Beranda blog Halaman 4

Mengenal Mifepristone dan Misoprostol Lebih Dekat

Pernahkan kamu mendengar istilah aborsi medis? Itu adalah metode aborsi yang dapat dilakukan secara mandiri dengan menggunakan obat-obatan. Meski aborsi medis merupakan salah satu metode aborsi aman yang sudah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), masih banyak yang belum mengetahui secara jelas prosedurnya dan obat-obat apa saja yang dapat digunakan untuk melakukan tindakan tersebut. Padahal, sangat penting untuk mengetahui apa saja yang masuk ke dalam tubuh dan bagaimana cara kerjanya. 

Informasi yang simpang siur menyebabkan munculnya berbagai kesalahpahaman pada prosedur aborsi medis, termasuk obat-obatan yang digunakan untuk prosedur tersebut. Perlu diketahui di awal bahwa obat-obatan yang digunakan untuk melakukan aborsi medis sangat aman. Obat-obatan tersebut juga tidak memberikan efek samping jangka panjang pada kesehatan organ seksual dan reproduksi selama digunakan dengan prosedur yang tepat. Sayangnya, informasi ini sangat jarang dibicarakan.

Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sebelum kita disesatkan oleh informasi-informasi tak jelas yang terus memberikan stigma pada prosedur aborsi aman, sebaiknya kita berkenalan dulu dengan obat-obatan yang digunakan dalam prosedur tersebut.

Mifepristone

Nama mifepristone mungkin terdengar kurang familiar di Indonesia jika dibandingkan dengan misoprostol. Mifepristone memang obat yang tidak diproduksi di Indonesia dan ketersediaannya di Indonesia juga sangat terbatas. Padahal, mifepristone sudah masuk ke dalam daftar obat-obatan esensial. Hal itu disebabkan adanya aturan terkait pelarangan aborsi di Indonesia yang membuat mifepristone kemudian tidak dijual bebas. Akibatnya, banyak sekali obat-obat palsu yang beredar dan tidak jelas kandungannya.

Sebenarnya, obat-obatan palsu itulah yang menyebabkan proses aborsi menjadi tidak aman karena kandungan dan dosis yang tidak jelas berisiko memunculkan berbagai masalah kesehatan lain. Namun, bukannya tidak mungkin untuk menemukan mifepristone yang asli di Indonesia.

Mifepristone atau RU-486 dikembangkan di Prancis pada tahun 1980-an untuk digunakan bersama misoprostol. Mifepristone adalah antiprogestin yang bekerja dengan cara menghentikan sementara produksi hormon progesteron. Selama kehamilan, hormon progesteron melakukan banyak sekali pekerjaan, misalnya membantu proses implantasi konsepsi ke dinding uterus dan mempertahankannya, atau menjaga kehamilan tetap dalam keadaan yang sehat.

Jika hormon progesteron berhenti diproduksi oleh tubuh selama kehamilan berlangsung, maka kehamilan akan semakin melemah, terutama untuk kehamilan trimester pertama yang kadar progesteronnya masih rendah dan belum cukup stabil. Selain menghentikan sementara produksi hormon progesteron, mifepristone juga berfungsi untuk membuat uterus lebih sensitif terhadap hormon prostaglandin yang dapat memicu kontraksi. 

Mifepristone sebenarnya memiliki fungsi selain untuk terminasi kehamilan. Mifepristone adalah antagonis reseptor glukokortikoid (anti glukokortikoid) yang dapat digunakan untuk mengontrol hiperglikemia sekunder pada pasien dengan Cushing Syndrome. Beberapa kontraindikasi yang perlu diperhatikan dalam penggunaan mifepristone adalah penyakit jantung, kolesterol, asma, gagal ginjal, atau autoimun yang menggunakan obat-obatan dengan kandungan steroid –seperti kortikosteriod– untuk terapinya.

Penggunaan obat secara bersamaan dapat menimbulkan efek samping mulai dari yang ringan, sedang, hingga parah. Jadi, sebelum menyarankan penggunaan mifepristone, ada baiknya mengecek terlebih dahulu riwayat maupun penyakit yang sedang diderita oleh perempuan yang akan melakukan terminasi kehamilan dengan aborsi medis.

Misoprostol

Misoprostol adalah obat yang beredar di Indonesia dengan banyak nama (merk dagang), di antaranya yang paling populer adalah Cytotec dan Gastrul. Obat-obatan itu telah sejak lama dikenal sebagai obat penggugur kandungan dan seringkali dijual secara online. Misoprostol sendiri sebenarnya adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati tukak lambung.

Obat ini masuk dalam daftar obat-obatan esensial dan dijual di banyak apotek di Indonesia. Namun, karena obat ini juga dapat digunakan untuk terminasi kehamilan, maka aksesnya dibatasi dengan sangat ketat dan kebanyakan hanya dapat dibeli dengan resep dokter.

Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 sintetik yang telah lama digunakan dalam praktik obstetrik dan ginekologi. Prostaglandin sendiri merupakan zat dengan struktur kimia yang menyerupai hormon dan berfungsi untuk merangsang otot-otot uterus berkontraksi.

Saat menstruasi, prostaglandin merangsang kontraksi untuk membantu pengeluaran darah, sedangkan pada perempuan hamil, prostaglandin memicu terjadinya kontraksi pada uterus dan membuat serviks terbuka lebar untuk mempercepat proses persalinan. Jika digunakan saat hamil, obat-obatan yang mengandung prostaglandin dapat memicu kontraksi dan menyebabkan keguguran.

Berdasarkan penelitian, misoprostol dapat digunakan untuk melakukan prosedur aborsi medis, penanganan medis untuk keguguran, induksi persalinan, pembukaan serviks sebelum prosedur pembedahan, dan perawatan perdarahan pasca persalinan.

 

Terbatasnya akses misoprostol hingga saat ini membuat obat tersebut sering dipalsukan (diganti dengan obat lain) dan dijual dengan harga yang sangat tinggi. Ada pula yang menjual misoprostol dengan dosis dan panduan pemakaian yang tidak sesuai prosedur sehingga sering menyebabkan kegagalan tindakan. Hal tersebut membuat prosedur aborsi medis yang seharusnya aman jadi membahayakan.

Kesalahan dosis dan prosedur penggunaan, serta keaslian dan kandungan obat yang tidak dapat dipastikan bisa menurunkan efektivitas, bahkan sampai mengancam keselamatan. Namun begitulah kenyataannya hingga saat ini. Akses misoprostol yang ketat dan dibatasi penggunaannya berbanding terbalik dengan tingkat kebutuhannya sehingga banyak yang mengakses misoprostol sambil bertaruh dengan segala kemungkinan dan risiko.

Nah, bagaimana pendapat kalian setelah menemukan informasi terkait obat-obatan yang dapat mengubah hidup banyak perempuan ini? Bukankah tidak ada hal yang perlu ditakutkan dari obat-obat itu jika digunakan sesuai dengan tujuan dan prosedur? Sebaliknya, obat-obat itu dapat menyelamatkan kehidupan banyak perempuan, banyak orang di seluruh dunia!

Anggota Keluarga yang Merencanakan Keluarganya Bukan Beban Keluarga

Hari Keluarga Internasional mungkin bukan momen internasional yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagaimana Hari Buruh Sedunia atau Hari Pers Sedunia, sebab itu animonya pun tidak setinggi momen-momen internasional lain yang sudah lebih akrab di masyarakat. Hari Keluarga Internasional diperingati setiap tanggal 15 Mei.  Majelis umum PBB memproklamasikan hari tersebut melalui resolusi A/RES/47/237 pada tahun 1993 dengan mempertimbangkan kepentingan hubungan komunitas internasional dengan keluarganya.

PBB akan memberikan tema-tema berbeda setiap tahun untuk memperingati Hari Keluarga Internasional. Tahun 2021 ini misalnya, tema yang diusung adalah Families and New Technologies. Namun, di Indonesia sendiri seringnya Hari Keluarga Internasional hanya dirayakan oleh komunitas atau organisasi tertentu tanpa mengusung tema spesifik atau terlepas dari tema yang muncul setiap tahunnya, demikian halnya dengan tulisan ini. Alih-alih membicarakan keluarga dan teknologi baru seperti tema besarnya tahun ini, aku rasa kita masih perlu membahas sampai tuntas hal-hal fundamental terkait perencanaan keluarga itu sendiri.

Hari Keluarga Internasional tahun ini berdekatan dengan perayaan Idul Fitri 1442 Hijriah yang jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021. Seharusnya ini jadi momen yang sangat pas untuk sekalian memperingati Hari Keluarga Internasional bersama keluarga, baik itu keluarga besar maupun keluarga inti.

Sayangnya, membicarakan kaitan antara keluarga dan teknologi terasa terlalu mengawang-awang dan hampir tidak mungkin dilakukan saat momen-momen kumpul keluarga selalu disesaki dengan obrolan yang tak jauh-jauh ujung pangkalnya dari pertanyaan “kapan nikah?” dan “kapan punya anak?”. Seolah merupakan bagian dari tradisi, topik-topik obrolan tersebut seperti menjadi menu wajib di setiap rumah bersama ketupat dan opor ayam di hari lebaran.

Bukankah topik obrolan terkait rencana pernikahan dan rencana punya anak rasanya terlalu personal untuk di bahas di tengah keluarga? Terlebih jika pertanyaan itu kemudian berkembang ke sana kemari dan menyentuh ruang-ruang yang lebih privat seperti kriteria calon pasangan, keputusan terkait bentuk keluarga, kesuburan, jumlah anak, usia produktif, bahkan pekerjaan dan gaji.

Kebiasaan melontarkan pertanyaan dan pernyataan demikian ini sudah dinormalisasi begitu lama sehingga menjadi saru batasnya dengan celetuk gurauan atau wejangan sebagai bentuk perhatian. Padahal, wejangan hanya perlu diberikan jika diminta, dan topik-topik privat orang lain tidak seharusnya menjadi bahan gurauan di momen kumpul keluarga. Gurauan dan wejangan juga seringkali jadi simpulan penutup pembicaraan saat topik itu dirasa sudah membuat gerah. Klise! 

Perencanaan keluarga adalah topik obrolan yang privat dan tidak seharusnya dicampuri siapapun dengan alasan apapun jika itu berpotensi membuat keputusan menjadi bias. Setiap orang punya hak dan kapasitas masing-masing untuk membuat keputusan terkait perencanaan keluarganya. Hak untuk merencanakan keluarga dicetuskan dalam 12 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (12 HKSR) yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996. Poin 7 dan 8 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memilih bentuk keluarga, membangun dan merencanakan berkeluarga, serta memutuskan kapan dan akan punya anak atau tidak. Mencampuri keputusan orang lain dalam perencanaan keluarga, apalagi menjadikan hal ini sebagai bahasan publik sama saja melanggar hak orang tersebut dan meragukan kapasitasnya untuk membuat keputusan atas tubuh dan dirinya sendiri.

Mengapa penting untuk membicarakan perencanaan keluarga dalam 12 HKSR? Mengapa penting untuk kita menuntaskan bahasan terkait hal-hal fundamental yang mendasari perencanaan keluarga? Sebab penting bagi kita semua untuk mengetahui bahwa perencanaan keluarga merupakan bagian dari hak kita sebagai individu.

Itu berarti kita punya kebebasan untuk memutuskan dan membuat perencanaan keluarga tanpa desakan, paksaan, tuntutan, atau bahkan ancaman dari pihak manapun. Hal ini adalah pengetahuan dasar yang penting untuk dipahami bersama agar setidaknya topik-topik privat terkait perencanaan keluarga tidak lagi menjadi konsumsi di meja makan bersama ketupat dan opor saat momen kumpul keluarga di hari raya.

Memang terasa agak mustahil mengharapkan tidak ada lagi topik privat yang dibahas dalam momen kumpul keluarga. Aku sangat mengerti bahwa bahasan terkait hak untuk merencanakan keluarga ini bukan hal populer. Bukan perkara mudah untuk membawa naik bahasan ini ke permukaan, apalagi di tengah-tengah keluarga yang mungkin jarang atau belum pernah sama sekali terpapar dengan isu-isu serupa. Aku juga tidak menyarankan untuk menjelaskan panjang lebar hal ini di tengah momen kumpul keluarga, tapi kita tetap punya pilihan untuk bersuara atau bungkam. Mungkin saat kita bicara pada satu anggota keluarga, itu juga akan membuat satu perubahan. Mungkin memang tidak besar, tapi ada. Siapa tahu di tahun-tahun berikutnya kita juga bisa merayakan Hari Keluarga Internasional dengan menyenangkan dan membiarkan topik privat setiap orang tetap pada tempatnya. Siapa tahu?

Berdamai dengan Tubuh Sendiri

“If your body could speak, would she forgive you?”

Trigger Warning: Self Harm, Eating Disorder

Kalimat di atas merupakan penggalan dari puisi berjudul More Interesting Than Suffering karya Blythe Baird. Ia adalah salah satu penulis favorit saya yang sering berbicara tentang gangguan makan (eating disorder) dan perjalanannya pulih dari gangguan tersebut dalam puisi-puisinya. Ia bisa menyuarakan hal yang saya rasakan selama ini, namun, tidak punya kosa kata untuk mengucapkannya.

Blythe Baird, sejak kecil, bergelut dengan citra tubuh negatif yang membuatnya mengalami hubungan yang buruk dengan makanan. Hubungan yang buruk dengan makanan memperburuk kondisi kesehatan fisik dan mental Blythe Baird. 

Secara sederhana, citra tubuh negatif adalah kondisi seseorang yang terganggu secara berlebihan akan penampilannya. Kondisi ini bukan hanya sekadar perasaan tidak pede, saja. Namun, dapat mendistorsi cara seseorang melihat tubuhnya sendiri.

Dia jadi melakukan hal-hal jahat ke tubuhnya sebagai pelampiasan. Kutipan di atas membantu proses saya berdamai dengan tubuh sendiri. Sama seperti Blythe Baird, saya bergelut dengan citra tubuh negatif sejak kecil. Tepatnya dimulai saat duduk di bangku SD.

Mama sering mengajak saya untuk menemaninya ke klinik kecantikan. Saya akan meringkuk di ruang tunggu klinik yang dingin sambil membolak-balik halaman majalah berisi perempuan-perempuan langsing, tinggi, berkulit putih, wajah tirus, dan berambut panjang. 

Wajah mama selalu bengkak dan memar usai keluar dari ruang klinik. Namun, saya tidak pernah bertanya apa yang mama lakukan. Sampai suatu ketika saya boleh masuk ke ruang klinik dan menyaksikan punggung mama ditusuk banyak jarum.

Setelahnya, saya bertanya ke mama kenapa tubuhnya ditusuk jarum. Mama menjawab, “Supaya kurus.”

Saya kembali bertanya, “Memangnya kenapa harus kurus?” 

“Supaya cantik.”

Saya akhirnya jadi tahu nama-nama perawatan yang mama lakukan di klinik kecantikan: akupuntur, suntik botox, filler, dan tarik benang. Saya juga ingat dulu mama membeli buku diet yang beliau baca dengan serius sampai ditandai menggunakan stabilo. Saat arisan, saya menguping mama bicara ke teman-temannya soal buku tersebut. Mama memuji tentang ajaibnya isi buku itu, bahkan mama menghadiahkan buku itu untuk teman-temannya. 

Saya juga ingat mama pernah berhari-hari hanya mengonsumsi jus saja, tanpa makan apa pun. Saat itu saya masih berusia 10 tahun, dan tertanam dalam otak saya bahwa perempuan harus cantik dan menjadi cantik butuh usaha.

Saat beranjak remaja, dengan tinggi badan kurang lebih 160 cm dan berat badan yang bertahun-tahun tetap berada di angka 45 kg, saya tergolong kurus. 

Setiap berat saya naik sedikit, mama sadar dan setiap pagi mencekoki saya dengan jamu dan teh daun jati cina. Katanya berkhasiat untuk menurunkan berat badan. Saya jadi cemas dengan berat badan saya. Bahkan ketika berat badan tergolong kurus, saya merasa gemuk.

Setelah lulus SMA, saya kuliah di luar kota. Sejak tahun pertama kuliah sampai tahun ketiga, kondisi kesehatan mental saya memburuk. Saya jadi makan lebih banyak untuk memperbaiki suasana hati. Puncaknya berat badan saya naik jadi 58 kg pada tahun ketiga kuliah.

Saya tahu bahwa saya gemuk dan saya jadi merasa jelek. Perasaan jelek ini menjadi serius ketika saya menjadi jijik dengan tubuh sendiri. Saya tidak mau bercermin dan bertemu dengan orang-orang. Rasanya tidak ada orang yang pantas melihat rupa yang jelek ini. 

Hal ini diperparah ketika mama dan keluarga besar mengomentari perubahan tubuh saya saat Lebaran. Mama berkali-kali mengatakan, “Kamu lebih cantik kalau kurusan.”

Saya meyakini mama membenci tubuh saya lebih daripada saya membenci tubuh saya sendiri. 

Setelah itu, saya tidak lagi makan untuk memperbaiki suasana hati karena lebih takut menjadi semakin gemuk. Saya merasa jijik dan bersalah setelah makan. Akhirnya, saya sering menenggak obat pencahar usai makan atau memaksa untuk muntah beberapa jam setelah makan. 

Jujur saja, saya menyimpan amarah pada mama karena membuat saya melakukan hal-hal buruk untuk menjadi cantik. Namun, saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkankan beliau. Usai mama berkali-kali mengatakan kalau saya lebih cantik jika kurusan, beliau bercerita ingin melakukan sedot lemak jika punya uang.

Mungkin, mama tidak pernah berpikir bahwa selama ini saya memperhatikan apa yang beliau ucapkan dan lakukan pada tubuhnya sendiri. Mama tidak tahu, diam-diam, saya membuat catatan di dalam kepala. 

Tahun ketiga kuliah merupakan titik terendah. Saya sering berpikir untuk mengakhiri hidup dan melukai diri sendiri dengan menyayat lengan. Akhirnya, saya memutuskan untuk ke psikolog. 

Saat berada pada titik terendah itu, berat badan saya turun drastis. Saya tidak olahraga atau mengatur pola makan. Saya hanya makan sehari sekali. Saya juga semakin banyak merokok. Saat itu, saya berkata kepada diri sendiri, “Nggak apa-apa banyak merokok soalnya jadi males makan.”

Berkat berat badan yang turun, saya mendapatkan banyak pujian. Mama juga mengatakan saya lebih cantik. Teman-teman memuji saya terlihat lebih segar dan sehat karena kurusan. Padahal, yang saya lakukan tidak sehat sama sekali.

Bersyukurnya, saya bisa melewati titik terendah itu dan perlahan-lahan bangkit. Lalu, saya mendapat kesempatan magang di sebuah media online gaya hidup sebagai social media officer. Saya jadi belajar banyak tentang fitness karena harus membantu membuat konten dan mengunggahnya di media sosial.

Oleh sebab itu, saya jadi tergerak untuk menerapkan pola hidup sehat. Saya mulai berolahraga, makan sayur, dan meditasi. Ternyata, melakukan kebiasaan-kebiasaan sehat membuat kondisi kesehatan mental saya membaik. 

Sayangnya, ada satu hal yang mengganjal saat saya membantu membuat konten fitness dan menulis caption-nya. Contohnya tips diet ala (nama selebriti perempuan), saya akan menulis caption-nya seperti ini, “Siapa sih yang nggak pengin punya pinggang kecil dan perut rata kayak (nama selebriti perempuan)? Nah, teman-teman bisa ikutin tips di atas!”

Saya mulai berpikir, kenapa olahraga dan makan makanan bergizi harus didasari keinginan punya tubuh seperti selebriti yang sesuai standar kecantikan? Memangnya sudah pasti yang dilakukan selebriti tersebut sehat? Mengapa perempuan diajarkan olahraga dan makan bergizi untuk meraih standar kecantikan bukan menjadi sehat?

Coba perhatikan betapa seringnya kita melihat judul artikel atau video YouTube seperti, “Mau Paha Ramping dan Bokong Semok? Mari Lakukan Gerakan Ini!”, “Rahasia Diet Selebriti Korea”, “Cara Memiliki Perut Rata dalam 2 Minggu”, dan sebagainya.

Saya perhatikan sejak dulu, industri fitness dipasarkan dengan membawa pesan, “Kamu itu nggak bahagia karena badanmu nggak sesuai standar kecantikan. Solusinya, ya ikut kami dan ubah badanmu. Nanti kamu kamu bakal lebih bahagia.”

Bukankah ketika ditekankan pada cara meraih standar kecantikan, makna fitness bakal melenceng, ya?

Memang tidak mudah mengubah pola pikir yang sudah dilanggengkan sejak lama. Saat mulai menerapkan gaya hidup sehat, saya sempat terobsesi dengan jumlah kalori makanan. Bahkan saya merasa sangat bersalah ketika tidak konsisten mengikuti jadwal olahraga dan menjaga pola makan.

Saya juga sempat mengukur keberhasilan saya pada ukuran baju dan angka timbangan. Saya pikir sudah melakukan hal yang benar karena sudah berhenti menyayat lengan ketika berpikir untuk mengakhiri hidup. Saya menggunakan olahraga sebagai distraksi ketika pikiran-pikiran negatif mulai muncul. 

Suatu hari, saya mengalami serangan panik (panic attack) yaitu, munculnya rasa gelisah berlebihan secara tiba-tiba. Serangan panik itu terjadi pada pukul 1 dini hari. Saya gemetar, jantung berdebar lebih cepat, napas terasa sesak, dan muncul pikiran untuk mengakhiri hidup. Saya yang sudah lama berhenti menyayat lengan, pada malam itu memiliki keinginan kuat untuk melakukannya kembali. 

Sebagai gantinya, saya melakukan HIIT (High Intensity Interval Training) yaitu, latihan kardio dengan intensitas tinggi. Saat melakukan HIIT, paru-paru akan memompa oksigen lebih besar sehingga peredaran darah ke jantung akan lebih cepat. HIIT merupakan olahraga yang dilakukan dalam durasi cepat, tapi gerakannya intens sehingga dapat membakar kalori lebih efektif. 

Saya tidak jadi menyayat lengan saya pada malam itu. Namun dampaknya saya jadi tidak bisa tidur sama sekali. Akhirnya, saya pun tersadar bahwa saya masih belum benar-benar melakukan hal yang baik ke diri sendiri. 

Saya akhirnya sadar bahwa melukai tubuh sendiri sendiri tidak selalu harus dengan cara menyayat bagian-bagian tubuh. Namun, perilaku cemas berlebihan pada penampilan sampai tidak mendengarkan tubuh sendiri juga bentuk lain dari melukai tubuh sendiri. 

Kalimat “If your body could speak, would she forgive you?”, membuat saya memikirkan ulang hubungan buruk antara saya dan tubuh sendiri. 

Saya mendapat ide untuk mengumpamakan tubuh sebagai makhluk hidup yang terpisah dari diri sendiri. Ia bisa bicara dan merasakan. Meskipun terdengar aneh, pikiran ini membuat saya lebih mudah untuk berlaku lembut dengan tubuh sendiri.

Saya jadi terus-menerus berpikir, jika tubuh saya bisa bicara, apa yang akan ia katakan? Bisakah ia memaafkan saya? Apa salah tubuh saya selama ini mendapat perlakuan jahat? 

Langkah kedua yang saya lakukan adalah berhenti mengasosiasikan bentuk tubuh dengan moral. Selama ini saya tumbuh dengan pemikiran bahwa kurus adalah baik dan gemuk adalah buruk. Pemikiran tersebut membuat saya berusaha keras untuk kurus bahkan dengan cara-cara yang tidak sehat. 

Pemikiran baru tersebut tidak hanya saya aplikasikan ke diri sendiri. Saya mencoba berhenti memuji orang lain yang tubuhnya mengurus. Saya tidak benar-benar tahu apa yang orang lakukan pada tubuhnya. Ketika orang-orang memuji saya dulu karena berat badan saya turun drastis, mereka bilang saya terlihat lebih cantik dan sehat. Jika saja bisa memutar balik waktu, saya akan berteriak ke mereka kalau saat itu saya tidak baik-baik saja. Saya sakit. 

Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah berhenti mengasosiasikan makanan dengan moral. Sama seperti bentuk tubuh, makanan seharusnya tidak memiliki nilai baik dan buruk. Lho, bagaimana kalau ngomongin kesehatan? Saya bukan tenaga kesehatan, jadi tidak bisa dijadikan sumber akurat. Namun, sejauh yang saya pahami, semua makanan boleh dimakan dengan moderasi.

Konsep “clean eating” atau makan bersih adalah pemikiran klasisme. Setiap orang sudah seharusnya mendapat akses ke makanan yang bergizi seimbang. Namun, pada kenyataannya clean eating hanya bisa dilakukan orang-orang yang memiliki uang lebih. Istilah ini juga menyiratkan bahwa di luar konsep tersebut makanan yang lain adalah kotor. Hadeh, ini ngomongin makanan atau cucian baju, sih? 

Langkah terakhir adalah melakukan olahraga untuk merayakan betapa hebatnya tubuh saya, bukan dengan tujuan untuk kurus. Dulu aktivitas olahraga adalah hal yang menyebalkan karena saya bertujuan untuk menurunkan berat badan. Pokoknya olahraga apa pun yang penting keringetan ngucur dan bikin capek.

Setelah mencoba berbagai jenis olahraga dan menghilangkan pikiran untuk menguruskan berat badan, ternyata saya jadi menikmati olahraga. Oh ya, sekarang saya bisa angkat galon sendiri hahaha. 

Proses pemulihan tidak mudah dan linear. Ya, bayangkan saja tumbuh besar memiliki ide membenci tubuh sendiri. Kita bertahun-tahun dicekoki ide tersebut, tentu saja proses pulihnya tidak secepat masak Indomie. Jujur saja, saya masih belum sepenuhnya menyayangi tubuh sendiri. Namun, perlahan-lahan saya mencoba lebih lembut dengan tubuh sendiri. Tubuh ini yang membawa saya hidup dan ia tidak berhak menerima perlakuan kasar. Apalagi dari diri saya sendiri.

Tanggung Jawab Tak Terbatas pada “Ayo Menikah!”

Pilihan Kehamilan Tidak direncanakan
Bagaimana aku harus menuliskannya? Aku pun masih belajar untuk mengatakan ini tanpa membuat perempuan yang sedang marah merasa kemarahannya diinvalidasi, atau tanpa membuat siapa saja yang tidak sedang marah menjadi marah karena tidak setuju dengan apa yang ingin kusampaikan. Yah, isi kepala adalah hak masing-masing, kan? Aku ingin memulai dengan permintaan maaf, tapi aku tak merasa perlu meminta maaf atas apa-apa saja yang ada di pikiranku. Seperti yang sebelumnya kukatakan, isi kepala adalah hak masing-masing. Mungkin permintaan maaf diperlukan karena aku menuliskan pemikiranku dan membiarkan tulisan ini sampai pada kalian –yang mungkin sebagian besar tak setuju dengan isinya. Aku tak bermaksud menginvalidasi kemarahan siapapun. Aku tak bermaksud memaksa siapapun mengamini nilai dan apa-apa saja yang kupercaya. Aku menulis karena aku merasa perlu melakukannya.

Tumbuh dalam kultur yang memuliakan pernikahan sebagai sebuah ikatan luhur maupun tujuan akhir dari relasi percintaan bukanlah hal yang mudah, khususnya bagi perempuan. Sebaliknya, itu jauh dari kata mudah. Sejak kecil, aku, atau mungkin kita telah dibiasakan untuk melihat pernikahan hanya dari satu sudut pandang: baik. Mungkin aku terlalu menyederhanakan kata baik itu sendiri, tapi aku tidak lagi dapat menemukan satu kata yang cukup tepat untuk mendeskripsikan makna pernikahan yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat tempat aku –tempat kita– dibesarkan.

Ya, pernikahan adalah sesuatu yang baik, maka semua yang buruk akan menjadi baik dengan pernikahan. Itu adalah konsep berpikir yang terus-menerus ditanamkan dalam kepala kita, dibiarkan mengakar sampai ke alam bawah sadar, lalu lambat laun mengubah kita menjadi salah satu dari mereka. Tentu saja, berikutnya kita akan mewariskan konsep yang sama pada anak, cucu, cicit, anak dari cicit, dan seterusnya. 

Penyederhanaan makna pernikahan pada akhirnya akan memunculkan masalah-masalah baru. Mari kita bicara dalam konteks situasi kehamilan tidak direncanakan, misalnya. Perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan bukannya tidak memiliki pilihan. Tentu saja pilihan itu ada, dan perempuan berhak menentukan pilihan terbaik untuk tubuh dan dirinya tanpa tekanan dari pihak manapun. Pernikahan adalah salah satu pilihan dalam situasi kehamilan tidak direncanakan.

Lainnya, perempuan dapat memutuskan melanjutkan kehamilan tanpa menikah, mengadopsikan anaknya, atau menghentikan kehamilan dengan prosedur aborsi aman. Pertanyaannya, mengapa di antara semua pilihan, hanya pernikahan yang selalu dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban?

Aku sudah sampaikan di awal bahwa kita telah dibiasakan untuk memandang pernikahan sebagai sesuatu yang baik dan yang tidak aku sampaikan di awal adalah bahwa adopsi dan aborsi merupakan tindakan yang memiliki stigmanya masing-masing. Hal itulah yang membuat pernikahan hampir selalu menjadi pilihan dominan, suka atau tidak.

Cara pandang masyarakat terhadap pernikahan membuat pernikahan itu menjadi pilihan yang paling minim stigma ketimbang pilihan-pilihan yang lain, namun tidak lantas membuatnya minim risiko. Alih-alih menyelesaikan masalah terkait kehamilan tidak direncanakan, menikah dengan kondisi tanpa persiapan dan pertimbangan matang justru akan menimbulkan masalah-masalah lain di kemudian hari, mulai dari kesulitan ekonomi hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Apakah risiko-risiko itu sepadan untuk apa yang kita sebut sebagai sebuah tindakan pertanggungjawaban? Aku rasa tidak. Pernikahan yang seperti itu menurutku bukan lagi bentuk tanggung jawab, tapi penghukuman.

Kita perlu mulai membuka diri pada bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang lain dalam situasi kehamilan tidak direncanakan, keluar dari doktrin nenek moyang tentang kemuliaan pernikahan. Adopsi dan aborsi juga merupakan bentuk pertanggungjawaban. Kita harus memperhitungkan peran adopsi dalam mencegah penelantaran anak dan mengurangi kasus gizi buruk pada anak. Sama halnya kita juga harus mempertimbangkan tindakan aborsi aman sebagai upaya penurunan angka kematian ibu dan depresi pospartum serta menekan lonjakan populasi.

Setiap pilihan sama baiknya sebagaimana setiap pilihan punya risikonya masing-masing. Toh, bukankah sebenarnya pertanggungjawaban yang kita lakukan adalah untuk diri sendiri? Maka buatlah keputusan yang terbaik untuk diri kita tanpa perlu merasa bersalah pada siapapun.

Aku percaya semua pilihan baik adanya saat diambil dengan penuh pertimbangan dan kesiapan. Hal terpenting adalah memastikan setiap pilihan yang diambil dalam situasi kehamilan tidak direncanakan diputuskan sendiri oleh perempuan yang mengalami kehamilan, tanpa tekanan dari siapapun. 

Aku sangat paham bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan tentu saja tidak ingin menanggung semuanya sendirian, terutama jika memiliki pasangan. Tapi sekali lagi aku tegaskan, pernikahan bukanlah penyelesaian! Pernikahan bukan satu-satunya cara untuk menagih kontribusi pasangan saat mengalami kehamilan tidak direncanakan.

Sebagaimana perempuan, lelaki yang berada dalam situasi kehamilan tidak direncanakan punya banyak pilihan untuk mendukung keputusan pasangannya. Misalnya dengan menemani dan memberikan dukungan emosional saat pasangan memilih untuk aborsi, atau membantu pengurusan berkas saat pasangan memilih adopsi, bahkan memberikan dukungan finansial saat pasangan memilih melanjutkan kehamilan tanpa menikah. Ada banyak cara, maka jangan jadikan pernikahan sebagai alasan untuk sekadar memberi makan ego kita, apalagi ego orang-orang di sekitar kita.

Sekali lagi, aku tidak bermaksud mengerdilkan pilihan siapapun untuk menikah saat mengalami kehamilan tidak direncanakan. Tentu saja setiap keputusan perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan adalah valid. Lagipula, memang pernikahan seharusnya menjadi salah satu pilihan yang dapat dipertimbangkan, kan? Ya, tidak ada yang salah selama pernikahan tetap menjadi pilihan, bukan tuntutan. Hal yang salah adalah ketika pernikahan tinggal satu-satunya pilihan. Kita bahkan tak dapat menyebut itu sebagai pilihan jika tinggal satu-satunya. Aku ingin tetap percaya bahwa pernikahan bukan satu-satunya bentuk pertanggungjawaban, dan bertanggung jawab tidak sesederhana hanya dengan menikah. Setiap perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan selalu punya pilihan dan tak ada siapa yang boleh menentukan pilihan itu selain dirinya sendiri.

Kolase untuk Aktivisme: Berdaya Bersama Melalui Kolase

Kolase
Kolase untuk saya adalah berdaya, karena saat membuat kolase saya mempercayai kekuatan dan kemampuan jemari serta mata saya, serta ide di dalam kepala untuk membuat sesuatu yang baru dari berbagai materi yang sudah ada sebelumnya. – Ika Vantiani

Eksplorasi hal baru dan mendalami hal-hal yang sebelumnya, secara personal, jarang kita lirik memang menyenangkan. Terlebih karena kita tidak tahu apa bagaimana hasil akhirnya atau bahkan kita tidak tahu apa yang diharapkan. Semuanya penuh kejutan.

Begitu pula dengan proses membuat kolase, atau collage, menurut Ika Vantiani, seorang seniman kolase Indonesia yang menjadi fasilitator workshop membuat kolase untuk teman-teman Samsara dan Nyinga Laha. 

Foto Ika Vantiani, seorang seniman kolase yang aktif dalam isu perempuan

Diseminasi informasi terkait kesehatan reproduksi merupakan salah satu fokus Samsara, terutama untuk memastikan bahwa semua orang mengenali hak mereka, dan orang-orang saling menghormati dan mengenali hak semua orang. 

Semua itu dapat dilakukan dengan berbagai medium yang masing-masing mengandung pesan tersendiri. Salah satunya melalui karya seni. Walau selama ini dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif dan sophisticated, pertemuan kita dengan Ika Vantiani membuktikan bahwa kita hanya membutuhkan jemari-jemari untuk berkarya.

Tidak perlu minder bila kamu tidak punya kemampuan menggambar atau melukis. Kamu dapat memanfaatkan alat dan bahan yang ada di sekitarmu! Tidak punya majalah? Bisa memanfaatkan kertas bekas. Tidak punya kertas? Dapat menggunakan teknik kolase digital.

Berikut beberapa dari hasil kolase teman-teman Samsara:

 

Kolase Sejarah Perempuan

Oleh: Dina

Ini karya kolaseku tentang ketertinggalan sejarah perempuan dalam historiografi Indonesia karena selama ini historiografi Indonesia dipenuhi tema-tema sejarah politik, militer atau sejarah tentang kekuasaan serta keperkasaan, dua hal yang selama ini didominasi oleh laki-laki, ditulis oleh laki laki dan dengan narasi laki-laki.

 

Oleh: D. Purnama

“Mother of Life”.
Aku ingin menceritakan tentang peran bumi dan perempuan yang selaras dan saling terpaut di satu titik sebagai pemberi kehidupan, bahwa keduanya memiliki kesamaan dalam kemampuan menjaga yang bertumbuh dan hidup.

 

Oleh: Raras

Ekspektasi yang tidak realistis dibebankan pada perempuan: kulit dengan complexion yang sempurna tanpa make up, harus oke dalam pekerjaan domestik dan publik sekaligus (sedikit kesalahan, kamu bukan perempuan yang oke), hingga menyoal bau badan. Sering terdapat bercandaan berbau seksis yang membahas mengenai bau vagina hingga kita sering menutupinya dengan parfum yang malah berbahaya bagi kesehatan. Padahal kehadiran bau (yang tidak menyengat) itu normal terutama karena vagina mengeluarkan cairan yang bersifat asam. Selain itu, bau vagina dapat menjadi alarm bagi kita jika terjadi sesuatu terhadap tubuh dan dapat segera mencari solusi medis, bukan diolok-olok. Tidak lucu. Jangan sampai, demi menuntut untuk selalu sempurna kita malah membahayakan kesehatan reproduksi perempuan.

 

Sport Inequality

Oleh: Datan

“Unequal” 

I would tell a story about one of the biggest saga happened in the sport I love, a sad story about denied equal acknowledgement. Even though women are playing football in a more elegant manner and more crowded spectators, football is kept widely identified as male-oriented sports.

 

Perempuan Kolase

Oleh: Sinta

“Aku bukan wanita sempurna but still Crazy, Sexy, Cool”

 

Perkumpulan Samsara is Hiring!

We are committed to achieving workforce diversity and inclusiveness in the workplace. Individuals from minority groups, indigenous groups, LGBTIQA++, and persons with disabilities are equally encouraged to apply. 

Please note that all submitted applications will be treated with the strictest confidence.
The deadline for application submission is Friday, 30 April 2021

 

General Requirements

  • Indonesian citizen.
  • Respect for diversity, self management, and emotional intelligence.
  • Committed to feminist values and the promotion of Sexuality and Reproductive Health & Rights (SRHR) key principles and issues.
  • Awareness and sensitivity regarding gender and reproductive justice issues.
  • A minimum of 2 years professional experience in the related field for Managers position particularly with non-profit organizations. Related training, course, or professional certification is a plus.
  • Possess strong problem solving and practical skills as well as excellent written and verbal communication in English.
  • Facilitates and encourages open communication in the team, communicates effectively.
  • Team player, and facilitates inclusive collaboration and teamwork.
  • Learning and sharing knowledge and encouraging the learning of others.
  • Able to deal with sensitive information with discretion and confidentiality.
  • Tech-savvy and willing to be based in Yogyakarta.

Technical Officer

Main duties and responsibilities:

  • Provide administrative and technical assistance to Project Coordinator i.e. organizing schedule, compiling budget reports, and project coordination; 
  • Support the project implementation by preparing documents, organizing events, and compiling minutes of the meeting; and
  • Provide technical support and assistance to organize facilities and administrative activities that facilitate the smooth running of an office.

Key competencies and skills required:

  • Ability to organize the workload meeting strict deadlines;
  • Exercising sound judgement and results based oriented;
  • Managing performance and resources;
  • Self-starter, well organized with excellent time management skills, and ability to multitask and balance multiple responsibilities; and
  • Experience coordinating and liaising with any agencies both government and non-government, and/or vendors are assets.

Creative Media Manager

Main duties and responsibilities:

  • Design and develop a media strategy as well as monitor and evaluate its implementation;
  • Provide a media analysis by conducting research and producing report;
  • Design and develop strategic planning for content production and promotion, offline and online communication and dissemination material, and any forms of publication; and
  • Provide web and social media analytic report and apply a data-driven approach for decision making;

Key competencies and skills required:

  • Knowledge of major digital platforms and proven experience in strategic social media outreach;
  • Proven ability to develop and implement effective social media campaigns and offline campaigns;
  • Strong editorial judgement, including ethical and political awareness;
  • Good understanding of visual content, including how it can best be produced and shared on social media and with influencers;
  • Strong awareness of digital trends; 
  • Familiar with any analytic tools and media analysis;
  • Proficient in using social media and web-based platforms.

Advocacy Manager

Main duties and responsibilities:

  • Design advocacy strategy and provide monitoring and evaluation of ongoing advocacy works;
  • Compile and draft a policy brief;
  • Organize and facilitate local and national stakeholders meeting; and
  • Coordinate, monitor and strengthen partnership with new and existing networks, community, collective, and joint actions at local, national, regional, and international.

Key competencies and skills required:

  • Sound knowledge of standards on human rights, SRHR, reproductive justice, and related instruments;
  • Excellent communication and public speaking skills;
  • Demonstrated ability to prepare papers, speeches, talking points, briefing notes;
  • Proven practical advocacy skills, analytical and drafting skills for advocacy strategy and policy documents;
  • Ability to conduct high quality research and analysis on advocacy strategy and works; and
  • Ability to establish, build and sustain effective relationships with beneficiaries and partners.

Please note that all applicants for advocacy manager shall upload separate paperwork or portfolio on  samples of Advocacy related works. This document is only mandatory for those who apply for the advocacy manager position.

How to apply:

  1. Prepare your CV/Resume (mandatory) and motivation letter (optional);
  2. For the Managers position (Advocacy and Creative Media), you shall access our online application form at https://s.id/samsaramanager_recruitment  and for the Technical Officer position at https://s.id/samsara_recruitment;
  3. Answer all questions and attach your CV/Resume before submitting your application. Please note that all applicants for the Advocacy manager position must upload their samples of Advocacy related works mandatorily;
  4. Please note that we will not process any applications submitted after the submission deadline. Due to the high number of applicants, only selected candidates will be contacted for an interview invitation;
Should you need any details on this recruitment, please leave a comment or send DM and thank you for your interest in our organization and we wish you all the best in the selection process.

Hari Kartini: Perayaan Kesetaraan atau Glorifikasi Maskulinitas?

Ibu Kartini
Memperingati Hari Kartini tahun ini, bukannya pamer foto pakai kebaya atau menulis caption motivasi yang menggugah untuk menguatkan sesama kawan-kawan perempuan sebagaimana yang sering kulakukan untuk pencitraan. Tahun ini rasanya aku seringkali terbentur pada pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang selama ini aku yakini dan perjuangkan. Apakah aku sudah benar-benar memahami apa itu kesetaraan? Bagaimana cara memperjuangkan dan menginternalisasikannya dalam tindakan sehari-hari mulai dari hal kecil, sebagaimana yang dilakukan oleh Kartini dan perempuan-perempuan pejuang lain pada masanya?

Dimulai dari memaknai kesetaraan, aku bertanya-tanya apa sebenarnya kesetaraan itu? Bagaimana bentuknya? Apakah setara artinya menjadi sama dan sederajat dengan kaum yang selama ini ada di posisi superior dan dominan? Apakah untuk setara harus menjadi superior dan dominan juga? Lantas bagaimana dengan orang-orang yang tak punya kesempatan untuk menjadi superior dan dominan?

Bicara superioritas dan dominasi, sudah merupakan rahasia umum kalau hal ini hanya dapat dicapai jika memiliki privilege, sebagaimana Kartini yang jadi ikon emansipasi dan kesetaraan gender karena ia punya privilege untuk mempromosikan perjuangannya hingga hari ini. Bayangkan jika Kartini bukan keturunan ningrat, buta huruf, tidak punya akses terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana perempuan-perempuan lain pada zamannya, apa ia akan tetap punya pemikiran seperti yang kita kenal hari ini? Bayangkan jika Kartini bukan berjuang untuk pendidikan dan kesejahteraan perempuan, tapi untuk menciptakan ruang aman, memberdayakan janda-janda korban perang, dan melawan balik penjajah seperti yang dilakukan Malahayati bersama pasukan Inong Balee, aku ragu apakah dia akan tetap jadi ikon kesetaraan di Indonesia hingga hari ini.

Aku tidak sedang mengecilkan sosok Kartini dan perjuangannya. Ia sangat layak untuk dikagumi dan dikenang sebagaimana perempuan-perempuan pejuang lainnya juga layak untuk menerima penghormatan yang sama seperti yang kita berikan pada Kartini. Aku sedang mempertanyakan kembali apakah tindakan kita menjadikan Kartini sebagai ikon kesetaraan adalah sebuah bentuk sikap yang didasari kesetaraan? Kartini menurutku jelas tokoh yang superior dan dominan ketimbang banyak pahlawan perempuan lainnya. Aku kembali pada pertanyaanku, apakah menjadi perempuan yang setara dengan lelaki artinya harus menjadi superior dan dominan seperti lelaki dalam standar maskulinitasnya?

Di dunia yang maskulin ini, kita seringkali latah memaknai kesetaraan gender dengan standar-standar maskulinitas. Bahwa untuk setara maka kita harus mampu bersaing dengan lelaki, memiliki kualitas-kualitas yang ditetapkan dalam standar maskulinitas seperti kuat (baik itu secara fisik maupun psikis), mampu mengembangkan kemampuan rasional dan menekan perkembangan emosional, punya karir publik yang baik, menjadi pemimpin, dan lain sebagainya. Kenyataannya, kita tidak sedang belajar menginternalisasikan nilai-nilai kesetaraan, tapi sedang mengonversi standar maskulinitas menjadi standar kesetaraan gender dan memang inilah tujuan dari budaya patriarki: menciptakan dunia yang maskulin dan terus menjaga kelestariannya. Iya, patriarki sudah ber-evolusi sejauh dan sekuat itu!

Sebenarnya, di dunia yang menerapkan standar maskulin ini, untuk menjadi setara perempuan tak perlu ikut-ikutan latah dan berlomba memenuhi standar maskulinitas. Tidak perlu berteriak sangat keras mengatakan kalau perempuan juga bisa memimpin untuk membuktikan perempuan layak disetarakan dengan lelaki. Jadi pemimpin atau tidak, perempuan, lelaki, dan semua gender adalah manusia yang setara. Lagipula setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.

Kalau kita lebih nyaman dengan menjadi emosional, kenapa harus berusaha begitu keras menjadi rasional agar dianggap punya kualitas personal yang baik? Dunia yang setara akan memperlakukan orang yang rasional maupun emosional dengan cara yang sama. Lagipula, bukankah manusia menjadi utuh dan dapat berfungsi dengan baik karena memiliki keduanya?

Karir publik dan domestik sama baiknya selama dilakukan atas dasar pilihan yang bertanggung jawab, bukan paksaan, bukan manipulasi. Memasak dan berdandan tidak lebih buruk daripada menjadi akuntan atau arsitek selama semua pihak diberikan kesempatan dan akses yang sama untuk mengembangkan potensinya. Kita perlu sepakat bahwa tak ada pekerjaan yang mudah. Kalau begitu, apakah masih relevan jika kita memandang satu ranah pekerjaan lebih baik dari ranah yang lain?

Bukan hal mudah memang untuk menggali dan menginternalisasi kesetaraan, itu sebabnya kita terus berjuang. Memang rasanya akan lebih mudah untuk percaya bahwa setara berarti ada di posisi yang sama dengan pihak-pihak superior dan dominan, menjadi bagian dari mereka. Namun bukankah itu sama saja kita mengamini bahwa kesetaraan berarti hanya dapat dimiliki oleh perempuan-perempuan yang memiliki privilege seperti Kartini dan mengabaikan perempuan-perempuan lainnya yang hidup tanpa privilege seperti Malahayati? Itu sama saja mencederai nilai kesetaraan. Alih-alih demikian, mengapa tidak mulai belajar membangun ruang aman tempat perempuan dan semua gender inferior dapat menjadi setara dan bebas menjadi apa yang diinginkan?

Kartini yang menjadi ikon kesetaraan memang tampak sebagai sosok superior dan dominan di antara pahlawan-pahlawan perempuan lain, namun bukan berarti kita harus mengamini bahwa menjadi setara adalah sejajar dengan si superior dan dominan. Bagiku, setara adalah punya kebebasan untuk memilih, punya kesempatan dan akses yang sama, serta tidak ada dominasi atas yang lain. Tidak ada Kartini tanpa Malahayati dan perempuan-perempuan lain yang juga berjuang untuk kebebasan dan kesejahteraan dengan caranya masing-masing. Bayangkan dunia di mana semua orang setara dan bisa berdaya atas dirinya sendiri. Menyenangkan kan?

Endometriosis: Kondisi Kronis yang Jarang Dibicarakan

Perempuan sedang nyeri haid
Endometriosis adalah keadaan reproduksi kronis yang ditandai oleh kehadiran jaringan seperti endometrium (lapisan dinding rahim) di area luar rahim. Endometriosis dimiliki oleh sekitar 10% hingga 15% orang-orang yang terlahir dengan jenis kelamin perempuan dan salah satu gejala yang paling sering adalah nyeri menstruasi atau nyeri haid yang parah. Walaupun begitu, masih sedikit sekali yang mendapatkan diagnosis dan masih belum diketahui penyebabnya. 

Bagi sebagian besar orang yang menstruasi, nyeri yang menyertai periode menstruasi merupakan normal. Solusi yang ditawarkan adalah dengan meminum obat nyeri haid. Bagi beberapa orang dengan endometriosis, nyeri ini bukan masalah yang sepele dan terkadang tidak dapat diatasi dengan obat pereda nyeri. Itulah salah satu dari sekian tanda seseorang memiliki endometriosis. Walaupun 1 dari 10 orang yang memiliki rahim kemungkinan mengidap endometriosis namun karena banyak faktor termasuk misogini, ketimpangan kelas hingga ketidaktahuan terhadap tubuh perempuan menyebabkan banyak kasus tidak dapat didiagnosa dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Perempuan terpaksa menerima keadaannya tanpa mempertanyakan. Cara mengatasinya tidak seperti mengatasi nyeri haid.

Apa itu endometriosis?

Dalam siklus menstruasi yang normal estrogen naik, mempertebal dinding rahim. Ketika tidak terjadi pembuahan, sel dinding rahim akan luruh itulah yang disebut menstruasi. Akan tetapi, bagi orang yang memiliki endometriosis, sel-sel yang mirip dengan endometrium tumbuh di tempat lain yang bukan bagian dalam uterus, seperti di kandung kemih, luar rahim bahkan hingga organ pencernaan. Setiap bulan, sel-sel ini akan memiliki reaksi yang sama dengan endometrium dalam rahim; menumpuk, menebal lalu rusak dan berdarah ketika tidak terjadi pembuahan. Akan tetapi berbeda dengan sel-sel dalam rahim yang akan keluar sebagai darah menstruasi, sel-sel dan darah ini tidak bisa keluar.

Endometriosis dianalogikan sebagai bensin dan hormon (estrogen dan progesteron) sebagai korek api.  Ibarat api dan gas, ketika mereka muncul bersamaan dalam tubuh yang sama akan bereaksi, reaksi tersebut diibaratkan sebagai “ledakan”. 

 

Apa saja reaksi endometriosis?

Gejala endometriosis akan berbeda dan bervariasi bergantung pada masing-masih tubuh dan jangka waktu. Beberapa kasus endometriosis memiliki gejala sementara yang lain tidak. 

Gejalanya dapat meliputi:

Menstruasi yang menyakitkan dan tidak teratur

Perdarahan berat saat menstruasi

Nyeri selama dan setelah berhubungan seks

Nyeri ketika buang air besar

Perubahan perilaku dan mood saat menstruasi

Kelelahan akibat rasa sakit

Beberapa orang mendeskripsikan rasa nyeri tidak sebatas pada “kram” atau nyeri menstruasi yang normal. Bisa terasa seperti luka bakar hingga organ dalam terasa seperti terlilit kawat berduri dan ditikam dengan pecahan kaca. Bergantung pada di mana endometriosis tumbuh, rasa sakit dapat bervariasi seperti sakit pada kandung kemih, nyeri panggul serta rasa ingin sering buang air.

Kondisi ini lama kelamaan, secara progresif menjadi parah. Semakin lama berada di dalam tubuh dan tidak ditangani semakin tinggi risiko kerusakan dan disfungsi organ. Efek sampingnya bisa hingga pada kemandulan (infertilitas) dan keguguran.

Kondisi endometriosis memiliki pengaruh pula terhadap kehidupan sosial seseorang. Seseorang dengan endo menjelaskan bahwa seringkali ia harus membatalkan acaranya dan mengambil cuti sakit yang lebih lama. Semua itu berpengaruh ke kehidupan sosial dan karir. Belum lagi persoalan stigma yang terjadi dalam masyarakat. Kita tahu bahwa terdapat “tugas reproduksi” yang dibebankan bagi perempuan untuk memiliki keturunan dan menjadi seorang ibu. Orang-orang dengan endometriosis sering kali merasakan rasa sakit ketika berhubungan seksual yang akan berpengaruh pada kehidupan sosialnya. Rasa sakit tersebut seiring waktu akan bertambah. 

Bagaimana mencegah dan menyembuhkan endometriosis?

Sayangnya, belum ada penelitian atau bukti ilmiah yang menyatakan secara jelas penyebab terjadinya. Kondisi ini diibaratkan seperti melempar dadu. Akan tetapi, misinformasi yang beredar membuat hal ini sulit untuk dideteksi dan ditangani menyebabkan kualitas hidup orang-orang yang memiliki menjadi buruk. 

Dalam salah satu website kesehatan di Indonesia, disebutkan bahwa pengobatan bergantung pada tingkat rasa sakit dan apakah penderita masih ingin memiliki anak atau tidak. Sedangkan pilihan-pilihan yang tersedia antara lain terapi hormon untuk menghentikan produksi estrogen, operasi dan obat pereda rasa sakit. Masalahnya, pengobatan dan tindak lanjut akan bergantung pada tingkat keparahan. Padahal, kondisi ini adalah kondisi yang berkembang. 

Orang-orang dengan endometriosis mengaku butuh waktu yang sangat lama, hingga satu dekade untuk mendapatkan diagnosis dan tindak lanjut. Bahkan sebagian besar penderita endometriosis tidak mendapatkan diagnosis. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan yang menyepelekan seseorang yang menstruasi dan menganggapnya histeris dan memiliki toleransi yang rendah terhadap rasa sakit. Padahal, kondisi ini termasuk pada masalah medis kronis yang bahkan termasuk dalam 20  kondisi medis paling menyakitkan.

Walaupun 200 juta orang diperkirakan memiliki kondisi ini, namun akibat terdapat tabu reproduksi, orang-orang memilih untuk tidak membicarakan kondisi-kondisi organ reproduksi. Sehingga orang-orang yang membutuhkan penanganan tidak mendapatkan pelayanan berkualitas.

POPULER