Beranda blog Halaman 14

Calon Ibu yang Tak Ingin jadi Ibu

Sore itu saya dikagetkan oleh telepon dari ibu saya. Beliau mengabarkan bahwa teman kecil saya akan menikah di akhir minggu. Saya terheran, hingga harus beberapa kali memastikan kepada ibu saya. Bukannya apa, teman kecil saya ini usianya dua tahun lebih muda dari saya, itu berarti dia belum genap berumur 18 tahun. Seharusnya, dia juga masih sekolah. Yang membuat saya lebih terkejut adalah kabar bahwa teman kecil saya ini telah mengandung.

Kabar yang menyedihkan untuk saya. Sayangnya, kabar tersebut tidak hanya saya dengar sekali-dua kali saja. Kehamilan tidak direncanakan tidak hanya terjadi pada satu-dua perempuan. Banyak. Sangat banyak. Hal tersebut membuat perempuan yang sedang mengandung mengalami stres karena belum siap menjadi seorang ibu. Akhirnya bisa ditebak, bisa jadi si perempuan melakukan aborsi, atau menjadi orang tua tunggal untuk anak yang dilahirkannya nanti, bisa juga melanjutkan dengan menikah.

Masih beruntung jika kehamilan tidak direncanakan itu berakhir dalam sebuah pernikahan. Meski sebenarnya juga tak bisa disebut beruntung, karena pernikahan tentunya membutuhkan banyak kesiapan; baik kesiapan secara ekonomi, sosial, juga psikologis masing-masing individu yang hendak menikah. Jika tidak, pernikahan yang hanya dilandaskan atas kehamilan tak direncanakan malah bisa menambah rumit permasalahan. Bisa berujung pada perceraian atau permasalahan lain yang juga tidak diinginkan.

Jika si calon ibu memutuskan untuk melanjutkan kehamilannya di luar jenjang pernikahan tentunya akan mendapatkan sanksi sosial yang besar dari masyarakat sekitar. Tidak hanya bagi si calon ibu, sanksi sosial juga akan diterima oleh keluarganya. Keluarga akan dianggap tidak mampu mendidik anak, kehilangan kepercayaan masyarakat, atau bahkan dikucilkan dalam lingkungan bermasyarakatnya.

Selain sanksi sosial yang diterima oleh si calon ibu dan keluarganya, sanksi tersebut juga dapat menimpa anak yang akan dilahirkannya nanti. Anak dari kehamilan di luar jenjang pernikahan sering kali diperlakukan berbeda oleh lingkungan. Dianggap sebagai anak yang tidak diinginkan. Tumbuh kembang si anak nanti akan berbeda dengan anak-anak lainnya yang lahir dalam sebuah pernikahan.

Saya jadi ingat teman saya semasa SMP dulu. Anak laki-laki yang lahir tanpa mengetahui siapa ayahnya. Sulit baginya untuk menjelaskan kondisi keluarga yang dimilikinya. Teman-temannya juga mempersulit dengan terus mengejeknya. Bukan bermaksud mengejek, sebenarnya. Hanya saja mereka selalu mempertanyakan, ‘bagaimana mungkin dia tidak memiliki ayah?’. Hidupnya yang sudah sulit tersebut menjadi lebih sulit lagi karena satu-satu keluarganya, ibunya, harus bekerja di luar kota. Mau tidak mau, dia harus mampu mandiri di usianya yang masih remaja. Tentunya, dibanding dengan teman-teman lain semasa SMP, dia menjadi seseorang yang berbeda. Teman saya ini menjadi anak yang suka mencari perhatian dengan melakukan hal-hal di luar nalar hingga sulit diterima oleh lingkungan.

Cerita mungkin akan berbeda jika, misalnya, si calon ibu memilih untuk menggugurkan kandungannya, yang tentunya juga bukan suatu perkara mudah. Beban moral si calon ibu kepada calon bayi, juga mengenai keselamatan si ibu saat melakukan aborsi sangat diperhitungkan, belum lagi permasalahan hukum yang dapat menjerat si calon ibu. Di samping itu, aborsi yang tidak aman dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi kesehatan, bahkan dapat berujung pada kematian. Komplikasi yang dapat menimpa calon ibu antara lain perdarahan hebat, infeksi, dan keracunan dari bahan yang digunakan untuk menggugurkan kandungannya. Selain itu, banyak pula perempuan yang mengalami kerusakan pada alat reproduksinya akibat aborsi yang tidak aman.

Melihat kasus pembuangan bayi yang banyak terjadi pun tak bisa dilepaskan dari kehamilan yang tidak direncanakan. Calon ibu yang memutuskan melanjutkan kehamilannya, namun malah membuang bayinya membuat cerita semakin miris saja. Menyaksikan bayi kecil diletakkan dalam kardus kemudian ditelantarkan di tempat sampah, di pinggir jalan, pelataran toko, atau, jika beruntung, di panti asuhan. Hal tersebut memperbanyak jumlah anak terlantar yang harus diurus oleh negara, dan permasalahan-permasalahan lain yang akan lebih kompleks lagi ke depannya.

Masalah kehamilan yang tidak direncanakan sering kali disebabkan oleh kurangnya edukasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi. Obrolan mengenai seks dianggap sangat tabu untuk diperbincangkan. Padahal, setiap orang harus tahu mengenai seks, mengingat seks sangatlah dekat dengan setiap orang. Tak terkecuali dengan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa yang belum menikah. Seks bukan hanya dimiliki oleh orang yang telah menikah saja.

Tabunya pembicaraan mengenai seks akan berdampak pada ketidaktahuan dan kurang pahamnya orang-orang terhadap seks itu sendiri. Akhirnya? Bisa ditebak. Orang akan menerka-nerka dan mencoba-coba sendiri, meski telah diberi rambu moral dan agama. Tetap saja, rasa penasaran dan keingintahuan itu tidak bisa dihindari. Lalu terjadilah hal yang tidak diinginkan, kehamilan yang tidak direncanakan, misalnya.

Pelatihan Bidan untuk Penatalaksanaan dan Rujukan Asuhan Pasca Keguguran dan Perdarahan Pasca Persalinan

 

Pada tahun 2035, diperkirakan adanya kekurangan jumlah tenaga ahli layanan kesehatan yang terampil sebanyak 12,9 juta orang secara global. Data dari Menteri Kesehatan menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah bidan 4 kali lebih banyak dari dokter, dan 25,6 kali lebih banyak dari dokter spesialis kebidanan/kandungan (obgyn).

 

 

Kurangnya penyedia layanan yang terlatih, hambatan-hambatan dari kebijakan dan regulasi, stigma, atau keberatan hati nurani dinilai dapat membatasi ketersediaan penyedia layanan aborsi aman dan asuhan pasca aborsi dalam beragam konteks (Panduan Peran Tenaga Kerja Kesehatan dalam Penyediaan Layanan Aborsi Aman dan Kontrasepsi Pasca Aborsi – Badan Kesehatan Dunia, 2015). Oleh karena itu, bidan memegang peran penting di barisan depan, mengingat bidan bekerja secara langsung dengan perempuan dan tersebar di berbagai tempat, bahkan di wilayah pedesaan. Dengan meningkatkan kemampuan bidan melalui pelatihan tentang Asuhan Pasca Keguguran dan Perdarahan Pasca Persalinan, diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu, khususnya untuk perempuan dalam kemiskinan, perempuan yang belum menikah, dan perempuan yang tinggal di pedesaan.

 

 

Melihat pentingnya peran bidan di daerah pedesaan, Samsara hadir dengan program Pelatihan Bidan untuk Penatalaksanaan dan Rujukan Asuhan Pasca Keguguran dan Perdarahan Pasca Persalinan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para bidan di Kefamenanu (NTT) dan Bengkulu.

 

Persyaratan:

  1. Minimal lulusan D3 Akademi Kebidanan
  2. Usia 21-35 tahun
  3. Berdomisili di Kefamenanu (NTT) dan Bengkulu
  4. Aktif melakukan praktik kebidanan di rumah sakit, puskesmas maupun praktik mandiri
  5. Bersedia mengikuti pelatihan selama 1 hari di bulan Juni

Melengkapi [formulir pendaftaran] sebelum  23 Mei 2018

… yang perlu kita lihat dari visibilitas transgender.

Setiap tahunnya, tanggal 31 Maret selalu diperingati secara internasional sebagai Transgender Day of Visibility, termasuk di Indonesia. Tapi, rasanya tak banyak yang sudah paham benar dengan transgender. Belum lagi dengan yang lebih khusus seperti transpuan dan trans laki-laki atau priawan, misalnya. Sebenarnya apa, sih, transgender itu? Apa beda transgender, transpuan, trans laki-laki, transeksual, dengan istilah-istilah lainnya? Kalau misalkan sekarang saja masih banyak yang belum paham sepenuhnya, lalu bagaimana kita dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka yang menyatakan diri sebagai trans?

Sebelum membahas lebih dalam, kira-kira apa yang melintas di kepala kalian ketika mendengar kata transgender? Apakah pencitraan yang positif, atau justru yang negatif?

Akan sangat menyenangkan jika teman-teman memiliki bayangan yang positif, tapi kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa banyak pula yang memiliki pandangan negatif terhadap transgender. Coba, deh, teman-teman menelusuri feed media sosial masing-masing, tidak sedikit pula yang melekatkan kata ‘dosa’, ‘tidak bermoral’, ‘bodoh’, dan sebagainya ketika membicarakan transgender. Padahal, dosa, moral, dan tingkat kepandaian seseorang tentunya merupakan urusan orang itu sendiri dan bukan urusan warganet, bukan?

transgender indonesia

transgender indonesia

transgender indonesia

Membuka visibilitas terhadap transgender memang tidak hanya membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih mengenal mereka semata. Di sisi lain, membuka visibilitas juga memberi kesempatan bagi seseorang untuk memberi label—yang juga belum tentu benar—kepada transgender. Padahal, jika kita ingin menggunakan kesempatan ini untuk memahami transgender, tentu kita akan tahu bahwa permasalahan yang dialami oleh teman-teman transgender di Indonesia bukan hanya sesepele pandangan negatif yang dilekatkan oleh masyarakat kepada mereka saja, tetapi lebih jauh lagi, serumit apa permasalahan yang kemudian harus mereka tanggung ketika masyarakat melekatkan pandangan negatif kepada mereka.

“Aku dengar cerita mereka… yang untuk menjadi diri mereka sendiri sangat sulit. Ada yang bisa sampai depresi. Untuk menjadi jati diri mereka sendiri, tuh, susah. Banyak yang cerita kalau sulit mendapatkan pekerjaan karena ekspresi gender.”

Zefan, PLU: Satu Hati

Zefan dari PLU: Satu Hati (PLUSH) menceritakan bagaimana sulitnya seorang transgender untuk bekerja di sektor formal hanya karena berbedanya cara teman-teman trans ini dalam mengekspresikan gender mereka tidak sama dengan cara kebanyakan orang mengekspresikan gender. Bahkan, Zefan menjelaskan, trans laki-laki yang sudah melakukan terapi hormon dan secara fisik mungkin tidak berbeda dengan laki-laki lain, justru lebih sulit dalam mendapatkan pekerjaan karena jenis kelamin pada identitasnya masih tercatat sebagai seorang perempuan. Tidak hanya dalam peluang kerja, teman-teman transgender juga mendapatkan diskriminasi di bidang lain seperti kesehatan dan juga pendidikan.

Dalam bidang kesehatan, tidak semua transgender bisa dengan mudah mendapatkan layanan kesehatan karena masih ada pula rumah-rumah sakit atau dokter yang tidak mau melayani transgender akibat ekspresi gendernya yang berbeda. Diskriminasi semacam ini juga terjadi di bidang pendidikan di mana teman-teman transgender memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan dirinya ketika mereka juga dituntut untuk mempertimbangkan apakah institusi pendidikan yang mereka datangi bisa menerima ekspresi gender yang berbeda. Di samping itu, kasus perundungan yang ditujukan pada mereka dengan ekspresi gender yang berbeda dalam lingkungan pendidikan juga kerap menjadi alasan bagi teman-teman transgender untuk tidak melanjutkan pendidikan mereka.

Dalam beberapa kasus, perundungan terhadap siswa yang dianggap kemayu tidak hanya dilakukan oleh teman sebaya saja. Sering kali, guru juga turut andil dalam perundungan tersebut dengan meminta siswa yang dirundung untuk lebih bersikap seperti laki-laki, alih-alih melarang siswa lain untuk melakukan perundungan.

“Teman-teman transgender opresinya memang lebih tinggi daripada teman-teman yang lain. Karena banyak kasus teman-teman transgender yang biasanya mereka sudah mulai menyadari identitasnya dari SMP, akhirnya mulai mengekspresikan dirinya, mendapatkan penolakan, diskriminasi, dan bullying, akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi pendidikannya. Kebanyakan lagi melarikan diri dari rumah karena mengalami penolakan dari keluarga.”

Fadel, PLU: Satu Hati.

Dalam International Transgender Day of Visibility ini, ada baiknya kita merenungkan bagaimana teman-teman transgender yang rentan terhadap diskriminasi di berbagai sektor pada akhirnya sulit sekali mendapatkan pekerjaan di sektor publik. Kita lebih mudah, misalnya, melihat teman-teman transgender berprofesi di bidang seni (baik seni tradisional maupun penghibur di layar kaca), fashion, tata rambut, tata busana dan lain-lain dibanding, misalkan saja, teman-teman transgender yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan multinasional.

Membuka visibilitas berarti mulai melihat bahwa teman-teman transgender pun sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan teman-teman lain, memiliki kelebihan dan kekurangan yang sama, memiliki keahlian kerja yang sama, serta sepatutnya mendapatkan peluang yang sama pula dalam memperoleh pekerjaan di sektor formal, layanan kesehatan, dan juga pendidikan, terlepas bagaimana cara mereka mengekspresikan identitas gendernya.

Tentang Otoritas Tubuh

Otoritas Tubuh Otoritas Tubuh Otoritas Tubuh Otoritas Tubuh

Empat pertanyaan di atas sebenarnya, mungkin salah satunya, atau bahkan keempat-empatnya, mungkin pernah melintas di kepala kalian. Terutama jika kalian seorang perempuan, masih belum menikah, dan memiliki penampilan fisik yang tidak bisa dibilang tua.

Sebenarnya, perlakuan serta tatapan-tatapan yang tidak menyenangkan tersebut bisa menimpa siapa saja. Seorang laki-laki dewasa, misalnya, tidak jarang yang masih merasa risih saat ingin membeli kondom, baik di apotik maupun di minimarket. Tidak jarang, laki-laki tersebut akan memilih waktu di mana tidak banyak pengunjung lain untuk membeli alat kontrasepsi yang satu ini. Sudah seperti itu pun belum tentu laki-laki tersebut merasa nyaman saat harus membayar di kasir. Namun, pada kenyataannya, perempuan muda, terutama yang belum menikah, adalah kelompok yang paling sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif ini.

Di negara ini, pembicaraan mengenai tubuh memang kerap dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Jangankan soal kondom maupun pap smear. Bahkan yang sesederhana pakaian pun sering membuat gundah. Tidak jarang seorang perempuan muda harus merenung lama di depan lemari pakaiannya, mencoba memilih baju yang kiranya tidak mengundang pandangan mesum maupun godaan berbau seksual lainnya. Sementara masyarakat kita memandang laki-laki yang bertelanjang dada sebagai tindakan maskulin yang menggiurkan, perempuan justru akan dipandang baik jika berhasil menutup tubuhnya. Semakin tertutup semakin baik, tapi jangan terlalu tertutup karena kita membutuhkan tubuh perempuan untuk diobjektifikasi, baik secara seksual maupun…, yah, seksual. Repot memang menjadi perempuan.

Thomas Hobbes memang pernah berpendapat, dengan jargon homo homini lupus-nya yang sangat terkenal, bahwa manusia bukan hanya merupakan makhluk individual, tetapi juga makhluk sosial. Dalam hal ini, apa yang baik dan apa yang buruk pun dinilai dengan kaca mata sosial. Perempuan yang baik adalah perempuan yang menutup tubuhnya, perempuan yang baik adalah perempuan yang melakukan tes pap smear setelah dua tahun menikah, perempuan yang baik adalah perempuan yang tidak terang-terangan membeli pembalut, perempuan yang baik adalah perempuan yang tidak membeli kondom, dan terutama, perempuan yang baik adalah perempuan yang memenuhi kodratnya sebagai perempuan; menikah, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan memiliki anak.

Perkara perempuan tersebut tidak nyaman sepanjang hari mengenakan baju berlengan panjang dan rok sepuluh centimeter di bawah lutut, tidak ada urusannya. Perkara perempuan tersebut merasa dia perlu mengetahui kondisi tubuhnya dengan melakukan tes pap smear, bukan masalah besar. Perkara perempuan tersebut harus membeli pembalut karena menstruasinya datang tiba-tiba, tidak mau tahu. Perkara perempuan tersebut memiliki rencana karir dan pendidikan hingga menolak untuk untuk membangun keluarga dalam waktu dekat, pokoknya mau tidak mau harus.

Di sini otoritas tubuh kemudian mengambil peranan. Kuasa di mana setiap orang paham atas tubuhnya dan memiliki otoritas atas tubuhnya sehingga setiap orang mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab atas tubuhnya. Setiap orang memiliki pilihan, untuk mengenakan baju yang diinginkan, untuk melakukan pemeriksaan kesehatan apapun, untuk merencanakan masa depannya, untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab atas tubuhnya.

Nah, apakah teman-teman punya pengalaman serupa? Ingin melakukan sesuatu dengan tubuh dan hidup teman-teman sendiri, tetapi tidak bisa karena otoritas tubuh teman-teman dihalang-halangi? Silakan berbagi pada kolom komentar di bawah, Samsara akan memberikan bingkisan menarik bagi tiga cerita yang paling menarik!

Reflection on Active Listening

Active Listening

Sama seperti ‘hear’ dan ‘listen’ pada bahasa Inggris, bahasa Indonesia mengenal ‘mendengar’ dan ‘menyimak’. Namun, di antara banyak suara yang ingin didengarkan, suara mana yang harus kita dengar? Kemudian, dengan cara bagaimana kita harus mendengarkan suara-suara yang perlu didengar tersebut?

Active Listening tidak hanya sekadar mendengarkan, bahkan lebih dalam lagi dibanding menyimak. Mengapa kita perlu melakukan active listening? Ketika dihadapkan pada pertanyaan tersebut, banyak di antara kita yang mungkin tertegun dan bingung; kami di Samsara juga mengalami hal yang sama. Dengan menerjemahkan ‘active’ dan ‘listening’ secara terpisah, bisa jadi kita sudah bisa menebak-nebak mengapa kita perlu mempraktikkan active listening. Tetapi saat diharuskan untuk memikirkan dengan lebih mendalam, benar-benar merenungkannya, jawabannya akan sangat menarik untuk dibagikan.

Silakan menikmati renungan salah satu staf Samsara mengenai Active Listening berikut:

The sense that we are not being listened to is one of the most frustrating feelings imaginable. Toddlers scream about it, teenagers move out, couples split up, companies breakdown.”

Kalimat pembuka di artikel ini sangat mengena di hati saya karena saya sudah mengalami semuanya. Memang sangat membuat frustasi ketika kita merasa tidak didengarkan atau dibuat menjadi bungkam. Saya merasa hal ini masih terjadi di kehidupan saya pada aspek-aspek tertentu, tapi saya mencoba membenahinya. Namun, pembenahan ini menjadi sulit saat kita merasa lawan bicara kita tidak berada dalam keadaan yang sama, yaitu menginginkan terjadinya pembenahan dan perubahan.

Pembenahan dan perubahan hanya bisa terjadi jika kita mau menghadapi ketakutan terbesar kita. Banyak orang, termasuk saya, dan mungkin juga Anda, tidak ingin dihadapkan pada ketakutan terbesar kita. Saya pernah mencoba memasuki relung hati saya yang paling dalam, dan bertanya pada diri saya sendiri, “Apa sesungguhnya ketakutan terbesar saya?” Saya tidak menyangka bahwa dengan pertanyaan itu, saya akan dibawa ke tempat paling rapuh dalam diri saya. Saya tidak menyukai perasaan itu. Namun, di saat yang bersamaan, saya menyadari bahwa bila saya terus menghindari memasuki tempat tersebut, saya tidak akan tahu hal yang justru bisa membuat saya berkembang secara personal. Saya sudah mendatangi beberapa psikolog dan saya bisa katakan bahwa ucapan mereka tidak ada gunanya bila kita masih hidup di dalam penyangkalan diri. Lalu saya tahu, langkah awal saya dalam menangani masalah saya adalah dengan mengakui semua hal ke diri sendiri, termasuk ketakutan saya.

Saya belum bisa mengatakan bahwa saya sudah berhasil, saya bahkan tidak tahu indikator keberhasilannya. Tapi setidaknya, mulai ada perasaan lega merayap di relung hati saya. Saya bermaksud menjadikan ini sebagai kebiasaan dengan membuatnya menjadi budaya saya, nilai yang saya anut untuk diri saya sendiri.

Kembali pada active listening. Mencermati definisinya, saya akui tadinya saya termasuk orang yang berpikir bahwa kemampuan orang untuk mendengarkan dengan baik adalah bakat alami dari Tuhan, bawaan sejak lahir. Membaca artikel ini menyadarkan saya bahwa itu adalah skill yang bisa dipelajari dan dilatih. Namun saya merasa lelah bila hanya saya yang memahami ini dan mempraktikkannya. Bagaimana dengan lawan bicara kita yang dengannya, kita cukup intens berbicara? Maukah dia belajar bersama kita? Kita tentu tidak akan tahu jawabannya bila kita tidak menanyakannya secara langsung kepada yang bersangkutan, bukan? Namun untuk menanyakannya kita sudah terpenjara dengan asumsi-asumsi mengenai respon yang akan kita dapatkan. Karena, sekali lagi saya katakan, tidak mudah meminta orang untuk mengenali dan menghadapi ketakutan terbesar mereka. Meski bila itu syarat utama jika kita ingin ada pencapaian dan perkembangan yang lebih besar di dalam diri kita.

Kemudian, bagaimana dengan lawan bicara yang merasa bahwa dia sudah mempraktikkan active listeningterlepas dia paham definisi active listening atau tidak—namun sebenarnya dia tidak melakukannya. Menurut saya, justru di sini skill kita sebagai lawan bicaranya dituntut lebih prima. Semua orang tentu tidak selalu berada dalam keadaan terbaiknya, kan? Di sinilah potensi-potensi konflik bisa terjadi. Konflik pasti terjadi, cepat atau lambat, pada kita dan orang-orang di sekitar kita yang berkomunikasi secara intens dengan kita. Itu wajar dan alami sekali. Namun, bagaimana mengolah konflik tersebut agar bisa tetap konstruktif? Kedewasaan dan kebijakan pihak-pihak yang berkonflik tentu diperlukan. Kadang juga, kita lebih bisa mempraktikkan active listening pada orang yang menjadi mediator konflik kita karena kita percaya pada kenetralannya. Mungkin, yang diinginkan semua orang adalah sama; keterangan, kejelasan dan keadilan. Pertanyaannya, mampukah kita melakukannya?

Sarah Puhto dan pencitraan sempurna palsu ala Instagram

body positivity

Sarah Puhto, blogger Finlandia berusia 20 tahun, ingin meberdayakan perempuan di mana pun melalui serangkaian foto Instagram, baik yang mempesona maupun tidak. Situs berbagi foto milik Facebook ini dikritik sebagai “media sosial paling berbahaya bagi kesehatan mental” oleh Quartz, dan sering dikritik pula karena pencitraannya yang menipu tentang kesempurnaan.

Puhto sudah siap untuk mengakhirinya. Selebgram dengan jumlah follower lebih dari 110.000 ini menyatakan misinya untuk mempromosikan body positive dan self-love. Dia melakukannya dengan memposting dua foto yang bersisian di laman media sosialnya. Di sisi pertama, Puhto menunjukkan foto yang sempurna ala instagram—perut yang terbentuk, pantat bulat dan bibir tersenyum lebar. Di sisi lain, dengan tajuk “Real Life”, Puhto memasang foto dengan senyum lebar yang sama, namun dengan posisi tubuh yang lebih alami—duduk, berjalan atau berdiri dengan normal. Puhto ingin menunjukkan bahwa perbedaannya cukup mengejutkan.

Body Positivity

Pada caption di salah satu postingannya, Puhto mendiskusikan perasaannya mengenai dua foto tersebut dan apa makna di balik perbedaan dua foto tersebut baginya.

Body Positivity

Instagram vs Real Life. Jika aku melihat foto di sebelah kiri setahun lalu, aku akan langsung berpikiran buruk tentang tubuhku. Bahwa usaha kerasku berolahraga tidak ada artinya. Bahwa bila seseorang melihatkan, mereka tak akan pernah berpikir bahwa aku sudah berolahraga selama dua tahun, bahwa aku kurang keras berusaha. Tapi, pada dasarnya semua bentuk tubuh terlihat berbeda. Tak ada orang yang pantatnya terlihat bulat dan penuh dari semua sudut. Tak ada orang yang tubuhnya terlihat sama dari semua sudut. Jangan makan lebih sedikit atau menahan diri dari makanan/minuman favoritmu atau berlatih berlebihan untuk “tampil menarik selama liburan” atau untuk “terlihat menarik dalam foto bikini” karena akan selalu ada sudut di mana kamu terlihat “tidak menarik” yang mungkin akan membuatmu merasa buruk saat melihatnya. Berolahraga dan makanlah secara teratur karena kamu menyukainya, bukan karena kamu ingin menghukum dirimu sendiri. Mulailah mencintai dan menerima tubuhmu dari segala sudut dengan segala “ketidaksempurnaannya”, daripada berusaha untuk masuk pada standar “cantik” menurut masyarakat, karena standar tersebut tak bisa diterapkan untuk semua orang, yang mana sangat kacau sekali. Jangan membenci dirimu sendiri hanya karena foto yang buruk. Mereka tidak menentukan siapa dirimu. Kamu terlihat menarik ketika kamu menjalani hidupmu sepenuhnya dengan bahagia. TYak ada gunanya melewatkan sesuatu dan menekan dirimu sendiri terlalu keras. Hidup bukanlah sebuah kompetitisi tentang siapa yang dapat terlihat paling menarik dan kita seharusnya menormalisasi untuk tidak “tampil sempurna” sepanjang waktu karena itu merupakan konsep yang menggelikan. Kamu sempurna sebagai adanya.

Pesan Puhto mengenai self-love dan apresiasinya menjadi tren di seluruh dunia, memberinya koper BoPo untuk body positivity. Selebriti bahkan bergabung dalam gerakan ini, memposting selfie tanpa make up untuk membantah mitos kesempurnaan Instagram.

Bahkan pebisnis mulai ikut dalam gerakan BoPo sejak beberapa tahun terakhir, memasukkan beragam bentuk dan ukuran tubuh dalam iklan dan pagelaran busana mereka. Kemarin di SWIMMIAMI—sebuah fashion show eksklusif untuk baju renang—Sports merilis swimline untuk mereka yang berbadan besar.

Body Positivity

Sejauh ini, penggemar menyukainya.

Diterjemahkan dari Body blogger takes unflattering pictures to prove point about Instagram

12 Angry Men (1957)

Selamat datang kembali di edisi kedua POPCORNer! Nah, di edisi kedua ini, kita akan bicara soal prejudice, atau opini yang tidak didasarkan pada alasan dan pengalaman sebenarnya, tetapi dari prasangka semata. Nah, kalau kita mau ngobrolin soal prejudice dengan media pop, paling tepat bila kita mengulas film berjudul 12 Angry Men yang dirilis tahun 1957. Lho, kenapa tidak membahas film 2005 besutan Paul Higgins, Crash, saja? Atau mungkin Babel besutan Alejandro González Iñárritu yang memang banyak bermain dengan film-film tentang prejudice?

Memang benar, dibanding Crash atau Babel, 12 Angry Men memang tidak menjadikan orang-orang kulit berwarna sebagai target prejudice. Apalagi Crash dan Babel yang dikeluarkan lebih akhir—Crash di tahun 2005 dan Babel di tahun 2006—lebih cocok disebut sebagai produk budaya pop dibanding 12 Angry Men yang dikeluarkan lebih dari setengah abad yang lalu. Namun, 12 Angry Men memiliki kekuatan dibanding film-film tentang prejudice lainnya. Apa itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menyimak kembali kutipan terkenal mengenai kesetaraan, “Some people are more privileged than others.”

12 Angry Men sedikit menyindir mengenai hal yang satu itu. Bahwa memang benar di antara semua manusia yang ada di atas bumi ini, ras kaukasian—atau white people, bila kita menyebutnya dalam bahasa yang lebih kekinianadalah orang-orang yang secara sosial paling banyak mendapatkan keistimewaan hanya karena mereka terlahir sebagai white people; dan bahwa prejudice biasanya dijatuhkan pada mereka yang tidak memiliki privilege oleh mereka yang memiliki privilege. 12 Angry Men kembali mengingatkan kita bahwa terlahir sebagai white people tidak lantas membuat seseorang terbebas dari prejudice.

Secara singkat, 12 Angry Men bercerita tentang 12 orang juri pengadilan yang tengah berunding untuk memutuskan nasib seorang terdakwa. Sepanjang film, tidak sekalipun kita diperlihatkan sosok yang menjadi terdakwa, namun dari diskusi yang dilakukan oleh 12 juri ini kita mengetahui bahwa terdakwa adalah seorang anak berusia 18 tahun yang lahir dan tumbuh besar di slum area. Anak ini didakwa melakukan pembunuhan oleh ayahnya, dan bila dia didakwa bersalah oleh kedua belas juri ini, dia akan mendapatkan hukuman mati. Sayangnya, bahwa anak tersebut, dakwaan ini diperkuat oleh sejumlah kesaksian.

Seorang perempuan yang tinggal di gedung di seberang gedung apartemen terdakwa bersaksi bahwa dia mendengar teriakan sang ayah dan melihat terdakwa menikam ayahnya. Seorang laki-laki tua yang tinggal di apartemen tepat satu lantai di bawah apartemen terdakwa bersaksi bahwa ia mendengar suara keras, dan saat ia keluar dari apartemennya, ia melihat terdakwa berlari menuruni tangga. Koroner yang menangani kasus tersebut bersaksi bahwa terdakwa, yang pulang ke apartemennya dua jam setelah ayahnya tewas, tidak mengingat film apa yang ditontonnya di bioskop saat kejadian berlangsung. Terakhir, pemilik toko pisau bersaksi bahwa dirinyalah yang menjual pisau yang ditemukan di lokasi kejadian kepada terdakwa.

12 Juri ini lantas mendiskusikan masing-masing kesaksian tersebut dan menelaah dengan lebih mendalam masing-masing dari kesaksian untuk memutuskan bahwa terdakwa akan dinyatakan bersalah atau tidak. Bila hanya membaca sinopsis singkat di atas, mungkin kamu akan berpikir bahwa film ini hanyalah film bertema ruang sidang biasa yang tidak ada sangkut-pautnya dengan prejudice. Namun bila kamu pernah menontonnya, kamu akan paham bahwa masing-masing dari dua belas juri yang ada memiliki prasangkanya masing-masing. 12 Angry Men seolah ingin menunjukkan bahwa prasangka bukanlah sekadar prasangka. Terkadang, prasangka yang kita miliki terhadap seseorang juga menentukan hidup dan matinya seseorang. Bila 12 juri dalam 12 Angry Men tidak menelaah baik-baik setiap kesaksian yang memberatkan terdakwa dan langsung memutuskan berdasarkan prasangka yang mereka miliki, seorang remaja delapan belas tahun akan kehilangan hidupnya di atas kursi listrik.

Kembali pada pernyataan some people are more privileged than others, 12 Angry Men dengan baik mengemas pernyataan tersebut dengan menunjukkan bahwa sekalipun terdakwa yang berkulit putih mestinya memiliki white privilege, namun karena terdakwa berasal dari kalangan menengah ke bawah, tidak berpendidikan tinggi, tidak memiliki pekerjaan yang mentereng, para juri tidak terlalu menganggap pentingnya. Salah seorang juri bahkan digambarkan merasa kesal karena tidak bisa menonton pertandingan baseball akibat diskusi yang berlarut-larut demi nyawa terdakwa yang dipertaruhkan.

Seperti judul lagu yang dirilis Lady GaGa di tahun 2015, Till it Happens to Youprivilege membuat seseorang bisa seenaknya menghakimi dan melempar prasangka atas hidup orang lain karena alasan yang sederhana: mereka tidak harus menjalani apa yang biasa dijalani oleh orang-orang yang tidak memiliki privilege. Anak-anak di kota besar bisa saja merasa bosan ke sekolah dan tak bisa melihat pentingnya sekolah karena mereka tidak harus berjalan kaki sejauh sekian kilometer untuk pergi ke sekolah. Orang-orang kaya bisa mencemooh demo-demo buruh karena mereka tidak harus membanting tulang di lingkungan kerja yang tidak manusiawi hanya untuk bisa makan. Orang-orang yang seumur hidupnya memiliki bentuk tubuh yang ideal bingung apa susahnya berdiet karena tidak pernah tahu kalau berat badan tidak bisa turun semudah nilai tukar rupiah.

Satu hal yang paling menarik dari 12 Angry Men adalah caranya yang tidak memperkenalkan nama tokoh-tokohnya. Di antara kedua belas juri, penonton hanya tahun nama dua orang di antaranya saja, Davis dan McCardle—itupun hanya disebutkan sekali saja di akhir film. Sepuluh orang sisanya? Sama sekali tidak disebutkan. Satu dari sepuluh juri tersebut bisa saja bernama Joko Widodo, atau Prabowo, atau Beno, atau Jono, atau siapapun. Kenyataannya, kita memang tidak perlu memiliki nama tertentu untuk bisa melayangkan prejudice pada orang lain. Semua orang bisa memiliki prejudice. Semua orang bisa melemparkan prasangka.

 POPCORNer. Merupakan sebuah sudut di Samsara yang dikhususkan untuk mengulas produk-produk budaya pop dengan kacamata feminisme. Kamu bisa mengusulkan produk budaya pop apa lagi yang perlu kita ulas berikutnya. POPCORNer terbit setiap Sabtu.

Persekusi, tentang usaha membela agama.

Beberapa waktu terakhir ini, telinga kita tentu akrab dengan istilah persekusi; terutama setelah kasus penistaan agama yang dilakukan oleh—saat itu—Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama. Singkat kata, ‘persekusi’ merupakan sebuah gerakan yang digalakkan oleh ekstrimis Islam (mari kita tidak merujuk pada salah satu organisasi untuk menghindari persekusi saat membahas persekusi) dengan memberikan hukuman berupa kekerasan, baik fisik, verbal, maupun ancaman di dunia maya, terhadap orang-orang yang dianggap telah mencemooh ulama dalam aktivitasnya di dunia maya. Tapi, sebenarnya apa, sih, yang dimaksud dengan persekusi itu?

Bila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi merupakan verba yang dapat diartikan sebagai  pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sementara bila kita merujuk pada Merriam-Webster, persekusi yang diambil dari kata persecution ditempatkan sebagai sebuah noun dengan makna sebuah tindakan untuk melecehkan atau menghukum dengan tujuan untuk melukai, membuat sedih, atau merundung terutama terhadap mereka yang berbeda asal-usul, agama ataupun pandangan sosialnya.

Dari dua definisi di atas, kita tahu bahwa tindakan persekusi memiliki sifat yang negatif. Sebuah tindakan yang mungkin tidak akan diajarkan pada anak-anak kita dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) karena akan digolongkan dalam tindakan-tindakan yang melukai moral kita dalam berbangsa dan bernegara. Lantas, bila kita semua setuju dengan difinisi itu—dan setuju juga untuk memberi label negatif pada tindakan tersebut, mengapa tindakan-tindakan persekusi ini marak terjadi selama beberapa waktu terakhir? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali pada definisi persekusi itu sendiri yang sudah dipaparkan di paragraf sebelum ini.

Nah, coba cermati kata-kata yang dicetak tebal pada paragraf di atas.

Sewenang-wenang. Beberapa orang, sekalipun mengerti sifat negatif yang dibebankan pada tindakan ini, berpendapat bahwa persekusi harus dilakukan, terutama dengan sewenang-wenang. Kenapa? Karena bila tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, bila persekusi harus dilakukan dengan alur hukum yang benar, mereka yang menjadi target persekusi tidak akan pernah mendapatkan hukuman. Alasan ini bukanlah alasan yang dibuat-buat, setidaknya itulah yang coba disampaikan oleh Sugito, Ketua Bantuan Hukum FPI, yang kemudian memberi paparan, “Kan, tahu sendiri, kalau Ahok melapor langsung diproses. Kalau kita yang melapor harus berjuang dulu baru diproses. Kalau yang terkait dengan penghinaan ulama, yang sekarang ini, yang terakhir ini, lah. Jarang, lah. Jarang diproses.”

Terlepas dari benar-tidaknya polisi jarang memproses laporan mengenai penghinaan terhadap ulama, alasan ini kemudian dianggap sebagai alasan yang valid bagi ekstrimis Islam untuk melakukan persekusi. Andaikan kasusnya bukan persekusi, dan pelakunya bukan seorang ekstrimis agama apapun, tentu tak sedikit pula yang setuju dengan tindakan main hakim sendiri. ‘Biar kapok!’, misalnya, adalah satu dari banyak argumen bersifat apologetik yang akan kita amini—dan nyatanya kita memang jarang dengan kencang bersuara saat masyarakat main hakim sendiri untuk pelaku begal, geng motor, pemerkosa atau tindakan-tindakan kriminal lainnya.

Tervalidasi ataupun tidak, persekusi sudah terjadi. Sejak 27 Januari 2017 hingga 31 Mei 2017 saja, Damar Juniarto dari SAFEnet melaporkan sudah ada 59 orang yang menjadi target persekusi. Anda tentu sempat membaca berita soal remaja 15 tahun yang dianiaya secara verbal dan fisik di Tangerang atas nama persekusi ini hingga harus dievakuasi oleh polisi. Atau mungkin kasus persekusi yang menimpa Fiera Lovita di Solok setelah dia dituduh menghina salah satu ulama melalui komentarnya di media sosial. Bila persekusi ini terus terjadi, kita akan membaca berita mengenai 57 orang lainnya yang menjadi target persekusi. Depresif sekali rasanya.

Pertanyaannya adalah, apakah persekusi ini sebuah tindakan yang salah? Kita, bersama dengan KBBI dan Merriam-Webster mungkin menganggapnya demikian, namun bagi pelakunya mungkin tidak demikian. Mengapa tidak? Karena mereka memang tidak menganggap persekusi ini sesuatu yang salah. Dalih membela agama menjadi validasi yang sempurna bagi mereka, karena … bagaimana mungkin sebuah tindakan untuk membela agama disebut sebagai tindakan yang salah, kan?

Mengenai dalih bela agama ini, mau tidak mau kita harus berkaca pada kasus penikaman yang terjadi di Portland, Oregon, Amerika Serikat. Alkisah di hari pertama Ramadan yang jatuh di akhir Mei lalu, dua orang perempuan—seorang di antaranya mengenakan hijab—tengah berada di dalam gerbong kereta ketika Jeremy Joseph Christian, 35 tahun, mulai melakukan kekerasan verbal kepada keduanya (kegiatan aktivitas anti-Islam yang memang sedang tren di Amerika sana semenjak Donald Trump terpilih sebagai presiden). Tiga orang laki-laki di kereta tersebut tak setuju dengan Jeremy, mereka berdiri dan membela dua orang perempuan yang dilecehkan oleh Jeremy. Tak butuh waktu lama sampai Jeremy akhirnya melakukan kekerasan fisik, ia menikam tiga laki-laki yang menghalanginya melecehkan perempuan muslim tersebut. Dari tiga orang laki-laki yang mencoba menengahi Jeremy, dua meninggal dan satu terluka.

Bicara tentang persekusi, di bagian mana kita harus berkaca pada kasus Jeremy Joseph Christian? Di bagian berikut …

Pada persidangan pertamanya, Jeremy Joseph Christian dengan lantang berteriak, “You call it terrorism, I call it patriotism. You got no safe place! Death to the enemies of America!” Tentunya, ekstrimis Islam tidak mau disamakan dengan seseorang bernama Christian yang anti terhadap Islam, kan? Tapi, mau tidak mau, kita akan berpikir bahwa ‘kamu menyebutnya terorisme, aku menyebutnya patriotisme’ akan terdengar senada dengan ‘kamu menyebut persekusi kriminal, aku menyebutnya bela agama.’

POPULER