Beranda blog Halaman 8

Publikasi Policy Brief

Policy Brief

Implementasi Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Sebagai Pemenuhan Layanan Bagi Korban Kekerasan Seksual di Yogyakarta

Implementation of Government Regulation No.61 of 2014 concerning Reproductive Health as Fulfilment of Services for Sexual Violence Survivors in Yogyakarta

Abstrak: Peraturan mengenai aborsi untuk korban perkosaan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 tentang Kesehatan Reproduksi. Korban perkosaan dapat mengakses aborsi dengan persyaratan tertentu. Namun hal ini menjadi salah satu hambatan dalam implementasi aturan tersebut karena prosedur yang panjang. Hal ini berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap aturan hukum mengenai layanan kesehatan untuk korban perkosaan, khususnya yang mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan. Kami mengidentifikasi aturan, hambatan dan implementasinya dan kami membuat rekomendasi untuk mengatasi hambatan tersebut.

Abstract: Rules regarding abortion for rape survivors have been regulated in Government Regulation No. 61 about Reproductive Health. Rape survivors can access abortion with certain conditions. However, this has become one of the obstacles in implementing the regulation due to the lengthy procedure. This is based on an analysis of the rule of law regarding health services for rape survivors, especially those who have experienced an unplanned pregnancy. We identify the rules, obstacles, and implementation and we make recommendations to overcome these obstacles.

Request a copy

HKSR di Ternate, Bagaimana Peserta SSKR Melihatnya?

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) yang diselengarakan Samsara berlangsung di Ternate, 15 Oktober-10 November 2019. Kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun perspektif dan melatih anak muda untuk menjadi fasilitator Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di daerah mereka masing-masing.

HKSR merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Sedikitnya ada 12 butir HKSR yang dirumuskan oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF), yang mencakupi seksualitas dan kesehatan reproduksi seseorang, yaitu; hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala diskriminasi termasuk kehidupan keluarga dan reproduksinya, hak atas kerahasiaan pribadi, hak untuk kebebasan berpikir, dan hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan.

Enam lainnya adalah, hak untuk memilih bentuk keluarga dan hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, hak untuk memutuskan kapan dan akan punya anak, hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam hal politik, dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.

Didi, salah seorang peserta mengatakan, kehadiran SSKR di Ternate dapat menjadi pemicu penyebarluasan pengetahuan HKSR yang selama ini sedikit diketahui oleh  masyarakat, khususnya, anak muda. Sebab menurut dia, masih banyak hal yang sengaja disembunyikan dengan dalih membahas seksualitas secara terbuka bukan budaya mereka.

“Sehingga berdampak pada banyak kasus seperti, kekerasan seksual, pernikahan usia anak, dan aborsi tidak aman yang jadi fenomena di kota ini,” kata Didi.

Dampak yang disebut Didi, misalnya perkawinan anak. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Maluku Utara, menilai kasus perkawinan anak di Ternate masih tinggi di Maluku Utara.

Tahun 2018 lalu, indeks pembangunan manusia di Maluku Utara mencapai angka 67,76 dengan angka harapan hidup 67,80. Kedua angka tersebut diklaim meningkat tiap tahun. Namun, bagaimana isu HKSR di kota yang terletak dikaki gunung Gamalama ini?

Permasalahan HKSR di Ternate

Menurut Putut Riyatno, Kepala BKKBN Maluku Utara, penyebab tingginya perkawinan anak adalah, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap resiko yang timbul setelahnya, seperti: kematian ibu dan terhentinya studi mereka.

Serupa yang dialami Didi. Wani peserta SSKR, sebelumnya menganggap pembahasan HKSR adalah tabu. “Karena memang dari didikan masyarakat atau dalam lingkup keluarga secara khusus,” katanya.

Sebelum mengikuti SSKR, Wani menganggap bahwa bahasan seksual tidak semestinya dibahas secara terbuka, karena kata dia itu merupakan aib. Seperti misalnya, hak perempuan untuk menentukan kapan menikah atau bahkan tidak menginginkan pernikahan, memiliki anak atau tidak. Seperti di kampungnya, di Desa Laromabati, kecamatan Kayoa Utara, Wani banyak mendengar cerita tentang ibu-ibu yang meski tidak mau lagi melahirkan, dipaksa kembali mengandung anak.

“Karena desakan dan tekanan dari suami, serta lingkungan, maka dengan terpaksa mereka harus hamil lagi kemudian menyusui,” saksinya.

Sementara itu, menurut Putut Riyatno, Kepala BKKBN Maluku Utara, perkawinan anak juga memicu kasus kematian ibu. Pada 2011 lalu jadi puncak Sementara untuk kasus kematian bayi, setidaknya tercatat 124 kasus.

Selain perkawinan anak, Kepala Dinas Kesehatan Maluku Utara Idhar Umar Sidi, mengatakan penyebab tingginya angka kematian bayi di Maluku Utara termasuk Ternate, banyak dipicu karena rendahnya pengetahuan ibu hamil tentang pemenuhan gizi buat bayi saat sedang masa hamil.

Penyebabnya, menurut Idhar, karena buruknya fasilitas infastruktur kesehatan dan minimnya tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan di puskesmas terutama di pulau-pulau kecil.

Melihat itu, Didi yang juga merupakan seorang perawat di Ternate mengatakan, untuk menekan AKI dan kematian bayi pemerintah seharusnya memikirkan kembali kekurangan selama ini atas HKSR di kota Ternate. “Setiap petugas kesehatan seharusnya memiliki persepektif yang sama soal HKSR agar dapat bersinergi dalam mengatasi masalah  yang menjadi fenomena di Ternate,” ungkap Didi.

Cita-cita peserta SSKR

Pada 10 November 2019, SSKR resmi selesai di kota Ternate. Setelahnya para peserta akan melakukan workshop untuk menyebarkan pengetahuan HKSR yang mereka peroleh selama SSKR.

Menurut Didi, HKSR di Ternate, merupakan isu yang harus disebarluaskan, terutama di kalangan generasi muda.  Sebab yang Ia lihat selama ini tidak sesuai harapan.

“Saatnya generasi muda peka dan berbuat sesuatu untuk hak mereka yang terabaikan, yaitu hak mendapatkan akses informasi, hak menentukan pilihan dan masih banyak hak yang ternyata belum didapatkan oleh mereka mengenai HKSR,” ujar Didi.

Sementara Wani, mengaku selepas SSKR pengetahuannya mengenai HKSR bertambah. Karena itu dia ingin membagi pengetahuan itu kepada remaja. Dan, keinginan besarnya adalah saat dia telah menikah dan memiliki anak. Nantinya kata dia, pendidikan seksual akan ia berikan sejak dini ke anak-anaknya.

“Anak-anak saya harus tahu, potongan-potongan tubuh mereka. Mana yang tidak boleh disentuh oleh siapapun tanpa ada consensus, saya mengajarkan anak-anak saya agar tidak menjadi korban dan pelaku pelecehan” tegas Wani. “Semua anak-anak harus tahu, semua orang tanpa terkecuali,” tegasnya.

Tubuh Perempuan dalam Ruang Publik

Foto dari freepik

Di ruang publik, perempuan tidak sepenuhnya memiliki tubuhnya. Ada ‘hal-hal lain’ yang memilikinya. ‘Hal-hal lain’ itu bisa berupa tradisi, agama, politik dan sosial yang berkultur patriarkis serta ekonomi.

Bisa dikatakan, keseharian perempuan di Indonesia adalah keseharian yang tidak sepenuhnya memiliki tubuhnya. Ada banyak fakta dan peristiwa untuk menjelaskan hal ini. Beberapa waktu yang lalu, saat menjadi bintang tamu di acara Q & A Metro TV yang bertajuk ‘Polusi Ruang Publik’, Shandy Aulia mendapat komentar negatif atas pelbagai ekspresi ‘seksi’-nya di media sosial dari salah satu sutradara Indonesia bernama John De Rantau yang juga menjadi panelis dari acara tersebut.

Lengkapnya, John De Rantau menyatakan bahwa Shandy Aulia tidak sepenuhnya dapat menyalahkan orang yang mem-bully dan berkomentar tidak senonoh atas foto-fotonya di media sosial. Komentar tidak senonoh dan bully dinilai sebagai akibat yang sebabnya adalah foto-foto (yang katanya) ‘vulgar’ di media sosial yang tidak mencerminkan budaya ketimuran. Singkatnya, komentar dan bully adalah asap yang meniscayakan keberadaan api terlebih dahulu.

“Saya pernah liat kamu dengan pakaian yang sangat tipis yang memperlihatkan seluruh bentuk lekuk dan aurat kamu. Maaf, seluruh laki-laki nusantara kayak menginginkan kamu […].” terang John kepada Shandy di acara tersebut. Cuplikan video antara John dan Shandy tersebar di media sosial, menjadi viral dan diperbincangkan oleh publik.

Tak hanya John De Rantau yang berpandangan demikian terhadap tubuh perempuan di ruang publik. Di Indonesia, masih banyak, bahkan sangat banyak, orang-orang yang berpandangan laiknya John dan tidak terbatas pada laki-laki saja, tetapi juga pada perempuan. Karena kultur patriarkis dan upaya pendisiplinan terhadap tubuh perempuan tidak terlokalisasi pada satu gender saja.

Demikian pula dengan apa yang terjadi pada Shandy Aulia juga menimpa banyak perempuan Indonesia –dari mulai figur publik seperti Shandy yang memiliki banyak fans dan pengikut hingga perempuan di kampung-kampung. Kita bisa dengan mudah menjumpai di kolom komentar postingan foto perempuan di Instagram kalimat-kalimat seperti ‘lebih cantik jika berhijab’, ‘ingat aurat, tobat mbak, ntar kena azab baru tahu rasa loe’, ‘gilaaa, gede banget melonnya’, dan lain sebagainya. Begitulah netizen dan orang-orang merenggut hak kepemilikan atas tubuh dari perempuan itu sendiri.

Pakaian dan Pendisiplinan Atas Tubuh

Salah satu jalan merampas hak kepemilikan atas tubuh dari perempuan adalah dengan mengatur cara berpakaian; bahwa berpakaian yang longgar dan tertutup itu bagus, sopan dan baik, sedangkan yang ketat dan terbuka itu tidak sopan, buruk dan tercela. Pada upaya mengatur tubuh perempuan lewat pakaian ini, muncul istilah-istilah seperti ‘vulgar’, ‘seksi’, ‘mesum’, ‘ketat’ dan lain sebagainya yang memiliki konotasi negatif di benak masyarakat.

Selain itu, jenis pakaian kerap kali diasosiasikan dengan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan. Kalimat seperti ‘salah siapa berpakaian minim, terbuka dan ketat’ kerap dilontarkan oleh orang-orang saat melihat kasus pelecehan seksual dan atau pemerkosaan yang dialami oleh perempuan. Jenis pakaian yang minim, terbuka, dan ketat dianggap sebagai ‘undangan terbuka’ untuk melakukan pelecehan seksual –entah verbal maupun fisik—dan atau pemerkosaan. Tak ada satu orang pun di dunia ini, baik perempuan maupun laki-laki, berpakaian supaya dirinya diperkosa dan dilecehkan. Sangat konyol, bukan?

Tidak ada hubungan antara jenis pakaian yang dikenakan seseorang dengan kasus pelecehan seksual yang menimpanya. Hal ini dibuktikan dengan observasi yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman yang menunjukkan bahwa pelecehan seksual bukan akibat dari jenis pakaian yang dikenakan. Studi yang melibatkan 62.224 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia ini menyatakan bahwa jenis pakaian yang digunakan korban pelecehan seksual bervariasi dan jauh dari kesan ‘ketat’ dan ‘terbuka’ seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).

Pameran bertajuk What Were You Wearing? Survivor Art Exhibition, yang menampilkan pakaian asli korban kekerasan seksual, diselenggarakan oleh UNESCO pada rentan Oktober – November 2018 juga menampilkan pesan yang sama; bahwa untuk mencegah tindak kekerasan seksual tidak perlu mengubah cara dan jenis pakaian karena keduanya memang tidak memiliki korelasi sebab-akibat. Bukan jenis pakaiannya yang diubah, bukan pula tubuh perempuannya yang didisiplinkan, tetapi kultur patriarkis dan –meminjam istilahnya Shandy Aulia—dirty mind-nya yang diubah, dikritisi dan disalahkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat melekatkan penilaian moral pada jenis pakaian yang dikenakan oleh perempuan secara arbiter dan taken for granted; menganggapnya sebagai keyakinan yang harus terus dipertahankan dan diberlakukan universal. Di samping itu, penilaian moral tersebut tidak berdiri sendiri, ia dikondisikan oleh banyak hal; mulai dari tradisi yang patriarkis, keyakinan agama, struktur sosial-politik yang maskulin dan kepentingan ekonomi (komersial). Melalui pakaian, perempuan dipisahkan dari kepemilikan atas tubuhnya sendiri.

Idealitas Kecantikan

‘Hal lain’ yang juga menjauhkan perempuan dari memiliki tubuhnya sendiri adalah mitos kecantikan; cantik yang ideal. Tubuh perempuan dikondisikan dan dibangun citranya oleh pasar –pasar tubuh perempuan. Bahwa perempuan cantik yang ideal adalah yang bekulit putih dan langsing. Dalam konteksi ini, terdapat komersialisasi atas tubuh perempuan. Sehingga, banyak perempuan berlomba-lomba untuk ‘menjadi putih dan langsing’ dengan pelbagai cara.

Tubuh perempuan ideal dicipta-kondisikan, misalnya, oleh industri klinik kecantikan. Kita bisa melihat pamflet dan reklame klinik kecantikan yang menampilkan sosok perempuan ideal yang putih dan langsing. Dan pasar dapat mencipta-kondisikan tubuh perempuan ideal tersebut –asalkan kau punya duit. Bukan lagi EveryBODY is beautiful, tapi everybody which is white and slim is beautiful.

Alhasil, ruang publik menjadi arena bagi perempuan untuk menyatakan hak kepemilikan atas tubuhnya dengan mendefinisikan dirinya sendiri secara terus menerus, bukan ‘hal-hal lain’ yang memiliki tubuh perempuan dan menyematkan definisi atas apa itu keperempuanan. Definisi keperempuanan dan tubuh perempuan akan selalu bersifat dinamis.

Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi di Ternate

Pada tahun 2018,  dua orang fasilitator program Satelite Workshop (SW) Perkumpulan Samsara berkunjung ke Maluku Utara dan Jayapura, Provinsi Papua. Mereka mengorganisir workshop terkait isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) kepada komunitas, organisasi keagamaan, lembaga dan jaringan lokal hingga lembaga pendidikan. Dalam perjalanannya, fasilitator SW berhasil mengunjungi 45 desa/kelurahan dan bertemu 1,457 orang dimana sebagian besar adalah perempuan.

Dari perjalanan yang telah dilalui,fasilitator menemukan banyak data dan fakta terkait persoalan HKSR di dua wilayah tersebut. Salah satu rekomendasi mereka adalah meningkatkan jumlah dan kapasitas anak muda yang memiliki perspektif HKSR dan dapat menjadi fasilitator serta berkontribusi untuk meminimalisir persoalan HKSR di wilayah mereka.

Oktober 2019, Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) dilaksanakan sebagai bentuk tindak lanjut dari Satelite Workshop dengan menyasar anak muda Ternate dan Jayapura.

“Kami percaya bahwa anak muda dapat menjadi penggerak sosial di desa mereka untuk isu HKSR. Anak muda lokal tentunya dapat lebih memahami konteks budaya serta dapat menyebarkan informasi terkait HKSR khususnya kepada remaja dan perempuan.” kata Sartika Nasmar,  Koordinator Proyek SSKR.

Ia menambahkan, “ Jadi SSKR ini merupakan Pendidikan seksulitas yang komprehensif.”

SSKR Ternate dilaksanakan sejak 19 Oktober sampai 10 November 2019. Ada 18 anak muda yang terdiri dari 12 perempuan dan 6 laki-laki, berhasil menjadi peserta SSKR setelah mengikuti proses seleksi dan bersaing bersama 28 calon peserta lainnya.

Apa yang Menarik dari SSKR?

SSKR dilaksanakan selama satu bulan dengan total13 pertemuan yang dilaksanakan setiap hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Kegiatan ini membahas topik per topik terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi secara detail. Selain itu, SSKR juga menyajikan metodologi pelatihan dengan pendekatan yang ramah, partisipatif dan suportif untuk memungkinkan setiap peserta merasa aman, nyaman dan tidak merasa malu membicarakan seksualitas.

“Saya dapat informasi tentang SSKR dari workshop yang dilakukan Samsara sebelumnya lalu saya mendaftar. Saya merasa senang SSKR hadir di Ternate,” kata Ira, salah satu peserta SSKR.

Ira juga bercerita bahwa informasi yang disediakan oleh SSKR sangat dibutuhkan oleh anak muda di Ternate mengingat informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi sangat terbatas. Menurutnya, kurangnya informasi tersebut mempersempit pengetahuannya soal seksualitas. “Doktrin yang selama ini kami dapatkan bahwa seksualitas itu hanya sebatas hubungan seksual, padahal di SSKR ini kami jadi tahu bahwa cakupan seksualitas itu luas sekali,” jelasnya.

Selain itu, SSKR juga memberikan informasi kepada peserta tentang pentingnya memahami nilai dan prinsip dasar Hak Asasi Manusia khususnya yang berkaitan dengan HKSR. Topik tersebut mengajak peserta memahami nilai-nilai untuk lebih menghargai keberagaman dan sikap penghormatan terhadap keberagaman seksualitas manusia.

Membangun Perspektif HKSR

Stephanie Woro Narriswari, adalah staf edukasi di Perkumpulan Samsara sejak Juli 2019. Menurutnya, perspektif peserta diharapkan dapat terbentuk melalui setiap sesi dan metodologi yang dilakukan dalam SSKR. “Dalam proses SSKR ini peserta bukan hanya belajar memahami materi terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi. Mereka belajar berdiskusi dan mengkontekstualisasikan dengan realita di sekitar mereka. Jadi, secara tidak langsung mereka terbangun kesadarannya untuk berjejaring di tingkat lokal dan mengenali kasus lainnya di Ternate.”

Setiap metodologi SSKR disesuaikan dengan kebutuhan setiap topik dan bervariasi bentuknya. Mulai dari diskusi, roleplay, brainstorming, ice breaking dan lain-lain.

Salah satu peserta SSKR lainnya, Fikram, mengungkapkan bahwa metodologi SSKR dalam membawakan workshop terbilang baru baginya. “ Baru, karena ada berbagai macam metode yang digunakan fasilitator sehingga sebagai peserta saya merasa enjoy dalam penerimaan materi seperti  diskusi santai, bermain kuis.”

Selain itu, menurutnya pemberian materi dengan metodologi tersebut berdampak baik bagi peserta karena tidak ada tekanan secara psikologis.

Sementara itu, Sartika Nasmar mengungkapkan bahwa “ Dalam SSKR, atmosfir yang ingin kami ciptakan adalah kenyamanan bersama saat proses belajar agar setiap peserta mudah memahami setiap materi dan merasa aman ketika membicarakan hal-hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat umum seperti seksualitas, Kami sebisa mungkin menciptakan lingkungan yang setara, non judgmental dan ramah kepada anak muda.”

Impian setelah SSKR

Setelah melewati SSKR, Lila laki-laki kelahiran 22 tahun silam ini memiliki impian  besar terhadap isu HKSR yang masih kurang di Ternate. “ Setelah SSKR, saya berharap semua pemahaman yang saya dapatkan di SSKR itu dapat saya edukasikan kepada orang lain, terutama orang terdekat maupun orang-orang yang masih jauh dari akses HKSR ini,”

Lebih lanjut, ia menjelaskan alasan mengapa ia ingin membagikan pengetahuan yang didapatkan di SSKR.” Seperti yang kita tahu bahwa masih banyak sekali deretan-deretan kasus yang terjadi, seperti perkawinan anak dibawah umur, masih banyak sekali kasus kekerasan seksual, diskriminatif soal orientasi seksual, kasus kematian ibu dan anak. Nah ini adalah deretan kasus yang seharusnya di edukasi, bahwa di dalam kematian satu orang ibu, itu bukan hanya dengan ibunya, tetapi ada empat varian yang harus kita perhatikan yaitu sosial, psikologi, fisik, dan ekonomi. “ tegasnya.

Saat ini, koordinator SSKR memiliki harapan kepada para peserta untuk membagikan ilmu yang mereka dapatkan ke masyarakat.“Saya melihat anak muda di Ternate ini memiliki perspektif terkait isu HKSR dan saya ingin peserta SSKR ini benar-benar jadi Fasilitator serta memilki kesadaran penuh untuk berkontribusi di wilayahnya.”

Gerak 28 September 2019 (September 28th Movement 2019)

Credit Picture : Fitri
Credit Picture : Fitri

Gerak Bersama
Dukung Pilihan Perempuan atas Tubuhnya

Move Together
“Support The Women’s Choice Over Their Bodies”

Bulan September adalah bulan penting bagi gerakan perempuan dimana tuntutan akan kebebasan rahim disuarakan di seluruh dunia sehingga tanggal 28 September dipilih menjadi Hari Aborsi Aman Internasional. Bila menilik konteks Indonesia tentang aborsi, aturan hukum membolehkan dengan pembatasan hanya untuk menyelamatkan nyawa ibu maupun korban perkosaan saja. Pemenuhan aborsi sebagai bagian dari kesehatan seksual dan reproduksi (tema kampanye Global 28 September 2019 : Abortion is Healthcare) semakin menjadi mitos karena aborsi masih tabu dibicarakan.

September was the important month for the women’s movement, which demands for the “free womb” voiced throughout the world, and September 28th chosen as International Safe Abortion Day. In Indonesia context, the rule of law allows abortion but restrictions only to cases of rape and cases of fetal impairment. Fulfillment of abortion as part of sexual and reproductive health (Global campaign theme September 28th, 2019 : Abortion is Healthcare) is increasingly becoming a myth because abortion is still taboo.

Stigma tentang aborsi masih begitu kuat serta budaya patriarki yang masih menyalahkan perempuan dan korban. Bulan September bertepatan pula dengan peristiwa yang masih hangat kita ingat yaitu, penolakan yang meluas dari masyarakat sipil dan mahasiswa terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUKUHP) Indonesia di bulan September ini. Penolakan tersebut berdasarkan banyaknya pasal-pasal bermasalah dalam RUKUHP yang dapat menyasar tiap orang yang tidak bersalah, dan lagi-lagi mengkriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi.

The stigma about abortion still firm and the patriarchal culture still blames victims. This September 2019 also coincides with the widespread protest from civil society and students against Draft of Indonesian Penal Code (RUKUHP). The protest is based on problematic article in RUKHUP that can criminalize an innocent person, and also criminalize women who have abortions.

Berbagai kondisi tersebut menjadikan perempuan Indonesia tidak dapat berdaulat atas tubuhnya. Berangkat dari keprihatinan dan kegelisahan semua jaringan dan individu yang mendukung kedaulatan tubuh dan perempuan maka Gerak 28 September lahir untuk menyuarakan dukungan terhadap pilihan perempuan khususnya di Indonesia. Gerakan ini mendapatkan animo positif dengan banyaknya jaringan yang bergabung dan membuat serangkaian agenda untuk mengupas dan membicarakan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi, pilihan perempuan dan otonomi tubuh. Tentu kami berharap bahwa Gerak 28 September tidak hanya menjadi selebrasi saja, namun juga menjadi gerakan yang meluas untuk dukungan terhadap pilihan perempuan, dan pembebasan rahim dari belenggu.

These conditions make Indonesian women unable to exercise their bodies. With these situation also, September 28th Movement was born and engage the network and individuals who concerns and support the body autonomy and women’s choices. This movement has gained the positive response from the network that joining for this September 28th agenda in Yogyakarta, Indonesia. This agenda focus on explore and discuss about sexual and reproductive health rights, women’s choices and body autonomy. Certainly, we hope this September 28th Movement not just the celebration but also become a broader movement to support women’s choices.

Kamu bisa menyimak rincian kegiatan kami pada 28 September 2019 dalam Newsletter yang kami tautkan. Selain itu, ada Zine yang bisa kamu baca juga. Silakan diunduh:
You can see and download the details of our activities on September 28th, 2019 below :
1. Zine (BAHASA)
2. Newsletter (BAHASA)
3. Newsletter (ENGLISH)

Sampai Jumpa di Gerak 28 September selanjutnya,
Mari Gerak Bersama!

See you on the next September 28th Movement,
Let’s Move Together!

Pendaftaran Peserta Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) di Ternate

Halo, Kawula Muda! Tahu ngga nih, kalau Perkumpulan Samsara akan mengadakan Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR). Tapi, sebelumnya kamu sudah tahu belum apa yang dimaksud dengan SSKR?

Jadi…

SSKR merupakan salah satu program edukasi yang dilakukan oleh Perkumpulan Samsara untuk mempromosikan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) untuk anak muda. Program ini pertama kali dilakukan pada tahun 2010 dengan nama Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR) dimana sebanyak 25 anak muda di Yogyakarta menjadi peserta dan belajar bersama selama dua bulan.

Tahun ini, SSKR akan diselenggarakan kembali dengan konsep, model pendekatan dan wilayah yang berbeda yakni Ternate dan Jayapura. Kedua wilayah tersebut telah menjadi fokus kerja Samsara dalam meningkatkan derajat HKSR setelah dua program lainnya yaitu Satellite Workshop dan Pelatihan Bidan, dilakukan. Melalui kedua program tersebut, tim fasilitator menemukan berbagai persoalan yang berkaitan dari HKSR mulai dari Angka Kematian Ibu, Kehamilan Tidak Direncanakan, aborsi tidak aman hingga perkawinan anak. Berbagai Situasi tersebut terjadi karena minimnya akses, layanan dan informasi terkait HKSR. Informasi yang sangat terbatas tersebut, salah satu dampak dari minimnya kegiatan peningkatan kapasitas terkait HKSR khususnya untuk komunitas/organisasi/jaringan lokal di dua wilayah tersebut .

Apa saja yang akan dibahas?

Berbagai informasi terkait Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi akan dibahas selama SSKR. Beberapa topik tersebut, meliputi:

  1. Konsep dasar seksualitas termasuk definisi dan perbedaan seks, seksualitas, gender, identitas dan ekspresi gender, orientasi seksual, perilaku dan ekspresi seksual serta mitos dan fakta seksualitas.
  2. Kesehatan seksual dan reproduksi akan berbagi informasi terkait anatomi dan fisiologis organ seksual dan reproduksi, Menstrual Hygiene Management (MHM), konsepsi dasar, kontrasepsi, HIV/AIDS, kehamilan tidak direncanakan, dll.
  3. Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi meliputi Hak Asasi Manusia, hak-hak seksual dan hak-hak reproduksi.
  4. Relasi Kuasa dan Seksualitas terdiri dari informasi mengenai hubungan antara seksualitas dan relasi kuasa, ketidakadilan berbasis gender, kekerasan seksual, citra tubuh, relasi sehat serta seksualitas dan disabilitas.
  5. Teknik Fasilitasi menyajikan berbagai informasi terkait pembelajaran orang dewasa, komunikasi efektif, metodologi, menyusun rencana belajar dan praktik fasilitasi.

Kapan dan Di mana?

Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 16 hari dalam satu bulan  di Ternate (Maluku Utara), mulai pada tanggal 19 Oktober hingga 10 November 2019.

Siapa saja yang boleh gabung?

Kamu yang berusia 19 – 25 tahun, aktif dalam komunitas/organisasi/jaringan lokal. Pernah mengikuti workshop, diskusi atau pelatihan terkait HKSR sebelumnya, baik yang dilakukan oleh Samsara ataupun organisasi lain. Dan, kamu yang memiliki: 1) Motivasi menjadi seorang fasilitator, 2) Pandangan positif terhadap isu HKSR, 3) Bekomitmen untuk terlibat aktif menginisiasi dan melaksanakan workshop pasca SSKR.

Kamu banget ngga, nih? Yuk, daftarkan dirimu sebelum tanggal 10 Oktober 2019! Gas, isi form berikut: http://bit.ly/form_sskr

Peserta yang lolos akan diumumkan pada 13 Oktober 2019, ya!

Narahubung panitia

Untuk pertanyaan terkait penyelenggaraan kegiatan dapat menghubungi  :

Sartika Nasmar +62-852-4233-7321

Belajar dari Dara, Bima, dan Dua Garis Birunya

Dara dan Bima
Gambar: Starvision Plus

Dua Garis Biru dengan lugu dan polosnya berhasil menyajikan momen-momen ajaib tentang ketertarikan antara Dara dan Bima, kasih yang tak berjeda, perilaku seksual, dan keputusan-keputusan berat yang harus mereka buat. Film besutan Gina S. Noer ini berhasil mengantarkan saya pada bagaimana rasanya melompati dua fase hidup tanpa persiapan sama sekali. Proses yang a melelahkan untuk dua remaja polos seperti Dara dan Bima. Film ini berhasil menguras energi saya ketika menontonnya.

Sebagai tuntutan dan norma sosial yang berlaku, Bima dan Dara harus mengemban peran yang besar di masa remaja mereka. Bima harus menjadi suami dan bapak pada satu waktu bersamaan, begitu juga Dara. Ia menjadi ibu dan isteri pada satu waktu bersamaan.

Bima dan Dara sama-sama belum siap untuk lakon hidup yang harus mereka terima. Sebagai seorang remaja yang punya mimpi untuk kuliah di Korea, Dara tampak bingung ketidak mengetahui dirinya hamil. Ia belum mengerti perubahan emosi yang dialami seorang perempuan ketika mengandung, termasuk memahami kondisi fisik selama hamil dan melahirkan. Dalam film ini, terlihat bagaimana Dara kemudian mengalami hate-love relationship dengan ibunya sendiri.

Begitu juga Bima. Ia belum mengerti bagaimana rasanya menjadi suami sekaligus bapak. Membanting tulang tiap hari. Namun keduanya, Dara dan Bima, berani untuk mencoba hal-hal baru yang mau tidak mau harus mereka lakukan. Kegetiran saya rasakan pada bagian ini, dimana tanggungjawab ditanggung dengan kepolosan.

Angga Yunanda yang memerankan Bima berhasil menunjukan kepolosan dalam menghadapi permasalahan tanpa dibuat-buat dan berlebihan. Adegan-adegan diam, bengong, dan bingungnya Bima yang sebenarnya lucu tapi getir. Dari titik itu, kita bisa belajar bahwa menertawakan permasalahan orang lain itu tidak lucu.

Gina S. Noer menggarap film ini dengan sangat apik. Ia menawarkan perspektif lain dari permasalahan pernikahan anak dan Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Sepanjang film ini kita disuguhi sudut pandang mereka yang mengalami pernikahan anak dan KTD tanpa menggurui sama sekali.

Selama ini kita terbiasa menghakimi mereka yang mengalami KTD dan pernikahan anak.  Tanpa sedikit pun tahu bagaimana rasanya ada pada posisi itu. Orang tua dari anak yang mengalami KTD juga tidak bisa lepas dari penghakiman tersebut. Dalam film ini ditunjukan bagaimana Ibu dari Dara dan Bima yang terguncang secara emosi. Pengalaman mereka sebagai seorang ibu, harapan-harapan pada anak mereka, semua diadu dalam satu gelombang emosi.

Dara dan Bima adalah contoh pasangan remaja yang berdiri sejajar. Dengan kepolosan mereka, mereka berhasil membuat keputusan-keputusan berat. Bersama-sama. Masing-masing dari mereka tidak menganggap yang lain di depan atau yang lain di belakang. Mereka menghadapi segala sesuatu bersamaan. Sayangnya masyarakat dengan institusinya tidak demikian.

Beban Ganda Perempuan

Film ini dibuka dengan adegan dimana Dara adalah siswa cerdas dengan standar penilaian guru. Sedangkan Bima sebaliknya. Pada adegan awal, nama Dara dipanggil di depan kelas karena nilai ujiannya 100 dan Bima dipanggil di depan kelas karena nilai ujiannya paling buruk dengan nilai 40. Gina, sutradara film ini, memberikan isyarat pada kita sejak awal film. Bahwa perempuan pada akhirnya yang akan menjadi korban dari prasangka masyarakat dengan institusinya, terlepas sebaik apapun prestasi seorang perempuan

Hingga kemudian sekolahan, institusi yang dimiliki negara, mengetahui Dara hamil. Dara mewakili 1,45 juta anak perempuan di Indonesia yang barangkali mendapat perlakuan serupa. Dikeluarkan dari sekolah, dicabut hak atas pendidikannya. Secerdas apapun dan sebesar apapun potensial mereka, pada akhirnya mereka dinilai dari kemampuannya menjadi seorang perempuan yang diharapkan oleh masyarakat.

Data dari UNICEF, sebuah lembaga dibawah PBB yang fokus pada anak, dirilis pada 2017 menyebutkan 14% anak di Indonesia menikah pada usia dibawah 18 tahun. Anak perempuan kemudian yang menanggung beban ganda. Mereka mengurus rumah dan anak, tidak mendapat hak atas pendidikan, hingga pandangan negatif dari masyarakat sekitar. Cita-cita mereka sulit tercapai.

Untung saja Dara lahir dari keluarga kelas menengah ke atas. Meskipun ia dikeluarkan dari sekolah. Ia dengan bantuan keluarganya masih bisa melanjutkan sekolah, bahkan ke luar negeri. Dara bisa mewujudkan cita-citanya.

Namun bagaimana dengan 1,45 juta anak perempuan Indonesia lain. Film ini secara simbolik mempertanyakan itu. Apakah kebijakan kepala sekolah dengan mengeluarkan Dara dan membiarkan Bima, bisa diterima sebagai sebuah kebijaksanaan. Hanya karena Dara perempuan dan Bima laki-laki.

Pada kenyataannya, kebanyakan remaja tidak seperti Dara. Banyak yang berakhir putus sekolah, menikah muda, mengalami kekerasan domestik dan berakhir terjebak dalam kemiskinan. Remaja perempuan ini tidak saja diambil hak nya atas pendidikan, namun juga kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Dara dan Bima adalah contoh remaja yang tidak mendapatkan keadilan. Hak mereka atas informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi telah dibatasi oleh negara. Sekolah tidak memberikan mereka pendidikan tentang tubuh dan kepemilikan tubuh mereka. Dan ketika mereka pada akhirnya mengalami Kehamilan Tidak Direncanakan, mereka harus mengalami stigma dan diskriminasi.

HKSR adalah hak asasi bagi semua individu untuk membuat keputusan mengenai aktivitas seksual dan reproduksi mereka: bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Konklusinya bila akses HKSR terpenuhi, seseorang dapat memiliki pilihan atas aktivitas seksual dan reproduksinya. Apakah, kapan, dan dengan siapa terlibat dalam aktivitas seksual dan memiliki anak. Serta untuk mengakses informasi dan sarana untuk melakukannya.

Hal ini tentu jauh dari keadaan perempuan hari ini. Dua Garis Biru cukup mewakili realitas tersebut. Tidak ada pendidikan seks bagi remaja. Tidak ada akses terhadap HKSR. Perempuan lah yang ujung-ujungnya menanggung dampak lebih berat.

Bagaimana Hidup dengan Trauma Perkosaan di 27 Steps of May

Ada banyak penelitian yang menyebutkan bahwa trauma akibat perkosaan amatlah berat sekali dan dapat mengakibatkan depresi bagi korbannya. Karena traumanya ini, banyak penyintas yang kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Sebagian ada yang sulit bersosialisasi, dan ada yang sampai memutuskan mengakhiri hidupnya.

Sebelum saya menonton “27 Steps of May”, saya tidak dapat membayangkan betapa mengerikannya trauma yang dialami seorang penyintas perkosaan. Sewaktu kecil, salah seorang tetangga saya menjadi korban perkosaan. Hal yang saya tahu dari tetangga lain waktu itu, berlebihan jika penyintas perkosaan tadi harus mendapat terapi psikologis. Korban hanya disarankan untuk meditasi hingga bisa kembali tenang. Sekarang saya paham, bahwa ini adalah bentuk pengabaian. Dan ini terjadi dimana-mana.

Ravi Bharwani berhasil membawa kita semua merasakan bagaimana pedih dan beratnya trauma yang dialami May, seorang penyintas perkosaan yang menjadi tokoh utama di film ini. Ravi berhasil menunjukkan apa yang disampaikan kritikus film Prancis André Bazin, bahwa kekuatan terbesar sinema justru terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya.

Sebelum film usai, sepanjang film penonton disuguhkan keberadaan May yang selalu ditampilkan di dalam kamar. Selepas peristiwa kelam yang dialaminya delapan tahun silam, pribadi May berubah drastis. Ia menarik diri dari kehidupan luar dan hanya menjahit boneka di kamarnya untuk dijual.

Sementara May masih belum menunjukkan perkembangan signifikan. Sang Bapak digambarkan sebagai seseorang yang putus asa, prihatin atas buntunya usaha untuk kesembuhan May. Suasana keluarga yang muram tersebut menyalurkan emosi Sang Bapak ke atas ring tinju. Bertahun-tahun, bogem mentah didaratkan kepada musuhnya. Seolah sebagai katarsis bagi penyesalan dirinya yang tak becus melindungi anak.

Ada juga seorang kurir, teman dari Bapak May. Ia mengerahkan usahanya untuk menjaga harapan Sang Bapak. Ia mendatangkan orang-orang sakti untuk “mentransfer energi positif” di rumah Bapak May. Memandang seakan trauma akibat kekerasan seksual layaknya tulah yang dikirim dari antah-berantah.

Film ini membuat saya lelah secara emosi, seakan saya dapat merasakan betul apa yang dialami oleh May. Ravi Bharwani membuat saya lelah sekali menonton film ini. Ia berhasil membawa bagaimana sesungguhnya realitas psikis yang dialami penyintas perkosaan. Lega sekali rasanya ketika film ini sudah selesai. May berjalan keluar memunggungi rumahnya dengan tersenyum.

Pengabaian Berakibat Fatal

Aktivitas seksual pada dasarnya adalah aktivitas yang sangat kompleks. Ia melibatkan beragam aktivitas, mulai dari psikis hingga fisik. Jika disebutkan ragamnya akan sangat banyak.

Aktivitas yang seharusnya dilakukan dengan penuh suka cita ini akan berubah menjadi beban amat berat bila dilakukan dengan paksaan, apalagi dengan kekerasan. Kita menyebutnya sebagai perkosaan.

Namun masih banyak yang mengabaikan trauma akibat perkosaan. Tidak perlu menjadi penyintas untuk mengetahui bagaimana rasanya mengalami trauma perkosaan. Tidak ada yang berhak menghakimi tingkat trauma yang dialami penyintas perkosaan. Bagaimanapun juga mereka adalah penyintas yang perlu ditemani.

Bagi saya, film ini membuka mata kita bersama bahwa apa yang sedang dipikul penyintas kekerasan seksual amat berat sekali. Delapan tahun May melewati hari-hari yang tidak mudah untuk kemudian bisa melanjutkan hidupnya. Keluar dari rumahnya, bebas dari traumanya.

Ada yang lebih dari delapan tahun, ada yang kurang. Bahkan ada yang tidak kuat, kemudian mengambil jalan lain. Berat sekali memang. Bagi saya, Selama delapan tahun May tengah berdialog tanpa suara dengan dirinya sendiri. Hingga kemudian May memeluk ayahnya penuh cinta sembari berujar “Bukan salah Bapak”. Menggunakan pakaian yang berbeda dari sebelumnya, berwarna hijau teduh.

Film ini mengajarkan kita dengan cara yang berbeda. Melalui sosok Bapak, bahwa bagaimanapun maskulinitas itu memuakkan. Bapak yang merasa lelah dengan kondisi anaknya, melampiaskan kelelahan tersebut dengan memukul balik maskulinitas. Melalui cara maskulinitas itu sendiri bekerja. Pada beberapa pertarungan tinju, Bapak juga merasa menang melawan maskulinitas dengan kekalahannya di ring tinju. Bapak membiarkan dirinya, maskulinitas yang ada padanya, dihajar habis-habisan. Bapak seolah menikmati kejantanannya dibuat tak berdaya.

Melalui tokoh Kurir teman Bapak, kita ditelanjangi dengan sangat polos atas kesalah kaprahan yang selama ini menghinggapi masyarakat kita. Menyamakan trauma berkepanjangan akibat perkosaan dengan kemasukan roh. Sehingga cara yang digunakan untuk menyembuhkannya adalah dengan mengundang “orang pintar”.

Menyedihkan melihat pandangan masyarakat kita melihat penyintas kekerasan seksual. Hal ini lah yang menjadikan beban tambahan bagi mereka, penyintas perkosaan. Bagaimanapun beratnya beban yang menimpa mereka, hanya mereka sendiri yang bisa mengangkat beban tersebut. Kita hanya bisa  memberikan ruang dialog paling nyaman, untuk penyintas berdialog dengan dirinya sendiri.

Pada akhirnya kepada setiap penyintas perkosaan, film ini menunjukkan perjuangan mereka. Bagaimanapun sulitnya, selalu ada harapan dan masa depan.

POPULER