Beranda blog Halaman 28

Activism and Apathy

By: Sara Barnes

apathy imageWhile researching the debate on legalizing abortion in Indonesia I came across something which at first surprised me. To the people with the power to make or prevent a change in the law there is no debate. The topic is a non-issue to politicians, the media and public figures. Granted, woman’s reproductive rights are not often seen as a sexy topic – but surely they are at least controversial enough to garner debate?

In a conservative society one could imagine that this lack of interest comes from an entrenched societal conception of abortion as a sin. Case closed – no need for discussion. However, an estimated 2 million illegal abortions are carried out every year in Indonesia. Although the penalty for a woman caught having an abortion or a doctor caught carrying out the procedure is steep (up to 10 years), cases are rarely taken to court. When clinics offering the procedure are found out the problem generally disappears with a quiet exchange of money. It seems the idea of abortion as an inconceivable sin is not so entrenched as to escape corruption.

Polemik Sunat Perempuan

Oleh Neni Nilasari

femenorg-photo-8Tanggal 6 Februari tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Internasional Tanpa Toleransi Terhadap Sunat Perempuan. Hal ini muncul dari keprihatinan akan tingginya jumlah perempuan dan anak perempuan yang mengalami penyunatan di banyak negara seperti di Afrika, Timur Tengah, Malaysia, Indonesia, Amerika Selatan, bahkan Inggris dan Perancis. Data dari UNICEF menunjukkan setidaknya 120 juta anak perempuan dan perempuan telah mengalami sunat perempuan di 29 negara dan 30 juta anak perempuan di bawah 15 tahun masih memiliki risiko mengalami sunat perempuan.

Bervalentine Day dengan Strike, Dance, and Rise

Oleh Bernadia Hastiwi Widya Sarastri

Pada tanggal 14 Februari 2013 lebih dari 200 negara, melawan kekerasan dengan bergabung dalam One Billion Rising. Mereka melawan, menari, dan bangkit. Di Jogja, diguyur hujan tidak melemahkan semangat peserta OBR dalam menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan. Sekitar lebih dari 150 orang menari di bawah hujan. OBR jogja dibagi dalam beberapa titik. Titik pertama mulai dari dekat hotel Inna Garuda jalan Malioboro diiringi dengan musik dangdut dari penjual gethuk. Mereka menari untuk menarik perhatian pengunjung sekitar, kemudian membagikan selebaran yang berisi tentang informasi penting untuk perempuan yang mengalami kekerasan.Banyaknya kasus kekerasan yang terungkap (mungkin lebih banyak yang tidak terungkap) membuat banyak simpatisan untuk bersatu melawan kekerasan tersebut.

Perspektif Antropologi tentang Gender, Patriarki dan Feminisme

oleh:  Fatahillah Nur Bintang

1389920481298Untuk memahami perspektif feminisme dengan lebih mendalam, maka, mau tidak mau kita juga harus memahami perspektif gender. Hampir semua pandangan atau ide para feminis yang berkecimpung dalam isu ini, mengawali pondasi kritiknya berbasiskan pemahaman tentang gender secara menyeluruh. Artinya, ada upaya untuk menggali secara mendalam tentang bagaimana konsep awal mula gender terkonstruksi dan dikonstruksi. Walaupun pada akhirnya kita akan dihadapkan pada berbagai pandangan yang berbeda-beda antara pemikir satu dengan pemikir yang lain dalam mendefiniskan dan memahami gender. Judith Butler dalam pengantar bukunya yang berjudul “Gender trouble: feminism and the subversion of identity” (1990) menyatakan: “Perdebatan feminis kontemporer dalam memaknai gender tak pernah berkesudahan, dari sejak awal sampai sekarang dan lagi, pada permasalahan terntentu, seolah-olah ketidakpastian gender akhirnya bisa jadi berujung pada kegagalan feminisme.”

Gender dalam Prespektif Islam

gender
Di abad pertengahan, pada umumnya kedudukan kaum perempuan di Barat sangat terkungkung; baik dalam kehidupan rumah tangga sebagai istri, apalagi yang berkenaan dengan hak-hak kemasyarakatan. Posisi kaum perempuan pada saat itu tak begitu jauh bedanya dengan kedudukan perbudakan yang diperlakukan semena-mena. Pada waktu itulah timbul di benua Eropa gerakan perempuan yang dinamakan gerakan emansipasi. Ketika wacana teologis tentang perempuan dibuka dan menjadi diskursus yang cukup ramai, maka pembahasan dogma-dogma agama mulai muncul dan berkembang.

Diawali dengan anggapan bahwa konstruksi gender dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh agama dan ideologi yang dianutnya, maka wacana teologi gender mulai bergulir. Anggapan bahwa pemahaman agama bias gender membuat arah baru gerakan feminisme, di mana para feminis mulai menawarkan pemaknaan baru terhadap agama sekaligus membongkar dogma-dogma agama yang telah mapan dan dianggap membelenggu kaum perempuan. Hal ini hampir terjadi di semua agama. Menurut sebuah tulisan yang mengatakan bahwa pada tahun 1895 misalnya, Elizabeth Cady berkomentar dan pandangan Injil terhadap perempuan dalam tulisannya yang terkenal yaitu The Women Bible.

Mari kita Memahami Gender

seksualitas dan gender

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegaskan kan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, dan Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Gender merupakan aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.

Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah

Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Seks dipandang sebagai sesuatu yang konstan dan tidak dapat berubah, meskipun saat ini teknologi memungkinkan seseorang untuk melakukan penggantian jenis kelamin. Gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, artinya bahwa bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan dipengaruhi oleh sosial, kepercayaan, agama dan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, gender dimaknai secara berbeda dalam budaya yang beragam

Tidak jauh berbeda, seksualitas juga merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Sebagai hasilnya, maka seksualitas dialami dan diekspresikan setiap orang dengan cara yang beragam. Seksualitas tidak terbatas pada perilaku atau tindakan seksual, tapi memiliki dimensi yang luas yang berhubungan dengan identitas seseorang.  Bagi sebagian orang seksualitas bisa berarti orientasi seksual, namun bagi sebagian lainnya seksualitas bisa dimaknai sebagai kebebasan untuk mengekspresikan diri  dan mengambil keputusan atas tubuh mereka. Keberagaman pengalaman dan isu yang berhubungan dengan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan.

Jadi, Gender dapat dimaknai sebgai pembedaan antara laki laki dan perempuan secara nilai dan tingkah laku yang dibentuk oleh konstruksi sosial kemasyarakatan. Tidak baku dan dapat berubah sewktu waktu. Jadi selamat memahami gender anda masing masing.

PENGGUNAAN PERSPEKTIF PEREMPUAN PADA PERUMUSAN FIQH tentang ABORSI

aborsi dalam islam

Semua perdebatan terkait tinjauan Islam mengenai aborsi dapat ditengahi dengan penggunakan perspektif perempuan. Hal ini sangat diperlukan  terutama untuk mendorong adanya formulasi fiqh kontemporer tentang aborsi . Tujuannya untuk kehidupan perempuan bisa menjadi lebih aman, sehat dan membahagiakan.

Kenyataannya pandangan keagamaan tertentu ikut bertanggungjawab terhadap perempuan. Larangan aborsi ternyata tidak efektif untuk menghentikan praktek aborsi, bahkan menghantarkan para perempuan untuk secara terpaksa dan diam-diam menerima praktik-praktik yang tidak aman. Selain itu,  ada hal yang hilang ketika persepktif perempuan tidak digunakan dalam membahas persoalan aborsi. Bahwa hukuman pelanggaran aborsi hanya ditujukan kepada perempuan tanpa menyentuh pasangannya yang mengakibatkan dia hamil.

Dalam agenda perumusan fiqh aborsi dengan perspektif perempuan, yang harus pertama kali dilakukan adalah identifikasi pertimbangan-pertimbangan yang sangat kuat dan memaksa (dharuriyyat) bagi praktek aborsi. Fiqh klasik, setidaknya dalam madzhab Hanafi, telah memberikan contoh; misalnya pertimbangan kekeringan air susu, karena si ibu hamil masih memiliki bayi masih kecil yang sedang disusui, sementara suami tidak memiliki kecukupan untuk membeli susu atau membayar perempuan lain untuk menyusui bayi tersebut. Pertimbangan seperti ini perlu dirumuskan kembali dalam konteks sekarang; misalnya kehamilan akibat perkosaan yang sangat mengganggu kondisi perempuan, kondisi tubuh tidak kuat melahirkan atau pertimbangan-pertimbangan lain yang perlu dikaji dan dirumuskan terlebih dahulu dengan para pakar di bidang masing-masing. Yang sangat penting juga, bahwa agenda perumusan ini harus didasarkan kepada prinsip-prinsip yang diturunkan dari teks-teks al-Qur’an dan hadits yang menjadi perujukan pembicaraan ulama tentang aborsi.

Prinsip-prinsip (kaidah ushul fiqh) [S1] yang coba ditawarkan adalah
Pertama prinsip penghormatan kepada kehidupan manusia , baik terhadap kandungan maupun terhadap ibu yang mengandung. Aborsi dalam hal ini tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa sebab dan alasan yang kuat.
Kedua, prinsip nyawa ibu lebih diutamakan daripada nyawa kandungan (al-umm ashl an-nasl, wa al-ashl muqqaddamun ‘ala al-far’)
Ketiga, prinsip bahwa penentuan ketetapan harus diberikan kepada yang paling minimal resikonya baik terhadap diri ibu maupun kanndungan (idza ta’aradhat al-mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma bi irtikad akhaffima)
Keempat, prinsip bahwa setiap diri diharuskan untuk berupaya untuk tidak menjerumuskan kepada kerusakan dan kehancuran dirinya (wa la tulqu bi aydikum ila at-tahlukah).

Prinsip-prinsip dan kaidah ushul fiqih ini sebenarnya menghimbau semua komponen masyarakat, siapapun ia, memperoleh amanat untuk memelihara kehidupan kemanusiaan, baik yang terikat dalam kandungan maupun ibu yang mengandung. Membiarkan praktik-praktik aborsi terjadi merajalela adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pada saat yang sama menejerumuskan ibu-ibu pada pilihan aborsi yang tidak aman yang mengancam jiwa mereka, juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Kontroversi aborsi memang sangat menyulitkan, tidak sesederhana pandangan orang dengan polarisasi dua kutub; pro life dan pro choice.

Saat ini, perumusan fiqh tentang aborsi harus memihak kehidupan kemanusiaan dengan makna yang sesungguhnya, bukan sebatas persoalan nyawa. Baik kehidupan janin saat di dalam kandungan, saat kelahiran, paska kelahiran dan masa –masa pertumbuhan serta perkembangan berikutnya. Maupun kehidupan ibu yang mengandung, saat kehamilan, melahirkan, menyusui, merawat, dan membesarkan. Ketika realitas sosial masih membebankan persoalan kandungan –apalagi dalam kasus kehamilan yang tidak direncanakan-terhadap perempuan semata; baik beban mental, fisik, dan ekonomi; pada seluruh fase kehamilan, kelahiran dan paska kelahiran, maka pusaran utama dalam perumusan fiqh aborsi adalah perempuan, dengan mendasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan riil kehidupan nyata yang dialami perempuan hamil. Dengan melihat realitas yang seperti ini, pemihakan terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan dan sangat penting.

Kesimpulan:
Dalam fiqh, pandangan ulama mengenai aborsi sangat beragam, karena itu sangat tidak bijaksana jika hanya ‘nada pelarangan’ yang didengung-dengungkan kepada masyarakat. Karena pada praktiknya, pelarangan aborsi justru menempatkannya pada sudut yang gelap, tidak terjamah tangan-tanagn medis dan membahayakan perempuan. Larangan aborsi hanya bisa difatwakan ketika disertai dengan pendampingan dan penguatan.

Jika tidak, larangan aborsi sebenarnya hanya akan menyerat kepada kondisi yang membahayakan dan menistakan. Pada saat yang sama aborsi juga tidak bisa diperkenankan begitu saja, karena menyangkut moralitas kehormatan kemanusiaan, baik bagi kandungan, ibu yang mengandung, keluarga maupun masyarakat luas.  Mungkin cukup tepat jika diusulkan adanya Lembaga Konsultasi aborsi, yang menjadi media konseling bagi para perempuan-atau pasangan- yang ingin melakukan aborsi aman. Sebelum menjatuhkan pilihan aborsi, dia bisa memperoleh informasi yang tepat, tentang moralitas kemanusiaan, kondisi fisik, dan mental tubuhnya, serta informasi pelayanan medis yang paling aman dan sehat. Menurut Faqih, lembaga ini paling tidak terdiri dari ulama yang arif, psikolog yang bijak dan ahli medis yang professional. Pada prinsipnya kehidupan manusia harus dihormati, dimuliakan dan dilestarikan.

*sumber ; Makalah “Penghentian Kehamilan (yang Tidak Dikehendaki) Secara Tidak Aman) ; Tinjauan Islam oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam sebuah Workshop mengenai kesehatan reproduksi, 21 Agustus 2003 di Yogyakarta. Faqihuddin Abdul Kodir MA merupakan Direktur Fahmina Institute. Beliau adalah dosen STAIN Cirebon dan alumnus fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah.

Tinjauan Islam Memandang Aborsi

aborsi dalam islam

Sebuah tulisan yang menarik coba ditawarkan oleh Ahli Fiqh Faqihuddin Abdul Kodir, yakni dengan memaknai teks-teks dan pandangan-pandangan ulama dalam hal aborsi. Islam pada dasarnya melarang aborsi adalah sesuatu yang dipaksakan. Menurut Faqih, Islam atau lebih tepatnya fiqh telah membiarkan  teks-teks tentang aborsi terbuka untuk diperdebatkan. Jika pada masa lalu saja, mereka membuka perbedaan dan perdebatan seputar aborsi, maka pada sekarang perdebatan itu juga harus diteruskan untuk menemukan pandangan yang lebih tepat dengan konteks kita saat ini.

Ayat-ayat al-Qur’an yang biasa digunakan para penulis dalam membicarakan persoalan aborsi adalah ayat-ayat yang tidak langsung, karena yang eksplisit melarang atau membolehkan aborsi sebenarnya memang tidak pernah disebutkan di dalam al-Qur’an itu sendiri.

Ayat-ayat yang tidak langsung yang dimaksud kebanyakan berisi tentang penghormatan manusia, penciptaan dan proses perkembangan janin serta larangan membunuh anak seperti (Qs. Al-Isra, 17:70), (Qs. Al-An’am, 6:151), (Qs. Al-Isra, 17; 31), (Qs. Al-Hajj, 22:5), (Qs. Al-Mu’minun, 23: 12-14) dll.

Sebenarnya  masih sulit untuk menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an telah membicarakan persoalan aborsi dan mengharamkannya. Beberapa sisi memang aborsi disamakan  dengan pembunuhan yang diharamkan, tetapi dari sisi-sisi lain tidak bisa disamakan begitu saja. Contohnya pemaknaan kandungan yang masih diperdebatkan kapan ia mulai memiliki nyawa. Berbeda jelas pada obyek pembunuhan yakni manusia yang jelas-jelas bernyawa.

Aborsi dalam Perdebatan Ulama Fiqh
Perbedaan pendapat sudah dimulai dari menyamakan  aborsi dengan ‘azl atau senggama terputus.  Seperti yang diceritakan Imam Muhammad bin Isma’il ash-Sha’ani (1059-1182H)  : ‘azl pun ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. (Subulussalam, 3/146).

Muhammad Syaltut dari ulama kontemporer misalnya menceritakan bahwa ulama fiqh sepakat menyatakan haram terhadap aborsi paska peniupan ruh kecuali jika kehamilan itu mengancam kehidupan ibu yang mengandung. Tetapi terhadap aborsi pra-peniupan, ulama fiqh berbeda pendapat (al-Fatwa, 289-292).

Syekh Jadul Haq lebih rinci lagi menjelaskan pernyataan beberapa madzhab fiqh dalam aborsi . Madzhab Hanafi aborsi sebelum kandungan umur 120 hari secara umum diperbolehkan jika ada alasan yang sah;memelihara air susu agar tetap mengalir bagi bayi yang sedang disusui, kekhawatiran pada kesehatan ibu karena hamil, atau kesulitan medis yang harus dialami sata melahirkan.

Sementara mayoritas ulama madzhab Malikiyah melarang aborsi sekalipun kandungan belum berumur 40 hari, karena menurut mereka proses kehidupan telah dimulai sejak pertemuan sperma dengan ovum. Proses ini dimuliakan. Sedang, Ibn Hajar membolehkan aborsi sebelum kandungan berumur 42 hari, sementara Muhammad bin Abu Sa’id mengizinkan selama belum mencapai umur kandungan 80 hari. Madzhab Zaydi memperkenalkan aborsi sebelum kandungan berumur 120 hari, karena dianggap sama persis dengan ‘azl (senggama terputus) yang memang diperkenankan.

Pada makalah ‘Telaah Kritis terhadap Fakta Aborsi Perspektif Fiqh Kontemporer, menguraikan apakah pengguguran kandungan dibolehkan? “Ya, selama belum terjadi penciptaan, dan itu baru terjadi berusia 120 hari” (Husein Muhammad). Dalam semangat yang hampir sama, Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pengguguran kandungan sebelum berumur 120 hari bisa dilakukan dengan alasan yang tepat, jika tanpa alasan maka hukumnya makruh saja. (Fiqh as-Sunnah, 2/177-178).

Intinya, bagi kelompok yang mengharamkan, memandang bahwa konsepsi adalah proses awal dari kehidupan manusia,yang harus dihormati. Namun, dalam pernyataan Imam al-Ghazali (w. 505 H) misalnya, aborsi sangat berbeda dengan ‘azl. Karena aborsi adalah tindakan pidana terhadap sesuatu yang telah ada dan berproses untuk memulai kehidupan (mawhudun hashil). Sementara ‘azl hanya sekadar pemutusan sebelum terjadinya konsepsi sebagai awal dari proses kehidupan.

Perspektif Perempuan
Berbagai tulisan, buku, diskusi banyak memperbincangkan persoalan aborsi di Indonesia -dimulai dari persoalan legalitas hukum, moral, dan atau agama – yang belum dilakukan adalah penggunaan ‘perspektif perempuan’ sebagai kerangka berfikir utama.

Umar bin Khattab ra suatu saat menyatakan; “Dulu kami pada  masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah Swt menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kamu tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami, tetapi kami masih enggan menyertakan mereka dalam urusan-urusan kami”. (Hadits Bukhari, kitab 77/bab 31, no. 5843). Ini menjadi gambaran realitas sosial-budaya yang memarjinalkan perempuan, termasuk pada masyarakat muslim sendiri.  Sehingga Nabi Muhammad Saw, menjelang akhir hayatnya beliau , pada saat haji wada’ menyampaikan pesan ke hadapan ribuan sahabat; “Aku wasiatkan kepada kalian, agar berbuat baik kepada perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal, kalian berkewajiban untuk berbuat baik kepada mereka,” (Hadits Turmudzi no. 1163 dan Ibn Majah  1851)

Pernyataan Nabi Muhammad saw ini merupakan peneguhan terhadap dua hal; bahwa realitas sosial dalam banyak hal sering tidak bersahabat terhadap perempuan , dan ini bertentangan dengan misi Islam itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan persoalan aborsi misalnya, realitas sosial sampai saat ini masih menyudutkan perempuan, bahkan membahayakan dan mengancam jiwa mereka. Dalam hal aborsi, baik pandangan keagamaan, perilaku budaya, kebijakan pemerintah maupun tatanan hukum dan sosial, semua mengarah kepada perempuan dan menjadikan mereka korban-korban stigma dan praktik aborsi, baik secara fisik dan juga mental, baik aborsi yang aman apalagi yang tidak aman.

Fakta yang seharusnya bisa dilihat secara murni menjadi sebuah pertimbangan; WHO mencatat 15-50 % kematian ibu disebabkan aborsi yang tidak aman. Dari tiap 20 juta pengguguran kandungan yang terjadi di dunia setiap tahunnya, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia karena praktik aborsi tidak aman. Angka ini termasuk tinggi dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.

*sumber ; Makalah “Penghentian Kehamilan (yang Tidak Dikehendaki) Secara Tidak Aman) ; Tinjauan Islam oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam sebuah Workshop mengenai kesehatan reproduksi, 21 Agustus 2003 di Yogyakarta. Faqihuddin Abdul Kodir MA merupakan Direktur Fahmina Institute. Beliau adalah dosen STAIN Cirebon dan alumnus fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah.

POPULER