan memenuhi standar kecantikan atau berubah agar tak lagi terobsesi dengan standar kecantikan tersebut.

* * *

Pada tahun 1964, Kitty Genovese ditikam sampai mati di luar apartemennya di New York sementara bystander yang melihat hanya sekadar mengamati kejadian tersebut tanpa sedikitpun berusaha menolong maupun memanggil polisi. Bila masing-masing dari kita adalah bintang utama untuk kehidupan kita sendiri, bisa dibilang masing-masing dari kita juga merupakan bystander di kehidupan masing-masing yang lainnya. Akankah kita menolong ‘Kitty-Kitty modern’ yang ditikam oleh standar kecantikan di depan mata kita, atau lagi-lagi hanya sekadar mengamati—meskipun tidak lagi tertawa?

You don’t have to change a thing,
the world could change its heart

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=MWASeaYuHZo]

 POPCORNer. Merupakan sebuah sudut di Samsara yang dikhususkan untuk mengulas produk-produk budaya pop dengan kacamata feminisme. Kamu bisa mengusulkan produk budaya pop apa lagi yang perlu kita ulas berikutnya. POPCORNer terbit setiap Sabtu.

Kontrasepsi, kehamilan tak direncanakan dan aborsi tidak aman.

Teman-teman tentu merasa asing dengan istilah kehamilan tak direncanakan atau kerap disingkat sebagai KTD. Nyatanya, KTD bukanlah hal yang jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pembandingnya, kita bisa melihat laporan yang dikeluarkan oleh Guttmacher Institute, sebuah organisasi yang bergerak di bidang penelitian dan kebijakan, yang pada tahun 2008 mengeluarkan laporan bahwa 57% pasangan menikah di Indonesia telah menggunakan metode kontrasepsi modern. Ini berarti, ada sekitar 43% pasangan menikah di Indonesia yang masih menggunakan metode kontrasepsi tradisional; misalnya saja dengan tanaman obat, timah, dan juga ramuan-ramuan herbal. Padahal, bila kita melihat laporan dari Centers for Disease Control and Prevention, metode kontrasepsi modern memiliki tingkat kegagalan sekitar 1-24%.

Paparan di atas menjelaskan tingginya kemungkinan terjadinya KTD pada pasangan menikah di Indonesia; belum ditambah dengan angka KTD yang terjadi pada pasangan yang belum menikah, mengingat bahwa di Indonesia, perempuan yang belum menikah akan lebih sulit mengakses layanan kontrasepsi. Asumsi ini kemudian kembali diperkuat oleh laporan Guttmacher Institute yang menyatakan bahwa pada tahun 2000, setidaknya terjadi sekitar 2.000.000 perempuan yang melakukan aborsi di Indonesia.

Tingginya angka aborsi bukanlah satu-satunya dampak yang ditimbulkan oleh KTD. Lebih lanjut lagi, KTD juga membawa dampak-dampak lain, terutama bagi perempuan yang masih belum menikah. Dalam bidang sosial, misalnya, mereka yang mengalami KTD cenderung akan mengalami pengucilan dari lingkungan sekitarnya; mengingat kehamilan yang terjadi di luar lembaga pernikahan kerap dianggap sebagai aib. Secara psikologis pun KTD juga membawa dampak yang cukup besar di mana perempuan yang belum siap untuk memiliki anak, cenderung mengalami tekanan secara psikis. Secara ekonomi pun KTD akan menimbulkan dampak besar ketika perempuan yang secara finansial masih belum siap, terpaksa harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit untuk membesarkan anak atau bahkan untuk mengakses layanan kesehatan demi menjaga kesehatan ibu dan janinnya. Dampak ekonomi ini akan terasa lebih berat lagi bila kita bicara mengenai KTD yang menimpa perempuan remaja di mana remaja masih belum memiliki penghasilan yang tetap dan masih bergantung pada orang tua. Untuk remaja, dampak lebih besar dari KTD yang dirasakan ada di bidang pendidikan di mana pelajar yang ketahuan mengalamnin kehamilan di luar jenjang pernikahan besar kemungkinan dikeluarkan dari sekolah.

Namun demikian, dampak paling terlihat akibat KTD adalah tingginya angka kematian ibu ataupun komplikasi akibat aborsi yang tidak aman. Dalam edisi kedua Panduan Teknis Aborsi Aman dan Kebijakan dalam Sistem Kesehatan yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2012 lalu, Badan Kesehatan Dunia tersebut memperkirakan terjadi 22 juta aborsi tidak aman setiap tahunnya, di mana 5 juta perempuan menemui kematian karenanya. Gulardi Wignjosastro, seorang obstetri dan ginekolog, menambahkan bahwa aborsi tidak aman berkontribusi hingga 11-50% terhadap angka kematian ibu.

Tingginya angka aborsi tak aman di Indonesia, sedikit banyak dipicu oleh susahnya akses terhadap layanan aborsi aman. Kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi seksual dan sulitnya akses terhadap kontrasepsi, membuat tingginya angka KTD di Indonesia. Dengan angka KTD yang tinggi, sulitnya akses terhadap layanan aborsi yang aman pun membuat perempuan yang mengalami KTD kemudian lari pada layanan aborsi yang tidak aman; sehingga berimbas pada tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.

Upaya dekriminalisasi aborsi memang sudah dilakukan dengan adanya PP 61 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan secara legal dalam dua kondisi:

  1. Adanya indikasi kedaruratan medis bagi ibu dan janin bila kehamilan diteruskan, dan
  2. Kehamilan akibat pemerkosaan.

Di samping upaya dekriminalisasi aborsi tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan konseling KTD bagi perempuan yang berada di situasi tersebut. Konseling KTD muncul sebagai bentuk harm reduction strategi di mana dengan adanya layanan konseling ini, perempuan yang mengalami situasi KTD memiliki pilihan di luar mengakses layanan aborsi tidak aman. Konseling KTD umumnya juga berupaya menguatkan perempuan untuk dapat mengatasi dampak-dampak yang disebabkan oleh KTD seperti yang diuraikan di atas.  Dengan melakukan konseling, perempuan akan lebih mudah dalam mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan, termasuk aborsi aman.

Astrologi: jangan diambil hati.

http://jpnn.com

Senin pagi, saatnya membaca ramalan bintang untuk seminggu ke depan; “Siapa tahu minggu ini ketemu potential lover, menang tender, atau mungkin minggu ini saat yang tepat untuk renovasi rumah?” batin saya. Let’s see!

Di antara sisa-sisa hangover yang bercampur sempurna dengan mood yang enggan beranjak dari kedamaian akhir pekan, ramalan bintang mingguan merupakan salah satu penjaga kewarasan di hari Senin. Ramalan bintang adalah sebuah mood booster, harapan, dan aspirasi—setidaknya bagi saya.

Sebagai seorang peneliti dengan usia yang sudah bisa dihitung dengan tiga kepala, terlebih dengan latar belakang pendidikan S2 dari sebuah perguruan tinggi di Inggris, saya sadar betul baik dari latar belakang studi, maupun pekerjaan, nilai-nilai yang saya anut semestinya sangat bertentangan dengan kebiasaan saya menggunakan ramalan bintang sebagai alat bantu pengambil keputusan. Misalnya mengecek kecocokan dengan potential lover. Bagi saya, ramalan bintang merupakan panduan yang tak ada ruginya untuk dicoba. Kalau potential lover yang saya temui ternyata cocok dengan ramalan bintang yang saya baca, mungkin saya akan memperjuangkannya. Kalau tidak cocok, saya bisa menjadikannya legitimasi untuk tidak perlu serius-serius dalam menanggapi potential lover ini.

Tapi, tentu saya tak menerima panduan ini mentah-mentah, ada analisa personal yang saya sematkan di sana. Setelah menelusuri lebih jauh, saya telah membuktikan bahwa kita cenderung menerima deskripsi umum tentang kepribadian kita menurut zodiak, tanpa menyadari bahwa deskripsi tersebut ternyata bisa juga berlaku pada orang lain dengan zodiak yang berbeda. Bertram R. Forer, seorang psikolog Amerika, seolah mengamini penelusuran saya dengan menyatakan bahwa kita cenderung mengharapkan bahwa ramalan kepribadian tersebut memang terbukti benar sehingga kita cenderung mencocok-cocokkan isi ramalan tersebut dengan kepribadian kita. Lebih lanjut, di tahun 1948, Forer mengajak mahasiswanya untuk mengevaluasi kolom ramalan bintang dari sebuah koran. Forer menggunakan skala 1 sampai 5, dengan skala 5 sebagai nilai akurasi tertinggi. Hasilnya, rata-rata nilai yang dihasilkan adalah 4,26. Bukan sekadar kebetulan, eksperimen ini pun diulang ratusan kali, dan hasil yang diperoleh selalu berkisar di angka 4,2.

Bahkan setelah penelusuran melalui ranah ilmiah yang saya lakukan pun membuktikan bahwa ramalan bintang sebenarnya hanya memberikan generalisasi—sementara pada kenyataannya manusia itu terlalu unik, dinamis dan penuh kontradiksi untuk digeneralisasi—tetap saja kebiasaan membaca ramalan ini susah saya tinggalkan.

Di awal ketertarikan saya dengan astrologi, sering kali saya menanyakan zodiak teman-teman maupun kolega yang saya temui. Sebagian besar teman laki-laki merespon dengan aneh: kadang sekadar dengan tatapan heran, namun tak sedikit pula yang secara verbal menanyakan “Masa, sih, kamu percaya gituan?” Keheranan kawanan laki-laki ini saya anggap wajar mengingat saya sendiri yang kerap dipandang sebagai sosok yang rasional dan praktikal—sekalipun pandangan ini muncul hanya karena dandanan saya yang tomboy—dianggap tidak pantas menjadi penghayat astrologi.

Sementara itu, reaksi teman-teman perempuan sedikit lebih beragam. Ada yang ragu, skeptis, dan ada pula yang lantas penasaran ingin tahu lebih detail tentang wataknya berdasarkan zodiak. Benarkah perempuan lebih percaya ramalan bintang dibanding laki-laki? Mengapa bisa demikian?

Memang jika dilihat sepintas, pelanggan kolom ramalan bintang mayoritas adalah kaum perempuan. Beberapa studi yang pernah dilakukan pun membuktikan bahwa dari sekian persen orang yang percaya astrologi, persentase jumlah perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut Yohana Desta, kolumnis untuk majalah pop yang kerap menjadi acuan kaum perempuan, astrologi lebih menarik bagi perempuan karena dalam perjalanan peradaban, kaum perempuan kurang memiliki kendali atas nasibnya. Artinya, perempuan tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya sehingga mereka membutuhkan ‘sesuatu’ yang dapat memberi dukungan moral untuk bertahan dalam keruhnya ketidakpastian hidup. Untuk alasan yang sama pula, perempuan dianggap lebih percaya pada hal-hal klenik dan takhayul dibanding laki-laki.

Terus terang saya kurang sepakat dengan pandangan tersebut. Memang benar bahwa sangat panjang dan terjal jalan yang ditempuh kaum perempuan di seluruh dunia untuk mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Namun, tidak berarti bahwa perempuan lantas lebih ‘klenik’ atau ‘takhayul’ daripada laki-laki. Dalam perjalanan saya di berbagai tempat di penjuru Nusantara, kota maupun desa, saya temukan bahwa orang-orang yang hidupnya tergantung pada dukun, paranormal atau penasehat spiritual tidak hanya kaum perempuan semata.

Dr. Gad Saad, seorang professor di Concordia University mengatakan bahwa ramalan-ramalan semacam astrologi memang memiliki daya tarik yang kuat bagi manusia pada umumnya, karena ramalan tersebut dapat menunjukkan sebuah pola kehidupan di dunia; dan manusia merupakan makhluk yang secara alami terus mencari pola tersebut sebagai acuan.

Mengutip Prof. Saad, “Dunia ini rumit dan menakutkan, jadi segala sesuatu yang dapat membantu kita untuk menghadapinya kita sambut dengan tangan terbuka, bahkan meskipun hal tersebut tidak ilmiah.” Demikian pula pendapat saya tentang astrologi. Bagi saya, tidak ada pemisahan antara yang ilmiah dengan non-ilmiah; semuanya saya anggap ilmu pengetahuan. Bila itu berkontribusi secara positif bagi kita, kenapa tidak? Toh ilmu pengetahuan sendiri juga terus berkembang seiring dengan keterbatasan akal manusia. Buktinya, setelah beberapa juta tahun berlalu, kita masih saja memperdebatkan bentuk bumi.

Sejak jaman Babylonia sampai berkembangnya kristianisme di Eropa, astrologi masih terus dipraktikkan oleh umat manusia. Dan beberapa ilmuwan seperti Galileo pun percaya astrologi. Jadi, marilah kita tidak berkecil hati karena telah menjadi perempuan, penghayat astrologi pula. Setidaknya dalam astrologi, kita tidak akan dihakimi, dan tidak perlu memikirkan di mana letak surga dan neraka.

Just look at the stars, look how they shine for you.” (Coldplay – Yellow)

***

 Medda Maya Pravita. Perempuan, peneliti, penghayat astrologi.

“Negara Masih Belum Menempatkan Hak Asasi Manusia Sebagai Agenda Prioritas”

Tak terasa, Universal Periodic Review (UPR) terhadap Indonesia akan dilakukan untuk ketiga kalinya pada Mei 2017 besok. UPR ini merupakan evaluasi yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa atas situasi HAM yang ada di Indonesia, terutama rekomendasi-rekomendasi Dewan HAM PBB yang telah disetujui untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada UPR kedua di tahun 2012. Bagi yang belum tahu, pada UPR tahun 2012, pemerintah Indonesia telah menyetujui 150 dari 180 rekomendasi yang diajukan untuk dilakukan.

Sebagai rangkaian untuk memulai UPR ke tiga bulan depan, beberapa wakil masyarakat sipil di Indonesia menyuarakan evaluasinya terhadap rekomendasi-rekomendasi tersebut. Setidaknya, ada delapan wakil masyarakat sipil yang bicara hal ini, mengemukakan realitas HAM yang terjadi di Indonesia hingga saat ini sebagai berikut:

Jenewa, 5 April 2017

Situasi hak asasi manusia Indonesia akan dievaluasi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 3 Mei 2017 melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR). UPR adalah mekanisme evaluasi hak asasi manusia yang dilakukan secara berkala antara negara yang satu dengan negara yang lain. Pada Mei 2017, Indonesia akan dievaluasi untuk kali ketiga setelah putaran pertama pada 2008 dan yang kedua pada 2012.

Pada 2012, Indonesia menyetujui 150 dari 180 rekomendasi terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Kami memandang bahwa Pemerintah masih belum memiliki mekanisme formal yang terbuka dan partisipatif untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi tersebut. Lebih jauh lagi, kami menilai bahwa Pemerintah belum memenuhi sebagian besar rekomendasi itu dengan menjalankannya secara substansial untuk mewujudkan perubahan yang lebih berkualitas.

Dalam rangka putaran ketiga UPR, beberapa perwakilan masyarakat sipil Indonesia berada di Jenewa untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai situasi hak asasi manusia di sesi pra-UPR. Sesi pra-UPR adalah sesi formal yang diselenggarakan oleh UPR Info—sebuah organisasi non-profit yang bekerja untuk mengoptimalkan dialog antara masyarakat sipil dengan negara-negara terkait UPR. Sesi pra-UPR memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangannya kepada perwakilan negara- negara di PBB di Jenewa.

Terkait situasi fundamental freedoms di Indonesia, Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menegaskan bahwa, “Penikmatan kebebasan sipil di Indonesia kian merosot. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab (answerability), dan menjalankan kewajibannya. Kedua, negara gagal mewujudkan prinsip negara hukum sebagai mekanisme proteksi hak asasi. Ketiga, negara pasif terhadap menyeruaknya aktor non-negara yang mengganggu kebebasan sipil.”

Sehubungan dengan hukuman mati dan kebijakan narkotika Indonesia, Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat, menjelaskan bahwa, “Kebebalan Pemerintah yang mempertahankan hukuman mati untuk mengatasi kejahatan narkotika, ternyata terbukti gagal menurunkan angka peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah wajib mencari solusi yang bukan berdasarkan mitos tetapi yang berbasis ilmiah, dan membuka diri terhadap kerjasama dengan negara lain yang telah berhasil mengatasi problem peredaran gelap narkotika tanpa menerapkan kebijakan yang punitif. Singkatnya, Indonesia harus mencari solusi yang lebih cerdas, dan bukannya asal keras, dalam menangani persoalan narkotikanya.”

Mirawati, Direktur Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, mengatakan bahwa “Kebijakan kesehatan reproduksi Indonesia masih diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Hal ini ditandai dengan masih minimnya akses kontrasepsi, termasuk dipertahankannya ketentuan kriminalisasi terhadap penyediaan layanan pendidikan dan informasi mengenai kontrasepsi. Oleh karena itu, Pemerintah harus membuka akses kontrasepsi bagi perempuan termasuk yang belum menikah dan menghapus kebijakan pemidanaan terhadap tindakan aborsi.”

Budi Tjahjono, Koordinator Advokasi Asia-Pasifik Fransiscans International, menyampaikan bahwa, “Hingga saat ini eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah, dan serangan terhadap pembela HAM dan pemimpin masyarakat adat di Papua dan daerah lainnya masih marak terjadi. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan mekanisme investigasi dan pemulihan hak yang memadai. Pemerintah harus menerapkan kebijakan pembangunannya dengan tetap menghormati hak-hak dasar masyarakat adat, dan patuh terhadap kewajiban hukum internasional yang pemerintah sudah ratifikasi.”

Masih soal Papua, Wensislaus Fatubun, perwakilan Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, “Kebijakan depopulasi Indonesia terhadap Papua kian mengancam penduduk asli Papua. Indonesia terus mengabaikan hak untuk menentukan diri sendiri dan belum mau mengakui hak masyarakat adat Papua. Indonesia juga masih mengedepankan pendekatan keamanan dalam resolusi konflik di Papua dan mencabut akses rakyat Papua terhadap sumber daya alam. Pelanggaran hak asasi rakyat Papua ini harus segera dihentikan dan pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kebijakannya terhadap rakyat Papua.”

Selain itu, terdapat beberapa isu lain seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diangkat di sesi Pra-UPR. Elga Sarapung, Direktur Institut Dian/Interfidei, mewakili koalisi Jaringan Antariman Indonesia (JAII), menyayangkan sejumlah rekomendasi yang disepakati pada UPR 2012 yang masih belum diimplementasikan secara jelas, tegas dan konstitusional oleh Pemerintah. “Hak untuk memiliki rumah ibadah dan melaksanakan aktivitas keagamaan serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan atas nama agama masih belum sepenuhnya dijamin oleh Pemerintah. Di berbagai kesempatan, Pemerintah selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki masalah dengan kebebasan beragama, padahal realita berbicara sebaliknya. Hal ini pun juga diafirmasi oleh sejumlah negara lainnya.”

Pasca UPR sesi ke-2 untuk Indonesia di tahun 2012, negara juga belum menunjukkan kemajuan dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kelompok LGBTI (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks). Damar Hanung dari Arus Pelangi menyampaikan, “Penelitian Arus Pelangi tahun 2013 menunjukan bahwa 89,3% LGBTI di Indonesia mengalami kekerasan berbasis orientasi seksual atau identitas gendernya. Kondisi ini diperparah dengan adanya 47 kebijakan diskriminatif terhadap LGBTI di tingkat lokal hingga nasional. Kekerasan terhadap LGBTI mencapai puncaknya tahun 2016, di mana lebih dari 142 kasus kekerasan pada LGBTI terjadi dalam kurun Januari–Maret 2016.” Selain situasi kekerasan terhadap LGBTI, “Saat ini, upaya kriminalisasi terhadap kelompok LGBTI sedang berlangsung melalui Judicial Review KUHP dan pembahasan revisi KUHP di DPR. Rangkaian situasi ini membuktikan bahwa negara gagal menjalankan mandatnya dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok LGBTI,” tambah Mario Pratama dari Arus Pelangi.

Berdasarkan potret terhadap situasi di atas, terlihat gambaran besar hak asasi manusia Indonesia yang belum menunjukkan tren yang positif. Bahkan dalam beberapa isu hak asasi manusia, kondisinya semakin memburuk. Mundurnya perlindungan hak asasi manusia ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia masih belum menjadi agenda yang penting dan prioritas bagi pemerintah.

Dengan dalih ketertiban umum, kebebasan sipil dipangkas. Dengan dalih perang terhadap kejahatan, hukuman mati dirayakan. Dengan dalih domestifikasi tubuh, kesehatan reproduksi coba dikriminalkan. Dengan dalih ekonomi, hak atas tanah di Papua diabaikan. Dengan dalih NKRI harga mati, hak asasi warga Papua diberangus. Dengan dalih moral, hak asasi kelompok LGBTIQ dikekang. Dengan dalih-dalih yang lain, hak-hak asasi manusia tetap terpinggirkan dan belum dipandang sebagai yang utama.

Kami memandang UPR sebagai mekanisme konstruktif untuk membenahi situasi hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Kita seharusnya keluar dari kurungan pemikiran bahwa forum internasional adalah forum yang semata politis dan ruang bagi intervensi negara lain. Namun, beranjak kepada substansi yang diberikan dan untuk itu perlu dipandang serius, terutama dalam konteks pemajuan hak asasi manusia.

UPR adalah bagian dari upaya membangun kerjasama antara masyarakat sipil dan pemerintah untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia secara kolaboratif. Masyarakat sipil dan pemerintah dapat menggunakan kesempatan ini untuk bekerjasama dalam menyusun rencana kerja, memantau proses, hingga mengevaluasi pelaksanaan rekomendasi UPR. Berdasarkan semangat inilah, kami mengajak Pemerintah untuk bersama-sama memperbaiki situasi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.


Narahubung:
Miko Susanto Ginting, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 087822626362
Ricky Gunawan, LBH Masyarakat, 081210677657
Mirawati, Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), 081338661597
Budi Tjahjono, Fransiscans International, +41 227794010
Wensilaus Fatubun, Forum Keadilan dan Perdamaian untuk Papua, +41 779678244
Elga Sarapung, Institut Dian/ Interfidei (Jaringan Antariman Indonesia/JAII), 081247028796
Damar Hanung, Arus Pelangi (ASEAN SOGIE Caucus, Jakarta), 087876086010
Mario Pratama, Arus Pelangi/People Like Us Satu Hati, Yogyakarta, 085234831703

Serba-serbi kekerasan dalam sebuah relasi, apa dan bagaimana.

Sudah bukan hal baru bagi anak muda untuk menjalin hubungan dengan orang lain, bahkan semenjak duduk di bangku sekolah. Memiliki pasangan tentu bukan suatu yang salah karena setiap orang memiliki keyakinan masing-masing, baik kapan, dengan siapa dan untuk alasan apa.

Melihat di sekitar kita, berpacaran merupakan hal yang lumrah dilakukan. Seiring perkembangan waktu, tentu terjadi perubahan dalam pola relasi pacaran. Bila di era orang tua kita, cukup bertamu ke rumah pacar dan saling melihat saja sudah cukup, namun hal demikian kemungkinan sudah jarang ditemui terutama bagi kita yang tinggal di kota besar. Saat ini, belum pacaran namanya bila belum pernah hangout berdua. Didukung dengan berkembangnya teknologi yang mempermudah kita untuk menjalin hubungan dengan pasangan, tanpa harus bersusah payah menghitung hari menunggu pak pos mengantar balasan surat dari pacar.

Dalam menjalani hubungan, tentu ada berbagai macam perbedaan antara satu pasangan dengan yang lainnya. Cara saya menjalani hubungan dengan pasangan, tentu berbeda dengan yang teman-teman jalani. Saya dan pasangan lebih mengutamakan untuk menghargai satu sama lain. Meskipun kami berpacaran, bukan berarti tidak ada privasi di antara kami. Ada kalanya, kami meluangkan waktu untuk ‘me time’ dan hal ini merupakan komitmen bersama untuk memberi kesempatan kepada pasangan menikmati harinya tanpa gangguan—begitu pula sebaliknya. Meski terkadang sulit untuk tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan pasangan, bukan berarti saya harus memaksakan pacar untuk selalu ada di sisi saya.

Pasti terdapat perbedaan dalam relasi antara saya dengan pasangan dan relasi yang teman-teman jalani. Ada pula pasangan yang ke manapun harus berdua. Mungkin ada juga di antara teman-teman yang begitu peduli ke mana pasangan akan pergi, namun disalahartikan sebagai bentuk mengatur ruang gerak pasangan. Bahasa kekiniannya: posesif. Bagi pria, pada dasarnya ada keingingan untuk mengayomi pasangannya, dan ini bisa ditunjukkan dengan mengantar-jemput pasangan. Cara tersebut dipandang sebagai bentuk tanggung jawab sebagai pasangan.  Namun, ada pula pasangan yang ke mana saja selalu sendiri kecuali saat kencan karena tidak ingin bergantung pada pasangannya.

Perbedaan itu wajar karena setiap pasangan memiliki caranya sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana mengomunikasikannya dengan pasangan. Tapi ingat, meskipun gaya berpacaran orang berbeda-beda, bukan berarti risiko terjadinya kekerasan dalam pacaran adalah nol.

Kekerasan dalam pacaran, sering juga disingkat menjadi KDP, sering diawali dari komunikasi yang tidak baik antara kita dan pasangan. Jangan sampai bentuk kepedulian kita terhadap pasangan kemudian disalahartikan sebagai keharusan pasangan untuk selalu mengikuti kemauan kita. Seperti apa yang diungkapkan Wekerle & Wolfe (1999), “…control or dominate another person physically, sexually, or psychologically causing some of level of warm.”[1]

Dari data LBH APIK selama 2015, 22% bentuk kasus KDP adalah kekerasan seksual, ingkar janji dinikahi sebesar 35%, kekerasan fisik sebanyak 26% dan memanfaatkan ekonomi pasangan sebesar 17%. Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan secara fisik melainkan juga verbal dengan mengatai pasangannya.

Untuk meminimalisir adanya KDP tentu kita perlu mengetahui terlebih dahulu indikasi adanya kekerasan dalam sebuah hubungan. Setidaknya ada 10 tanda relasi yang tidak sehat, misalnya cemburu berlebihan atau posesif; emosi terhadap pasangan yang meledak-ledak; mengintimidasi; meremehkan atau mengejek pasangan; menguntit, baik secara fisik maupun digital; mengecek akun social media, email dan ponsel tanpa izin; menjauhkan pasangan dari keluarganya; munuduh yang tidak tidak-tidak; memaksa untuk berhubungan seksual; dan menolak menggunakan kontrasepsi (kondom) saat berhubungan seksual.

Dalam menjalin hubungan tentu ada kalanya kita berbeda pendapat dengan pasangan. Oleh karena itu untuk menghindari adanya KDP, komunikasi yang baik dengan pasangan sangat diperlukan guna menjalin relasi yang sehat. Melalui komunikasi yang baik, maka kita akan semakin mengenal pasangan dan tahu seluk beluk pasangan; termasuk bagaimana dia memperlakukan orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Kisara di tahun 2016, dalam memulai hubungan juga harus didasari untuk berani mengambil sikap, berani mengatakan tidak dan menghentikan hubungan dengan pasangan ketika terjadi tindak kekerasan. Selanjutnya, membuat komitmen antar pasangan sebelum memulai hubungan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bisa mempertanyakan pada pasangan bagaimana komitmen pada waktu memulai hubungan. Yang terakhir adalah mengenalkan pasangan kepada keluarga untuk meminimalisir tindak kekerasan karena timbul perasaan sungkan pada pasangan terhadap keluarga kita.[2]

Terlepas dari pro dan kontra berpacaran, relasi yang sehat merupakan hal yang harus diterapkan. Sehingga hubungan yang terjalin berjalan lancar tanpa ada beban bagi salah satu pihak. Dengan begitu, berpacaran menjadi penyemangat bagi kita dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Sejauh mana hubungan kita dengan pasangan berjalan? Mari mengomunikasikannya dengan pasangan kita.

[1] Wekerle, C., & Wolfe, D. A. (1999). Dating violence in mid-adolescene: Theory, significance, and emerging prevention initiatives. Clinical Psychology Review.
[2] Shintyadita, Putu Noni (2016). Kekerasan Dalam Pacaran. Kisara.

Pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak? Tidak boleh!

Tidak bisa tidak, anak-anak pasti akan mengalami masa pubertas, dan pengetahuan mengenai alat reproduksi akan menjadi bekal yang sangat penting bagi mereka untuk memahami perubahan-perubahan drastis selama puber. Ditambah lagi, pubertas kian waktu dialami semakin dini—secara umum, tanda-tanda pubertas sudah bisa diamati sejak usia 7 tahun. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2010, sebanyak 5,2% dari populasi anak sudah mengalami masa haid pertama sebelum usia 12 tahun. Itu berarti ada sekitar 2.340.000 anak Indonesia yang sudah menstruasi sebelum usia 12 tahun pada 2010; jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit.

Meskpun demikian, jumlah tersebut tidak lantas menyadarkan orang-orang akan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak sedari dini. Kita bisa melihat ini dari kasus di Oktober 2016 lalu. Terjadi kegemparan di Pasaman, Sumatera Barat, saat ditemukan suatu buku mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kelas 6 SD memuat isi yang dinilai meresahkan; ilustrasi pada bab biologi yang menunjukkan organ reproduksi laki-laki dan perempuan (beserta nama ilmiah bagian-bagiannya) dengan jelas dan deskripsi perubahan-perubahan yang akan dialami remaja saat pubertas; misalnya saja mimpi basah yang dialami anak laki-laki.

http://jpnn.com
http://jpnn.com

Pelaporan mengenai hal ini berujung pada penyitaan buku-buku yang dinilai ‘belum layak’ konsumsi bagi jenjang pendidikan 6 SD oleh pihak kepolisian setempat. Penyitaan ini menuai sejumlah respons positif, baik dari masyarakat lokal dan bahkan dari pihak sekolah sendiri, yang mengaku sudah lama dibuat ‘resah’ oleh muatan buku tersebut sedari dulu.

Tidak jauh dari Pasaman, di Kabupaten Pasaman Barat buku pelajaran Olahraga dan Kesehatan untuk kelas 5 SD yang telah beredar sejak 2011 pun turut dipermasalahkan. Pasalnya, soal latihan yang terkandung dalam buku tersebut dinilai menggunakan kata-kata yang dinilai tidak pantas untuk dikenali pelajar SD. Sebagai contoh, pertanyaan pertama mengenai nama alat kelamin laki-laki menyediakan pilihan jawaban testis, vagina, sperma, dan ovarium.

Tampaknya, Indonesia adalah negara di mana anak berusia 12 tahun dapat dikawini, namun dilarang untuk memperoleh informasi mengenai cara kerja alat reproduksinya sendiri. Bila mengajarkan anak SD untuk mengenal nama ilmiah dari alat kelaminnya sendiri dinilai sedemikian meresahkan, maka aneh bila keresahan pada taraf yang sama terhadap Undang-Undang Perkawinan—yang masih memperkenankan pernikahan anak di usia sekolah sekolah—tidak mengemuka di saat bersamaan.

Meskipun batas minimum resmi usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, anak di bawah umur (seringnya perempuan) tetap dapat dinikahkan oleh orang tuanya melalui dispensasi dari petugas perkawinan atau pengadilan negeri agama—90% permintaan dispensasi yang diajukan diterima dan pernikahan akhirnya dilangsungkan.

Pengajuan uji materi terhadap usia minimum pernikahan dalam UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015 berujung penolakan. Putusan MK mengatakan bahwa batasan umur minimal ‘tidaklah dikenal’ demi mencegah ‘kemudharatan lebih besar’. Kemudharatan ini adalah melahirkan anak di luar perkawinan—bukan melahirkan di usia dini, yang mengancam nyawa dan akan terus dialami jutaan anak perempuan Indonesia, di saat mereka tidak mendapatkan pendidikan seks yang sepatutnya didapatkan bahkan sebelum mereka bisa hamil.

Bila yang menjadi tujuan kita adalah kesejahteraan anak, menjadi janggal ketika di satu sisi pendidikan seksual dan reproduksi terhadap anak-anak dianggap tabu namun pernikahan untuk anak di bawah umur terus diberi dispensasi.

* * *

1.https://www.unicef.org/indonesia/id/Laporan_Perkawinan_Usia_Anak.pdf
2.http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/96806-maria-farida-tak-setuju-pernikahan-dini
3.http://health.kompas.com/read/2016/06/22/194500423/Anak.Perempuan.Mulai.Pubertas.di.Usia.7.Tahun
4. http://www.jpnn.com/news/lapor-pak-menteri-kok-buku-kelas-v-sd-isinya-seperti-ini
5. http://www.jpnn.com/news/buku-penjas-berbau-porno-ditengarai-beredar-di-266-sekolah-dasar
6. http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/penduduk/item67?

* * *

 Amanda Kistilensa adalah anak kedua dari empat bersaudara. Kedua orang tuanya aktif berkiprah dalam ranah politik. Dalam kesehariannya, Amanda bekerja sebagai seorang penerjemah dan berusaha menjalani hidup dengan damai sebagai seorang feminis.

Ira Koesno, manifestasi seksisme dalam layar kaca?

Ada yang menarik dari debat perdana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 13 Januari 2017 lalu. Agus Harimurti Yudhoyono, calon gubernur dengan nomor urut satu yang sebelum-sebelumnya tidak pernah hadir dalam acara-acara debat terbuka calon gubernur semacam ini, akhirnya terlihat batang hidungnya. Sayangnya, kemunculan Agus yang di luar kebiasaan ini tak lantas membuatnya menjadi pusat perbincangan, terutama di dunia maya. Alih-alih membicarakan kemunculan AHY, begitu putra sulung mantan presiden Indonesia ini sering disebut, netizen justru lebih asik membicarakan Ira Koesno, moderator dalam debat tersebut.

Ira Koesno
Ira Koesno

Ira Koesno, atau Dwi Noviratri Koesno, sebenarnya bukanlah wajah baru di layar kaca. Pada tahun 1996, Ira Koesno sudah memulai karirnya sebagai penyiar di SCTV dan di tahun 2010, Ira Koesno juga menjadi pemandu salah satu program talkshow di TV One. Sebagai moderator debat terbuka pun Ira Koesno tidak bisa dibilang masih hijau. Pada tahun 2014 lalu, Ira juga menjadi pemandu dalam debat terbuka calon presiden, meski namanya memang melambung tinggi baru-baru ini saat ia menjadi moderator debat perdana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Lantas, apa yang membuat Ira Koesno menjadi bahan perbincangan di dunia maya? Apakah ketegasan dan nada suaranya yang sering kali meninggi? Atau gerakan tangannya yang begitu ekspresif? Hmm, untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya Anda mencoba melakukan pencarian nama Ira Koesno di mesin pencari semacam google. Apa yang Anda temukan?

Bila Anda mendapati hasil pencarian yang sama dengan yang kami temukan, bukan pengalaman serta kemampuannya sebagai seorang moderator yang akan pertama kali Anda dapatkan, melainkan kecantikan parasnya. Bila itu masih kurang, selanjutnya Anda akan menemukan meme-meme yang dibuat  dari wajah Ira Koesno. Nah, sekarang coba Anda ketikkan nama Ira Koesno di akun-akun media sosial seperti Facebook atau Twitter, apa yang Anda dapatkan sekarang?

Sekali lagi, bukan kemampuannya dalam memoderatori debat perdana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan Anda temui di sana. Lagi-lagi, pembicaraan akan kecantikan paras Ira Koesno yang menjadi sorotan.  Di kanal-kanal media sosial, pembicaraan mengenai Ira Koesno yang Anda temukan bisa jadi lebih menjurus lagi. Selain parasnya, Anda mungkin juga akan menemukan perbincangan mengenai status Ira Koesno yang masih melajang di usianya yang sudah menginjak angka 47. Situs berita Liputan 6 bahkan ikut lompat dalam tren ini dengan membagikan rahasia diet Ira Koesno agar bisa tetap terlihat awet muda.

Bila ada sedikit yang membahas mengenai performa Ira Koesno dalam debat terbuka tersebut, umumnya akan kembali dikaitkan dengan penampilan fisik Ira Koesno. Salah satu pengguna media sosial bahkan berkomentar sebagaimana berikut, “Ira Koesno payah banget jadi moderator. Kaku banget, tapi gak apa-apa, yang penting dia enak dilihat!” Atau, kalaupun ada yang memuji, lagi-lagi tak terlepas dari …, “Sudah pintar, cerdas, cantik banget pula!”

Pernah tidak Anda melihat yang sebaliknya? Misalkan saja saat Anda melihat presenter laki-laki memandu sebuah acara bergengsi, apakah Anda pernah berkomentar seperti ini, “Zainal Arifin Mochtar keren banget waktu jadi moderator debat calon presiden pas pilkada 2014 kemarin. Berwibawa!” Lebih sering mana Anda mendengar komentar semacam itu dibanding, misalnya saja, “Zainal Arifin Mochtar kulitnya kencang banget waktu jadi moderator kemarin, kira-kira dia langganan dokter kulit di mana, ya?”

Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah: Apakah untuk selamanya perempuan dalam media hanya dipandang sebagai penghias yang fungsinya hanya untuk mempercantik program televisi saja? Kapan kiranya seorang perempuan akan dilihat karena kemampuannya, bukan karena penampilan fisiknya? Bila Anda mendapatkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, bagaimana Anda akan menjawabnya?

* * *

Stop hilangkan jerawat dengan pasta gigi

Memiliki wajah cantik dan bersih adalah satu impian bagi sebangian besar perempuan. Meskipun bagi setiap orang kecantikan tak selalu soal fisik semata. Namun terkadang, ada saja hal yang menghalangi seorang perempuan untuk memperoleh wajah bersih dan cantik sesuai harapannya, salah satunya karena jerawat.

POPULER