Beranda blog Halaman 6

Di Bawah Payung Merah Pekerja Seks Berlindung

Ketika membicarakan pekerja seks, stereotip dan label yang melekat adalah mereka yang memakai fishnets stockings dan high heels. Konstruksi stereotip dan stigma tersebut sangat berbahaya dan menempatkan pekerja seks dalam kelompok rawan, rawan akan kekerasan dan pelecehan. Akan tetapi, pekerja seks kemudian melawan, dengan red umbrella, ikon perlawanan pekerja seks dan permintaan mereka terhadap perlindungan.

Together means stronger” merupakan kalimat yang diamini oleh jaringan pekerja seks di dunia. Selama ini, di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi, perjuangan melawan stigma, menderita kekerasan, pekerja seks mengumpulkan kekuatan bersama dengan simbol “payung merah”, dalam keadaan sosial-budaya yang berbeda.

Mengapa payung merah? Awal milenium, tepatnya tahun 2001 di Italia, pekerja seks dari berbagai belahan dunia berkumpul di sebuah event yang diselenggarakan oleh Comitato per i Dritti Civili delle Prostitute dan melakukan long-march di jalan-jalan Venice dengan menggunakan payung merah menyala, sebagai bentuk protes mereka. Seorang aktivis pekerja seks Italia, Pia Covre, menyatakan bahwa motif mereka menggunakan payung warna merah untuk parade adalah visibilitas; bagaimana kota Venice yang penuh dengan turis dapat dialihkan perhatiannya untuk kampanye mereka dan hal tersebut berhasil.

Merah diasosiasikan oleh warna “jantung” (heart) yang berarti simbol cinta dan payung merupakan simbol perlindungan. Perjalanan simbol tersebut tidak jauh dengan kontribusi dalam bidang seni, seperti pemutaran video, pameran, pertunjukan, teater dan pembagian print. Semuanya ini dilakukan di Giardini di tempat pameran yang bernama “Prostitue ‘Pavilion”. Akhirnya, pada tahun 2005 dalam konferensi Pekerja Seks di Brussels, payung merah atau Red Umbrella ditetapkan sebagai simbol dan digunakan hingga hari ini sebagai simbol perlindungan terhadap pekerja sek dan persatuan untuk mewujudkan destigmatisasi.

Dari berbagai macam risiko permasalahan terbesar yang dihadapi pekerja seks adalah adalah stigma. Pekerja seks di berbagai belahan dunia sekarang sedang berjuang melawan stigma dengan mencari representasi yang lebih baik sehingga dapat mencapai “penerimaan”. Dalam buku Revolting Prostitute (Smith & Mac, 2018) menceritakan seorang pekerja Seks di Swedia dan seorang aktivis bernama Jasmine dibunuh dengan cara ditikam dan kematiannya memicu protes di depan Kedutaan Besar Swedia di London. Mereka membawa plang atau tanda yang bertuliskan “Stigma Kills” dan kenyataannya memang begitu. Mereka dianggap tidak berharga dan disposable (Smith & Marc, 2018). Selain memicu kekerasan, stigmatisasi terhadap pekerja seks membuat mereka enggan mengakses layanan kesehatan dan mencari bantuan dalam kasus kekerasan.

Temuan Satellite Workshop Samsara Terkait Kekerasan Terhadap Pekerja Seks

Di Indonesia, profesi Pekerja Seks mengalami dehumanisasi. Dalam banyak keadaan mereka dihilangkan hak-haknya dan tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya. Pada akhir tahun 2018, tim Samsara mengadakan Satellite Workshop di Indonesia Timur. Salah satu dari rangkaian workshop dilakukan bersama Pekerja Seks di Manokwari. Pesertanya berasal dari komunitas di lokalisasi panti pijat dan dua LSM pendamping. Berdasarkan temuan, rupanya para pekerja seks sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai Kesehatan Reproduksi dan juga mereka sudah dapat mengakses layanan papsmear dan pengecekan kesehatan rutin.

Sebaliknya, akibat informasi yang minim, keadaannya tidak sama bagi Pekerja Seks Independen terutama yang bekerja di jalan. Akses informasi terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi minimal hingga tidak ada sama sekali. Berbeda bagi para Pekerja Seks yang mengikuti workshop bersama Samsara. Salah seorang peserta mengaku tetap melindungi dirinya ketika ada klien yang menolak untuk menggunakan kondom laki-laki karena anggapan bahwa itu mengurangi kenikmatan. Mereka melindungi diri dengan cara menggunakan kondom perempuan dan klien tidak perlu tahu, demi menghindari IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV/AIDS yang angkanya cukup tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pekerja Seks yang berada dalam komunitas akses terhadap layanan kesehatannya lebih terorganisir dan rutin.

Kekerasan seksual sangat sering terjadi dan merupakan yang paling sering dialami oleh Pekerja Seks. Akan tetapi, dalam masyarakat yang sudah menginternalisasi stigma terhadap pekerja seks, pelaku kekerasan yang tidak mengindahkan konsen atau bahkan tidak pernah terlintas untuk meminta konsen. Seringkali agensi pekerja seks, bahwa mereka memiliki pilihan mandiri dan otonom, dihapuskan dari dirinya seakan yang tersisa hanyalah sebuah objek seksual. Dalam hal ini, Pekerja Seks jalanan yang bekerja sendirian terletak pada posisi yang paling tidak menguntungkan.

Akibat bekerja sendirian, koordinasi dengan satu sama lain tidak dapat dilakukan sehingga ketika sesuatu terjadi korban – Pekerja Seks – tidak bisa meminta pertolongan, apalagi untuk melapor pada otoritas terkait. Sedangkan melalui kacamata pelaku tindak kriminal, pekerja seks menjadi sasaran empuk karena mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung. Hal tersebut yang menjadikan Pekerja Seks sering menjadi target penipuan dan kekerasan seksual.

Bentuk-bentuk kekerasan juga datang dari pejabat negara kepada Pekerja Seks. Salah satunya penipuan, pemerasan dan kriminalisasi. Awal tahun ini seorang pejabat di kota Padang menjebak seorang pekerja seks online dengan “menggrebeknya”. Pekerja seks yang menjual jasanya secara online kemudian dikenai pasal pornografi. Walaupun dalam KUHP tidak ada pasal yang secara langsung mengkriminalisasi Pekerja Seks, mereka menghadapi berbagai hukuman yang berkaitan dengan norma sosial-budaya di masyarakat terlebih norma-norma agama yang berlaku di lingkungan Pekerja Seks. Penyudutan pekerja seks yang dilakukan oleh pemerintah berlandaskan alasan moral dan terkadang alasan politis, agar lebih disukai contohnya dan meningkatkan elektabilitas, Pekerja Seks hanya dijadikan objek politik dan norma.

“Each of us must find our work and do it. Militancy no longer means guns at high noon, if it ever did. It means actively working for change, sometimes in the absence of any surety that change is coming.” – Audre Lorde, 1928

Pada akhirnya, kita dapat belajar dari Venice. Melalui sejarah, kita banyak belajar mengenai kekuatan kolektif. Payung merah di jalanan kota Venice menunjukkan kita bahwa membangun sebuah rumah bersama akan jauh lebih cepat dan akurat jika dalam prosesnya banyak pihak yang diikutsertakan dengan membawa keahlian masing-masing dan dalam kasus ini, rumah aman untuk kita semua.

Workshop Self-Managed Abortion, Upaya Mengubah Paradigma

Sebelum ikut workshop ini saya merasa takut bahkan sekadar mendengar kata KTD karena selama ini selalu dibayangi dengan stigma masyarakat tentang orang yang mengalami KTD lalu melakukan aborsi, belum lagi pemberitaan di media tentang kriminalisasi aborsi, juga pengalaman ibu teman saya yang aborsi dengan cara dikuret.. rasanya ikut merasakan sakit.”

Kutipan di atas merupakan salah satu pendapat peserta, selepas mengikuti workshop yang diadakan Samsara tanggal 10 Desember 2020. Workshop yang berjudul “Self-Managed Abortion: Sebuah Upaya Melawan Stigma” merupakan rangkaian dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan terdiri dari tiga rangkaian, setiap hari Kamis, tiga minggu berturut-turut. Minggu pertama, tanggal 26 September 2020 membahas mengenai pentingnya konseling dalam menghadapi Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), lalu diikuti oleh aborsi aman dan metodenya dua minggu berikutnya.

Dalam kutipan dari peserta di atas, terdapat tiga kata kunci yaitu: stigma, ketakutan dan pemberitaan media dan ketiga hal yang berkaitan tersebut yang menjadi dasar perhatian inisiasi workshop. Ketika perempuan, atau siapapun yang memiliki rahim, mengalami KTD terdapat dimensi berlapis yang meliputi latar belakang, aksesibilitas terhadap layanan yang memadai, budaya dan lain-lain yang perlu diperhatikan. Pada akhirnya, tidak semua orang memiliki akses informasi yang sama.

Ke manakah mereka mencari informasi? Tentu hari ini kita dapat menjawab dengan mudah, “di internet” , di mana perputaran informasi hanya secepat kedipan mata. Hal ini menjadi menguntungkan karena di satu sisi internet memfasilitasi penyebaran informasi dengan sumber aktual seperti jurnal penelitian namun begitu pula yang terjadi dengan dengan akses informasi yang salah, yang bahkan jumlahnya lebih besar. Ketika mengetik “Cara menggugurkan kandungan” bisa jadi yang muncul adalah “Misoprostol” namun besar kemungkinan yang muncul adalah “Paracetamol campur soda”.

Oleh karena itu, Tim Samsara berinisiatif untuk menepis itu dengan cara memberikan informasi kepada 20 peserta terpilih yang membahas seputar KTD dan serba serbi aborsi aman dengan harapan nantinya akan disebarluaskan ke publik yang lebih luas. Semua ini demi upaya memperbaiki perspektif dan paradigma mengenai aborsi aman dengan cara memilah informasi yang lebih tepat dan lebih akurat. Ketiga sesi diawali dengan pre-test guna mengetahui pengetahuan yang dimiliki oleh peserta sebelum mengikuti workshop dan diakhiri oleh post-test  untuk melihat perbedaan pengetahuan yang dimiliki peserta.

Pada sesi pertama, Tim Edukasi Samsara memaparkan pentingnya konseling untuk kasus KTD sekaligus berbagi informasi terkait layanan hotline Samsara. Berdasarkan hasil test, mayoritas peserta awalnya mengira bahwa konseling hanya dapat dilakukan oleh psikiater dan psikolog. Nyatanya, konseling dapat dilakukan oleh orang yang terlatih. Contohnya konselor Samsara termasuk kelompok orang yang terlatih (trained person). Tapi perlu digaris bawahi, fungsi konselor hanya sebatas memberi informasi terkait pilihan-pilihan yang tersedia, membantu merumuskan masalah dan memberikan support. Dalam proses menghadapi KTD segala keputusan ada di tangan individu tersebut, integritas tubuh dan agensi individu harus dihormati.

Sesi kedua mengantar kita pada pengenalan metode aborsi aman yang terdiri dari: Surgical Abortion (Vacuum Aspiration) dan Medical Abortion (Misoprostol & Combination Pills). Selama ini, persepsi publik mengenai metode aborsi adalah sesuatu yang mengerikan dan melibatkan banyak benda tajam dan darah. Namun sebaliknya, metode yang membutuhkan benda tajam dalam prosesnya seperti Dilatation & Curettage atau yang kita kenal sebagai kuret, sudah tidak direkomendasikan lagi oleh WHO karena tinggi akan risiko. Tingkat komplikasinya 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan vacuum aspiration (Grimes and Cates, 1979). Namun pada prakteknya, metode ini yang masih digunakan di kebanyakan fasilitas medis di Indonesia!

Sesi terakhir secara khusus membahas mengenai Medical Abortion, mulai dari keadaan aktual di Indonesia seperti bagaimana perlindungan hukum yang, ah sudahlah, sangat tidak memadai dan tricky. Hingga mitos-mitos dan persoalan dalam implementasinya. Misalnya, ketika pertanyaan “Apa kira-kira yang menjadi halangan untuk aborsi?” dilontarkan, teman-teman menjawab dengan jawaban yang bervariasi seperti takut akan dosa, tidak tahu kemana, terbentur dengan ideologi dan agama, kebingungan dan keuangan. Stigma-stigma yang ada kemudian diluruskan satu persatu. Termasuk anggapan bahwa ketika aksesibilitas terhadap kontrasepsi dan aborsi lebih baik maka permintaannya dapat menghilang. Memang angkanya aborsi menurun tetapi kebutuhan akan terus ada, misalnya akibat kegagalan kontrasepsi. Sehingga, fasilitas layanan aborsi aman harus selalu dipertimbangkan.

Buruh Perempuan Memperjuangkan Hak Asasi Manusia: Pengabaian HKSR, Hak Maternitas dan Integritas Tubuh Menjadi Momok

Bagi perempuan, perjuangan untuk mendapatkan Hak Asasi Manusia masih merupakan jalan yang panjang, namun pasti. Pengalaman setiap perempuan berbeda, tidak ada perempuan yang memiliki blue-print yang sama, perempuan menempati posisi yang rentan di masyarakat dan banyak identitas-identitas yang membentuk perempuan, menjadikan mereka lebih rentan. Pada hari HAM ini, marilah kita memperingati perjuangan buruh perempuan terutama yang berada di “negara berkembang” yang tengah berjuang.

Pelanggaran HAM yang paling jamak ditemui pada buruh perempuan adalah hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan, hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang layak, dan standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai (berdasarkan OHCHR). Tidak terhitung berapa reportase yang kita saksikan, terutama di tengah pandemi COVID-19 ketika keadaan ekonomi memburuk.

Berdasarkan investigasi dari Perempuan Mahardhika, buruh perempuan takut hamil melihat kondisi risiko yang berpotensi untuk ditimbulkan oleh lingkungan tempat kerja yang buruk. Hal tersebut diakui oleh 86% responden. Di samping itu terdapat berbagai regulasi diskriminatif, yang tidak segan untuk memberhentikan paksa buruh yang mengambil cuti hamil. Pada beberapa kasus, buruh yang kembali bekerja selepas mengambil cuti, masa bekerjanya “di-reset” kembali menjadi 0. Mayoritas dari perempuan tersebut bekerja di pabrik garmen milik industri fast-fashion ternama seperti Zara. Industri retail besar yang bergerak di bidang tekstil memang dikenal mengantongi lembaran-lembaran rapor merah yang terkenal dengan eksploitasi buruh, pengrusakan alam dan imperialisme.

Padahal, perlindungan maternitas merupakan hak ketenagakerjaan fundamental yang diabadikan dalam perjanjian hak asasi manusia universal utama. International Labour Organization (ILO) menyatakan kegagalan mengadakan dan menjamin hak maternitas termasuk dalam pelanggaran. Kegagalan tersebut termasuk kandasnya jaminan akan kesejahteraan (well being) pada bidang ekonomi dan sosial. Ketika buruh perempuan hamil, perusahaan mempersulit izin untuk tidak mengambil kerja lembur dan perempuan harus meminta surat keterangan dari puskesmas. Banyak hambatan antara lain: waktu kerja yang sudah keburu penuh dan privatisasi pelayanan kesehatan yang membuat angka keguguran melambung tinggi.

Dalam kacamata pasar, buruh perempuan terutama yang sudah menikah lebih “mahal”. Dengan kata lain, terjadinya dehumanisasi perempuan. Akibatnya, ketimpangan serta diskriminasi berbasis gender akan terus menerus direproduksi selama hak-hak perempuan tidak diakui. Relasi industrial merupakan gerbang lebar bagi eksploitasi terhadap buruh perempuan. Banyak yang masih menganggap cuti hamil/maternitas, ataupun cuti haid problematik, karena menyalahi aturan “untung rugi”. Itulah mengapa banyak buruh perempuan yang takut untuk hamil dan direpresi oleh berbagai regulasi, akan tetapi ketika telah mengambil kerja lembur tidak diapresiasi. Moral pasar sifatnya sangat fungsionalis, dengan tujuan untuk dapat bersaing di masyarakat kompetitif pasar dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.

Aksesibilitas terhadap cuti menstruasi juga masih sangat rendah dan terbelit pada birokrasi yang rumit. Pegawai yang tidak mendapat cuti menstruasi terpaksa bekerja dalam kondisi sanitasi yang sangat buruk. Hal terkait sanitasi masih dianggap masalah sepele oleh kebanyakan perusahaan. Air bersih tidak tersedia di kamar mandi pekerja dan hanya tersedia bagi hanya bagi para atasan (menurut investigasi Women Research Institute) Air kamar mandi di toilet buruh sama sekali tidak layak pakai. Bahkan sekadar untuk membasuh wajah karena berwarna dan berbau busuk. Kondisi sanitasi tidak memadai terutama bagi perempuan yang sedang menstruasi dan membutuhkan hygienic care yang lebih tinggi paling dirugikan di sini. Padahal, dalam Artikel 7 terkait Hak Asasi di Bidang Ekonomi dan Sosial kondisi kerja yang aman dan sehat merupakan prioritas.

Tidak berhenti sampai disitu, semua itu dibayar dengan upah yang timpang. Tentu salah satu yang dapat kita salahkan adalah stereotip gender di mana perempuan tidak dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Lagu lama ini memang sayangnya masih diamini hingga sekarang. Rentetan pelanggaran di atas, ketika disuarakan kerap berujung pada pelanggaran HAM lainnya, yaitu kebebasan untuk berekspresi. Mereka yang menyuarakan kondisi aktualnya berada di ujung tombak dengan berbagai macam ancaman yang siap menghujam. Salah satu simbol perlawanan dan perjuangan buruh, serta menunjukkan bagaimana berdarahnya perjuangan pekerja kerah biru perempuan, bahkan untuk sekedar memperjuangkan hak fundamentalnya adalah Marsinah.

Tahun lalu, seorang buruh perempuan mendapatkan ancaman karena dianggap memprovokasi pekerja lainnya untuk mogok kerja. Mogok yang dilakukan juga bukan tanpa alasan, melainkan di-trigger oleh berbagai pelanggaran di pabrik dan juga gagalnya proses mediasi (Sumber: tirto.id). Selain dibungkam secara langsung, pemerintah tidak berpihak pada pekerja dan justru memperburuk keadaan dengan persuasi yang kurang tepat. Terdapat Kepala Daerah yang lagi-lagi berpihak pada pengusaha dan berusaha menanamkan mentalitas menerima mentah-mentah dalam diam (investigasi Perempuan Mahardhika). Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga!

Bagaimana aborsi aman dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan?

Dalam keadaan seperti ini, kita justru harus membuka dialog mengenai pentingnya aborsi aman bagi perempuan, yang juga menjadi bagian dalam hak perempuan. Ketika buruh perempuan mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), mereka berada dalam kondisi terhimpit. Ketidaklayakan kondisi kerja bagi buruh yang tengah hamil diperburuk oleh direnggutnya otoritas akan tubuh, menyisakan sedikit sekali kemungkinan bagi perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.

Salah satu penyumbang kasus KTD terbanyak adalah kasus kekerasan. Relasi kuasa yang timpang, termasuk relasi gender ataupun relasi industrial, kerap berujung pada berbagai jenis tindak kekerasan seksual dan pelecehan. Keadaan diperburuk oleh peliyanan perempuan di tempat kerja. Kegagalan untuk mengidentifikasi penyebab majemuk terjadinya KTD merupakan salah satu hambatan untuk angkat bicara mengenai urgensi aborsi aman. Banyak yang belum bisa memahami bahwa kehamilan diakibatkan banyak faktor seperti kegagalan kontrasepsi ataupun kekerasan seksual. Walau terdapat undang-undang yang melindungi namun dalam prakteknya masih banyak terjadi penghambatan serta kegagalan implementasi.

Akibatnya, pilihan-pilihan yang tersedia bagi perempuan sangat sempit serta masing-masing memiliki risiko yang berat. Mereka yang memilih untuk melanjutkan kehamilan terpaksa harus menghadapi berbagai resiko kesehatan seperti keguguran (terbukti dari angka keguguran yang sangat tinggi yaitu 7 dari 118 buruh perempuan mengalami keguguran), cuti hamil dan juga kebutuhan terhadap gizi bagi ibu hamil dan menyusui serta upah rendah yang tidak mencukupi kehidupan. Tidak ada subsidi pertanian dan pangan, pendidikan dan kesehatan, yang semuanya berdampak secara tidak proporsional kepada penduduk kelas bawah, dan terutama perempuan yang tengah hamil dan menyusui.

Sedangkan mereka yang memilih untuk tidak melanjutkan kehamilan dihadapi oleh bayang-bayang kriminalisasi. Selain itu, kebanyakan dari mereka yang ingin mengakses layanan aborsi dihadapkan pada problem finansial sehingga besar kemungkinan mengakses layanan yang tidak aman dan membahayakan nyawa.

Pada akhirnya, catatan di atas hanyalah merupakan ujung, atau bahkan secuil salju di puncak gunung es dan sebagai pengingat betapa berbatu dan panasnya jalan yang harus kita tempuh. Bagaimana menurut kalian?

 

Kenali Bahaya Ungkapan Misoginis di Internet

Komentar seksis nan misoginis yang kamu jumpai sehari-hari di internet bukan sekadar isapan jempol yang akan hilang begitu saja ketika kamu melewatinya! Kita kerap fokus pada permasalahan seksisme yang ekstrim dan terkadang gagal mengidentifikasi contoh-contoh yang “kurang sensasional”. Dampaknya bisa dari perundungan hingga femicide.  Tujuannya? Menciptakan iklim teror dan dominasi terhadap perempuan. Call out sekarang, tingkatkan kesadaran!

Internet, media sosial dan netizen, pada awal kemunculannya, dikenal dengan istilah “dunia maya”. Kata tersebut merupakan lawan dari “dunia nyata” dan kita mengira dunia ini hal yang berbeda di dunia nyata. Kata “maya” merupakan sesuatu yang “tidak nyata dan hanya angan-angan”, atau lebih tepatnya mungkin sesuatu yang tidak dapat disentuh,sedangkan, walau tidak dapat disentuh, internet menjadi bagian yang inheren dalam kehidupan kita, semua yang terjadi di “dunia maya” merupakan kehidupan kita juga.

Kita tidak bisa log off dari internet dan sosial media. Kamu yang sedang membaca artikel ini sedang berselancar dan menggunakan fasilitas internet. Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pergerakan dan aktivisme juga menjadi lebih terjangkau dengan bantuan internet. Kita tidak bisa dengan mudah log off, walau berbagai momok mengintai seperti ancaman penyalahgunaan privasi dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Bentuk KBGO yang paling jamak ditemui di internet adalah perundungan. Salah satu contohnya adalah sempat ramai di Twitter adalah txtdarifeminis, yang memicu tanggapan-tanggapan yang kebanyakan berupa ujaran kebencian serta sikap antipati terhadap “feminisme” atau mungkin yang mereka pikir sebagai “feminis”. Mulai dari anggapan bahwa feminis (di internet) terlalu “radikal dan liberal” ataupun terlalu “vulgar”. Bahkan beberapa waktu lalu beredar cuplikan percakapan antara dua orang, yang menyatakan bahwa “Membuatkan makanan untuk ayah adalah bentuk kepatuhan terhadap ketimpangan dan dominasi kultur patriarki”.

Akibat berbagai miskonsepsi dan generalisasi, cuitan dari second account dan akun alter  dengan ungkapan anti-feminis membanjiri timeline bahkan tidak jarang yang berbau kekerasan. Beberapa dari mereka bersembunyi dalam anonimitas. Saya ingat, salah satu teman saya yang mengikuti Women’s March Jakarta pada tahun 2018 fotonya tersebar di sosial media dengan caption berupa ancaman pembunuhan hingga perkosaan. Kekerasan semacam ini bertumbuh, menjamur dengan media sosial sebagai pupuknya.

Internet memang memfasilitasi anonimitas, namun ini menjadi pedang bermata dua. Samsara sendiri menghargai anonimitas karena dapat dimanfaatkan agar kita dapat merasa lebih nyaman untuk berbagi. Akan tetapi, anonimitas juga dapat menjadi berbahaya, Ketika kita log in sebagai seseorang yang tidak diketahui, kita cenderung menjadi tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kita ungkapkan, termasuk ancaman verbal tertentu. Mungkin beberapa dari kita menganggap hal tersebut sebagai angin lalu dan tidak mau ikut serta dalam perdebatan itu. Apakah penting bagi kita untuk melihat, alasan di balik rasa antipati tersebut? Namun, yang paling penting adalah, apa dampaknya? Bukankah hal tersebut hanya sebatas jejeran huruf yang tidak berarti. Kan tinggal scroll lalu kita bisa melanjutkan hidup kembali?

Tiga puluh tahun lalu, di sebuah kampus di Montréal, Kanada (École polytechnique) seorang laki-laki bernama Lépine, yang berusia seperempat abad masuk ke suatu ruang kelas, bersenjata api dan memerintah semua laki-laki untuk keluar dan menyisakan 9 perempuan di dalam ruangan. Dengan menggunakan senjatanya, Lepine menembaki semua perempuan di dalam kelas, membunuh 6 diantaranya, sambil berteriak “You are all a bunch of feminists, and I hate feminists”! Kejadian kejam dan menyedihkan tersebut menarik atensi publik namun kebanyakan masih menolak dan menyangkal bahwa ini merupakan permasalahan sosial dan struktural seperti: misoginis dan kekerasan dengan senjata api.

Berdasarkan pernyataannya dan lingkungan di mana ia dibesarkan, bisa diketahui bahwa Lépine sangat dekat dengan dikotomi “laki-laki yang berkuasa dan perempuan di kutub subordinat”. Butuh waktu yang sangat lama bagi publik untuk menyadari hingga akhirnya hari tersebut diangkat menjadi salah satu hari penting di Kanada, untuk mengingat dampak dari akar tersebut (White Ribbon Day). Ancaman yang seseorang ungkapkan, hate speech lambat laun akan bereskalasi. Normalisasi hal-hal yang kita anggap lumrah bisa berujung pada tindak kekerasan.

Tidak jarang pula tangkapan layar yang berupa jokes dan ungkapan di group Facebook beredar dan isinya menertawakan perempuan dan memperlakukan perempuan dan tidak jarang merendahkan hingga membayangkan perempuan sebagai objek yang submisif, memiliki potensi untuk berakhir dalam kekerasan domestik yang terjadi yang didasari oleh dominasi. Apa hubungannya dengan kasus Montreal di atas? Sampai sini mungkin kita menganggap bahwa perbandingan itu tidak apple to apple dan terkesan berlebihan, namun disinilah masalah itu muncul.

“Pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang didasari oleh kebencian, penghinaan, kesenangan atau rasa kepemilikan terhadap perempuan” dapat disebut sebagai Femicide. Istilah ini dicetuskan oleh Diana Russell. Singkatnya, pembunuhan terhadap perempuan ini semata bermotifkan: karena mereka perempuan. Akar permasalahannya, tentu dari memaklumi serta mengendapkan nilai-nilai misoginis.

Pembunuhan memang merupakan dominasi paling ekstrim yaitu terorisme seksis, bentuk lain yang mungkin tidak asing di telinga kita adalah dominasi dan teror. Selain itu, pembunuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan struktur sosial. Diskriminasi dan dominasi termasuk pelecehan (bahkan pelecehan verbal) harus dikenali sebagai suatu kesatuan dengan femicide, yang merupakan potensi awal dari pembunuhan. Tujuannya tentu saja untuk menciptakan iklim ketakutan.

Apa yang kita kenal femicide merupakan contoh ekstrim. Namun itu merupakan perpanjangan dari normalisasi semacam itu. Mungkin ungkapan-ungkapan toxic yang kita dengar tidak hanya akan berhenti sampai situ penutur bisa jadi memanifestasikan kebenciannya kemudian melalui tindakan. Belum lagi ketika kita dikelilingi oleh media yang tidak sensitif terhadap perspektif gender yang seringkali memberitakan kekerasan terhadap perempuan sebagai sesuatu yang sensasional, sama sekali tidak sensitif!

Lalu apa yang perlu kita lakukan? Tentu tidak serta-merta menjauhi sosial media akibat iklim yang toxic dan tidak sehat tersebut karena itu sama saja menutup mata. Untuk mencapai iklim yang seimbang di mana kebebasan berekspresi tetap dijunjung namun tanpa toleransi ujaran kebencian yang seksis dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemegang kepentingan, penegak hukum dan kita semua. Beberapa hal diantaranya yang dapat dilakukan antara lain:

    • Mendorong media agar memperkuat mekanisme dan kode etik perilaku, mengutuk para pelaku ujaran kebencian dan memerangi secara aktif bentuk-bentuk kekerasan di media sosial
    • Menetapkan standar yang jelas dalam media mengenai apa yang bisa disebut sebagai komentar seksis dan konsisten menjalaninya
    • Integrasi perspektif kesetaraan gender
    • Call out untuk meningkatkan awareness dan menjatuhkan hukuman sosial bagi pelaku
    • Advokasi dan perlindungan korban dan penyinta

Stop scrolling over and be aware!

“Tolong!” : Uluran Pertama Kita, Selangkah Harapan Menyelamatkan Hidupnya

Kita mungkin akan enggan berimajinasi bagaimana bila hal buruk terjadi dalam hidup kita: Apakah aku dapat tertolong? Apakah aku dapat selamat? Apakah setelah ini hidupku berarti? Bagaimana aku mencari pertolongan?

Itulah yang dirasakan korban kekerasan seksual. Seketika semua bisa runtuh. Kehilangan harapan, pekerjaan, kepercayaan diri dan trauma dalam waktu yang bersamaan. Tak bisa sedetikpun dapat membayangkan bagaimana bila menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal yang brutal, dan perkosaan adalah kekejian yang bisa menghancurkan hidup seseorang dalam penderitaan.

Sebab itulah, dengan semangat dari 16 Days of Activism – 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengingatkan kita kembali bahwa hak, pemulihan dan perlindungan korban kekerasan seksual adalah sesuatu yang tak bisa ditawar lagi.

“Tolong!”
Ketika seorang korban perkosaan datang kepada kita dengan skenario-skenario ini, setidaknya kita bisa memberikan pertolongan pertama kepada mereka. Mengapa? Karena kondisi korban harus disamakan dengan kondisi darurat yang membutuhkan penanganan khusus serta respon segera.

Skenario-skenario ini dibayangkan bila ada seorang korban yang tidak bisa mengakses pertolongan apapun seperti jauh dari akses Rumah Sakit atau pos kepolisian terdekat sehingga ia harus menghubungi kita sebagai orang kepercayaannya. Dengan begitu kita bisa memahami bagaimana kondisi korban dan segera menyegerakan langkah penanganan untuk korban.

Aku mendengarmu, aku percaya dengan ceritamu…

Validasi semua yang dirasakan korban, dengarkan ceritanya dengan empati, tanpa penghakiman. Ini adalah hal pertama yang harus kita lakukan. Sungguh, bagi korban untuk bercerita saja ia akan kesulitan dan mungkin ketika datang kepada kita ia hanya akan menangis. Maka dengarkan ia baik-baik, karena korban sedang dalam situasi yang sangat sulit dan berat. Mungkin kita juga akan terkejut, tapi dampingilah ia, ketika situasi sudah memungkinkan untuk berbicara, tanyakanlah apa kebutuhannya, apa yang bisa kita bantu untuknya.

Mulai dari langkah pertolongan awal

Apabila melapor ke aparat penegak hukum belum memungkinkan karena memang kita juga harus melihat kondisi kesiapan korban, kita bisa segera mencari informasi tentang kontrasepsi darurat, serta penanganan kesehatan yang memungkinkan termasuk pemulihan psikologis. Kita harus jeli melihat apakah korban juga mendapatkan tanda-tanda kekerasan fisik lainnya.

Bila akses rumah sakit dekat, segera bawa korban ke Unit Gawat Darurat agar korban bisa segera diberikan penanganan. Apabila memang akses Rumah Sakit jauh, kita bisa mencari apotek terdekat untuk mencari kontrasepsi darurat terlebih dulu. Kontrasepsi darurat adalah metode kontrasepsi yang dapat digunakan untuk mencegah kehamilan setelah adanya hubungan seksual beresiko, maksudnya konteks ini adalah tanpa pengaman maupun karena paksaan. Pemakaian kontrasepsi darurat direkomendasikan untuk digunakan dalam 5 hari, tetapi lebih efektif jika digunakan lebih cepat setelah hubungan seksual. Banyak resiko yang harus ditanggung oleh korban akibat kejahatan perkosaan. Selain trauma, ia bisa beresiko mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan, maka itu kontrasepsi darurat sebisa mungkin diberikan untuk korban perkosaan.

Selanjutnya usahakan mencari informasi untuk pencegahan Infeksi Menular Seksual termasuk HIV dan tes kehamilan. Memang ini tidak semudah ketika membaca, tapi sudah banyak kanal informasi dan hotline yang bisa dipercaya untuk mencari tahu tentang informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi, serta tempat layanan kesehatan yang bebas stigma. Namun dengan melihat situasi korban, usahakan untuk pergi ke Rumah Sakit untuk mendapatkan semua layanan komprehensif tersebut. Meskipun pihak Rumah Sakit akan menanyakan beberapa hal atau meminta persyaratan tertentu seperti laporan kepolisian, yang bisa kita lakukan adalah berdialog dengan pihak Rumah Sakit bahwa mereka tidak boleh menolak siapapun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, terlebih situasi korban adalah situasi darurat karena tindakan perkosaan itu sudah terjadi, dan membutuhkan pertolongan penanganan kesehatan khususnya kesehatan seksual dan reproduksi korban.

“…karena perkosaan itu aku hamil, aku sudah tidak sanggup lagi, aku harus bagaimana…”

Situasi korban perkosaan tidak pernah mudah. Untuk berbicara dengan orang lain saja mungkin korban akan penuh pertimbangan. Waktu berlalu, korban yang tidak mendapatkan pertolongan pertama seringkali tidak menyadari dirinya mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan akibat perkosaan tersebut. Bagaimana apabila ini terlanjur terjadi? Idealnya, apabila perempuan mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan mereka memiliki pilihan; melanjutkan dan merawat sendiri, melanjutkan lalu adopsi, atau menghentikan kehamilan tersebut. Faktanya, untuk mengambil pilihan aborsi bagi korban perkosaan memang sulit di Indonesia, apalagi bila harus mengakses layanan kesehatan tersebut di Rumah Sakit, kerangka aturan aborsi dan prosedur yang panjang berbelit justru memperlama korban mendapatkan akses aborsi aman.

Lagi-lagi kita harus mengembalikan situasi korban pada situasi kegawatdaruratan, apakah ada pilihan alternatif selain yang ada dalam peraturan? Tentu ada. Prosedur aborsi tersebut, meski sudah diakui aman oleh dunia kesehatan termasuk World Health Organization, tidak dikenali dan dipayungi dalam aturan di Indonesia. Namun pada prakteknya, menjadi pilihan alternatif yang aksesibel, aman dan mudah bagi perempuan. Tentu, pilihan-pilihan tersebut dapat dibicarakan dengan korban, melalui konseling yang komprehensif termasuk konseling Kehamilan Tidak Direncanakan.

Mengangkat kembali hak korban perkosaan

Sebenarnya, semua pertolongan pertama tersebut sudah tercantum dalam aturan terkait perlindungan korban perkosaan dan aturan hukum terkait kesehatan. Meski masih harus dipertanyakan implementasinya.

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

Dalam peraturan pemerintah terbarunya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (PP No.7/2018) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selanjutnya, pasal 37 PP No.7/2018 ayat (1) menyebutkan bahwa Saksi dan/atau Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat berhak memperoleh Bantuan. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. bantuan medis; dan b. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan No. 36/2009)

Aturan ini merupakan payung hukum untuk pembolehan aborsi bagi korban perkosaan. Namun dengan limitasi tertentu, diantaranya sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP No. 61/2014) 

Mengatur penanganan kesehatan seksual bagi korban kekerasan seksual. Dalam pasal 29 PP No. 61/2014 ayat (1) menyebutkan bahwa korban kekerasan seksual harus ditangani secara multidisiplin dengan memperhatikan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual. Penanganan aspek hukum, keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. upaya perlindungan dan penyelamatan korban; b. upaya forensik untuk pembuktian; dan c. identifikasi pelaku.

Penanganan aspek kesehatan fisik, mental, dan seksual pada korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan fisik, mental, dan penunjang b. pengobatan luka dan/atau cedera; c. pencegahan dan/atau penanganan penyakit menular seksual; d. pencegahan dan/atau penanganan kehamilan; e. terapi psikiatri dan psikoterapi; dan f. rehabilitasi psikososial. Selanjutnya, Pasal 37 PP No. 61/2014 juga memberikan ruang untuk konseling bagi korban perkosaan yang memilih untuk menghentikan kehamilan mereka akibat perkosaan yaitu konseling pra dan pasca tindakan.

Tentu saja segala skenario diatas tidak bisa menampung keseluruhan situasi spesifik yang dialami oleh korban maupun kita sebagai pendamping korban. Misalnya, harus berhadapan dengan stigma dari pemberi layanan kesehatan, aparat penegak hukum, situasi psikis korban, atau ketika mengakses kontrasepsi darurat di apotek. Kekerasan seksual bagai fenomena gunung es, sejak dulu situasinya sudah memprihatinkan. Namun dengan pengetahuan dan pengerahan daya bersama, kita bisa mendorong aturan penghapusan kekerasan seksual. Pertolongan pertama kita merupakan tindakan nyata untuk korban, karena bisa jadi, hal itulah yang bisa menyelamatkan nyawanya, hidupnya…

World AIDS Day 2020: Saatnya Membuktikan Kekuatan Solidaritas!

“Kekuatan komunitas yang disertai dengan rasa tanggung jawab bersama terhadap satu sama lain telah berkontribusi besar pada kemenangan atas HIV”

Setiap tanggal 1 Desember, dunia memperingati hari AIDS Sedunia dan pada tahun ini, 2020, tema yang diangkat adalah “Global Solidarity, Resilient Services” atau “Solidaritas Global, Layanan yang Tangguh”. Hari ini dikhususkan untuk mengingat, pentingnya persatuan demi mengeliminasi endemik HIV dan tentu saja untuk mendukung orang-orang dengan HIV dan mengingat mereka yang meninggal akibatnya. Sepertinya kita perlu banyak belajar dari pandemi COVID-19 yang mendominasi tahun 2020 kita di mana solidaritas merupakan salah satu alasan kita tetap bertahan. Kita menyaksikan sendiri banyak perbuatan baik atas dasar solidaritas yang dilakukan baik individu maupun komunitas yang membantu bertahan hidup di tengah ketidakpastian.

Awal diumumkannya kasus (yang terdeteksi) pertama COVID-19 di Indonesia, media memberitakannya secara berlebihan dan respon kita adalah panik yang berlebih, bahkan tidak lama kemudian peliyanan terhadap korban terjadi terutama para tenaga medis. Akan tetapi, semakin kita mengedukasi diri kita, kita sekarang mengetahui lebih dalam karakteristik dari virus dan bagaimana ia menyebar sehingga kita tahu bagaimana cara melindungi diri kita. Kita juga sadar penuh bahwa tidak ada kelompok yang kebal, namun pasti terdapat kelompok rentan, dan kelompok rentan ini perlu kita jaga secara khusus.

Kata kuncinya memang edukasi dan solidaritas, begitulah bagaimana cara kita bertahan. Mitigasi pandemik, terutama di Indonesia, memang jauh dari cukup namun kita bisa mengambil beberapa hal positif terkait kepedulian terhadap sesama. Akan tetapi hal tersebut masih sulit untuk diterapkan pada endemik AIDS, mengingat masih kuatnya stigma yang melekat dan keengganan untuk mengetahui lebih lanjut.

Apakah sebenarnya AIDS itu? Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan infeksi yang terjadi akibat terganggunya sistem kekebalan tubuh. Hal yang merusak sistem kekebalan tubuh ini adalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV. HIV menular melalui beberapa cairan tubuh seperti: darah, asi, air mani dan cairan vagina terutama melalui hubungan seks tanpa pengaman (kondom), transfusi darah dan melalui jarum yang terkontaminasi (menurut Environmental and Occupational Medicine tahun 2007).

Dalam meningkatkan solidaritas, banyak yang enggan terlibat hal tersebut diakibatkan karena kuatnya stigma negatif yang melekat. Cara bekerja stigma bisa diibaratkan sebagai vicious circle sehingga salah satu caranya untuk mengakhirinya adalah dengan memutus rantainya: mulai meningkatkan kesadaran, tidak tinggal diam melihat diskriminasi.

Salah satu dampak dari stigmatisasi adalah: potensi untuk mengkhawatirkan hal yang kurang tepat dengan berlebihan. Contohnya adalah mengenai cara penyebarannya. Memang betul, penyebaran virus HIV melalui cairan tubuh, namun pernyataan ini problematis karena tidak spesifik; cairan tubuh seperti apa? Ada yang berpikir bahwa saliva, keringat bahkan air mata. Itu tidaklah benar, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) menyatakan bahwa HIV hanya bisa ditularkan melalui darah, sperma, asi dan cairan vagina. Hal tersebut dapat berujung pada peliyanan bahkan hingga persekusi terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

Selain pada ODHA, alat kontrasepsi yang berperan penting dalam pencegahan penyebaran PMS (Penyakit Menular Seksual) yaitu kondom, juga mendapat stigma yang buruk dan dikaitkan dengan “kemerosotan moral”. Terbukti, tujuh tahun silam, tahun 2013 ketika upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kondom ditolak mentah-mentah secara terang-terangan oleh suatu golongan masyarakat. Padahal dengan atau tidak adanya kontrasepsi, aktivitas seksual akan tetap ada dan bahkan akan lebih berisiko ketika yang menunjang kegiatan seksual yang aman ditiadakan. Atau mungkin kita cenderung mereduksi fungsi kondom dan menganggapnya semata sebagai alat pencegah kehamilan. Sehingga, orang yang sudah merasa memakai kontrasepsi lain (misal PIL KB ataupun IUD) atau merasa tidak memiliki risiko dapat hamil memilih untuk tidak menggunakannya. Padahal, penelitian yang dilakukan oleh Carey RF dkk (1992) telah membuktikan bahwa kondom efektif untuk mencegah HIV, jika digunakan dengan benar.

Lantas jika kita ingin memulai perubahan harus mulai dari mana? Kabar baiknya, hal-hal terkecil ini dapat kita mulai dari diri sendiri. Menurut saran dari CDC (Centre of Disease Control and Prevention), ketika kita menyaksikan tindakan diskriminatif hal pertama yang dapat kita lakukan adalah memberi contoh yang baik atau yang disebut sebagai “model positive”. Karena, salah satu tindakan awal yang terbaik adalah mengedukasi diri sendiri agar dapat mengetahui langkah-langkah berikutnya berikutnya.

Ketika ada teman atau anggota keluarga yang merupakan ODHA dan kamu menyaksikan secara langsung teman lainnya atau anggota keluargamu menyudutkannya, kamu bisa langsung menegur, tentu dengan akurat dan bertahap agar pihak tersebut tidak menjadi antipati. Atau mungkin kamu memiliki seorang teman dengan ODHA mulai membuka bisnis makanan rumahan namun tidak ada yang mau membeli karena takut tertular melalui makan, kamu tentu saja bisa menyebarkan kesadaran bahwa hal tersebut sebatas stigma dan memberi contoh baik yaitu tetap mempromosikan dagangannya dan membelinya. Orang-orang lambat laun akan terpengaruh dan dapat membuka diri!

Selain itu, bentuk dukungan lain yang dapat kita berikan adalah menggunakan bahasa yang suportif ketimbang yang cenderung merendahkan. Ketimbang menggunakan kata seperti “menderita HIV/AIDS” atau “terkontaminasi oleh virus HIV” kita bisa menggunakan alternatif kata yang lebih suportif seperti “didiagnosa HIV” atau “orang dengan HIV (ODHA)”. Seringkali kita mendengar kata “memerangi HIV/AIDS”, mungkin kata tersebut terkesan agresif dan berisiko untuk menempatkan ODHA sebagai kubu yang harus “diperangi” dan dapat berujung pada diskriminasi. Alternatifnya, kita dapat mengatakan “menangani/menanggapi HIV/AIDS”.

“Kekuatan komunitas yang disertai dengan rasa tanggung jawab bersama terhadap satu sama lain telah berkontribusi besar pada kemenangan atas HIV”

Kisah Perempuan : Perlawanan yang Kekal

Teruntuk para perempuan yang melawan..hingga kini ataupun nanti.

Mengapa kisah tentang Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia selalu menggugah kita? Apakah karena kehidupan mereka seperti refleksi dari kehidupan kita? Bisa jadi..

Sebagai seorang pecinta film, Netflix menjadi primadona ketika mencari film yang berkisah tentang perjuangan, khususnya perjuangan perempuan maupun kelompok rentan dan minoritas lainnya. Hal inilah yang membuat saya begitu gandrung berlama-lama menikmati suguhan berbagai film didalamnya, tak lepas pula berkat kedermawanan hati sahabat perempuan saya yang memberikan akses gratis dari akunnya – Thank you so much, Jane!

Eits, tunggu, tulisan ini bukan iklan berlangganan Netflix seperti tweet iklan berlangganan yang tahu-tahu bisa muncul ketika kita iseng scrolling komentar di linimasa trending topic Twitter ya…Bukan tentu bukan.

Ah, jangan tanya sudah berapa film yang telah saya tonton dan eksplorasi menggunakan fitur pencarian di Netflix demi menikmati film-film bernuansa perjuangan perempuan atau feminisme. Banyak sekali film yang meninggalkan kesan inspiring dan powerful, begitu menyentuh, dekat dan lekat dengan kehidupan saya.

Seringkali menjalani hidup di dunia yang sangat patriarkis ini membuat kita merasa frustasi. Bagaimana tidak? Sepertinya setiap lini fase kehidupan perempuan dan kelompok rentan lainnya selalu berhadapan dengan perjuangan. Ingin berpendapat, dianggap tidak patuh, atau agresif. Ingin bepergian, ada pelecehan seksual di ruang publik yang masih mengintai. Ingin aman di ruang privat masih bisa menghadapi kekerasan seksual di ruang privat. Ingin bekerja secara layak dan aman, masih dirintangi pembayaran upah yang rendah atau kondisi lingkungan kerja yang maskulin, sehingga perempuan harus ekstra bekerja keras agar bisa menyetarakan posisinya. Belum menikah, dilontari pertanyaan kapan menikah, seolah-olah menikah adalah utang yang ditagih rentenir.

Maka begitulah, selain sebagai penghiburan, menonton film bisa menjadi refleksi sekaligus pengisian ulang daya kita menghadapi berbagai situasi di atas. Dari beberapa film yang telah saya tonton, saya memilih beberapa film berikut, tidak ada alasan spesifik, mungkin karena kisah film ini bisa sedikit mewakili dan lekat dengan pengalaman hidup perempuan sejak kecil hingga mendewasa.

  1. Wadjda
Credit : https://www.movieposterdb.com/wadjda-i2258858/af76b045

Film besutan sutradara perempuan Saudi Arabia, Haifaa Al-Mansour ini bisa menjadi refleksi kehidupan kita sebagai seorang anak perempuan. Sang tokoh utama, Wadjda merupakan anak perempuan berusia 10 tahun yang hidup di kota Riyadh. Ia menjalani harinya sebagaimana tipikal spirit anak di usianya, namun ia hidup di lingkungan yang sangat ketat dengan aturan moral dan agama.

Dengan pribadinya yang unik, ia bersekolah di sekolah khusus perempuan, menggunakan sepatu kets bertali ungu, menjadi langganan murid yang dihukum oleh kepala sekolahnya, ia mengimpikan memiliki sebuah sepeda dan bertekad untuk mengalahkan balapan sepeda dengan sahabat laki-lakinya Abdullah. Suatu ketika Wadjda melihat sebuah sepeda berwarna toska yang ia sukai, mulailah ia berusaha untuk mewujudkannya. Ia menjual gelang tali berwarna klub sepak bola, pesanan teman-temannya. Menjadi kurir surat cinta seniornya untuk upah 20 Riyal.

Wadjda berbicara dengan ibunya tentang keinginannya memiliki sepeda, namun ibunya kesal mendengarnya, Wadjda mengubah topik pembicaraan agar ibunya tidak kesal : “Bu Guru nyuruh aku pakai Abaya lengkap dengan cadar untuk menutupi wajahku”

Seketika wajah ibunya sumringah dan bercanda, “Wow, Abaya lengkap? Mungkin ini saatnya untuk menikahkan kamu!”

Dengan respon dan muka malas setengah hati Wadjda menjawab,”Ahahah. Lucu banget deh”. 

Upaya Wadjda lainnya yaitu memberikan hadiah kepada penjual sepeda agar sepedanya tidak dijual kepada orang lain. “Karena kita udah temenan, nih aku hadiahi mixtape, tapi jangan jual sepedanya sama orang lain ya”, alih-alih kesal si penjual sepeda tersenyum melihat kegigihan Wadjda yang saban waktu berkunjung ke tokonya hanya untuk melihat apakah sepeda impiannya sudah terjual atau belum.

Wadja yang cerdik tak hilang akal, ia mengikuti lomba keagamaan membaca kitab suci berhadiah sebesar harga sepeda impiannya. Ia pun menang, ketika ditanya oleh kepala sekolahnya mau digunakan apa hadiah uang tersebut, Wadjda dengan percaya diri menjawab, “Aku akan membeli sepeda!”. Terperangah dengan jawaban Wadjda, kepala sekolah langsung menasehati, bermain sepeda tidak disarankan karena dia harus menjaga diri ‘keperawanan’ sebagai kehormatannya. Lalu kepala sekolah itu mendonasikan seluruh hadiah tersebut tanpa persetujuan Wadjda.

Dengan hati gundah dan sedih ia pulang, ayahnya hanya mengucapkan selamat dan memeluknya lalu pergi. Ibu dan ayahnya sedang tidak begitu akur, karena nenek dari ayahnya menginginkan seorang cucu lelaki. Pernah Wadjda melihat gambar pohon keluarga ayahnya, ia bersemangat membaca nama-nama leluhurnya, ibunya terheran dan berkata untuk apa Wadjda senang membacanya, toh, yang ditulis dan diakui di pohon keluarga itu hanya laki-laki saja. Wadjda lalu menulis namanya di secarik kertas dan menempelkannya di pohon keluarganya, tetapi besoknya ia melihat kertas itu sudah dilepas dari papan pohon keluarga.

Wadjda yang sedih tak bisa menikmati hadiah lomba menemui ibunya yang juga sedang bersedih di atas rumahnya. Seberang rumah mereka sedang mengadakan pesta. Pesta siapa? Tanya Wadjda. Itu pesta pernikahan ayahmu, sekarang kita hanya hidup berdua saja, jangan bersedih, jawab ibunya. Sembari saling menghibur dan melihat pesta poligami ayahnya dari jauh, saat itu juga ibunya memberikan kejutan untuk Wadjda : Sepeda.

2. Period. End of Sentence.

“Perempuan itu lebih kuat, tapi mereka tidak mengenali diri mereka sendiri”

“Menstruasi dianggap tabu di negara kami”

“Makhluk terkuat di dunia bukan gajah, singa atau lainnya, tapi perempuan”

Credit : thepadproject.com

Film dokumenter pendek ini sudah memenangkan banyak penghargaan. Siswa sekolah menengah Oakwood mengumpulkan lebih dari $55.000 melalui penggalangan dana, penjualan kue, dan dua kampanye Kickstarter untuk membeli mesin pembalut perempuan untuk desa Kathikhera di luar New Delhi, India. Mereka bermitra dengan sutradara Rayka Zehtabchi dan Action India, sebuah organisasi pemberdayaan perempuan akar rumput yang bekerja di Kathikhera, untuk mendokumentasikan proses dalam apa yang akan menjadi Period. The End of Sentence. Tim Proyek Pad menjalin kemitraan yang erat dengan Action India dan terus bekerja sama untuk memasang mesin pembalut dan menyebarkan pendidikan kesehatan menstruasi di Kathikhera dan desa-desa di seluruh distrik Hapur.

Di pedesaan sekitar 60 kilometer di luar Delhi, India, para perempuan memimpin revolusi yang tenang. Mereka melawan stigma menstruasi yang mengakar. Period. The End of Sentence. menceritakan kisah mereka.

Beragam reaksi muncul ketika mereka ditanya tentang menstruasi, ada yang langsung tertawa, senyum malu, diam menunduk. Ketika para lelaki ditanya, ”Kalian tahu apa itu menstruasi?” mereka menggeleng, ada yang menjawab, “Oh itu, penyakit yang biasanya dirasakan perempuan”.

Selama beberapa generasi, para perempuan ini tidak memiliki akses ke pembalut, yang menyebabkan masalah kesehatan dan anak perempuan tidak masuk sekolah atau sama sekali putus sekolah.

“Aku masih sekolah, lalu aku mulai menstruasi, situasi menjadi sulit. Aku harus mengganti kain pergi ke tempat yang jauh, banyak laki-laki berkeliaran aku tidak bisa mengganti kain. Aku menunggu tahun berikutnya apakah ini (menstruasi) akan berhenti, ternyata tidak, dan aku berhenti sekolah”

Tapi ketika mesin pembalut dipasang di desa, para perempuan belajar membuat dan memasarkan pembalut mereka sendiri, memberdayakan perempuan di komunitas mereka. Mereka menamai merek mereka, “FLY”, karena mereka ingin para perempuan bisa dapat “terbang”.

Para perempuan berkumpul memperhatikan dengan seksama bagaimana proses pembuatan pad menstruasi dengan alat mesin yang telah dipasang. Mereka mulai mengorganisir jadwal pembuatan pembalut secara bergiliran. Lalu, mereka mulai mengenalkan produk pembalut buatan mereka. Mencari toko-toko untuk bisa menaruh pembalut tersebut. Melakukan demonstrasi kualitas pembalut hasil buatan mereka kepada perempuan lain, agar mereka bisa beralih dan tidak perlu khawatir ketika menstruasi. Dari proses pemberdayaan tersebut, banyak perempuan yang akhirnya bisa melanjutkan cita-cita mereka, bisa bekerja dan membiayai hidup. Akhirnya, mereka bisa membumbung, terbang tinggi merayakan mimpi..

3. Reversing Roe

Credit httpswww.imdb.comtitlett8948614mediaviewerrm834698752

Film dokumenter Reversing Roe mengupas tentang linimasa legalisasi aborsi di Amerika Serikat. Bagaimana aborsi ilegal menjadi legal, hingga pergeseran isu bahwa aborsi merupakan ‘urusan perempuan dan dokternya’ menjadi isu politik yang selalu dijual untuk kepentingan politik dalam meraih dukungan pemilih kelompok agamis oleh politisi Republik.

Tak ada alasan untuk kembali kesini, sesi demi sesi dan semakin mempersulit serta mendorong perempuan kembali ke aborsi ilegal, karena itulah yang akan terjadi. Mereka takkan berhenti aborsi. Mereka selalu aborsi. Kita selalu aborsi. Perempuan selalu aborsi. Dan itu akan selalu dilakukan. Jika kau ingin menghentikan aborsi, bantu aku hentikan kehamilan yang tidak diinginkan” – Cuplikan debat kebijakan amandemen terkait aborsi di Amerika Serikat

Awal tahun 1960-an aborsi menjadi hal ilegal di Amerika Serikat. Ketika itu, aborsi memang dilarang dan ternyata hanya orang tertentu saja yang bisa mengakses, yaitu perempuan kaya berkulit putih. Sedangkan lebih banyak perempuan yang tidak bisa mengakses aborsi aman, sehingga harus mencari aborsi tidak aman yang dilakukan oleh orang lain atau dilakukan sendiri yang berujung komplikasi serta kematian. Aborsi menjadi perbincangan perempuan disana,”…something that only happen to women…” Banyak perempuan yang akhirnya angkat bicara tentang aborsi. Bersamaan dengan geliat gerakan perempuan di era itu, Eleanor H. Norton (U.S Congresswomen) mengatakan, “Feminis Awal langsung mengerti bahwa aborsi merupakan masalah utama feminisme dan hak perempuan”.

Pada tahun 1973, Mahkamah Tertinggi (Supreme Court) di Amerika Serikat mendapatkan kasus aborsi pertama yang bisa naik hingga ke Supreme Court. Penggugatnya adalah Jane Roe – nama pseudonim dari Norma McCorvey – yang didampingi oleh pengacara Sarah Weddington melawan Henry Wade yang merupakan Jaksa Wilayah daerah Dallas. Kasus ini dikenal dengan kasus Roe v Wade. Sangat mengejutkan bahwa kasus ini ternyata bisa menang, Supreme Court berpendapat bahwa aborsi merupakan hak konstitusional dan segera menjadi preseden di seluruh Amerika Serikat. Klinik aborsi pun mulai bertebaran. Perempuan dapat dengan aman dan mudah mengakses aborsi di seluruh wilayah Amerika.

Film ini memang sarat dengan perjalanan hukum kasus Roe di pengadilan, sehingga ketika menonton saya harus memahami benar bagaimana konteks hukum, politik dan sosial di Amerika Serikat. Bagaimana dinamika situasi sosial politik dan bagaimana pemilihan hakim Supreme Court oleh presiden bisa begitu mempengaruhi politik hukum dari kasus Roe v Wade.

Kasus Roe v Wade memang menang, namun bukan berarti berjalan mulus, karena banyak upaya yang dilakukan untuk ‘menantang’ kasus Roe agar bisa diubah bahkan dibatalkan. Tantangan tersebut tentu berasal dari kelompok agamis, pro life, kemudian dijadikan celah strategi manuver politik oleh partai Republik untuk menggaet massa dan pemilih dengan mengusung isu pro life / anti abortion sebagai bahan kampanye mereka. Hal ini semakin mendorong putusan Roe di ujung tanduk. Benar saja, di tahun 1992 ada kasus aborsi yang naik ke Supreme Court, kala itu komposisi hakim yang pro terhadap kasus Roe tidak imbang, sehingga ada 3 (tiga) orang hakim yang alih-alih mempertahankan atau membatalkan, mereka justru mereformasi aturan terkait aborsi, putusan yang rancu itu juga membolehkan negara-negara bagian mengatur aborsi dalam aturan lokal masing-masing.

Dampaknya pada tahun 2012 terdapat Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pembatasan aborsi yang akan dibahas para Senator di Texas. Wendy Davis merupakan satu-satunya senator perempuan berupaya untuk menentang dan menahan RUU tersebut. Upaya Davis menarik perhatian orang-orang, mereka memenuhi gedung senat untuk memberikan dukungan. Sesi tersebut adalah sesi terakhir, di Texas ada aturan bahwa ketika agenda pembahasan berjalan, para senat tidak boleh minum, dilarang keluar ruangan bahkan untuk ke toilet, sehingga Davis harus menggunakan kateter dan sepatu lari agar ia bisa berdiri dan bertahan selama 13 jam untuk berbicara dan terus menyuarakan bahwa aborsi merupakan hak perempuan. Akhirnya, RUU tersebut tidak lolos. Ini belum selesai. RUU tersebut diajukan kembali dan akhirnya lolos. Sekarang semakin berkurang klinik aborsi yang bisa di akses perempuan dan sangat terbatas di beberapa negara bagian Amerika.

4. Knock Down The House

Credit : https://knockdownthehouse.com/resources/#story

Knock Down The House merupakan film dokumenter lain yang tak kalah menggugah. Film ini bercerita tentang para perempuan calon kandidat kongres independen yang berjuang agar bisa dipilih dan menyuarakan hak.

Ketika tragedi menimpa keluarganya di tengah krisis keuangan, Alexandria Ocasio-Cortez yang lahir di Bronx harus bekerja dua shift di sebuah restoran untuk menyelamatkan rumahnya dari penyitaan. Setelah kehilangan orang yang dicintai karena kondisi medis yang dapat dicegah, Amy Vilela tidak tahu harus berbuat apa dengan kemarahan yang dia rasakan tentang sistem perawatan kesehatan Amerika yang rusak. Cori Bush ditarik ke jalan ketika polisi yang menembak seorang pria kulit hitam tak bersenjata membawa protes dan tank ke lingkungannya. Paula Jean Swearengin muak melihat teman-teman, keluarganya menderita dan mati akibat pengaruh lingkungan dari industri batu bara.

Pada saat menguapnya sejarah dalam politik Amerika, keempat perempuan ini memutuskan untuk melawan, menempatkan diri mereka dalam perjalanan yang akan mengubah hidup dan negara mereka selamanya. Tanpa pengalaman politik atau uang perusahaan, mereka membangun gerakan kandidat pemberontak yang menantang petahana yang kuat di Kongres. Upaya mereka menghasilkan kekalahan tak terduga yang legendaris.

***

Film-film di atas mengisahkan bagaimana perjalanan dan pergulatan hidup perempuan yang dimulai sedari usia anak, merebut kembali otonomi atas tubuh, melawan stigma hingga upaya mengguncang kemapanan kekuasaan politik. Mereka adalah Pembela Hak Asasi Manusia.

Bertepatan dengan momentum serangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, salah satunya adalah tanggal 29 November yang dikampanyekan sebagai International Women Human Rights Defender Day, kita bisa ikut serta menyuarakan hak perempuan.

Istilah Pembela Hak Asasi Manusia mulai dikenal sejak 9 Desember 1998. Sidang Umum PBB mengesahkan Deklarasi Hak dan tanggung jawab dari Para Individu, Kelompok dan Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui secara Universal (Declaration on the Right and Responsibility of Individuals and Organs of Society to promote and Protect Universally Recognized Human RIghts and Fundamental Freedoms). Deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM. Perempuan pembela HAM, pantas mendapat perhatian secara khusus. Pembela HAM yang perempuan atau disebut sebagai Perempuan pembela HAM menghadapi risiko yang berbeda karena ada persoalan ketidakadilan ketimpangan gender di masyarakat yang patriarkis. Kekhasan perempuan pembela HAM dalam berjuang adalah bisa mengidentifikasi permasalahan lebih detail. Sehingga perjuangan bisa lebih mudah karena dapat membuka kedua mata untuk melihat persoalan riil yang telah terjadi maupun berpotensi terjadi.

Di Indonesia, sudah banyak sejarah dan kisah perjuangan perempuan yang melawan hingga saat ini. Mereka memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan, pendidikan, hak kesetaraan, hak kesehatan seksual dan reproduksi, mempertahankan tanah mereka, menghalau kerusakan lingkungan, dan seterusnya. Tanpa kita sadari, kita pun sebagai perempuan dengan segala pengalaman kita turut memperjuangkan hak-hak asasi kita selama ini dengan cara kita masing-masing. Percayalah bahwa kita tidak sendirian dan perubahan merupakan keniscayaan meski harus berhadapan dengan kuasa dan budaya patriarki yang mengakar sepanjang hidup kita. Mari kita refleksikan bersama perjuangan perempuan dan kelompok minoritas lainnya; menjadi berbeda dan luar biasa! semoga bisa menambah daya perjuangan kita sebagai Women Rights Defender.

 

Sumber :
Manual Perlindungan Bagi Pembela HAM Komunitas, Protection International & Perkumpulan Huma, 2017
https://thepadproject.org/period-end-of-sentence/
https://knockdownthehouse.com/#story

“… Saya tidak punya pilihan” : Upaya Mendapatkan Layanan Aborsi Aman di Indonesia

Mendengar kata Aborsi, banyak dari kita yang langsung membangun tembok tinggi dan menutup telinga, berpura-pura tidak pernah mendengar atau tidak melihat ada manusia lain yang sedang berjuang mendapatkan haknya. Meski saya yakin, setidaknya sepanjang usia, kita pasti pernah bertemu seseorang yang pernah mengakses layanan aborsi, atau menjadi satu yang juga pernah menggunakan layanan aborsi, aman pun tidak aman.

Sejarah aborsi sendiri di Indonesia tidaklah hadir kemarin sore. Ia sudah bertumbuh bertahun lalu. Sebuah arca di Candi Borobudur, menjelaskan aborsi sudah terjadi di masa lampau. Tapi tentu saya paham, sejarah ini bukanlah sejarah yang dipelajari sebagai bentuk perkembangan zaman, melainkan sebagai bentuk sejarah kelam masa lampau yang tidak perlu dibicarakan.

Tahun 1993, sebuah jurnal yang ditulis oleh Hull, Sarwono dan Widyantoro, menyebutkan sejak 1965, praktik aborsi dilakukan secara tradisional dengan pijat, jamu atau memasukan berbagai benda ke vagina perempuan. Paramedis menolak untuk melakukan aborsi, bukan hanya karna stigma layanannya, namun juga adanya ancaman kriminalisasi jika aborsi mengakibatkan kematian.

Perkembangan aborsi menemui babak baru dengan adanya Undang-Undang Kesehatan di tahun 2009. Aborsi akhirnya boleh dilakukan untuk dua indikasi: kedaruratan medis dan kasus perkosaan.

Namun dalam perkembangannya hingga hari ini, sekedar melaporkan diri ini adalah seorang korban perkosaan dan memerlukan layanan aborsi, jalan yang ditempuh tidak mudah. Apalagi membutuhkan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki dan belum menikah. Dua faktor paling kuat yang membuat perempuan akhirnya memilih untuk mencari layanan aborsi apapun yang bisa didapatkan dengan “rahasia”.

Adakah Layanan Aman di Indonesia?

Saya bisa bertaruh, untuk perempuan yang memerlukan layanan aborsi, cara mendapatkan informasi mengenai layanan ini tidak semudah dengan datang ke klinik dan menjelaskan keadaan. Stigma yang hadir untuk mereka yang mencari layanan, sungguh membuat perempuan enggan datang ke klinik. Hal ini saya temukan pada 16 perempuan muda Indonesia belum menikah. Penelitian saya menemukan, perempuan memilih untuk mencari layanan yang memberikan privasi dan tidak membuka identitas. Maka datang ke klinik dengan standar “aman” menjadi pilihan yang sulit diperjuangkan.

Dari mereka, saya menemukan beberapa pilihan layanan yang meskipun tidak aman, tetap dipilih oleh mereka sebab “… saya tidak tahu ada layanan ini di Indonesia, kalau pun ada, pasti hanya untuk yang sudah menikah, atau karena perkosaan.?” Nina-19 tahun.

Lalu, ke mana mereka mengakses layanan ini?

  • Sektor Tradisional

Tujuh dari 16 perempuan yang menjadi responden dalam penelitian saya, menggunakan nanas muda sebagai satu langkah paling pertama yang diambil saat mengetahui dirinya mengalami kehamilan tidak dikehendaki. Mereka mendapatkan ide untuk menggunakan ini dari teman, blog atau sekedar media sosial. Seorang responden menyatakan: “Saya langsung menelpon seorang teman baik, lalu katanya, coba makan nanas! Saya kira, mungkin benar juga, setelah beberapa minggu, saya sadar ini tidak akan berhasil (untuk aborsi)”.  Rina – 20 tahun.

Mitos nanas sebagai penggugur bukan hal baru. Sebagai yang termudah, tercepat dan tersedia dalam jumlah besar di Negara seperti Indonesia. Mitos ini menyebar cepat tanpa pernah diketahui sumber penyebarannya.

Kehadiran dukun bayi dan kekuatan spiritualnya juga menjadi salah satu pilihan dari 2 responden. Mempercayai bahwa janin akan “luruh” manakala mantra dibacakan dan gerakan ringan di sekitar rahim, menjadikan dukun bayi masih dicari oleh mereka yang memiliki keterbatasan pilihan.

Benang merah dari keseluruhan layanan ini hanyalah satu: tidak ada panduan kesehatan yang tervalidasi oleh professional.

  • Sektor Populer

Sektor ini mengelompokan layanan aborsi dari obat yang dikenal luas di masyarakat. Sembilan dari 16 informant saya menggunakan obat yang didapatkan secara online atau membeli dari teman. Beberapa perlu mencoba lebih dari sekali. Meski penuh pro-kontra, layanan aborsi mandiri dengan menggunakan obat memang menjadi pilihan yang cukup aman asalkan dilakukan dengan prosedur yang benar. Namun begitu, panduan ini juga tidak mudah didapatkan.

Regulasi penggunaan obat-obatan ini tentu belum dapat dengan mudahnya diterapkan. Untuk itu  pasar gelap obat-obatan ini menjadi tidak mungkin dihindari. Coba saja mencari kata kunci “Obat Aborsi”, maka dengan mudah ditemukan ribuan halaman dan profil penjual. Perempuan harus mengalami beberapa kasus penipuan di mana obat yang dikirimkan tidak sesuai, harga yang terlalu mahal, hingga dosis yang tidak tepat.

Layaknya bermain judi, perempuan mencoba mempertaruhkan seluruh tabungannya pada orang asing yang ditemui di internet, berharap mendapatkan keberuntungan untuk dengan aman melakukan aborsi. 

  • Sektor Profesional

Dengan adanya babak baru pengaturan izin aborsi untuk dilakukan dengan dua indikasi: kedaruratan medis dan perkosaan, beberapa lembaga mulai menyuarakan penyediaan layanan aborsi aman di Indonesia. Samsara, salah satunya, merupakan lembaga yang aktif menyuarakan bagaimana konseling seharusnya adalah pusat dari layanan aborsi. Pemberian informasi yang benar dan tepat agar perempuan kemudian secara sadar bisa menentukan pilihannya. WHO sendiri sudah membuatkan panduan untuk melakukan layanan aborsi mandiri dan memberikan pelatihan bagi para kader. Beberapa NGO yang memiliki klinik juga dikenal memberikan layanan aborsi aman.

Tapi tentu saja, sebagai layanan yang memiliki lebih banyak diskursus negatif, layanan ini tidak semudah itu diakses. Seperti kata Ika, perwakilan Samsara “diperlukan perjalanan yang tidak sebentar untuk akhirnya sampai di website Samsara, untuk akhirnya bisa mengakses layanan konseling.”

Mengatakan Aborsi sebagai sebuah pilihan memang rasanya belum pantas disebutkan di Indonesia. Perempuan tidak pernah benar-benar memilih dengan mudah. Konseling, sebagai satu kebutuhan paling primer saat perempuan mengalami kehamilan tidak dikehendaki, tidaklah tersedia secara terbuka. Maka bicara memberikan perempuan ruang untuk menentukan ingin seperti apa tubuhnya diperlakukan, sepertinya menjadi terlalu jauh angan. Tapi tentu tidak untuk patah harapan, setidaknya hari ini, advokasi untuk memberikan layanan aborsi aman sudah banyak dibicarakan.

*Tulisan merupakan sebagian dari hasil penelitian Tesis dengan Judul: Pathway to Sexual Resilience of Post Abortive Unmarried Women in Indonesia, sebagai syarat menyelesaikan pendidikan Master of Arts di Health Social Science, Mahidol University Thailand, 2019.

POPULER