Beranda blog Halaman 7

Aborsi: Menjawab Deretan Panjang Kekhawatiran Perempuan

Apa yang pertama kali muncul dalam pikiran kalian saat mendengar kata aborsi? Bagi sebagian besar orang, gambaran yang muncul dalam kepala mereka saat mendengar kata aborsi tidak akan jauh-jauh dari darah yang berceceran di lantai, bayi yang meninggal, kemandulan, kanker, atau bahkan kematian. Hal yang sama juga terjadi saat kita mencoba mengetik aborsi sebagai kata kunci di mesin pencarian, sebagian besar hasil yang akan muncul adalah gambar-gambar menyeramkan dan berbagai informasi yang terus menegaskan aborsi sebagai tindakan berbahaya. Pertanyaannya adalah, benarkah semua informasi itu?

Media pada hari ini memegang peran yang sangat penting tidak hanya terbatas dalam proses penyebaran informasi tapi juga dalam proses pembentukan sudut pandang terhadap suatu isu, tak terkecuali aborsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aborsi hampir selalu mendapatkan stigma dari media, maka tidak mengherankan kalau media selalu menampilkan isu aborsi sebagai sesuatu yang horor dan berbahaya. Hal tersebut sangat berdampak pada cara pandang masyarakat sehingga aborsi dipercaya sebagai tindakan yang berdampak buruk pada kesehatan seksual dan reproduksi, padahal aborsi sendiri adalah bagian dari perawatan kesehatan yang seharusnya dapat diakses secara legal oleh setiap perempuan sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Aborsi merupakan salah satu pilihan yang dapat diambil oleh perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan. Namun stigma dan informasi yang simpang siur pada akhirnya menimbulkan banyak kekhawatiran pada perempuan saat ingin memutuskan untuk aborsi.

Berikut ini adalah rangkuman pertanyaan dan jawaban terkait kekhawatiran yang seringkali muncul saat perempuan ingin memilih untuk melakukan aborsi.

  1. Apakah aborsi itu dosa dan akan mendapat karma?

Dosa dan karma adalah dua konsep abstrak yang sangat bergantung pada kepercayaan masing-masing individu. Tidak ada jawaban yang berlaku universal untuk pertanyaan seperti ini sebab jawabannya akan kembali pada masing-masing individu berdasarkan nilai dan keyakinan yang dipegang. Namun, hal yang perlu diingat adalah bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan tetap memiliki hak penuh untuk membuat keputusan yang tepat atas tubuhnya sendiri. Jadi, saat kamu sedang kebingungan menentukan keputusan karena merasa aborsi adalah hal buruk, cobalah untuk bertanya pada diri sendiri apakah itu adalah pilihan yang tepat? Sebab semua pilihan adalah baik selama itu adalah apa yang kamu butuhkan.

2. Apakah aborsi aman bisa dilakukan?

Sebelum menjawab, mungkin kita perlu membahas istilah aborsi aman itu sendiri. Aborsi aman adalah aborsi yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang dianjurkan oleh pihak yang kredibel dalam bidangnya, misalnya seperti Medical Management of Abortion tahun 2018 World Health Organization (WHO). Aborsi aman sangat bisa dilakukan baik dengan bantuan tenaga kesehatan maupun secara mandiri. Aborsi aman juga memerlukan proses konseling sebagai salah satu tahapannya.

3. Apakah aborsi memiliki efek samping seperti kanker, kista, pengangkatan rahim, atau kemandulan?

Pertanyaan terkait efek samping aborsi adalah yang paling sering ditanyakan. Ini tentu penyebabnya sangat jelas, yaitu informasi simpang siur terkait aborsi itu sendiri, baik yang didapatkan dari media, maupun yang tersebar dari mulut ke mulut. Aborsi yang dilakukan dengan aman dan sesuai prosedur tidak akan memberikan efek samping jangka panjang pada kesehatan organ seksual dan reproduksi. Hal tersebut justru dapat terjadi sebagai dampak dari praktik aborsi tidak aman yang dilakukan tanpa informasi yang cukup dan valid sehingga berisiko menyebabkan berbagai kerusakan pada organ seksual dan reproduksi.

4. Apakah aborsi yang dilakukan dengan obat-obatan itu aman?

Aborsi dengan obat-obatan juga dikenal dengan istilah aborsi medis. Ini adalah aborsi yang dapat dilakukan secara mandiri. Aborsi yang dilakukan dengan obat-obatan sangat aman selama dosis dan cara penggunaan obat sesuai dengan protokol tindakan.

5. Apakah harus ke rumah sakit jika mengalami pendarahan saat minum obat aborsi?

Pendarahan adalah reaksi yang normal. Itu tanda bahwa obat sudah mulai bekerja. Selama pendarahan yang keluar normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda pendarahan hebat, maka tidak perlu ke rumah sakit.

6. Apakah aborsi dengan obat-obatan lebih menyakitkan daripada aborsi bedah?

Nyeri yang dirasakan saat melakukan aborsi kadarnya berbeda-beda pada tiap perempuan, jadi tidak dapat disimpulkan kalau aborsi dengan obat-obatan itu lebih sakit daripada aborsi beda. Hal ini juga akan kembali pada kenyamanan masing-masing perempuan. Semakin nyaman dan siap dengan pilihan metode aborsinya, maka rasa sakit juga lebih memungkinkan untuk ditoleransi.

7. Apakah kontraksi saat aborsi sama seperti kontraksi saat melahirkan?

Hal ini akan sangat bergantung pada usia kehamilan saat melakukan aborsi. Semakin tinggi usia kehamilan, maka kontraksi akan semakin kuat. Penting untuk bisa rileks selama proses aborsi dan melakukan hal-hal yang dapat membantu mengalihkan perhatian dari rasa nyeri.

8. Apakah aborsi dengan obat-obatan bisa menyebabkan pendarahan hebat dan infeksi?

Ada risiko terjadi pendarahan hebat serta infeksi selama maupun setelah proses aborsi dilakukan, namun kemungkinan ini sangat kecil yaitu kurang dari 1% selama tidak ada kondisi tertentu yang menjadi faktor risiko.

9. Apakah pendarahan yang tidak berhenti setelah aborsi itu normal?

Pendarahan yang tidak berhenti selama beberapa minggu setelah aborsi itu adalah hal yang sangat normal. Tubuh masih perlu waktu untuk membersihkan sisa-sisa jaringan yang tertinggal setelah aborsi, maka pendarahan akan terus terjadi sampai tubuh berhenti meluruhkan sisa jaringannya.

10. Apakah aborsi dengan obat-obatan bisa membersihkan sisa jaringan di rahim atau diperlukan obat tambahan lain untuk membantu membersihkan jaringan?

Tidak perlu khawatir mengenai sisa jaringan yang tertinggal setelah aborsi. Tubuh manusia itu sangat luar biasa. Ia bisa membersihkan sisa jaringan yang masih tertinggal tanpa perlu bantuan obat-obatan tambahan. Tapi tentu saja itu bukan proses yang instan. Tubuh juga perlu waktu untuk melakukan pekerjaannya, tapi sekali lagi jangan khawatir. Berikan kepercayaan pada tubuhmu untuk melakukan tugasnya.

11. Apakah masih diperlukan kuretase setelah aborsi dengan obat-obatan?

Selama proses aborsi yang dilakukan lancar, maka kuret atau intervensi medis dalam bentuk apapun tidak diperlukan. Sekali lagi, tidak perlu khawatir dengan sisa jaringan yang tertinggal. Biasanya jika melakukan USG setelah aborsi dan masih ada sisa jaringan yang tertinggal, dokter akan menyarankan untuk melakukan kuret dengan alasan agar tidak membahayakan kesehatan organ reproduksi, namun kamu punya hak untuk menolak jika tidak ingin melakukan kuretase. Sebenarnya, kuret juga sudah tidak direkomendasikan oleh WHO sebab menggunakan benda tajam yang berpotensi menyebabkan perlukaan dan memicu infeksi.

12. Apakah setelah melakukan aborsi harus memeriksakan diri ke dokter?

Jika setelah aborsi kamu merasa baik-baik saja, maka tidak perlu ke dokter. Namun jika tetap ingin melakukan pemeriksaan agar lebih meyakinkan, kami bisa ke dokter pada hari ke-10 setelah minum obat. Biasanya pada hari ke-10 hasil USG sudah cukup akurat karena sisa jaringan sudah semakin sedikit bahkan ada yang sudah benar-benar bersih. Jika saat dilakukan pemeriksaan ternyata masih ditemukan sisa jaringan, kamu bisa mencoba mengecek dengan testpack pada hari ke-21 atau minggu ketiga setelah minum obat.

Memilih untuk melakukan aborsi atau tidak pada akhirnya tetap menjadi hak personal bagi setiap perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan, namun memiliki informasi yang cukup sebelum memutuskan setiap pilihan merupakan satu kebutuhan yang fundamental. Sangat disayangkan bahwa informasi terkait isu aborsi yang dimuat di banyak media di Indonesia seringkali masih bernada sumbang dan tidak valid, sebab itu dibutuhkan kejelian dalam memilah informasi agar tidak menambah ketakutan dan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu.

Aborsi merupakan bagian dari layanan kesehatan yang komprehensif. Alih-alih melakukan represi dan kriminalisasi, pemerintah seharusnya menyediakan dan mendukung pengadaan layanan untuk melakukan prosedur aborsi aman sebagai salah satu upaya pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi setiap warga negaranya. Sama halnya dengan banyak media di Indonesia yang seharusnya memandang isu aborsi dengan cara lebih positif dan menjadi bagian dari pemberi informasi yang valid, bukan malah menyebarkan informasi yang justru melanggengkan stigma terhadap aborsi itu sendiri.

Tips Keamanan Data Pribadi di Era Informatika

“Imagine a society that subjects people to conditions that make them terribly unhappy then gives them the drugs to take away their unhappiness. Science fiction It is already happening to some extent in our own society. Instead of removing the conditions that make people depressed modern society gives them antidepressant drugs. In effect antidepressants are a means of modifying an individual’s internal state in such a way as to enable him to tolerate social conditions that he would otherwise find intolerable.” – Ted Kaczynski

Bagi Ted Kaczynski “Unabomber” dalam Unabomber Manifesto, teknologi merupakan sumber permasalahan dalam hidup manusia, sehingga memiliki dampak yang besar dalam membentuk masyarakat modern. Sejauh yang saya pahami, argumen dari Unabomber adalah seperti ini :

  • Teknologi membawa kehancuran pada alam
  • Semakin kuat dominasi teknologi yang ada pada masyarakat, semakin sedikit kebebasan yang ada dalam masyarakat
  • Oleh sebab itu, kebebasan pribadi harus dibatasi dan diatur oleh masyarakat, sebagaimana mestinya
  • Karena tidak dapat dihancurkan oleh teknologi ataupun politik, manusia harus mendorong masyarakat industri menuju akhir dari keruntuhan diri yang tak terhindarkan
  • Gerakan amplifikasi diri dari teknologi ini lebih kuat daripada politik.
  • Setiap upaya untuk menggunakan teknologi atau politik untuk menjinakkan sistem, hanya berdampak untuk semakin memperkuat sistem tersebut
  • Oleh karena itu, peradaban teknologi harus dihancurkan, bukan di reformasi

Tidak semua argumen milik Ted Kaczynski relevan untuk diterapkan dan tentu tidak bermakna membenarkan serangkaian aksi teror bom yang dilakukannya kepada para teknofilia profesional, teknologi mampu berjalan berdampingan dengan masyarakat dan itu adalah hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Masyarakat industri memiliki kecenderungan untuk pemanfaatan teknologi secara optimal jika hal itu menyangkut produktivitas mereka. Contohnya pemanfaatan sosial media sebagai medium jual beli guna menjangkau pasar yang lebih luas, seseorang dengan pemanfaatan sosial media sebagai sarana promosi lebih cepat memperluas pasar penjualan mereka dibanding menggunakan sarana promosi door to door, selebaran, dan basis penjualan offline store.

Tetapi, disini teknologi juga hadir dalam dua sisi (baik dan buruk). Diantara narasi-narasi fin-tech yang menjamin kestabilan finansial, produksi technium yang semakin hari menjadi bagian dari kebutuhan interaksi sosial yang dibutuhkan manusia dengan kecerdasan buatan yang semakin kompleks, kita hanyalah tumpukan data yang dihimpun sebagai komoditas oleh perusahaan teknologi skala titan serupa Facebook dan Google. Setiap orang membangun figur maya mereka sedemikian rupa di sosial media, dan kumpulan angka berupa likes dan follower menjadi basis strata. Kita tenggelam dalam kesemuan tanpa ujung dalam labirin-labirin kesenangan monoton yang kita jalani.

Sumber : https://unsplash.com/photos/QEoRUN-h5PI

Tentu kita masih ingat dengan Cambridge Analytica, pencurian data dari puluhan juta pengguna Facebook sebagai alat pemenangan pemilu yang dimana hal ini bukan hanya perihal pencurian data saja tetapi tentang kapitalisme pengawasan (surveillance capitalism) juga. Dalam prakteknya sendiri, kebanyakan aplikasi yang penggunaannya berbasis akun, setelah mendaftarkan alamat email dan password maka akan diarahkan untuk melengkapi informasi pribadi tentang dirinya seperti nomor handphone, alamat, usia, pekerjaan, dan lainnya yang seakan informasi dasar berupa nama lengkap, alamat email, dan negara tidak cukup bagi mereka. Proteksi data/informasi pribadi adalah hal yang sangat penting, dan sudah seharusnya kita kritis terhadap setiap informasi pribadi yang kita input pada aplikasi-aplikasi yang kita gunakan.

Terkait pengamanan data pada perangkat mobile, ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian kita bersama, yaitu :

  1. Pastikan perizinan pada Aplikasi

Usai mengunduh dan menginstal aplikasi, hal yang perlu kita teliti lebih lanjut adalah “Perizinan Aplikasi” yang dibutuhkan oleh aplikasi tersebut. Semaksimal mungkin kita harus kritis dalam memberikan perizinan yang diminta. Misalkan perizinan akses kontak, kamera, lokasi, jika dirasa aplikasi tersebut tidak ada keperluan untuk mengakses hal itu maka jangan diizinkan. Contohnya instagram, platform sosial media berbasis photo publish tersebut sebenarnya tidak ada kebutuhan untuk mengakses lokasi pengguna, kecuali memang kita ingin menyematkan lokasi pada foto yang diunggah, tetapi sekali lagi, jika kita teliti lebih lanjut, setiap lokasi yang kita tuju maka Instagram memiliki akses untuk tahu bahwa kita berada dimana, setiap tempat, setiap perpindahan lokasi yang kita tuju, Instagram mendapatkan akses untuk mengetahui hal itu, karena akses GPS perangkat kita yang telah kita izinkan sebelumnya. Jika kita perhatikan lebih lanjut, untuk apa hal tersebut?

2. Publikasi Diri dan Informasi Pribadi pada Aplikasi

Pastikan setiap publikasi tentang diri kita pada sosial media dibatasi dengan bijak, ada banyak skenario terburuk yang dapat terjadi disaat orang lain mengetahui tempat tinggal kita, keluarga kita, rutinitas kita, hubungan kita, dan tempat kita bekerja yang hanya berbasis unggahan foto maupun video di sosial media dengan tag lokasi dan deskripsi rinci terkait unggahan tersebut. Tentu, menggunakan sosial media sebagai medium aktualisasi dan publikasi diri adalah hak setiap orang, tetapi lebih penting lagi untuk memikirkan setiap kemungkinan secara bijak.

3. Penggunaan Email pada Aplikasi

Disarankan email personal (yang digunakan sebagai email kerja ataupun untuk berhubungan dengan teman dan keluarga) tidak digunakan sebagai email pada sosial media dan layanan aplikasi lainnya. Ini sangat penting jika kita ingin fokus pada manajemen akun pada aplikasi yang baik, karena kebanyakan layanan aplikasi yang membutuhkan akses berbasis email sebagai bentuk otentikasi-nya akan rutin mengirim iklan dan promosi secara berkala yang akan memenuhi inbox surat elektronik kita. Tentu bisa di nonaktifkan fitur tersebut, tetapi akan lebih baik jika menggunakan email yang berbeda untuk digunakan sebagai email pada sosial media atau layanan aplikasi lainnya.

4. Akses Tunggal pada Aplikasi

Poin terakhir disini adalah sebuah usaha dalam pengaksesan aplikasi yang hanya menggunakan perangkat pribadi saja. Pengaksesan melalui perangkat lain (komputer kantor, handphone orang lain, dll.) lebih baik menggunakan Mode Penyamaran (Incognito Mode) pada Google Chrome, dan pilihan private windows lain pada browser-browser konvensional yang sering digunakan jika layanan tersebut pengaksesannya berbasis web. Hal ini dikarenakan Mode Penyamaran dapat membantu kita agar login credential pada browser tidak tersimpan, karena mode ini bekerja untuk tidak menyimpan dan mencatat setiap penelusuran yang kita lakukan pada browser.

Masih banyak yang dapat kita lakukan untuk memaksimalkan keamanan yang kita butuhkan di era digital sekarang ini, namun semoga tips-tips diatas dapat membantu, terima kasih!

Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia : The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family

Imajinasi kultural
Gambar: Freepik

Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia[1]

The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family

 Jakarta, 19 October 2020

Kami, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, hendak memberikan respon sehubungan dengan adanya peredaran draf dan non-paper mengenai “The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family” (yang selanjutnya akan disebut sebagai “Deklarasi”). Deklarasi ini didukung oleh sebagian kecil negara anggota PBB, termasuk Pemerintah Indonesia sebagai co-sponsor, dimana deklarasi ini memberikan kesan akan menjamin penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik kepada perempuan dan anak perempuan dalam skala global.

Kami sangat mengapresiasi Pemerintah Indonesia atas akuntabilitasnya yang selama ini sangat konsisten dalam melibatkan masyarakat sipil melalui konsultasi dalam pengambilan keputusan dalam sejumlah komitmen dan perjanjian internasional. Namun, kami melihat bahwa dalam pengambilan keputusan mengenai Deklarasi ini, pelibatan dan konsultasi dengan masyarakat sipil tidak terjadi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pada Deklarasi yang menitikberatkan kesejahteraan perempuan dan anak perempuan ditentukan tanpa diberikannya kesempatan bagi masyarakat sipil untuk mengerti dan mempertimbangkan dampaknya pada kehidupan mereka.

Kelompok organisasi masyarakat sipil yang bekerja di beragam lintas sektor isu sosial sangat mengkhawatirkan tujuan dari Deklarasi ini. Kami melihat bahwa tujuan dari Deklarasi ini adalah untuk menetapkan dan mementingkan pengistimewaan hirarki akan hak yang salah, yang mengesampingkan hak asasi manusia yang universal, saling ketergantungan, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan mengesampingkan hak lain yang seharusnya tidak dapat dicabut. Dalam konteks negara Indonesia, kita secara khusus melihat bahwa akan ada dampak negatif yang sangat signifikan yang akan mencederai dan mengganggu kesejahteraan dan kehidupan perempuan, anak perempuan dan keluarga. Hal ini bertentangan dengan usaha dan keberhasilan kita selama ini dalam memajukan akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas yang merupakan hak asasi manusia yang universal bagi setiap orang.

Pernyataan Kami

Kami meminta Pemerintah Indonesia untuk meneruskan komitmennya terhadap pendirian prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia / Universal Declaration of Human Rights (UDHR), juga dalam Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW).  Prinsip-prinsip tersebut telah memberikan organisasi masyarakat sipil kerangka yang normatif, sesuai dengan hukum dan secara etis untuk terus memastikan penegakan hak asasi manusia dan pemenuhan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan di seluruh dunia. Kami turut mengingatkan bahwa Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kebijakan lain yang berhubungan dengan hak asasi manusia seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang CEDAW.

“The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family” secara jelas mengecualikan hak dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya untuk perempuan dan anak perempuan. Ini tidak sejalan dengan kebijakan yang ada di Indonesia maupun dengan tujuan secara internasional untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, yang sudah dibangun bersama-sama selama puluhan tahun ini.

Secara khusus, kami ingin menyampaikan beberapa poin, yaitu:

  1. Prinsip bahwa semua hak adalah sama merupakan produk dari ketergantungan hak asasi manusia: penyangkalan salah satu hak sejatinya akan menghalangi pemenuhan hak lainnya. Deklarasi ini tidak merujuk pada CEDAW, kebijakan internasional yang mengatur Hak Perempuan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984.[2]  Kami percaya bahwa ada kemungkinan besar bahwa Deklarasi ini memiliki tujuan untuk mengganggu tercapainya keadilan bagi perempuan melalui pemusnahan segala bentuk diskriminasi berdasarkan gender.   
  2. Deklarasi menyebutkan bahwa “jaminan kesehatan universal adalah mendasar untuk tercapainya Sustainable Development Goals terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan,”[3] dilanjutkan dengan “kesehatan adalah suatu keadaan yang lengkap dan sejahtera secara fisik, mental dan sosial dan tidak semata tiadanya penyakit atau kesakitan”[4] dan “kebanyakan fokus dasi sistem pelayanan kesehatan adalah untuk mengobati kesakitan dibandingkan dengan upaya holistik untuk menjaga kesehatan yang optimal dan pencegahan.”[5] Hak untuk hidup, yang dianggap sebagai hak politik, tergantung pada hak terhadap akses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan universal, hak ekonomi. Pelayanan kesehatan harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan, tanpa adanya diskriminasi berbasis tingkat kemiskinan, agama, ras, etnis, gender, identitas dan orientasi seksual, afiliasi politik, atau status imigrasi. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia termasuk hak perempuan dan khususnya hak atas kesehatan seksual dan reproduksi dan otonomi tubuh.[6] 
  3. Pelayanan Kesehatan mencakup layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan akses kepada aborsi aman. Deklarasi ini gagal membuktikan argumentasinya tentang tidak adanya “… hak internasional terhadap aborsi, atau kewajiban internasional apapun kepada negara untuk membiayai ataupun memfasilitasi aborsi, yang konsisten dengan konsensus internasional yang mengikat yang menyatakan bahwa negara mempunyai hak atas kedaulatan untuk mengimplementasikan program dan kegiatan yang selaras dengan undang-undang dan kebijakan masing-masing.” Pada kenyataannya rekomendasi umum (general recommendation) CEDAW No. 24: Artikel 12 tentang Konvensi perempuan dan kesehatan menyebutkan “Aborsi yang tidak aman adalah penyebab utama dari kesakitan dan kematian ibu. Oleh karenanya, negara anggota seharusnya melegalisasi aborsi setidaknya dalam kasus perkosaan, inses, ancaman atas nyawa dan/atau kesehatan ibu, atau adanya gangguan yang parah pada janin, serta memberikan akses kepada perempuan kepada layanan pasca aborsi yang berkualitas, terutama dalam kasus komplikasi yang menyebabkan adanya aborsi tidak aman. Negara anggota seharusnya juga menghilangkan penghukuman kepada perempuan yang melakukan aborsi.” Senada dengan itu, tanggapan Komite Hak Anak No. 20(2016) tentang implementasi hak-hak anak pada masa remaja mendesak pemerintah untuk tidak mengkriminalisasi segala bentuk aborsi dan menghilangkan hambatan kepada aksesnya.  Komite Hak Asasi Manusia PBB, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Komite Penghapusan Penyiksaan juga telah menyerukan penghapusan hukuman atas aborsi dan pelaksanaan upaya-upaya untuk memastikan akses kepada aborsi yang aman dan legal.[7]
  4. CEDAW Artikel 4 menyatakan bahwa “Negara seharusnya mengecam kekerasan terhadap perempuan dan seharusnya tidak menggunakan adat istiadat, tradisi atau pertimbangan keagamaan untuk menghindarkan diri dari kewajibannya untuk menghapuskan kekerasan. Negara seharusnya segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk adanya kebijakan tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan.” Setiap tahunnya diperkirakan ada 25 juta aborsi tidak aman yang terjadi.  Antara 5% dan 13% kematian ibu disebabkan oleh aborsi yang disengaja, sebagian besar dari praktek yang tidak aman, dimana setiap tahunnya merenggut nyawa 44.000 perempuan dewasa dan remaja.[8]Sebuah studi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tentang dampak COVID-19 terhadap perempuan di Indonesia melaporkan peningkatan angka kekerasan domestik selama wabah.  Kekerasan seksual dilaporkan sebagai kasus kedua yang tertinggi setelah kasus kekerasan fisik.[9] Ini mengindikasikan adanya kebutuhan berkelanjutan dan bahkan semakin tinggi untuk adanya layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang aman, legal dan dapat diakses oleh perempuan dewasa dan remaja di Indonesia.[10]
  5. Kami memuji disahkannya Peraturan Pemerintah no. 61/2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan no. 3/2016 untuk menanggapi rekomendasi CEDAW yang disebutkan di atas.  Keduanya sangat sesuai dengan perspektif fiqih kritis yang menjamin aborsi.[11] Oleh karenanya, ada kebutuhan mendesak untuk menggeser dan menata ulang pendekatan praktis yang digunakan oleh negara untuk mengelola aborsi aman, tidak hanya untuk mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) tetapi juga untuk memastikan bahwa korban kekerasan seksual terlindungi dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
  6. Kami menghargai perhatian kepada keluarga sebagai unit terkecil yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anggotanya.  Namun demikian, ada banyak bentuk keluarga dan terdiri dari individu-individu dengan persoalan dan kebutuhan yang berbeda-beda.[12] Penekanan yang diberikan oleh Deklarasi ini kepada keluarga adalah upaya yang sistemik dan terstruktur untuk mengabaikan kesetaraan gender dengan membatasi ruang dan peran perempuan dengan dalih kepentingan terbaik untuk keluarga. UN Women (2019) mencatat bahwa retorika global tentang ‘nilai-nilai keluarga’ adalah representasi dari upaya terukur oleh pihak-pihak yang mengindahkan hak perempuan untuk membuat keputusan atas dirinya untuk memundurkan capaian kesetaraan gender selama beberapa dekade.[13]  Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk menekankan penggunaan definisi luas dari keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat yang melampaui struktur fisik dan gender.  Sebuah keluarga harus didefinisikan sebagai sebuah unit dimana asuhan dan perlindungan fisik dan emosional yang konsisten saling diberikan dan dijaga.  Tujuan Deklarasi untuk melindungi keluarga akan sia-sia kecuali jika negara menjamin akses tanpa diskriminasi bagi seluruh keluarga atas kesehatan, kebutuhan dasar lainnya, mata pencaharian, dan tidak mempromosikan domestikasi ibu dan perempuan.

Pemerintah Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.  Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia terikat kepada kewajiban untuk memenuhi standar yang perjanjian-perjanjian tersebut.  Kami, Koalisi Untuk Hak Seksual dan Kesehatan reproduksi mendesak Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Luar Negeri untuk membatalkan penandatanganan ‘The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family’ seperti yang diusulkan oleh Pemerintah Amerika Serikat.  Deklarasi ini tidak hanya inkonstitusional berdasarkan undang-undang di Indonesia tetapi juga tidak selaras dengan tujuan Pemerintah Indonesia untuk pencapaian SDGs.  Terutama, Deklarasi ini berbahaya bagi kesehatan seksual dan reproduksi perempuan dan keluarga di Indonesia.

Dukungan terhadap pernyataan sikap dari masyarakat sipil di Indonesia terhadap Deklarasi Konsensus Jenewa:

Organisasi:

  1. Aliansi Satu Visi (ASV)
  2. AMAN Indonesia
  3. CEDAW Working Group Indonesia (CWGI)
  4. CIQAL
  5. Dialoka
  6. GERAK Perempuan
  7. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)
  8. Institute for Women’s Empowerment
  9. Institute of Criminal Justice Reform (ICJR)
  10. Institut Perempuan
  11. Jaringan Akademisi Gerak Perempuan
  12. Kalyanamitra
  13. KePPak Perempuan
  14. KITASAMA
  15. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  16. Konde Institute
  17. LBH Apik Jakarta
  18. OHANA
  19. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
  20. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta
  21. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA)
  22. Rahima
  23. Rutgers WPF Indonesia
  24. Samsara
  25. Save All Women and Girls (SAWG)
  26. Solidaritas Perempuan
  27. Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP UI
  28. Yayasan Amalshakira
  29. Yayasan IPAS Indonesia
  30. YAPESDI
  31. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)

Perseorangan:

  1. Atas Hendartini Habsjah
  2. Dewi Tjakrawinata
  3. Diana Pakasi
  4. Dinda Nuurannisaa Yura
  5. Donna Swita
  6. Fatimah Az-Zahro
  7. Frenia Nababan
  8. Hanifah Haris
  9. Ika Ayu
  10. Irwan Hidayana
  11. Kencana Indrishwari
  12. Listyowati
  13. Luviana
  14. Marcia Soumokil
  15. Mike Verawati
  16. Nanda Dwinta
  17. Nuning
  18. Pera Soparianti
  19. Rena Herdiyani
  20. Reni Kartikawati
  21. Revita
  22. Risna
  23. Shera Rindra Mayang Putri
  24. Siti Mazuma
  25. Valentina Sagala

[1] The Indonesian Coalition for Sexual and Reproductive Health

[2] Indonesia had passed the convention into law on July 24, 1984.

[3] United Nations General Assembly. (2019). “Political declaration of the high-level meeting on universal health coverage” (Paragraph 5). New York.

[4] International Health Conference. (1946). “Constitution of the World Health Organization.” New York.

[5] Assembly, U. G. (2000). Further actions and initiatives to implement the Beijing Declaration and Platform for Action. UN doc., S-23/3, 12 (Paragraph 11). New York.

[6] In the Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017), Indonesia has stated its support for the recommendation to “adopt legislative and policy measures to ensure women and adolescents have access to sexual education and free and friendly reproductive health services” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.27). Furthermore, GOI has stated its support for the recommendation to ensure all of Indonesia’s laws and regulations “are consistent with its human rights obligations under the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights and CEDAW, as well as improving coordination among responsible agencies and ministries” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.104). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[7] Human Rights Watch. (2017). Human Rights Law and Access to Abortion.

[8] https://www.rcog.org.uk/leadingsafechoices

[9] Komnas Perempuan. (2020). Siaran Pers Hasil Kajian Komnas Perempuan tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19 [Press Release on the National Commission on Violence  Against Women regarding the Changes of Household Dynamics during the COVID-19 Pandemic], 3 June,  https://www.komnasperempuan.go.id/read-news- siaran-pers-hasil-kajian-komnas-perempuan-tentang-perubahan-dinamika-rumah-tangga-dalam-masa-pandemi-covid-19-3-juni-2020, accessed on 19 October 2020.

[10] During the Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017), Indonesia has stated its support for the recommendation to “redouble efforts in sex education and access to sexual and reproductive health in the whole country with a view to reducing maternal mortality and combating AIDS, early pregnancies, abortions carried out in situations of risk, child marriages and violence and sexual exploitation” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.91). In addition, GOI has stated its support for the recommendation to adapt legislative frameworks so that married and unmarried women and girls can gain access to (A/HRC/36/7/Add. 1, Para. 10, Rec. 141.32) and information about sexual and reproductive health services (Rec. 141.65). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[11] Ulfah, A. M. (2006). Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan [The Fiqh on Abortion: Narratives of Strengthening Women’s Reproductive Rights]. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.

[12] The Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017) has witnessed Indonesia’s support for the recommendation to “Guarantee access to contraception irrespective of marital status and repeal all laws which restrict women’s and girls’ access to sexual and reproductive health information” (A/HRC/36/7/Add. 1, Para. 10,  Rec. 141.64); and “eliminate legal and political restrictions that discriminate against women on the basis of their personal status, and those that may violate their sexual and reproductive rights” (Rec. 141.67). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/ UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[13] UN Women. (2019). Progress of the World’s Women 2019–2020: Families in a Changing World. New York: United Nations.

ENGLISH VERSION

Statement of Indonesian CSOs[1]

The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family

 Jakarta, 19 October 2020

In light of the recently circulated draft and non-paper on “The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family” (hereafter referred to as “the Declaration”), Indonesian NGOs wish to respond. The Declaration is supported by a small group of UN member states, including the Government of Indonesia (GOI) as a co-sponsor, and gives the impression that it will provide women and girls around the globe with better healthcare.

In the past, we have always commended GOI for its consistent engagement and consultation with the civil society on deliberating decisions on a number of international commitments and treaties. Thus it is concerning to learn that this has not been the case for this particular declaration. Women and girls have been put at the core of the Declaration yet have not been invited to understand and dissect the consequences it will have on our lives.

The civil society groups that work on various social issues in Indonesia are gravely concerned about the intent of the declaration. The Declaration seeks to establish and advance a false and preferential hierarchy of rights, ignores the basic human rights tenets of universality, interdependency, and indivisibility, and distills the range of unalienable rights. In the context of Indonesia, we particularly foresee that there will be significant negative implications that will hamper and disrupt the wellbeing and lives of women, girls, and families. This goes against our achievements and determination thus far in advancing access to quality healthcare, which is a basic universal human right for every individual.

Our statement

We are asking for GOI’s continued commitment to the founding human rights principles enshrined in the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), as well as in the Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW). These principles continue to provide civil society organizations with a crucial legal and normative framework for ensuring the human rights and well-being of all people in Indonesia and around the world. We remind GOI that Indonesia has also ratified its own laws on human rights, including Law no. 39/1999 on Human Rights and Law no. 7/1984 on CEDAW.

“The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family” explicitly excludes sexual and reproductive health and rights services that are unique to women and girls. This does not align with Indonesia’s laws nor with the international determination to improve women’s access to healthcare, built collectively over many decades.

Specifically, we would like to make the following points:

  1. The principle that all rights are equal is a product of the indivisibility of human rights: the denial of one right necessarily impedes the enjoyment of other rights.  The Declaration does not cite CEDAW, the international bill of rights for women, ratified by GOI in 1984.[2]  We believe it is highly likely that the Declaration intends to violate substantive equality for women through elimination of all forms of discrimination based on gender prejudice.   
  2. The Declaration states that “universal health coverage is fundamental for achieving the Sustainable Development Goals related not only to health and well-being,”[3] with further recognition that “health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”[4] and that “the predominant focus of health-care systems on treating illness rather than maintaining optimal health also prevents a holistic approach.”[5] The right to life, considered a political right, depends on the right to universal access to affordable healthcare, an economic right. Healthcare must be provided to all who need it, without discrimination on the basis of wealth, religion, race, ethnicity, gender, sexual identity and orientation, political affiliation, or immigration status. Therefore, GOI has obligations to respect, protect, and fulfill human rights, including women’s rights and specifically rights regarding sexual and reproductive health and bodily autonomy.[6] 
  3. Healthcare includes comprehensive reproductive healthcare and access to safe abortion services. The Declaration fails to demonstrate its argument on the absence of “… international right to abortion, nor any international obligation on the part of the States to finance or facilitate abortion, consistent with the long-standing international consensus that each nation has the sovereign right to implement program and activities consistent with their laws and policies.” This is despite the fact that CEDAW general recommendation No. 24: Article 12 of the Convention on women and health states that “Unsafe abortion is a leading cause of maternal mortality and morbidity. As such, States parties should legalize abortion at least in cases of rape, incest, threats to the life and/or health of the mother, or severe fetal impairment, as well as provide women with access to quality post-abortion care, especially in cases of complications resulting from unsafe abortions. States parties should also remove punitive measures for women who undergo abortion.” Similarly, the Committee on the Rights of the Child has urged governments to decriminalize abortions in all circumstances and remove barriers to access.  The UN Human Rights Committee, the Committee on Economic Social and Cultural Rights, and the Committee against Torture have also called removal of penalties for abortion and for the implementation of measures to ensure safe, legal access to abortion.[7]
  4. CEDAW Article 4 states that “States should condemn violence against women and should not invoke any custom, tradition or religious consideration to avoid their obligations with respect to its elimination. States should pursue by all appropriate means and without delay a policy of eliminating violence against women.” Every year, an estimated 25 million unsafe abortions take place. Between 5% and 13% of maternal deaths are attributed to induced abortion, mostly all unsafe procedures, with an annual death toll up to 44,000 women and girls[8]A recent survey by the Indonesian Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) on the impact of COVID-19 on women in Indonesia reported an increased number of domestic violence during the pandemic, with sexual violence being the second-most reported form of violence following physical violence.[9] This indicates an ongoing and even expanding need for safe, legal and accessible sexual and reproductive health services for Indonesia’s women and girls.[10]
  5. We commend the enactment of Government Regulation no. 61/2014 and Ministry of Health Decree no. 3/2016 in response to the above CEDAW general recommendation. These are inline with critical perspectives that fiqh guarantees abortion.[11] Hence, there is an urgent need to shift and reconstruct the country’s in-practice approach to managing safe abortion in order to not only reduce Indonesia’ maternal mortality rate but also ensure victims of sexual violence are protected and receive the help they need.
  6. We appreciate the attention to the family as the smallest unit influencing the health and wellbeing of its members. Nevertheless, families take different forms, and consist of different individuals with different issues and needs.[12] The Declaration’s heavy emphasis on the family is a systematic and structured exercise to neglect gender equality through limiting the space for and role of women under the guise of promoting the best interest of the family. UN Women (2019) writes that the global rhetoric of ‘family values’ represents a concerted effort to roll back many decades of gender equality achievements by those who deny women the right to make their own decisions.[13]

The Government of Indonesia is a signatory to numerous international human rights agreements and is therefore bound to comply with the standards set by those agreements. We, the Indonesian Coalition for Sexual and Reproductive Health, strongly urge the Government of Indonesia, in particular the Department of Foreign Affairs, to cancel the signing of “The Geneva Consensus Declaration on Promoting Women’s Health and Strengthening the Family” as proposed by the United States. The Declaration is not only unconstitutional by Indonesian laws and out of alignment with the stated intention of the Government of Indonesia towards achieving the SDGs, but will also certainly be disastrous for the sexual and reproductive health of Indonesian women and families.

[1] The Indonesian Coalition for Sexual and Reproductive Health

[2] Indonesia had passed the convention into law on July 24, 1984.

[3] United Nations General Assembly. (2019). “Political declaration of the high-level meeting on universal health coverage” (Paragraph 5). New York.

[4] International Health Conference. (1946). “Constitution of the World Health Organization.” New York.

[5] Assembly, U. G. (2000). Further actions and initiatives to implement the Beijing Declaration and Platform for Action. UN doc., S-23/3, 12 (Paragraph 11). New York.

[6] In the Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017), Indonesia has stated its support for the recommendation to “adopt legislative and policy measures to ensure women and adolescents have access to sexual education and free and friendly reproductive health services” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.27). Furthermore, GOI has stated its support for the recommendation to ensure all of Indonesia’s laws and regulations “are consistent with its human rights obligations under the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights and CEDAW, as well as improving coordination among responsible agencies and ministries” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.104). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[7] Human Rights Watch. (2017). Human Rights Law and Access to Abortion.

[8] https://www.rcog.org.uk/leadingsafechoices

[9] Komnas Perempuan. (2020). Siaran Pers Hasil Kajian Komnas Perempuan tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid-19 [Press Release on the National Commission on Violence  Against Women regarding the Changes of Household Dynamics during the COVID-19 Pandemic], 3 June,  https://www.komnasperempuan.go.id/read-news- siaran-pers-hasil-kajian-komnas-perempuan-tentang-perubahan-dinamika-rumah-tangga-dalam-masa-pandemi-covid-19-3-juni-2020, accessed on 19 October 2020.

[10] During the Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017), Indonesia has stated its support for the recommendation to “redouble efforts in sex education and access to sexual and reproductive health in the whole country with a view to reducing maternal mortality and combating AIDS, early pregnancies, abortions carried out in situations of risk, child marriages and violence and sexual exploitation” (A/HRC/36/7, Paragraph 139, Rec. 139.91). In addition, GOI has stated its support for the recommendation to adapt legislative frameworks so that married and unmarried women and girls can gain access to (A/HRC/36/7/Add. 1, Para. 10, Rec. 141.32) and information about sexual and reproductive health services (Rec. 141.65). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[11] Ulfah, A. M. (2006). Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan [The Fiqh on Abortion: Narratives of Strengthening Women’s Reproductive Rights]. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.

[12] The Third Cycle of the UN Human Rights Council’s Universal Periodic Review (2017) has witnessed Indonesia’s support for the recommendation to “Guarantee access to contraception irrespective of marital status and repeal all laws which restrict women’s and girls’ access to sexual and reproductive health information” (A/HRC/36/7/Add. 1, Para. 10,  Rec. 141.64); and “eliminate legal and political restrictions that discriminate against women on the basis of their personal status, and those that may violate their sexual and reproductive rights” (Rec. 141.67). See further details via https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/ UPR/Pages/IDIndex.aspx, accessed on 19 October 2020.

[13] UN Women. (2019). Progress of the World’s Women 2019–2020: Families in a Changing World. New York: United Nations.

Perempuan, Pembangunan dan Lingkungan Hidup

Hari itu di Obi, satu lagi ibu telah gugur. Ibu yang mengalami pendarahan saat melahirkan, air ketubannya sudah habis begitu pula bayinya. Akan tetapi perjalanan yang harus ditempuh sangatlah panjang, berdurasi 24 jam. Memakan waktu sehari untuk mencapai puskesmas terdekat di Kabupaten Bacan, sehari terombangambing di atas laut. Namun sayangnya nyawanya tidak bisa diselamatkan. Hal tersebut sebenarnya sangat bisa dihindari, jika aktor-aktor pembuat kebijakan menaruh perhatian mengenai akses kesehatan reproduksi perempuan.”

Kisah di atas merupakan satu dari penemuan Tim Samsara di daerah Indonesia Timur, tepatnya di Obi, Maluku. Mungkin pengalaman mengenai perjuangan mengakses fasilitas kesehatan yang layak sudah jarang kita temui di daerah urban atau perkotaan, terlebih untuk menyelamatkan nyawa namun masih kerap terjadi di daerah rural, terutama di bagian Indonesia Timur dan Tengah. Hal tersebut disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata.

Hari ini, Tanggal 15 Oktober merupakan International Day of Rural Women (Hari Perempuan Pedesaan Sedunia). Tim Samsara berbagi pengalaman mengenai keadaan aktual akses terhadap layanan kesehatan reproduksi di daerah rural Indonesia seperti Maluku dan sekitarnya, Papua dan Sulawesi Barat. Perempuan daerah rural sangatlah dekat dengan alam bahkan memiliki peran besar dalam keseimbangan alam dan ketahanan pangan, kita berhutang banyak pada mereka. Sayangnya, tidak jarang mereka di-objektifikasi sebatas sebagai objek pembangunan, seakan tidak memiliki suara mereka sendiri. Kebijakan yang dibuat juga tidak jarang tidak tepat sasaran, tidak memperhitungkan mereka dan bahkan berbahaya bagi mereka.

Pentingnya Melibatkan Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan

Salah satu dari sekian banyak tantangan perempuan di daerah pedesaan adalah akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kesulitannya memang berakar dari ketimpangan gender, di mana perempuan dianggap sebagai The Second Sex, warga kelas dua yang sering tidak dianggap dan tidak diperhitungkan. Konsekuensinya, perempuan direduksi menjadi sekadar fungsi biologis (reproduksi) dan domestik. Hal ini sampai berimbas pada kematian perempuan dan anak. Selain itu, norma sosial yang berlaku dan stereotip gender juga membatasi ruang gerak perempuan pedesaan.

Berdasarkan hasil penemuan pada Satelite Workshop Samsara dengan bidan yang fokus di wilayah Timur masalah utamanya adalah: sumber daya yang terbatas, akses yang minim serta pembangunan yang tidak merata. Hal tersebut belum menjadi fokus dari pembuatan kebijakan sehingga dampaknya Angka Kematian Ibu (AKI) meningkat dari tahun ke tahun, bahkan banyak sekali kasus yang luput atau tidak tercatat, terutama di desa-desa kecil dimana hal tersebut sudah sering terjadi. Di Sulawesi Barat tepatnya di Mamuju Utara, Tim Samsara mendapati bahwa isolasi dan keterbatasan teknologi informasi menjadi salah satu hambatannya.

Perempuan-perempuan di Mamuju Utara sampai sekarang masih belum mendapatkan informasi yang tepat dan memadai terkait kontrasepsi, bahkan untuk mereka yang sudah menikah sekalipun. Aktor-aktor penting dalam penyuluhan kontrasepsi seperti tenaga kesehatan rupanya belum sadar sepenuhnya akan pentingnya kontrasepsi. Tidak jarang mereka menolak untuk membicarakan hal itu, masih mempercayai mistifikasi terkait kontrasepsi (misal: pemasangan/konsumsi kontrasepsi dapat menyebabkan rahim kering dan kemandulan). Hal tersebut terjadi karena stigma yang kuat masih dipercayai oleh masyarakat.

Seperti di sebagian besar daerah pedesaan, di Maluku dan Papua, regulasi terkait pembangunan di kampung masih mengabaikan pemenuhan hak perempuan dalam mengakses pembangunan. Maluku contohnya, semua akses informasi terpusat di Ternate sebagai kota besar. Sistem pembangunan yang masih sangat tersentralisasi berdampak pada desa-desa di Halmahera yang dengan kondisi geografis sedemikian rupa (kepulauan) dipersulit dengan fasilitas yang minim. Perempuan yang ingin memeriksakan kondisi kesehatannya dihadapkan dengan tantangan beragam: transportasi antar-pulau, pembagian waktu (perempuan memegang ranah domestik dan harus bekerja di kebun) hingga keadaan ekonomi.

Begitu pula tenaga medis yang menangani. Dalam workshop yang diadakan Samsara, bidan-bidan yang bertugas mengaku masih minim sumber daya mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Informasi yang beredar juga terbatas, kurang tepat dan tidak akurat karena disampaikan melalui mulut ke mulut. Padahal dalam memilih kontrasepsi harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing perempuan karena tubuh perempuan berbeda. Saat pelatihan bidan di 8 Kabupaten dilangsungkan, bidan-bidan berbagi pengalaman mengenai pelayanan door to door yang dilakukan untuk sosialisasi terkait Kematian Ibu dan Anak. Tantangan yang mereka hadapi paling dominan merupakan keterbatasan geografis. Dalam satu kecamatan terdapat banyak desa yang berjauhan dan untuk mengaksesnya harus ditempuh melalui jalur laut dan bergantung dengan kondisi alam. Salah satu bidan di Raja Ampat mengaku harus melewati tebing dan jurang ketika melaksanakan tugas.

Selain tantangan geografis dan kontur daerah, bidan mengalami tantangan dalam melakukan diseminasi informasi. Salah satunya karena mereka menyandang status sebagai “orang asing”. Berangkat dari fakta bahwa perempuan daerah rural lebih mempercayakan dukun untuk urusan kontrasepsi (ramuan tradisional), kehamilan hingga persalinan. Bidan tidak mendapat tempatnya. Ibu yang hamil lebih memilih dan mempercayai dukun, hal tersebut didasari oleh rasa aman, percaya dan faktor kedekatan emosional terhadap dukun setempat dan sebaliknya, kepercayaan semacam itu tidak dapat didapatkan dari bidan yang rata-rata berasal dari luar. Penempatan bidan juga tidak mempertimbangkan banyak faktor esensial lainnya seperti: distribusi yang tidak merata, di berbagai desa di Maluku hanya tersedia satu bidan atau maksimal 2 bidan untuk 100 keluarga. Akibatnya, bidan kewalahan dalam menangani semua perempuan yang membutuhkan.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ketika bidan berhasil mendapat kepercayaan untuk menangani ibu, wewenang mereka terbatas. Beberapa kasus kematian ibu yang terjadi disebabkan akibat masalah administrasi seperti: bidan tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan surat rujukan. Sedangkan, dokter sedang tidak bertugas. Pada akhirnya ibu yang mengalami komplikasi karena keguguran atau melahirkan terlambat mendapatkan penanganan. Permasalahan ini berputar pada penempatan jasa layanan yang kurang tepat. Bidan yang dianggap garda terdepan masih terhimpit peraturan tidak tepat. Peraturan yang berlaku tidak tepat sasaran dan tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan bagi bidan dalam bertugas. Bidan bahkan dipermasalahkan jika dianggap “menyalahgunakan” perannya.

Perempuan Pedesaan dan Keseimbangan Alam

Perusahaan besar dan orang di daerah perkotaanlah yang paling banyak berkontribusi pada perusakan alam namun perempuan desa yang harus pertama kali menerima dampaknya. Contohnya perempuan transmigran Bali di Sulawesi Barat yang kesehariannya memikul beban ganda, yaitu di ranah domestik dan bekerja di kebun. Pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak membutuhkan air. Akan tetapi, akibat hadirnya perusahaan sawit yang membabat habis hutan di pedesaan, kualitas air menurun bahkan limbah-limbah dari perusahaan besar pengolahannya diabaikan dan dibuang secara tidak bertanggung jawab hingga berakhir merusak ekosistem.

Berbicara mengenai ekosistem, korporasi-korporasi bertanggung jawab paling besar dalam pengrusakan lingkungan. Seperti di Tabobo, Maluku terdapat anak berusia 6 tahun yang meninggal akibat infeksi limbah merkuri. Sebelumnya, Tabobo menjadi penghasil ikan teri untuk dijual ke Ternate. Semenjak tercemarnya laut dan pesisir, penduduk berhenti memakan ikan. Dapur mereka dirusak dan dirampas dari mereka. Kisah ini dapat ditemukan di buku “Tabobo: Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas”.

Perjuangan untuk melawan perubahan alam tidak ada habisnya bagi perempuan pedesaan. Bahaya yang mengintai semakin hari kian beragam. Seperti kisah dari Maluku, bagaimana ibu melahirkan rentan terhadap berbagai komplikasi akibat infeksi paru-paru. Infeksi yang terjadi tentu berasal dari lingkungan berdebu akibat hutan dibabat habis. Pembabatan hutan kemudian dijadikan perkebunan sawit (luasnya sekitar 11.930 hektar).

Dampak kerusakan ekologis lain: hujan menyebabkan lumpur sehingga menjadi medan yang menantang bagi perempuan yang membutuhkan pertolongan darurat. Infrastruktur yang telah dibangun, seperti jalan rusak karena dilewati oleh truk-truk pengangkut sawit. Fasilitas kesehatan dengan jarak yang berjauhan satu sama lain mempersulit perempuan untuk mendapatkan kesehatan yang layak. Salah satu dari banyak kasusnya adalah seorang ribu yang harus kehilangan nyawa akibat pendarahan yang dialaminya selama perjalanan ke puskesmas terdekat. Membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perjalanan akibat jalan yang berlubang karena dilewati alat-alat berat setiap harinya.

Pengalihfungsian lahan juga merupakan tantangan perempuan desa dalam ketahanan pangan. Perempuan desa menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi. Contohnya perempuan di Kao, Halmahera Utara yang beralih profesi dari bertani dan berkebun menjadi buruh di tambang emas. Kerja berat serta tanggung jawab ganda menghantui perempuan-perempuan buruh, belum lagi upah yang didapat merupakan upah minimum.

Dari berbagai tantangan di atas penting untuk melibatkan perempuan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Perempuan pedesaan terpaksa menelan apa yang tidak mereka tanam dan apa yang telah mereka tanam dirampas di hadapan mereka. Dalam hal ini perempuan pedesaan menjadi yang paling terdampak akibat krisis ekologis, kelangkaan air, kelangkaan pangan, kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap isu gender, pembangunan dan lain-lain. Untuk itu, kebijakan pemerintah terkait HKSR seharusnya diperhitungkan sehingga pembangunan di daerah rural tidak melulu terkait infrastruktur yang menguntungkan korporasi besar melainkan mempertimbangkan masyarakat khususnya perempuan. Untuk menuju ke arah itu, diperlukan keterlibatan perempuan terutama perempuan pedesaan dalam menyusun kebijakan.

Hari Anak Perempuan Internasional 2020: Suaraku, Masa Depan Kita Semua!

Selama ini kita sudah akrab dengan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap tanggal 23 Juli. Hari ini, tanggal 11 Oktober secara spesifik ditetapkan sebagai Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of the Girl Child). Mengapa hari ini diperingati khusus untuk anak perempuan? Apakah tidak cukup diperingati sebagai Hari Anak saja? Rupanya, ketimpangan gender serta budaya patriarki mempengaruhi kehidupan perempuan semenjak masa kanak-kanak. Hal tersebut menyebabkan anak perempuan termasuk dalam kelompok rentan yang rawan terhadap praktik berbahaya seperti: pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, sunat perempuan (Female Genital Mutilation) dan lain-lain.

Mengapa memperingati Hari Anak Perempuan Internasional?

Pada tahun 2012, untuk pertama kalinya PBB menetapkan tanggal 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Kampanye merupakan upaya menyuarakan isu berlapis yang harus dihadapi oleh anak perempuan. Anak-anak termarjinalkan karena dianggap belum bisa mengambil keputusannya sendiri sehingga orang tua atau lingkunganlah yang memegang peran untuk memutuskan apa yang harus dijalani seorang anak. Selain secara usia dianggap “lemah”, perempuan masih mengalami berbagai macam kekerasan dan diskriminasi yang bahkan masih sering dinormalisasi oleh lingkungannya.

Untuk itu, demi membantu anak perempuan menyuarakan keinginan, harapan serta membantu anak perempuan untuk memahami bahwa mereka memiliki hak yang setara dengan anak laki-laki, maka ditetapkannya hari ini sebagai momentum untuk angkat bicara. Terutama di masa genting seperti ini, ketika krisis pandemi memperburuk keadaan sosial dan ekonomi semakin melemahkan kelompok rentan. Rancangan Penghapusan Kekerasan Seksual pun tidak kunjung disahkan, bahkan ditunda pembahsannya dengan alasan “terlalu sulit”. Padahal, kekerasan di ranah privat (terutama keluarga dan personal) mendominasi angka kekerasan terhadap perempuan.

Di samping itu Omnibus Law (Undang-Undang Cipta Kerja), yang memiliki dampak domino bagi berbagai aspek termasuk kesejahteraan buruh/pekerja  baru saja disahkan. Hal tersebut menempatkan perempuan, terutama buruh perempuan di daerah rural dalam posisi yang tidak menguntukan dan dapat memperburuk kesejahteraan keluarga dan tidak langsung bisa mengancam kesejahteraan anak-anak mereka.

My Voice, My Equal Future! : Perkawinan Anak Bukan Pilihan Anak

Enggak enak rasanya dinikahkan waktu masih muda. Hancur. Pinginnya niatnya sekolah. Tapi, gimana juga orangtua saya gak bisa nafkahi,” – Rasminah, penyintas pernikahan anak. (Sumber: tirto.id)

Kutipan tersebut berasal dari reportase Tirto.id terkait peningkatan pernikahan anak selama pandemi COVID-19. Rasminah merupakan seorang penyintas pernikahan anak, yang dinikahkan pada saat berumur 13 tahun dengan laki-laki berumur 27 tahun. Pernikahan anak merupakan salah satu dari harmful practices (praktik berbahaya) yang jamak dialami oleh perempuan. Praktik ini banyak ditemukan di Indonesia, terutama daerah rural. Faktor yang mendukung beragam seperti: faktor struktural (pendidikan, ekonomi ataupun rendahnya pengetahuan terhadap pendidikan seksualitas yang menyebabkan Kehamilan Tidak Direncanakan) maupun faktor sosial (keluarga).

Hancur — merupakan kata yang digunakan oleh penyintas untuk menggambarkan perasaannya terhadap praktik tersebut. Daftar panjang dapat dituliskan ketika membicarakan dampak buruk dari pernikahan anak. Dampaknya antara lain adalah: kematian ibu (kondisi fisiologis anak yang belum siap terhadap kehamilan), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), putusnya pendidikan, kematian bayi dan gizi buruk, belum lagi berbicara mengenai trauma yang dialami oleh anak.

Perkawinan anak yang terjadi rata-rata merupakan keputusan dan pilihan orang tua, tanpa melibatkan aspirasi dari anak. Anak perempuan patuh dan tunduk pada pilihan tersebut karena merasa memiliki kewajiban untuk patuh. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan malah menempatkan anak dalam bahaya.

Mengapa pernikahan anak marak terjadi? Tiga faktor utama yang mempengaruhi angka perkawinan anak antara lain adalah: faktor ekonomi dan pendidikan serta rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Banyak kasus perkawinan anak yang terjadi akibat orang tua menganggap pernikahan anak sebagai jalan pintas untuk keluar dari himpitan beban ekonomi. Namun pada prakteknya, tidak jarang beban orang tua bertambah karena konflik yang terjadi dalam rumah tangga anak yang pada akhirnya mengharuskan orang tua untuk menanggung hidup anak dan pasangan anak.

Selain faktor ekonomi, faktor pendidikan juga merupakan tantangan dalam mengurangi angka perkawinan anak. Terhambatnya pendidikan serta keterbatasan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia di wilayah rural terutama menyebabkan akses terhadap pendidikan yang masih timpang. Hak terhadap pendidikan sudah seharusnya menjadi milik anak. Selain penting bagi anak untuk tetap bersekolah agar tidak dilibatkan dalam perkawinan, sekolah juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Orang tua yang memiliki pendidikan rendah cenderung mendukung praktek menikahkan di usia anak, oleh karena itu akses terhadap pendidikan juga dapat membantu memutus rantai pernikahan anak.

Selanjutnya, perbincangan mengenai reproduksi dan seksualitas yang masih tabu dan terstigmatisasi merupakan faktor tingginya pernikahan anak. Jurnal Perempuan pernah mengeluarkan edisi khusus yang membicarakan mengenai pernikahan anak dan dalam catatannya disebutkan bahwa kampanye Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang ditabukan justru berpengaruh pada tingkat pernikahan anak. Hal tersebut erat kaitannya dengan ketakutan terhadap fitnah dan zina. Anak-anak perempuan yang belum lulus sekolah sering kali dinikahkan untuk menghindari fitnah ketika terjadi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Walaupun begitu, upaya-upaya untuk mengurangi risiko KTD seperti memberikan pendidikan reproduksi dan seksualitas masih terus mengalami hambatan. Di sekolah anak-anak tidak diajarkan pentingnya kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan penyakit menular seksual sehingga anak-anak tidak mengenal diri mereka sendiri serta risiko-risiko yang kemungkinan dapat menimpa mereka.

Ketiga faktor ini kemudian menjadi lingkaran permasalahan yang kemudian diperparah akibat krisis pandemi yang terjadi pada tahun 2020. Gender equality (kesetaraan gender) yang menjadi agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 diprediksi dapat mengalami kemunduran. Dari awal hingga pertengahan tahun 2020, telah tercatat terdapat 34.000 permohonan dispensasi kawin yang masuk (oleh mereka yang belum berusia 19 tahun) ke Badan Peradilan Agama Indonesia. Sepanjang pandemi, terdapat penurunan angka penggunaan kontrasepsi. Fasilitas kontrasepsi tidak dianggap sebagai hal yang esensial. Keterbatasan infrastruktur di daerah rural, terutama yang menyangkut dengan teknologi informasi seperti akses internet masih jauh dari merata. Terlebih di tengah keadaan ekonomi mencekik, pendidikan rupanya bukanlah prioritas.

Dalam memeranginya, setelah menguraikan penyebab permasalahan, dapat ditawarkan beberapa solusi berangkat dari akar permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah menyamakan umur minimal pada Undang-Undang Perkawinan menjadi 19 (sembilan belas) tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki (karena sebelumnya terdapat perbedaan umur antara laki-laki dan perempuan, dimana usia perempuan jauh lebih muda dibandingkan laki-laki). Akan tetapi hal tersebut tidak mencegah beberapa orang tua memutuskan untuk memalsukan umur anak. Selain permasalahan mengenai kesejahteraan tentu saja yang dapat dibantu oleh kebijakan-kebijakan sosial ekonomi, pendidikan HKSR mengambil peran penting dalam memaparkan kepada masyarakat bahaya dan ancaman di balik perkawinan anak dan bagaimana perkawinan anak hanya membawa pada penderitaan anak perempuan.

“Di mana pun itu terjadi, praktik berbahaya merampok masa kanak-kanak anak perempuan, mematikan kesempatan mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan mengancam kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat.

Self Love, Self Care dan Self Managed Abortion

Tanggal 28 September merupakan tanggal penting dimana isu aborsi dikampanyekan secara global. Menurut pernyataan dari koalisi global 28 September, situasi pandemi Covid-19 telah mempertajam gambaran ketimpangan perbedaan akses kesehatan khususnya untuk aborsi yang aman dan legal di seluruh dunia. Kebijakan lockdown telah membatasi perempuan untuk hanya berada di rumah mereka, sehingga sulit untuk perempuan mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Kehamilan Tidak Direncanakan diperkirakan meningkat di situasi pandemi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan layanan kesehatan kontrasepsi. Bahkan dimana aborsi dapat diakses secara legal, perawatan aborsi secara langsung dan terutama berbasis rumah sakit menjadi jauh lebih sulit untuk diperoleh. Apalagi di negara yang membatasi bahkan melarang aborsi itu sendiri, layanan aborsi aman menjadi sesuatu yang ‘mustahil’ diperoleh perempuan.

Sebagaimana Campaign Statement: International Safe Abortion Day, 28 September 2020 : Dalam hal aborsi yang aman, perubahan besar telah terjadi. Saat ini, perempuan tidak lagi harus bergantung pada sistem kesehatan mereka untuk melakukan aborsi seperti yang mereka lakukan ketika aborsi hanya melalui prosedur bedah. Pada pertengahan 1980-an, perempuan di Brazil menyadari bahwa obat bebas yang disebut misoprostol adalah obat abortifacient; kata itu menyebar dengan cepat. Pada tahun 1988, Mahkamah Agung Kanada mencabut semua undang-undang Kanada yang membatasi aborsi, meskipun belum ada negara lain yang berani mengikuti jejak mereka. Juga pada tahun 1988, Perancis menyetujui mifepristone, dan metode aborsi yang baru, aman dan efektif – pil aborsi – dikembangkan oleh para ilmuwan dan peneliti yang berkomitmen, termasuk di Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan mulai disetujui oleh negara-negara. Dengan pil ini, alternatif aborsi tidak aman dari penyedia yang tidak aman telah ditemukan. Sejak 2005, metode ini – aborsi medis – telah masuk dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia. Pada 1 Juni 2020, dalam menghadapi pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia menegaskan kembali apa yang telah mereka katakan sebelumnya: Aborsi yang aman adalah perawatan kesehatan yang esensial.

Bagaimana dengan Aborsi di Indonesia?

Di Indonesia, hampir sulit bahkan mustahil mengakses aborsi, meski Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur mengenai aborsi. Indonesia masih jauh panggang dari api untuk benar-benar bisa mewujudkan penyediaan layanan aborsi aman. Akibatnya perempuan mencari penyedia aborsi tidak aman yang memanfaatkan kerentanan perempuan. Kalaupun layanan aborsi aman maupun layanan mengenai konseling aborsi aman itu ada, maka penyedia layanan juga harus menghadapi risiko dikriminalisasi, padahal semua hal tersebut seharusnya diberikan oleh negara sebagai bentuk perlindungan, pemenuhan hak seksual dan reproduksi seseorang.

Perempuan di Indonesia, alih-alih untuk mendapatkan layanan aborsi aman (surgical ataupun medical abortion), mencari tahu atau berbicara tentang : aborsi, aborsi aman dan aborsi mandiri saja mungkin dianggap tabu. Sehingga di saat kampanye global tentang aborsi aman sudah sangat maju untuk berbicara medical abortion sebagai metode aman yang dapat dilakukan perempuan, bagaimana perempuan dapat melakukan aborsi secara mandiri dengan sangat mudah dan terjangkau terlebih di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti ini, bahkan ada negara yang sudah merambah pada penyediaan layanan telemedicine untuk aborsi, perempuan di Indonesia harus melakukan itu semua di bawah bayang-bayang kriminalisasi dan ketakutan.

Self Love, Self Care dan Self Managed Abortion

WHO mendefinisikan perawatan mandiri (self care) adalah “kemampuan individu, keluarga dan komunitas untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan dari penyedia layanan kesehatan”. WHO mengakui bagaimana intervensi perawatan diri dapat memperluas akses ke layanan kesehatan, termasuk untuk populasi/kelompok yang rentan. Orang-orang semakin berpartisipasi aktif dalam perawatan kesehatan mereka sendiri dan memiliki hak atas pilihan intervensi yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan mereka sepanjang hidup mereka, juga kemungkinan mengakses, mengontrol, dan memiliki pilihan yang terjangkau untuk mengelola kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Intervensi perawatan diri adalah pendekatan pelengkap untuk perawatan kesehatan yang merupakan bagian penting dari sistem kesehatan. Perawatan diri juga menjadi sarana bagi orang-orang yang terkena dampak negatif dari dinamika gender, politik, budaya dan kekuasaan termasuk mereka yang dipindahkan secara paksa, untuk memiliki akses ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, karena banyak orang tidak dapat mengambil keputusan seputar seksualitas dan reproduksi.

Self Managed Abortion seperti yang diuraikan diatas, bisa menjadi pilihan seseorang untuk merawat dirinya sendiri karena itu merupakan bagian dari self care. Melalui self care dan self managed abortion seseorang dapat mencapai integritas diri dan kesejahteraan. Di tengah situasi ketidakpastian pandemi, maupun situasi yang perempuan hadapi dari dinamika gender, politik, budaya dan kekuasaan, pilihan kita untuk merawat diri adalah cara kita untuk mencintai diri sendiri.

Sebuah Pernyataan Bersama dalam 28 September

Indonesia harus berkaca dan merombak semua sistem kesehatannya di situasi pandemi ini. Salah satunya mengenai aborsi medis (medical abortion) dan Self Managed Abortion yang sangat relevan dilakukan, sangat terjangkau bagi perempuan manapun (segi ekonomis dan akses), juga yang harus digarisbawahi, sangat aman.

Sejalan dengan Campaign Statement: International Safe Abortion Day, 28 September 2020 yaitu : Semua Negara harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan, kehidupan dan kesejahteraan semua orang yang membutuhkan aborsi yang aman. Akses universal terhadap aborsi aman harus dijamin oleh setiap negara sebagai bagian dari komitmennya terhadap perawatan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif, sebagai masalah keadilan sosial, dan hak untuk memutuskan apakah dan kapan akan memiliki anak.

Maka berangkat dari pengalaman perempuan yang valid, perempuan berhak untuk mencintai dirinya, merawat dirinya dengan memilih Self Managed Abortion.

Sumber :

http://www.september28.org/

http://www.september28.org/campaign-statement-international-safe-abortion-day-28-september-2020/

http://www.september28.org/?utm_source=WGNRR+PUBLIC+LIST&utm_campaign=f56f1a7d5f-EMAIL_CAMPAIGN_2020_09_24_02_15&utm_medium=email&utm_term=0_eee554608c-f56f1a7d5f-1257391569&mc_cid=f56f1a7d5f&mc_eid=474f8713aa

https://www.who.int/reproductivehealth/self-care-interventions/conceptual-framework/en/

Kontrasepsi untuk Orang Muda: Sulitkah Mengaksesnya?

Dalam rangka memperingati World Contraception Day (Hari Kontrasepsi Sedunia) yang jatuh pada tanggal 26 September setiap tahunnya, Samsara mengangkat cerita pengalaman orang muda dari berbagai daerah di Indonesia mengenai akses terhadap kontrasepsi. Mereka merupakan peserta dari program Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) yang diselenggarakan oleh Samsara pada akhir 2019 sampai awal tahun 2020 di berbagai daerah di Pulau Jawa hingga Papua. Dengan latar belakang dan keadaan yang berbeda, rupanya mereka memiliki satu pendapat yaitu: akses terhadap kontrasepsi, terutama dalam bentuk yang paling fundamental sekalipun yaitu edukasi, masih sangat terbatas. Salah satu fokus dari SSKR adalah untuk meningkatkan kesadaran terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta integritas tubuh sehingga dalam materi SSKR penting pula untuk mengangkat topik mengenai kontrasepsi agar kita bisa memahami bagaimana pendidikan mengenai kesehatan seksual dan reproduksi sangatlah esensial, karena masih banyak pandangan tabu/malu ketika orang muda yang sudah aktif secara seksual (sexually active) mencoba untuk mengakses kontrasepsi sebagai bentuk proteksi dirinya.

Pengalaman orang muda terkait akses terhadap kontrasepsi serta pengetahuan mereka terkait kontrasepsi menjadi temuan menarik kawan-kawan Divisi Edukasi Samsara ketika melakukan SSKR yang menyasar muda-mudi Ternate dan Jayapura pada Oktober tahun 2019 dan Januari tahun 2020. Selain di Indonesia Timur dan Tengah, SSKR juga pernah diadakan di Pulau Jawa akhir tahun 2019. Program SSKR masih berlangsung hingga sekarang melalui platform online. Para peserta SSKR  berusia mulai dari 18 hingga 23 tahun, usia yang masih masuk dalam kategori orang muda (youth). Dalam prosesnya, Samsara menemukan kesamaan isu yang dihadapi oleh orang muda terkait keterbatasan akses informasi terhadap kontrasepsi. Ketika informasi telah mendapat celahnya maka tantangan lain yang lebih besar adalah berbagai mistifikasi dan juga anggapan bahwa hal tersebut tabu untuk dibicarakan.

Kontrasepsi di Indonesia tidak diperlakukan sebagai pencegahan. Akibatnya kontrasepsi bukan menjadi opsi mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) bukan pula dipilih sebagai pencegahan penyebaran infeksi menular seksual. Hal tersebut tercermin dari bagaimana perlakuan agen sosial (keluarga, tetangga, teman, pasangan) serta sebagian besar tenaga kesehatan yang tidak jarang menghalangi akses terhadap kontrasepsi. Contohnya adalah salah satu peserta SSKR di Jayapura yang bercerita bahwa salah satu dari temannya pernah mengalami KTD dan beberapa bulan setelah melahirkan, dia mendapati bahwa terdapat IUD yang terpasang tanpa sepengetahuannya. Dia mengetahuinya hal tersebut bukan dari tenaga medis yang bertanggung jawab melainkan saat dia sedang buang air kecil, ia melihat benang menjuntai dari vaginanya dan ketika ditarik, benang tersebut tidak dapat putus. Dia lalu segera mengunjungi rumah sakit terdekat. Terdapat banyak sekali masalah dari kasus di atas. Pertama-tama, pemasangan kontrasepsi yang tidak diinformasikan lebih dulu (inform) kemudian tindakan tersebut tanpa konsensual atau tanpa consent. Tentu saja hal tersebut bisa disebut sebagai pelanggaran hak. Masalah yang kedua adalah, dengan begitu semakin jelas bahwa kontrasepsi hanya diberikan bagi mereka yang telah mengalami kehamilan dengan anggapan agar hal tersebut tidak terjadi dua kali dalam waktu dekat. Bagaimana dengan mereka yang ingin mendapatkan layanan terhadap kontrasepsi karena ingin meminimalisir risiko KTD maupun infeksi menular seksual? Dalam hal ini kontrasepsi semestinya diberikan dalam kerangka hak setiap orang alih-alih dipaksakan. Pemberian hak ini tentu dengan menginformasikan lebih dulu pilihan kontrasepsi apa saja yang tersedia secara lengkap, sehingga mereka pun dapat memilih kontrasepsi dengan consent berdasarkan informasi itu.

Di Pulau Jawa, banyak orang muda yang sudah mengetahui pentingnya kontrasepsi akan tetapi banyak di antara mereka khususnya peserta SSKR yang terkejut dengan berbagai pilihan yang tersedia serta ragam fungsinya. Selama ini memang kita hanya sering mendengar dan familiar dengan kondom laki-laki yang memang mudah didapatkan. Selain itu, ketimpangan relasi kuasa masih berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Bagaimana perempuan cenderung lebih pasif dalam memilih metode kontrasepsi dan bergantung pada laki-laki. Banyak peserta yang bercerita bahwa mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kondom karena pasangan mereka beranggapan kondom laki-laki mengurangi gairah seksual. Benar bahwa akses kontrasepsi untuk orang muda yang sudah aktif secara seksual masih sulit dan terbatas.

Lantas bagaimana solusinya? Mengingat bahwa pembangunan serta pembuatan kebijakan sepertinya belum berpihak dan belum menjadikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi orang muda sebagai agenda penting yang harus mulai dibicarakan. Hal tersebut dapat dimulai dari kesadaran terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi oleh orang muda. Edukasi dapat dilakukan secara bertahap dan sedini mungkin, dimulai dari pemetaan tubuh hingga pengenalan pada HKSR. Pemberian pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi untuk orang muda sebenarnya sudah sangat siap, pendidikan tersebut dapat diberikan berdasarkan pengalaman mereka, ruang aman dalam pembelajaran juga amat penting agar menciptakan pengalaman belajar kesehatan seksual reproduksi yang menyenangkan dan tepat. Untuk teman-teman yang ingin mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi atau mungkin masih bingung dengan pilihan-pilihan yang ada, tunggu artikel kami selanjutnya yang akan mengupas tentang jenis dan ragam alat kontrasepsi ya!

Penulis : Maya & Albertine Darasita

Rilis Penyikapan Situasi Layanan Aborsi di Indonesia: Bukti Pengabaian Negara atas Kesehatan Reproduksi

Credit : Freepik
Credit : Freepik

Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan oleh Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI), dalam rentang waktu Februari sampai dengan Agustus 2020, ditemukan setidaknya 8 (delapan) kasus yang berkaitan dengan aborsi. Kasus pertama yang mengawali rangkaian misinformasi terkait layanan aborsi yakni penggerebekan oleh Polda Metro Jaya (10/02/2020) atas Klinik di Paseban, Jakarta Pusat yang melibatkan 50 bidan dan telah ditetapkan 3 tersangka. Dilanjutkan dengan kasus aborsi di Surabaya, Gresik serta Kediri. Pada 3 Agustus lalu, Tim Gabungan Subdit Resmob Polda Metro Jaya menggerebek Klinik di Senen, Jakarta Pusat dan menangkap 17 tersangka.
Pada penggerebekan di Jakarta Pusat, Aparat Penegak Hukum (APH) memperkirakan 2 fasilitas kesehatan tersebut telah memberikan layanan aborsi sebanyak ribuan kali. Dalam banyak kasus lainnya, APH telah mengkriminalisasi perempuan, pendamping, orang yang merujuk (pemberi informasi), dan para pemberi layanan dan petugas kesehatan seperti dokter spesialis kandungan, bidan, serta perawat. Fakta ini justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi. Dengan mengkriminalisasi petugas kesehatan artinya negara telah menutup layanan aborsi aman dan mengarahkan perempuan untuk mengakses layanan aborsi tidak aman.

Dalam hal ini, Negara telah abai dalam memberikan hak terhadap akses layanan kesehatan yang aman dan berkualitas, dan lalai dalam melindungi petugas kesehatan sebagai komponen utama pemenuhan layanan kesehatan, khususnya layanan aborsi aman. Negara dalam representasi APH memandang kriminalisasi adalah suatu keberhasilan tegak hukum di Indonesia. Pandangan APH ini sayangnya diduplikasi berlebihan oleh media melalui pembentukan opini yang membenarkan bahwa tiap kriminalisasi aborsi adalah hal yang layak dilakukan. Sudut pandang layanan kesehatan dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan rupanya hanya menjadi janji manis yang tidak pernah digunakan. APH dalam penegakan hukum ataupun media dalam pemberitaannya, tidak mau menggali lebih dalam alasan kesehatan yang dilakukan pihak-pihak yang terkait dalam aborsi walau undang-undang sudah menjaminnya.

Layanan aborsi aman merupakan bagian dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM; diantaranya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi. Dalam HKSR, setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan.

Lalainya negara dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi berdampak pada perempuan yang ingin mencapai kondisi sehat yang justru mengalami kriminalisasi, stigma, atau terpaksa mencari layanan yang membahayakan nyawa dan kesehatannya. Minimnya informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu akar persoalan dari tingginya angka kehamilan tidak diinginkan/direncanakan (KTD) dan aborsi. Ditambah, tenaga kesehatan dan penyedia layanan yang diharapkan bisa menyelamatkan nyawa perempuan atau mengurangi risiko kematian justru harus bekerja di bawah bayang-bayang kriminalisasi. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 1 dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan (2015) menyebutkan bahwa aborsi tidak aman menambah Angka Kematian Ibu. Kasus induksi aborsi yang tidak aman telah menyumbang 4% kematian ibu di Indonesia (Sensus Penduduk, 2010). Selain kematian, aborsi tidak aman juga menyumbang tingginya angka morbiditas perempuan. Pemerintah Indonesia seharusnya lebih tanggap dengan fakta bahwa terdapat 2 juta kasus induksi aborsi setiap tahunnya (PPK UI, 2000) dan 49,4% upaya inisiasi aborsi dilakukan oleh diri sendiri (Riskesda, 2010). Hal ini disebabkan oleh ketiadaan layanan reproduksi bagi perempuan yang membutuhkan, bahkan kriminalisasi terhadap perempuan dan pemberi layanan.

Alasan yang melatarbelakangi aborsi sangat beragam. Laporan layanan konseling KTD selama 2000-2014 menyebutkan terdapat 118.756 kasus KTD (23 perempuan per hari mengalami KTD); 40% di antaranya sudah pernah mengakses layanan aborsi tidak aman. Selain itu, 81% dari 118.756 yang datang untuk konseling KTD adalah pasangan menikah dengan alasan gagal KB dan sudah tidak ingin menambah anak. Persoalan kontrak kerja yang melarang perempuan untuk hamil juga menjadi dasar bagi perempuan untuk mengakses layanan aborsi. Tingginya kasus KTD ini juga didukung oleh data SDKI 2017 yang menyatakan bahwa 15% kelahiran pada perempuan usia 10-49 tahun di Indonesia berasal dari kehamilan yang tidak diinginkan (SDKI, 2017). Data ini dapat dimaknai bahwa aborsi merupakan upaya untuk bisa mencapai kondisi sehat yang menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.

Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia. Namun aturan hukum tersebut inkonsisten. Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Namun di sisi lain hukum di Indonesia justru mempidanakan aborsi yang semestinya menjadi layanan kesehatan. Kurangnya pemahaman APH terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap kekerasan seksual yang berujung pada KTD menjadikan APH justru memukul rata tindakan aborsi untuk dipidanakan tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal.

Pandemi COVID-19 menambah kerentanan perempuan. LBH APIK melaporkan perempuan menjadi lebih rentan terdampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada masa pandemi COVID-19. Ini besar kemungkinannya berakibat pada meningkatnya angka KTD. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada melumpuhnya sumber pendapatan atau lebih jauh berdampak pada pemiskinan perempuan. Adanya keterbatasan pendapatan tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih jika harus merawat kehamilannya dengan baik. Beberapa lembaga yang menerima pengaduan terkait situasi kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan aborsi dengan metode yang aman yang disebabkan oleh situasi mereka yang dimiskinkan dan kekerasan seksualitas yang dialami. Dengan memperluas akses layanan aborsi aman, AKI dan kesakitan perempuan dapat diturunkan. Sehingga ketersediaan layanan aborsi aman justru dapat menyelamatkan jiwa perempuan di Indonesia.

Selain itu, layanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas. Dalam hal ini, pemerintah wajib memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif dan menjaga konfidensialitas.

Oleh sebab itu kami koalisi KSRI :
1) Mendesak Kementrian Kesehatan untuk : menyediakan PKRE –termasuk layanan aborsi aman dan pascaaborsi—sesuai dengan pedoman pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di tingkat pelayanan kesehatan dasar sebagai panduan pemberian layanan yang disusun berdasarkan kajian literatur ilmiah (evidence based medicine); segera mengimplementasikan PP 61 tahun 2014 dan PMK 3/2016 untuk memastikan pemberian layanan aborsi aman terhadap perempuan; berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memberikan perlindungan penuh terhadap korban, tenaga kesehatan, penyedia layanan, dan pendamping korban, salah satunya dengan menjamin kerahasiaan data dan identitas; memastikan adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan pemberian informasi terkait kehamilan tidak diinginkan dan atau tidak direncanakan, termasuk penyusunan pedoman dan panduan klinis medis aborsi aman, serta proses monitoring dan evaluasi pelaksanaannya; menginisiasi amandemen parsial terhadap UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan untuk pengecualian aborsi terkait usia kehamilan dan tidak sebatas dalam pengecualian aborsi yang tercantum;

2) Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap pemberi layanan, pendamping, dan perempuan;

3) Mendesak media untuk mengedepankan pemberitaan berperspektif korban dan tidak menambah stigma terhadap aborsi

Jakarta, 24 Agustus 2020

Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia
DIALOKA, ICJR, Jaringan Akademisi Gerak Perempuan, LBH Apik, LBH Jakarta,
Rumah Cemara, SGRC Indonesia, Save All Women & Girls, YLBHI

POPULER