Beranda blog Halaman 5

Kamu Menolong Dirimu Sendiri

Proses Konseling

Saat memutuskan untuk mengakses layanan konseling, adalah hal yang wajar jika setiap orang merasa tidak berdaya dan berharap mendapatkan bantuan atas permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaan tidak berdaya adalah hal yang sangat normal. Mungkin kamu merasa ingin menyerah, tidak ada jalan lagi, dan ingin berhenti saja. Namun, saat kamu memutuskan untuk mengakses layanan konseling, ini adalah satu langkah besar yang membuktikan bahwa kamu masih berdaya dan dapat menolong dirimu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, kamu perlu menyadari bahwa kamu dan konselor adalah dua subjek yang sama-sama memiliki peran utama dalam proses konseling. Tidak ada yang harus menjadi lebih dominan. Kamu dan konselor perlu membangun relasi yang setara agar proses konseling dapat berjalan efektif.

Ketika kamu menghubungi konselor, pahamilah bahwa kamu dan konselor memiliki peran masing-masing yang akan berkontribusi dalam proses konseling. Konselor tidak dapat memutuskan segala hal yang menyangkut situasimu. Peran konselor adalah sebagai teman bicara yang berempati dan mampu memberikan dukungan positif, serta sebagai pemberi informasi dan pilihan. Konselor secara profesional harus melepaskan diri dari nilai-nilai yang diskriminatif dan menghakimi agar informasi yang diberikan tidak bias. Kamu sendiri sebagai klien memegang peranan untuk menjadi pengambil dan pelaksana keputusan. Proses inilah yang kemudian dapat membuat kamu sadar bahwa kamu berdaya. Akhirnya, terwujud kerjasama yang harmonis antara konselor dan klien melalui proses konseling yang dilakukan.

Kamu dan konselor juga ada di posisi yang setara dan dapat menentukan batasan masing-masing. Sebelum memulai proses konseling, penting untuk membicarakan batasan-batasan tersebut agar nantinya proses konseling tidak terhambat atau ada yang merasa dirugikan. Kamu harus memahami bahwa konselormu bukan superhero yang dapat melakukan segalanya, sebagaimana konselormu juga harus memahami bahwa kamu bukan objek yang dapat diarahkan sesuai kemauan konselor. Kamu dan konselor perlu sama-sama belajar untuk saling menghormati batasan masing-masing dalam proses konseling sebagai upaya untuk membangun relasi yang setara.

Relasi yang setara sangat dibutuhkan dalam proses konseling agar kamu dan konselormu dapat bekerja sama dalam memecahkan masalah tanpa ada yang mendominasi satu sama lain. Relasi ini dapat terbangun saat kamu dan konselor memahami peran dan posisi masing-masing, saling memberikan kepercayaan untuk menjalankan peran satu sama lain, dan menyadari tujuan dari proses konseling. Proses membangun relasi yang setara memang tidak mudah, namun bukan berarti mustahil.

Konseling sendiri seharusnya menjadi bagian dari proses pemberdayaan. Tujuan dari konseling pada akhirnya bukan hanya memecahkan masalah, namun juga membantumu menemukan kemampuan untuk mencari cara memecahkan masalah itu sendiri, berpikir kritis, dan dapat mengambil keputusan. Jika sejak awal tidak terbangun relasi yang setara antara kamu dan konselor, maka proses konseling dapat menjadi bias. Praktisnya, dampak yang sering terjadi adalah kamu akan terus bergantung pada konselormu dalam mencari cara untuk memecahkan masalah. Padahal, melalui konseling kamu seharusnya dapat menemukan cara untuk memberdayakan dirimu sendiri.

Ingatlah bahwa kamu yang mengambil keputusan untuk dirimu sendiri. Melalui konseling, kamu dapat belajar untuk mengembangkan diri, menemukan kekuatan yang mungkin belum kamu sadari keberadaannya jauh di dalam dirimu, dan menggunakan kekuatan itu untuk menolong dirimu sendiri. Proses pengembangan diri ini tentu saja tidak didapatkan melalui proses yang instan. Konselor akan menemanimu dalam proses pengembangan diri melalui pemberian informasi, dukungan, dan komunikasi yang empatik. Hasil dari proses konseling akan sangat bergantung pada dirimu sendiri.

Tidak ada salahnya jika kamu merasa kurang cocok dengan metode atau pendekatan yang digunakan oleh konselormu. Kamu bisa menyampaikannya. Ingat, kamu punya hak untuk itu. Tidak perlu merasa tidak enak jika kamu masih belum memahami apa yang disampaikan konselor. Kamu juga berhak untuk bertanya, atau menyampaikan ketidaknyamananmu. Komunikasi yang asertif sangat diperlukan dalam proses konseling agar kamu dan konselor saling memahami situasi masing-masing dan dapat bekerja sama untuk merumuskan serta mencapai tujuan dari proses konseling. Komunikasi yang asertif juga untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dalam proses konseling. Jika akhirnya kamu merasa proses konseling belum menunjukkan perkembangan sebagaimana yang telah ditargetkan oleh kamu dan konselor, maka tak ada salahnya menyampaikan itu pada konselormu untuk kemudian mendiskusikan metode yang lebih efektif atau kamu berhak mengganti konselor bila perlu. Ingat, semua keputusan ada padamu.

Pandemi dan Akses Layanan Kesehatan Reproduksi: Efek Domino atau Fenomena Gunung Es?

Kesehatan Reproduksi Tanpa Stigma
Di balik pandemi COVID-19, ada pandemi yang lain; pandemi kekerasan, pandemi diskriminasi, pandemi stigmatisasi, hal-hal yang sebelumnya sudah menjamur dan semakin muncul ke permukaan saat pandemi COVID-19.

“Kita semua memiliki hak kesehatan seksual dan reproduksi yang sama”; kalimat yang layak diulang-ulang karena walaupun terlihat sederhana namun sulit sekali untuk membangun kesadaran. Hal tersebut tidak lain dikarenakan stigma reproduksi serta tabu seksualitas. Salah satu komitmen Samsara adalah mengkampanyekan isu yang berkaitan dengan HKSR agar akses pengetahuan ini terjangkau sehingga dapat meningkatkan awareness. 

Pengetahuan memang merupakan kekuatan, namun jika dihadapkan oleh masalah-masalah struktural maka akses individu terhadap kebutuhannya akan tetap terbatas. Dalam level struktural, isu stigma ini menghambat individu mengakses layanan, yang merupakan implikasi dari hilangnya kontrol individu terhadap dirinya. Terlebih saat pandemi Covid-19 yang menimpa dunia, kita tahu bahwa sektor yang paling terdampak adalah sektor kesehatan. Tulisan ini fokus membahas kaitan antara akses terhadap layanan kesehatan selama pandemi. Samsara menemukan bahwa di balik pandemi ada pandemi lain yaitu pandemi diskriminasi.

Bagaimana Pandemi COVID-19 Memengaruhi Layanan Kesehatan Reproduksi?

Kita tahu bahwa Pandemi Covid-19 berdampak langsung terhadap kenaikan signifikan angka Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD)  dan Angka Kematian Ibu (AKI). Angka-angka tersebut tidak sekadar goresan pena. Di balik angka-angka statistik terdapat pengalaman masing-masing orang dengan latar belakang, identitas yang beragam. Melalui riset dan FGD bersama kelompok komunitas di daerah Maluku dan Papua, Samsara menemukan penemuan yang mengkhawatirkan namun dapat diprediksi dan seharusnya dapat diantisipasi sejak awal.

Berdasarkan informasi dari Women Research Institute, dampak-dampak langsung pandemi terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi antara lain: tutupnya praktik bidan (sebanyak 600 bidan menutup praktik), penurunan penggunaan metode kontrasepsi modern sebanyak 30-40% dibandingkan sebelum lockdown, selain itu layanan antenatal, persalinan dan pasca persalinan yang tidak bisa diakses secara leluasa. 

Penemuan tersebut sejalan dengan temuan Samsara, yaitu akses layanan sebelumnya terbatas menjadi sangat terbatas terlebih karena layanan kesehatan reproduksi bukanlah prioritas. Samsara juga mendapati bahwa terdapat perubahan pola mengakses layanan kesehatan. Orang-orang menghindari untuk bertatap muka sehingga memilih untuk mengakses layanan telemedicine. Bagi mereka yang harus mengakses layanan tatap muka menemukan kesulitan untuk menemukan jadwal lowong dan menyesuaikan jadwal praktek dokter atau bidan. Di daerah rural dengan kondisi demografis yang berbeda dengan wilayah urban, terutama di wilayah kepulauan seperti Maluku, orang-orang yang mengakses layanan tenaga kesehatan cenderung terhambat mobilitasnya, terutama bagi mereka yang membutuhkan penanganan medis. Di beberapa daerah terpencil transportasi dan mobilitas dibatasi sehingga harus menempuh waktu yang cukup lama.

Melalui Focus Group Discussion yang dilakukan bersama komunitas dan bidan daerah Maluku dan Papua, para tenaga kesehatan yang fokus pada isu kesehatan seksual dan reproduksi mengaku kesulitan untuk bergerak karena fokus tenaga kesehatan adalah seputar penanganan COVID-19. Di beberapa daerah di Maluku seperti Ternate dan di Sumba terdapat klinik yang secara rutin melakukan sosialisasi dan pembagian kontrasepsi namun terhenti semenjak bulan Maret 2020. Sedangkan jelas bahwa pendekatan alternatif seperti telemedicine merupakan hambatan bagi kelompok masyarakat yang tidak terbiasa atau tidak memiliki sumber daya.

Ada pandemi yang lain bernama stigma dan diskriminasi

Banyak penelitian yang menggarisbawahi bahwa akar permasalahannya terletak pada stigma dan membentuk efek domino. Walaupun pendekatan telemedicine terbukti efektif, masih terdapat permasalahan yang sama: siapa saja yang dapat mengakses layanan berkualitas tanpa penghakiman dan penolakan? Stigma menyasar kelompok yang dimarjinalkan dengan faktor-faktor yang berinterseksi misalnya menyasar pada remaja, jenis kelamin, ekspresi gender, orientasi seksual, karakteristik jenis kelamin dan yang paling sering ditemui: status pernikahan. 

Misalnya pada salah satu aplikasi konsultasi online, terdapat seorang remaja yang berusia di bawah 16 tahun yang mengatakan bahwa saluran vaginanya terasa berdenyut sehabis masturbasi dan berkonsultasi secara online untuk mendapatkan diagnosa. Akan tetapi tenaga kesehatan yang menjawab memberi saran yang kurang akurat dan cenderung menghakimi semacam: “jangan melakukan hubungan seks pra-nikah” atau “jangan memasukkan benda asing ke dalam vagina”. Informasi-informasi misleading semacam ini seakan angkat tangan dan menutup mata terhadap kenyataan bahwa edukasi kesehatan seksual dan reproduksi sangat tidak memadai di Indonesia.

Pada akhirnya mau seperti apapun bentuk layanannya, jika akar permasalahan diabaikan maka sulit untuk mencapai layanan yang berkualitas. Pengetahuan memang power namun masih sering terbentur oleh pandangan-pandangan normatif.  Layanan-layanan yang sulit diakses masih banyak sekali bahkan yang esensial seperti kontrasepsi, yang misalnya tersedia di apotik-apotik kecil kurang bisa diakses oleh remaja di area yang kecil atau lingkupnya kecil karena terhalang oleh stigma. Jika dibawa ke lingkup yang lebih luas, banyak puskesmas dan rumah sakit yang menolak untuk memberikan layanan. Jadi, pengetahuan memang power namun masih sering terbentur oleh pandangan-pandangan normatif. Samsara juga kerap menemui kasus di mana sumber daya material yang ada telah memadai akan tetapi semua itu menjadi sia-sia dan tidak tepat sasaran bila kita masih terperangkap pada anggapan-anggapan moralistik. (Baca artikel: Kontrasepsi untuk Orang Muda: Sulitkan Mengaksesnya?)

Stigma dan diskriminasi yang beredar di masyarakat berakar dari budaya-budaya yang berusaha untuk mengontrol perilaku serta tubuh seseorang untuk mencapai ekspektasi standar norma ideal. Stigma ini berakar kuat dari budaya dan akan berbeda pada masing-masing kelompok. Sehingga, diperlukan pendekatan berbasis komunitas dan intervensi seperti pembuatan policy yang mendukung (Baca Publikasi Policy Brief  Samsara terkait Peraturan Pemerintah no. 61 Tahun 2014).

Para penyedia layanan kesehatan harus di-address kembali terkait sumpah profesi, yaitu akan berkomitmen untuk memberikan layanan terlepas dari latar belakang, identitas serta jenis penyakit pasien.

Apa yang dapat kita lakukan? Amplifying! Ingat bahwa ini adalah tanggung jawab bersama untuk terus menerus untuk mengampanyekan isu ini. Usaha sekecil apapun yang kita lakukan yang bersifat mengedukasi atau bahkan mengkritik dapat memunculkan masalah yang tenggelam ini ke permukaan.

Menghapus Stigma Melalui Bahasa

sumber: shoutyourabortion.com

Baru-baru ini, sedang ramai dibahas mengenai definisi kata “perempuan” di KBBI. Definisi kata “perempuan” (dan kata gabungan perempuan) yang dicantumkan dalam KBBI bersifat misoginis dan cenderung merendahkan perempuan dalam berbagai sudut pandang dan berbagai lapis. Ketika orang-orang mulai angkat bicara mengenai urgensi penggantian definisi dan contoh gabungan kata dengan yang lebih “netral” dan tidak mengobjektifikasi, tanggapan-tanggapan mulai bermunculan. 

Salah satu argumen yang muncul adalah “bahasa itu netral, kita yang menempatkan arti di dalamnya, jadi jangan diambil pusing”. Kenyataannya? Tidak tepat. Bahasa merupakan ciptaan manusia, berdinamika dalam masyarakat, disematkan berbagai kecenderungan, memiliki sejarah; tidak pernah netral! Menjadi penting untuk memperhatikan pilihan bahasa yang kita pakai. Karena pada akhirnya, bahasa sangat berpengaruh dalam membentuk citra positif atau negatif dari sesuatu.

Samsara pernah membahas mengenai bagaimana stigma direproduksi dalam lapisan-lapisan masyarakat. Intinya, segala tataran masyarakat mengambil andil di dalamnya.  Stigma muncul dalam berbagai tataran dan dalam berbagai bentuk, termasuk dalam penggunaan bahasa atau istilah yang kita pakai sehari-hari. Contohnya menggunakan kata-kata yang sensasional dalam media seperti: “Klinik Aborsi Meraup Untung dari Mengugurkan Bayi”, Pelaku Aborsi Ilegal Membunuh Janin dengan Cara Ini”

Bentuk aksi melanggengkan stigma lainnya adalah menghindari kata aborsi atau membicarakannya dengan menggunakan istilah yang tidak tepat, seakan-akan kata tersebut “terlarang untuk dibicarakan”. Selain itu, menggunakan kata yang kurang tepat memperkuat mitos dan misinterpretasi karena penggunaan bahasa yang tidak tepat.

Untuk mematahkannya, penting untuk menggambarkan dan menghadirkan aborsi secara akurat dan nyata. Salah satu contohnya adalah dengan memakai kata atau istilah yang tepat dalam membicarakan mengenai aborsi. Sadar atau tidak sadar, ketika membicarakan aborsi, kita seringkali melakukan self-censorship, seperti menggunakan istilah lain yang dihalus-haluskan karena terma tersebut dianggap masih tabu dan terlalu “blak-blakan”. 

Dalam tataran individu, ini dapat dianggap sebagai internalized yang berhubungan dengan self-censorship. Kata yang digunakan cenderung “diperhalus” karena masih dianggap tabu.  Seringkali kata aborsi diganti dengan ke keguguran, padahal hal ini merupakan hal yang berbeda. Hal ini terjadi bahkan pada dunia medis yang menjadi frontline penyedia layanan. Istilah aborsi sendiri memang merupakan serapan dari Bahasa Latin yaitu “abortus” yang artinya “hilangnya janin dari dalam rahim sebelum umur kehamilan mencapai 20 minggu”. Seiring dengan perkembangan bahasa, kata abortus terpecah pada beberapa pengertian, mulai dari keguguran hingga aborsi. 

Keguguran memiliki berbagai jenis, mulai dari keguguran spontan hingga keguguran yang diinduksi (aborsi). Jadi lebih tepatnya bukan keguguran, ya melainkan pengguguran. Menggunakan istilah yang tidak spesifik dapat menyebabkan misinterpretasi dan kesalahpahaman. Di samping itu dengan mengganti kata, kita seakan-akan membuatnya supaya dapat “diterima” oleh masyarakat seperti mengabaikan masalah mengenai stigma yang sudah melekat. Stigma tersebutlah yang harus kita lawan!

Upaya-upaya apa saja yang dapat kita lakukan untuk mematahkan rantai stigma?Upaya yang paling sederhana yang dapat kita lakukan salah satunya adalah dengan cara membiasakan menggunakan kata yang akurat serta yang tidak merendahkan. Penggunaan kata-kata yang fetus-sentris (berfokus pada janin) juga berpengaruh pada persepsi orang-orang dan fokus masalah. Tidak hanya bahasa yang tertulis atau diucapkan, stigma ini sering diartikulasikan dalam bahasa visual (visual language) yang cenderung tidak berpihak pada pemilik tubuh. Menyertakan ilustrasi atau foto seseorang dengan perut besar atau menggunakan ilustrasi berupa bayi misalnya.

Untuk itu, berikut ada beberapa tips untuk kamu yang ingin berjuang meluruskan misinterpretasi mengenai aborsi. Tipsnya tentu saja seputar pemakaian kata yang tepat yah:

    • Hindari menggunakan kata bayi untuk merujuk pada embrio (konsepsi di bawah 10 minggu), fetus/janin (10 minggu ke atas). 
    • Tidak menggunakan istilah “ilegal” ketika membicarakan mengenai status aborsi. Banyak yang mengira aborsi sepenuhnya ilegal. Seringkali aparat serta masyarakat mengacu pada pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP dan dalam beberapa kasus bahkan tidak mempertimbangkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang menjamin pengecualian aborsi. Hal tersebut terjadi karena dalam keseharian, kita sudah membicarakannya pada tataran ilegal. Bayangkan berapa banyak penyintas kekerasan yang terbantu kesehatan fisik dan mentalnya jika miskonsepsi tersebut dapat diluruskan. Bicarakan status hukum secara akurat sehingga perempuan sadar akan hak-hak hukumnya.
    • Menggunakan kata “kubu pro-life” untuk merujuk pada kelompok anti-aborsi. Karena memperjuangkan hak-hak perempuan merupakan pilihan yang pro-kehidupan juga.
    • Tidak berkata: “hak hidup anak yang belum lahir”. Perlu diulangi bahwa kita harus fokus pada pemilik tubuh, yang berhak kehidupan dan kesehatan. Embrio / janin sangat bergantung pada kesehatan dan kehidupan perempuan.
    • Menggunakan kata “ibu” atau “ayah” ketika merujuk pada kasus Kehamilan Tidak Direncanakan. Tidak semua perempuan yang mengandung adalah ibu, begitu juga dengan laki-laki. Sebaiknya, gunakan kata yang spesifik seperti “perempuan yang mengandung” atau “pasangan dari perempuan yang mengandung”.
    • Ketika melihat pemberitaan mengenai seseorang yang mengalami komplikasi akibat aborsi, kita harus fokus pada metode yang digunakan. Metode aborsi yang tidak aman memang jamak ditemui di tempat-tempat dengan regulasi aborsi yang ketat. Mereka yang membutuhkan layanan aborsi kemudian takut untuk mencari informasi mengenai aborsi aman (lagi-lagi, informasi yang beredar juga suka misleading, sih!). Kita bisa menindaklanjuti berita-berita ini sebagai bukti mendesak stakeholder dan pemerintah untuk menyediakan akses layanan aborsi yang aman!

Beberapa tips di atas diambil dari guidebook IPPF tentang bagaimana cara memberitakan aborsi. Dapat diunduh di: https://www.ippf.org/sites/default/files/2018-09/How%20to%20report%20on%20abortion%20-%20media%20guidelines%20%28English%29.pdf

Samsara is Hiring!

We are hiring!

  • Advocacy Manager
  • Creative Media Manager
  • Technical Officer

The deadline for application submission is Friday, 26 March 2021

General Requirements:

  • Indonesian citizen;
  • A minimum of 2 years professional experience in the related field for Managers position particularly with non-profit organizations. Related training, course, or professional certification is a plus;
  • Committed to feminist values and the promotion of Sexuality and Reproductive Health & Rights (SRHR) key principles and issues;
  • Exceptional interpersonal and communication skills for enabling professional interaction;
  • Able to deal with sensitive information with discretion and maintain confidentiality;
  • Possess strong problem solving and practical skills as well as excellent written and verbal communication in English; and
  • Tech-savvy and willing to be based in Yogyakarta.

Advocacy Manager

Main duties and responsibilities:

  • Design advocacy strategy and provide monitoring and evaluation of ongoing advocacy works;
  • Compile and draft a policy brief;
  • Organize and facilitate local and national stakeholders meeting; and
  • Coordinate, monitor and strengthen partnership with new and existing networks, community, collective, and joint actions at local, national, regional, and international.

The applicant shall be familiar with practical advocacy skills and strategy, and advocacy instruments and tools including the drafting of policy documents.

Creative Media Manager

Main duties and responsibilities:

  • Design and develop a media strategy as well as monitor and evaluate its implementation;
  • Provide a media analysis by conducting research and producing report;
  • Design and develop strategic planning for content production and promotion, offline and online communication and dissemination material, and any forms of publication; and
  • Provide web and social media analytic report and apply a data-driven approach for decision making;

The applicant shall be familiar with analytic tools, media analysis, and social media strategy and campaigns.

 

Technical Officer

Main duties and responsibilities:

  • Provide administrative and technical assistance to Project Coordinator i.e. organizing schedule, compiling budget reports, and project coordination; 
  • Support the project implementation by preparing documents, organizing events, and compiling minutes of the meeting; and
  • Provide technical support and assistance to organize facilities and administrative activities that facilitate the smooth running of an office.

 

How to apply :

  1. Prepare your CV/Resume (mandatory) and motivation letter (optional);
  2. For the Managers position (Advocacy and Creative Media), you shall access our online application form at https://s.id/samsaramanager_recruitment  and for the Technical Officer position at https://s.id/samsara_recruitment;
  3. Answer all questions and attach your CV/Resume before submitting your application;
  4. Please note that we will not process any applications submitted after the submission deadline. Due to the high number of applicants, only selected candidates will be contacted for an interview invitation.

Should you need any details on this recruitment, please leave a comment or send DM and thank you for your interest in our organization and we wish you all the best in the selection process!

Hal yang Aku Pelajari dari dan Tentang Internet

Pada umur 12 tahun, rutinitas akhir pekanku termasuk: mendownload lagu pop terbaru dan memperbaharui header dan template blogspot (Iya, aku mengganti layout tiap minggu). Semuanya aku lakukan lewat laptop, tentu dengan koneksi internet. Beberapa tahun kemudian aku mendapatkan handphone pertamaku dan semenjak saat itu, caraku berkomunikasi tidak pernah sama lagi. Jauh setelah itu, muncul berbagai media sosial seperti Path. Walau aku tidak aktif menggunakannya tapi aku mengamati bagaimana teman-temanku mengambil foto lalu menyertakan geotag bersamanya ketika kami pergi untuk menonton film box office terbaru. Semenjak kehadiran dunia daring, hidupku tidak pernah sama lagi. Beberapa tahun terakhir, mengetahui berbagai risiko yang mengintai, aku mempertanyakan kembali. Haruskah aku memandang teknologi sebagai ancaman?

Donna Haraway, dalam liputan yang dibuat oleh Wired menganalogikan teknologi sebagai sepatu lari di Olimpiade. Sebelumnya, manusia bahkan tidak membedakan kaki kanan dan kaki kiri dalam membuat alas kaki. Sekarang kita memiliki sepatu yang dirancang khusus untuk hampir semua aktivitas, seperti running shoes. Dalam Olimpiade, untuk dapat mendapatkan medali, atlet membutuhkan integrasi dari berbagai faktor seperti “interaksi obat, diet, latihan, serta support dari pakaian olahraga” Bagi Haraway, realitas kehidupan modern kurang lebih seperti itu, dinamis, berubah cepat dan kita harus dengan cepat “mempelajarinya” tanpa harus meniadakan satu sama lain. Termasuk hubungan manusia dengan teknologi.

Dahulu, awal aku mengenal internet, Papaku mengajarkan untuk selalu memalsukan data pribadi tanggal lahir ketika berselancar (tentu saja untuk beberapa hal terdapat pengecualian, ya!) dan juga menggunakan password serumit mungkin yang mengandung karakter dan huruf. Aku selalu berasumsi bahwa semua itu dilakukan agar tidak di-hack, kira-kira begitu. Pemahaman yang masih minim membuatku berpikir bahwa itu adalah alasan tunggal sampai akhirnya beberapa tahun terakhir, aku dapat mengerti bahwa pemahamanku salah. Berikut beberapa pertanyaan yang aku tanyakan pada diriku dan menjawabnya; namun ternyata jawaban-jawabanku dulu kurang tepat. Sudah saatnya pembicaraan terkait perlindungan data sudah menjadi hal yang integral dalam penggunaan teknologi.

Aku bukan orang penting kenapa harus melindungi dataku?

Orang terdekatku pernah menjawab dengan: “Ya udah, ngapain takut. Kamu bukan orang penting ataupun seseorang yang “diincar””. Dulu aku setuju, tapi bagiku pendapat tersebut tidak lagi valid. Mengapa? Pertama, di satu sisi, bagus bila kamu merasa aman ketika di internet. Tapi perlu diingat itu juga merupakan sebuah privilege, bahwa kamu bukanlah seseorang yang dianggap “berbahaya” ataupun mengancam. Mungkin juga kamu merasa bahwa kamu termasuk dalam kelompok mayoritas atau “orang biasa-biasa” saja. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa permasalah ini bukanlah sesuatu yang bersifat one-dimentional atau dapat dilihat dari satu sisi saja. Mengingat bahwa teknologi inheren, sulit untuk dilepaskan, namun juga seperti kucing dalam karung. Kaburnya garis antara yang mana yang merupakan “privasi” dan bukan menjadi pengingat bahwa bahwa semua orang rentan, namun masing2 dari kita memiliki kerentanan yang berbeda2. Dalam skala kecil, mungkin tidak ada yang disembunyikan, namun isu ini harus dilihat dalam pandangan yang lebih luas. Terdapat ancaman terhadap privasi dapat menimpa siapa saja. Dan juga…. life goes on! 

Dalam skala yang lebih besar, terdapat isu yang dampaknya masif seperti surveillance. Isu ini memang bukan merupakan hal yang baru karena sudah terjadi berabad-abad lamanya dalam bentuk dan tujuan yang berbeda-beda. Perempuan, sepanjang sejarah, dijadikan objek pengawasan. Tujuannya? Tentu kontrol dan manipulasi. Dalam beberapa dekade belakangan teknologi menjadi perpanjangan tangannya hingga akhirnya menjadi tidak terkontrol. Permasalahannya terletak pada bagaimana, kita tidak merasa in control terhadap data kita melainkan, ada satu entitas yang memegang kendali terhadap itu. Kita dipaksa untuk memasrahkan apa yang mereka lakukan terhadapnya.

Kalau kemudian otoritas, baik swasta maupun pemerintah, memegang dataku, so what?

Seseorang pernah menjawabnya dengan: “Well kamu menikmati semuanya dengan gratis, jadi wajar dong kalau mereka cari uang dari kamu. Win-win itu namanya” Memang sih, selama ini beberapa aplikasi yang kita pakai mendapat keuntungan dari iklan. Apalagi jika iklannya spesifik, kemungkinan target akan tertarik dan membeli pasti akan lebih tinggi. Tapi apakah yang dikatakan win-win benar-benar adil? Padahal, penambangan data tujuannya rata-rata untuk kontrol dan tidak jarang yang berujung pada eksploitasi. 

Kontrol yang dimaksud dapat dilakukan dengan cara profiling berdasarkan data dan kemudian digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis. Profiling dapat berupa pengkotak-kotakan berdasarkan kategorisasi tertentu yang kemudian dapat mempertinggi risiko marginalisasi dan diskriminasi kelompok-kelompok tertentu. Algoritma yang digunakan sebagai salah satu cara untuk memupuk dan merawat tingkah laku konsumtif. Wacana mengenai menggunakan AI sebagai pengambilan keputusan sudah banyak bermunculan. Oleh karena itu sudah sewajarnya kita khawatir.

Yah, walaupun memang di sisi lain kita diuntungkan oleh adanya aplikasi-aplikasi gratis dengan aksesibilitas tinggi namun apakah akuntabilitas dari pemegang informasi tentang kita dapat diandalkan? Sedangkan ketika sesuatu terjadi, misalnya kebocoran data pribadi yang berujung pada kerugian sedikit sekali hal yang pengguna dapat lakukan. Contoh lainnya adalah, minimnya advokasi terhadap penyintas kekerasan online yang disediakan oleh platform. Jadi kesimpulannya, not-so-win-win!

Coba perhatikan contoh pesan di bawah ini, apakah teman-teman merasa familiar? 

M3N4W4RK4N P1NJ4M4n BUNG4 R1NG4N 2% T4NP4 4NGGUN4N PROS3S C3P4T CUM415-30 MEN1T B1S4 C41R 1NF0 WA:0853-4870-XXXX

Ataupun mendapatkan pesan seperti ini secara konsisten:

Bagaimana ketika menerimanya, rasanya tidak nyaman kan? Apalagi jika sampai tertipu olehnya. Itu salah satu contoh “hasil” dari penambangan data serta transaksi jual-beli data pribadi.  Selain itu pasti teman-teman sudah familiar dengan istilah “data is the new oil” Ya.. dari metafora yang digunakan saja sudah terdengar eksploitatif.

Nah sekarang, cara ngelindungin diriku gimana?

Sayangnya pilihan yang kita punya sekarang terbatas. Namun salah satu cara yang efektif adalah bergerak sebagai agen aktif untuk melindungi privasi kita. Perlindungan terhadap privasi juga merupakan cara kita mengambil atau mengklaim kembali pilihan-pilihan kita serta meruntuhkan dominasi dan mencegah niat manipulasi demi kepentingan otoritas. Persis seperti slogan: Take back the tech! Sayangnya, isu privacy ini masih bersifat eksklusif dan tidak aksesibel. Jika menilik dari segi ketimpangan struktural, sosial-budaya, kelas terdapat mereka yang kemudian masih jauh dari literasi digital. Selain itu, privasi harganya juga mahal dan tidak terjangkau bagi beberapa orang. Inilah yang kemudian masih menjadi tugas bersama.

Kamu bisa melihat guide komprehensif yang dibuat oleh Hack Blossom mengenai Cyber Security. Salah satu cara untuk merebut kembali hak tersebut adalah dengan memastikan dan melakukan hal-hal yang membuat kita merasa “in control” serta mengetahui langkah-langkah mitigasi risiko ancaman keamanan. Beberapa caranya antara lain, memastikan bahwa layanan yang kita gunakan terenskripsi. Bila tidak, atau mungkin kita tidak bisa memastikan, gunakan layanan itu dengan asumsi bahwa terdapat pihak ketiga yang dapat mengaksesnya sehingga dengan asumsi tersebut, kita dapat lebih berhati-hati. 

Berikutnya, berhati-hatilah dengan WiFi publik (WiFi yang dapat diakses oleh umum seperti yang ada di perpustakaan, kafe atau di fasilitas umum) karena siapapun yang berada dalam network atau jaringan yang sama dengan kamu dapat melihat aktivitas kamu. Sekalipun aktivitas kamu dilindungi oleh password, namun tetap saja, kamu rentan untuk diretas dan data kamu bisa diambil. (Baca artikel Samsara mengenai cara berselancar aman di internet di sini).

 Technology is not neutral. We’re inside of what we make, and it’s inside of us. We’re living in a world of connections – and it matters which ones get made and unmade.” Haraway

Siapa saja yang melakukan aborsi?

 

Jawaban singkatnya: siapapun yang memiliki kemampuan untuk hamil dapat sewaktu-waktu membutuhkannya. Dari seorang ibu, remaja, non-binary, semuanya membutuhkan akses layanan kesehatan yang memadai. Titik.

Kesehatan Seksual dan Reproduksi menjadi isu yang ramai dibicarakan selama beberapa tahun terakhir di Indonesia. Akan tetapi, masih banyak misinformasi yang beredar terutama mengenai mitos aborsi. Salah satu mitos menyatakan bahwa mereka yang menginginkan aborsi adalah orang muda yang lalai dan tidak bertanggung jawab. Padahal, Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) bisa terjadi pada siapapun; termasuk orang yang sudah menikah ataupun yang telah  memiliki anak sebelumnya. 

Aborsi masih dianggap sebagai hal tabu karena mitos dan stigma yang terlampau kuat. Seperti mitos bahwa mereka yang melakukan aborsi adalah seorang “monster”, tidak memiliki empati dan lain lainnya. Bahkan berbagai propaganda kelompok anti aborsi membawa narasi mengenai “keutuhan keluarga”, seakan-akan perempuan hanya sebatas “alat” penghasil keturunan, yang konon dapat melengkapi sebuah keluarga. Selain itu, aborsi kerap dianggap sebagai tindakan yang berbahaya, berisiko kematian dan sederet komplikasi lainnya. Masyarakat mereproduksi narasi bahwa pengalaman aborsi secara umum merupakan pengalaman traumatis menyedihkan dan disamakan dengan kehilangan seorang anak

Ide mengenai “happy abortion” menjadi salah satu yang dibawa oleh Amy Coenen dalam gerakan #ShoutYourAbortion tahun 2015. Gerakan tersebut bertujuan untuk menghapuskan stigma buruk terhadap aborsi. Idenya, dengan menceritakan pengalaman perempuan mengenai aborsi, terutama pengalaman yang membebaskan dan menyenangkan dapat perlahan-lahan menghapus tabu. Selain itu, kampanye ini juga bertujuan untuk memberitahu publik bahwa aborsi bukan sesuatu yang berbahaya, bahkan merupakan salah satu layanan kesehatan yang menunjang kehidupan perempuan.

Gerakan tersebut memang sangat powerful namun di sisi lain membuka kenyataan yang menyedihkan. Perempuan masih harus melakukan validasi terhadap apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Padahal, ketika sesuatu sudah menjadi hak, hal tersebut tidak perlu lagi dipertanyakan. Itu menunjukkan bahwa terdapat aborsi yang dapat “dibenarkan” dan juga ada yang “salah”.

Pada tahun 2019, empat tahun setelah #ShoutYourAbortion, kampanye #YouKnowMe diluncurkan. Kampanye ini merupakan perpanjangan dari kampanye sebelumnya. Berkat penggunaan media sosial yang semakin masif, kampanye ini masuk ke berbagai negara selain Amerika. Kampanye tersebut mengajak perempuan untuk angkat bicara mengenai pengalamannya melakukan aborsi. Tujuannya sama, untuk melakukan diseminasi pada masyarakat luas bahwa perempuan memiliki pilihan ketika mengalami KTD. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa pilihan tersebut tersedia dan dapat diakses. Namun lagi-lagi, menjadi memilukan karena perempuan harus menjustifikasi mengapa mereka melakukan aborsi kepada publik dengan harapan “dapat diterima oleh publik”. Idealnya, semua alasan merupakan alasan valid, semua orang harus setara dalam mengakses layanan kesehatan tanpa dikotak-kotakkan.

Narasi yang paling sering muncul berikutnya adalah: “Jika kamu sudah mengenal kontrasepsi, maka kamu “seharusnya” tidak memerlukan layanan aborsi”. Dalam beberapa penelitian, negara yang memiliki akses terhadap pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik memiliki tingkat aborsi yang rendah. Namun kebutuhan itu akan selalu ada. WHO menganjurkan menurunkan angka aborsi tidak aman dengan kontrasepsi. Akan tetapi, efektivitasnya tentu tidak 100%. Anggap saja suatu saat manusia berhasil menemukan kontrasepsi yang 100%, apakah ada jaminan bahwa semua orang dapat mengaksesnya atau tidak ada kasus-kasus tertentu yang harus diantisipasi?

 

Lantas apakah di negara yang telah melegalkan aborsi, perempuan lebih mudah mengaksesnya?

Tidak, legalisasi aborsi merupakan salah satu langkah besar untuk menjamin pemenuhan akan hak. Akan tetapi, legalisasi aborsi bukan merupakan jaminan penuh! Seperti yang telah dibahas di atas, perempuan masih dibebani oleh stigma sosial. Jika aborsi merupakan hak,seharusnya semua perempuan bisa mengaksesnya tanpa membutuhkan persetujuan dari otoritas. Namun apakah lantas di negara-negara yang telah melegalkan aborsi, masalah akan berhenti di situ?

Mari kita amati apa yang terjadi di negara yang telah melegalkan aborsi seperti Norwegia. Lima belas tahun lalu setelah hampir 30 tahun pasca dilegalkannya aborsi (secara hukum) di Norwegia, penelitian yang diadakan masih menunjukkan bahwa mereka menghadapi sebuah tantangan dari sudut pandang moral. Dalam artikel yang berjudul “Abortion: The Legal Right Has Been Won, But Not the Moral Right” digambarkan bagaimana pada awal diperkenalkannya metode Medical Abortion (aborsi dengan pill) kepada dunia, publik, baik masyarakat luas hingga beberapa tenaga medis mengisyaratkan keraguan. Ketakutan muncul: bagaimana kelak jika akses terhadap aborsi semakin mudah dan dapat dilakukan sendiri? Bukankah aborsi kemudian berisiko untuk dijadikan sebagai metode kontrasepsi? 

Respon-respon semacam itu menyiratkan bahwa masih terdapat “keraguan moral” dan pandangan tertentu mengenai siapa yang seharusnya “berhak” mengakses aborsi dan siapa yang seharusnya tidak. Lagi-lagi, perempuan harus menghadapi tembok penghalang dalam mengakses haknya. Dalam artikel ke-8 12 HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) disebutkan bahwa siapapun berhak mendapatkan akses terhadap buah-buah dari kemajuan penelitian serta penerapannya. Jika metode Medical Abortion sudah terbukti efektif dan aman, apalagi yang sebenarnya menghalangi?

Stigma terhadap aborsi menjamur subur di berbagai lapisan masyarakat, bahkan di antara penyedia layanan kesehatan. Dalam buku “Without Apology: The Abortion Struggle Now (Brown, 2019) diceritakan di Amerika para tenaga kesehatan sebelumnya menolak akses menyediakan layanan aborsi aman karena dianggap sebagai sesuatu hal yang “dapat merusak reputasinya”. Stigma yang melekat bahwa aborsi merupakan tindakan tidak bermoral, kejam, dirty dan ilegal berpengaruh pada semua aktor.

Tekanan moral masih dianggap sebagai sesuatu yang substansial. Misalnya: ketika seorang perempuan bercerita bahwa ia baru saja melakukan aborsi, teman-temannya merespon seakan-akan ia sedang berkabung, disimbolkan dengan mengirimkan bunga disertai dengan ucapan-ucapan belasungkawa (Løkeland, 2004). Pesan-pesan implisit tersebut sangat bertentangan dengan pengalaman kebanyakan orang. Padahal kemampuan untuk menentukan pilihan, hingga mengakses layanan kesehatan yang menunjang kesejahteraan hidup merupakan sesuatu yang empowering. Menjadi berdaya karena dapat memutuskan pilihannya tanpa intervensi, membebaskan diri dari tekanan serta menggunakan haknya dengan tepat.

Bagaimana dengan di Indonesia? 

Di Indonesia perjalanan panjang untuk menyediakan akses terhadap kesehatan reproduksi yang memadai masih berusaha kita menangkan. Jangankan berbicara mengenai stigma, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai aborsi masih sangat erat dengan kontrol otoritas maskulin terhadap keputusan yang seharusnya diambil oleh perempuan. Terlebih dalam implementasinya. 

Dalam Jurnal Perempuan Volume 22 tahun 2017 terdapat salah satu artikel yang menganalisis hukum mengenai aborsi UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 23 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi melalui kacamata AWK (Analisis Wacana Kritis). Hasilnya, walau aborsi tidak sepenuhnya dilarang dan dalam beberapa kasus masih diperbolehkan, klausa-klausa yang digunakan masih sangat menunjukkan kontrol penuh atas tubuh perempuan dan mengeksklusikan perempuan dari pengambilan keputusan terkait otoritas tubuh. Untuk itu dibutuhkan perubahan mendasar mengenai bagaimana kita memandang aborsi. 

Sehingga jika tulisan ini di awal membahas mengenai siapa saja yang mengakses aborsi, maka sekarang saatnya mempertanyakan kembali, jika semua orang yang memiliki kapasitas untuk hamil memiliki kemungkinan untuk membutuhkan aborsi, sudahkah fasilitas tersebut tersedia?

Swallow (2019), Film Drama-Thriller tentang Trauma Perempuan dan Otoritas Tubuh

Trigger warning: Pica, PTSD, sexual violence

Kebanyakan wacana aborsi memaparkan isu sebatas pada sisi moralitas, padahal sebenarnya hal tersebut merupakan preferensi individu. Jarang sekali yang membicarakan mengenai efek jangka panjang bagi mereka pemilik tubuh. Awal tahun 2020 ini, kita diperkenalkan oleh film bergenre drama-thriller/horor yang baru bisa saya akses menjelang halloween. Film ini dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya dimensi berlapis yang harus dihadapi oleh seseorang yang tidak dapat mengakses layanan aborsi, terutama ketika kehamilan tersebut disebabkan oleh kekerasan. Sebaliknya, aborsi dapat menjadi sesuatu yang membebaskan dan menunjang kesehatan mental seseorang. Spoiler alert!

Seperti judulnya, Swallow, yang berarti “menelan” menceritakan mengenai obsesi Hunter (Haley Bennet) menelan benda-benda aneh (mulai dari kelereng, jarum, hingga batu baterai) dan berbahaya selama masa kehamilan. Obsesi ini tidak muncul dengan tiba-tiba, namun dipicu oleh kehamilan. Mengapa begitu? Kita harus menilik latar belakang Hunter dengan lebih dalam. Hunter merupakan seorang Ibu Rumah Tangga yang menikah dengan seorang yang sangat kaya bernama Richie (Austin Stowell). Keluarga Hunter masih sangat dekat dengan keluarga Richie — namun dekat bukan berarti baik.

Dalam film, Hunter digambarkan sebagai karakter yang submisif dan menyerupai boneka dengan rambut blonde dan gaun bernuansa pastel. Keluarga Richie yang sangat-sangat kaya merasa superior dan tidak berhenti mengingatkan Hunter bahwa apa yang dapat Hunter “miliki” sekarang adalah berkat mereka. Tanpa menikahi Richie, Hunter bukanlah siapa-siapa, hanya seorang perempuan kelas bawah, tidak memiliki harta dan miskin akan keterampilan. Hunter berada di bawah kendali keluarga Richie dan ia merasa tidak memiliki kontrol terhadap apapun di hidupnya, hingga suatu saat ia memiliki cara untuk merasakan kebebasan: menelan benda-benda tidak biasa secara sembunyi-sembunyi. Itulah rahasia yang Hunter simpan untuk dirinya sendiri, tanpa ada orang lain tahu.

Kehamilan, seringkali merupakan bentuk kontrol terhadap tubuh perempuan, di mana perempuan diposisikan sebagai “alat” reproduksi keturunan. Dalam masyarakat kelas atas, anak merupakan ahli waris sehingga perempuan diharapkan menghasilkan keturunan agar kekayaan tetap berputar. Saat melakukan USG, rahasia Hunter terungkap. Keluarga Richie marah besar dan menekan Hunter agar tetap melanjutkan kehamilannya dengan aman, setidaknya sampai bayi mereka lahir. Keluarga tersebut kemudian menyewakan seorang pengawas, atau lebih tepatnya seorang pengasuh dan membawanya kepada seorang psikiater. 

Dalam sesi terapi yang dilaluinya, ia menyadari bahwa ia menemukan ruang aman tempat ia berekspresi dan menceritakan berbagai rahasia dan masa lalunya. Kemudian terungkap bahwa Hunter merupakan anak yang lahir dari kasus kekerasan seksual. Pelakunya ditangkap dan dipenjara namun akibat ibu Hunter dikelilingi oleh orang-orang konservatif, sayap kanan ekstrim, yang masih memiliki anggapan bahwa aborsi merupakan tindakan kejam dan sebagai wujud dosa, maka ibunya dipaksa untuk melanjutkan kehamilannya. Kasus kehamilan akibat perkosaan mengimplikasikan trauma berkepanjangan. Ibunya mengalami trauma berlapis, terutama pasca melahirkan, ketika ia tidak diberikan pilihan apa-apa selain merawat anaknya. Sedihnya, ibunya mengalami pengucilan sosial yang dilakukan oleh keluarganya, padahal ia adalah seorang penyintas.

Dalam lingkungan keluarga, relasi ibu-anak yang terjalin antara Hunter dan Ibunya menjadi terganggu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Foster (2018), dampak terhadap penolakan terhadap aborsi efeknya jangka panjang dan tidak hanya menyentuh dimensi sosial-ekonomi namun juga terhadap kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Perempuan yang permintaan aborsinya ditolak juga cenderung mengalami masalah kejiwaan seperti kecemasan, depresi hingga PTSD (Post-traumatic stress). Dalam film ini, Hunter merasa tidak diinginkan dan selalu mendapatkan penolakan. Walau ketika ia bercerita, wajahnya dihiasi senyum lebar dan meyakinkan psikiaternya bahwa keluarganya lengkap dan sempurna. Kenyataannya hal itulah yang menjadi akar dari penyakit Hunter: bahwa ia selalu dikucilkan, dialienasi sehingga ia berusaha untuk tetap menjadi apa yang orang lain inginkan agar dapat diterima. 

Di sini terlihat mengenai bagaimana pentingnya mendukung pilihan perempuan atas tubuhnya. Pemaksaan terhadap melanjutkan kehamilan memiliki efek domino, tidak berhenti sekadar pilihan melanjutkan atau mengakhiri kandungannya. Dalam Turnaway Study dijelaskan bagaimana efek jangka panjang dari tindak aborsi: perempuan Amerika, dalam jangka waktu 5 tahun merasa puas dengan keputusan mereka dan cenderung memiliki  kualitas hidup lebih baik di berbagai dimensi, bertolak belakang bagi mereka yang tidak bisa mengakses layanan aborsi.

Fastforward pada akhirnya, Hunter yang berhasil kabur dari rumah neraka tersebut akhirnya memutuskan untuk melakukan aborsi dengan cara self-medication, dengan menyelipkan pill di pipinya yang ia lakukan di toilet umum karena menjadi tunawisma (homeless) namun ia tidak keberatan dengan pilihan tersebut. Di dalam film digambarkan Hunter menghadap kaca di toilet umum dengan tatapan puas terhadap dirinya dan gestur bangga terhadap pilihannya.

Swallow atau menelan merupakan simbol perlawanan Hunter pada opresi yang ia terima dari lingkungannya. Ketika ia menelan benda-benda tajam dan tidak biasa, ia merasa in control dan in charge terhadap tubuhnya. Terutama ketika ia memutuskan untuk menelan pill MA (Medical Abortion) sebagai bentuk kebebasan dan pemutusan rantai trauma. Shot close-up banyak digunakan dalam film dan memperlihatkan dengan jelas ekspresi Hunter, hingga pada garis-garis wajahnya. Seperti pipinya yang merah merona dan gesturnya yang menunjukkan keluguan, seperti anak-anak. Selain itu, tone warna yang cold namun colorful membawa kesan “hidup mewah”.

Pada akhirnya, film berusaha menunjukkan dimensi berlapis dari permasalahan perempuan mulai dari kekerasan berbasis gender hingga pembatasan otonomi tubuh perempuan dan hal tersebut bersifat struktural. Sebab, implikasi psikologis dan sosial terhadap penolakan aborsi memiliki efek jangka panjang terutama bila kehamilan disebabkan oleh kasus kekerasan. Semua pihak harus terlibat dan memiliki pemahaman komprehensif soal ini: mulai dari negara hingga institusi sosial sekitar perempuan.

Tips Keamanan pada WhatsApp

WhatsApp adalah salah satu dari banyaknya pilihan media sosial yang sangat populer untuk digunakan hingga hari ini. Faktanya, selain instagram, WhatsApp juga diakuisisi oleh facebook pada tahun 2014. Dan tentu saja akuisisi ini berujung pada hengkangnya Brian Acton dan Jan Koum sebagai pendiri WhatsApp. Sebab, tiga tahun setelahnya, Facebook memaksa ingin menyebarkan iklan dengan pola targeted ads ke pengguna WhatsApp. Hal ini bertentangan dengan pendirian WhatsApp yang sejak awal menolak keberadaan iklan pada platformnya. Pada saat skandal Cambridge Analytica, yang mencederai privasi pengguna Facebook mencuat, Acton mendukung gerakan #DeleteFacebook melalui akun Twitternya, yang notabene menjadi platform pesaing dari Facebook.

Untuk keamanannya sendiri, WhatsApp dengan end-to-end encryptionnya dalam chatting yang dilakukan dua orang penggunanya dapat dikategorikan aman. Tetapi, persepsi “aman” akan menjadi hal yang dipertanyakan jika kita membicarakan WhatsApp untuk fitur Group-nya. Tentu kita tidak asing dengan beberapa Grup WhatsApp yang ada pada handphone kita, ada grup kelas, kuliah, keluarga, dll. Tetapi, kita jarang untuk melakukan analisis lebih dalam terkait hal tersebut.

Cobalah untuk membuat satu grup pada whatsapp yang bisa berisi 6 ataupun 7 orang di dalamnya. Sepakati bersama sebelumnya bahwa kalian dan 6 orang lainnya pada grup tersebut akan membicarakan satu topik utama, contohnya mungkin kontrakan rumah murah di daerah jogja. Jika sudah dilakukan dan percakapan yang cukup panjang di grup telah selesai, kalian dapat melihat akan muncul iklan terkait rumah kontrakan di daerah jogja di facebook kalian, dan jika beruntung akan muncul juga pada iklan berupa instastory di instagram kalian.

Dengan kondisi seperti ini, sangatlah penting jika mempertimbangkan kembali setiap hal yang kita bagikan pada sosial media, khususnya WhatsApp. Berikut adalah tips-tips keamanan pada whatsapp yang dapat kalian lakukan :

  • Gunakan WhatsApp Resmi

Jika kalian akrab dengan aplikasi-aplikasi mod, atau aplikasi tidak resmi yang telah dimodifikasi dan biasanya dilakukan pencarian dengan kata kunci “mod apk”, seperti spotify mod yang dapat kalian gunakan untuk mendengarkan lagu dalam fitur premium tanpa perlu berlangganan. Ataupun whatsapp mod, yang kalian gunakan dan install agar fitur telepon pada whatsapp dapat dinonaktifkan kegunaannya, atau bahkan agar kalian dapat melakukan kustomisasi pada pemberitahuan terakhir dilihat dalam whatsapp? Jangan pernah lakukan jika tidak ingin handphonemu disusupi trojan. Karena pada faktanya, aplikasi-aplikasi tidak resmi dengan fitur mod seperti inilah yang memiliki potensi besar mengandung trojan. 

  • Gunakan autentikasi dua faktor dan aktifkan notifikasi keamanan

Untuk mengaktifkan autentikasi dua faktor, dapat dilakukan pada menu “Akun” → “Verifikasi dua langkah”. Sedangkan notifikasi keamanan, dapat kalian aktifkan pada menu “Akun” → ”Keamanan”. Hal ini berguna untuk mengamankan akses pada Whatsapp, dimana verifikasi dua langkah sebagai layer keamanan tambahan, dan aktifnya notifikasi keamanan akan memberi pemberitahuan ketika kode keamanan enkripsi telah berubah.

  • Aktifkan opsi enkripsi data pada obrolan

Untuk mengaktifkan opsi ini, kalian masuk ke profil salah satu kontak di WhatsApp kalian, lalu pilih Enkripsi. Dan lakukan pemindaian pada kode keamanan yang ditampilkan, baik itu dari kalian maupun sebaliknya. Opsi ini sangat penting jika percakapan terkait pin atm, password, dll.

  • Hindari mengakses WhatsApp Web melalui perangkat yang digunakan lebih dari satu orang

Hal ini penting untuk menghindari peretasan WhatsApp yang terjadi atas kelalaian pengguna. Jika mengakses WhatsApp melalui Web, pastikan WhatsApp telah dikeluarkan dari web dan pastikan kembali bahwa tidak ada pengaksesan dari browser di menu WhatsApp Web pada mobile. Dan jika mengakses WhatsApp Web dengan WiFi Publik, pastikan anda menggunakan VPN yang terpercaya, untuk VPN gratis kalian dapat menggunakan RiseupVPN ataupun Surfshark.

  • Aktifkan privasi grup pada WhatsApp

Hal ini penting untuk diaktifkan agar kalian tidak dapat masuk ke grup whatsapp yang diundang oleh orang lain kecuali kalian terima undangan bergabung pada grup tersebut, opsi ini ada pada “Akun” → “Privasi” → “Grup” → “Kontak saya”.

Seperti itulah tips keamanan pada whatsapp yang dapat kalian terapkan, terkait pertanyaan “adakah alternatif aplikasi yang lebih aman dibandingkan whatsapp?” ada, dan beberapa aplikasi yang disarankan dapat kalian unduh serta install adalah Signal ataupun Telegram.

POPULER