Beranda blog Halaman 9

PKK: Tangan Panjang Orde Baru Mendefinisikan Keperempuanan

Ibuisme
Gambar: Komunitas Bambu

Judul Buku : Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru
Penulis : Julia Suryakusuma
Editor : Uswatul Chabibah & Julia Suryakusuma
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun Terbit : Cetakan pertama, Agustus 2011}
Tebal : xxx + 162 halaman, 14 x 21 cm
ISBN : 979-3731-65-6

Kesalahan berulang-ulang pemerintah dalam sektor pembangunan saya kira adalah menyamaratakan program di desa sesuai dengan kota tanpa memperhatikan kebutuhan desa. Tengoklah program Keluarga Berencana (KB). Di daerah padat penduduk seperti perkotaan, program ini tentu akan sangat bermanfaat untuk menekan jumlah penduduk, yang berdampak pada ketersediaan lahan, pangan, hingga penyerapan tenaga kerja yang maksimal. Tetapi, bagaimana jika program itu diwajibkan di desa, di mana anak justru menjadi tenaga kerja yang penting? 

Pepatah “banyak anak banyak rejeki” mungkin memang sangat berlaku di pedesaan karena banyak tanah yang harus digarap jika tidak dirampas pemilik modal, banyak hasil bumi yang harus dipanen, hingga tersedianya lahan untuk hunian. Di kalangan keluarga kelas menengah bawah yang notabene tidak memiliki modal apapun selain tenaga kerja, anak menjadi sumber “investasi” dan pendapatan yang diharapakan mampu menopang perekonomian keluarga. Selain KB, program PPK di masa Orde Baru menunjukkan betapa tidak relevannya kegiatan yang diusung dengan kebutuhan desa itu sendiri, dengan perempuan kembali menjadi korban.

Priyaisasi dan Ibuisme

Dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Julia menggunakan pendekatan feminisme kritis untuk menelanjangi bagaimana “pemaksaan program” berstandar kota diterapkan di desa Buniwangi, Jawa Barat. Bahkan, lebih jauh lagi, “standarisasi” ala kota lewat program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ini jadi alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru lewat ideologi “ibuisme”. Penelitian yang dikerjakan pada September 1986 s.d. Maret 1988 ini menawarkan tesis bahwa program PKK adalah sarana pemerintah untuk mengontrol keluarga yang merupakan basis satuan ekonomi, biososial, dan ideologis. 

Negara yang sedang giat membangun butuh stabilitas politik maupun ekonomi. Bagi rezim Orde Baru, kedua hal tersebut adalah keharusan agar investasi asing dan “pinjaman modal” dari pihak luar bisa didapatkan. Karenanya, setiap satuan masyarakat termasuk keluarga harus “diawasi” dengan menciptakan struktur yang hierarkis. Meski diklaim sebagai sebuah gerakan yang lazimnya berarti tidak memiliki anggota yang terdaftar selayaknya organisasi, nyatanya PKK memiliki struktur organisasi yang terpusat hingga presiden. 

Menurut Julia, PKK amat bermakna karena memperantarai kekuasaan negara yang bersifat otoriter dan paternalistis lewat berbagai wilayah pengaruh: budaya, ideologi, politik, sosial, hingga ekonomi ke masyarakat desa. Di bidang budaya, misalnya, PKK berusaha menginternalisasikan konsep “priyayisasi” dan “ibuisme”. 

Priyayisasi mewujud dalam penentuan pemimpin PKK lewat status suaminya, meski begitu mereka tidak punya kendali penuh terhadap lembaga tersebut. Rapat-rapat awal PKK di Buniwangi dipimpin oleh Kepala Desa dan Ketua LKMD, sementara istri mereka yang notabene adalah ketua PKK tingkat desa cenderung hanya mengulang apa yang dikatakan suami.

Karena berada di bawah naungan negara, PKK cenderung “melihat” ke atas ketimbang berusaha menyesuaikan program dengan kebutuhan masyarakat. Julia mengkritik program PKK di Buniwangi yang tidak relevan dengan kebutuhan kaum perempuan miskin yang jumlahnya mencapai 83%. Program PKK yang berbasis “ibuisme” menekankan “selera” perempuan kelas menengah kepada mayoritas perempuan miskin desa. Beberapa di antaranya seperti pelajaran mengenai peran wanita menurut agama Islam, berpakaian dalam berbagai suasana, memasak resep baru, Pancasila, hingga psikologi manusia. Lewat program-program tersebut, tercipta standar “perempuan” yang baik, salah satunya ialah yang bekerja di ranah domestik.

Padahal, perempuan miskin di Buniwangi—dan saya pikir di berbagai desa lainnya—memiliki peran yang krusial bagi keluarganya selain sebagai “ibu” dan “istri”. Dalam pembagian kerja misalnya, meski secara konseptual banyak segi kehidupan terbagi dalam sektor “maskulin” dan “feminin”, pada penerapannya dapat menjadi berbeda berdasarkan lapisan sosialnya. Perempuan dari kalangan miskin memikul peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja (buruh tani, penyadap karet, dll.) yang membantu suaminya demi menopang perekonomian keluarga. 

Hal ini berbeda dengan keadaan perempuan di kalangan elit tradisional yang cenderung lebih bergantung pada suami. Perempuan kelas menengah dan elit menghabiskan waktu untuk kegiatan informal, pribadi, dan “tidak produktif”, seperti mengurusi rumah tangga atau kerja-kerja sosial. Jika ada perempuan dari kalangan ini yang memilih bekerja “kasar”, ia justru akan dijadikan bahan gosip. Karenanya, kebanyakan pengurus PKK di Buniwangi adalah istri yang berasal dari kelas menengah tradisional.

Meski dalam hal kemandirian kaum perempuan miskin lebih unggul, tetapi model keluarga kaum kelas menengah dan elit dianggap sebagai keluarga idaman yang harus ditiru. Tak jarang, kaum perempuan miskin desa merasa “malu” untuk datang ke rapat PKK karena tidak memakai baju yang “kebarat-baratan” seperti pemimpinnya, atau karena buta huruf. 

Beban Psikologis Peneliti

Feminisme kritis berarti menolak pendekatan positivisme dalam penelitian. Karena penelitian feminis merupakan alat bagi pembebasan perempuan, narasi besar bahwa penelitian haruslah “bebas nilai”, objektif, netral, hingga tidak memiliki hubungan timbal balik antara subjek dan objek penelitian menjadi tidak relevan. Idealisasi penelitian seperti ini berpotensi menciptakan situasi “skizofrenis” karena tidak sanggup untuk mengungkap berbagai pengalaman ketertindasan perempuan.

Bagi Julia, menerapkan feminisme kritis dalam penelitiannya berarti harus siap dengan realitas lapangan yang “menghantam” emosinya sedemikian rupa. Masuknya struktur negara dalam kehidupan desa terutama dengan perempuan sebagai sasaran utama adalah tema yang cukup subversif untuk dituliskan. Selain itu, proyek penelitian dari Institute of Social Studies (ISS) yang berpusat di Belanda ini membuat Julia mempertanyakan seberapa bermakna penelitiannya bagi sumber penelitian, isu yang diangkat, dan peneliti sendiri? Bagaimana hasil penelitiannya berdampak bagi transformasi pembebasan? Jangan-jangan, ia justru membahayakan para subjek penelitiannya. 

Julia menanggung beban etis sebagai peneliti dan moral sebagai manusia. Keterpaksaannya untuk “berdamai” dan mengikuti arus hierarki politik yang dikritiknya demi melancarkan penelitian membuat saya merasa ditunjukkan bahwa pada situasi tertentu, kita tidak bisa selalu menghindari jerat kuasa yang ditebarkan jika ingin mencapai tujuan—dengan perasaan tidak berdaya menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.

Selain itu, sebagai kelas menengah yang berpendidikan Barat dan meneliti dengan cara Barat, Julia mempertanyakan apakah teori-teori yang dikembangkan dengan konteks Dunia Pertama dapat diterapkan di negara Dunia Ketiga? 

Dunia Ketiga memiliki beban yang lebih berat, entah dalam hal sejarah, kondisi sosial, politik, budaya, hingga perkembangan teknologi. Para peneliti dari negara Dunia Ketiga harus berhadapan dengan etnosentrisme barat. Mereka harus berhati-hati dengan “penjara pikiran” yang diciptakan untuk Dunia Ketiga, sehingga harus meredefinisikan berbagai teori yang dipakai dalam penelitian sesuai konteks negaranya.

Ketidakmampuan kita untuk menantang dan mempertanyakan teori-teori itu berpotensi menimbulkan “kolonialisme akademis”. Dan, Julia menggarisbawahi bahwa hal itu bisa terjadi karena, mungkin, kita terlalu disibukkan dengan argumen-argumen “universal” semacam kelas dan gender. Dalam lingkup feminisme di Indonesia pun, ada semacam kecenderungan “aktualisasi diri” yang kebarat-baratan berarti telah tercerahkan, sementara yang masih “tradisional” berarti belum bebas dari patriarki. Kita tidak mampu membuat definisi “feminisme Indonesia”—bahkan definisi ini masih bermasalah mengingat pengalaman ketertindasan perempuan Jawa akan sangat berbeda dengan perempuan Papua, misalnya.

Pada akhirnya, saya pikir buku ini penting dibaca untuk mempelajari keperkasaan negara maskulin yang “mengontrol” perempuan lewat hirarki dan birokrasi yang ketat. Meski Orde baru telah lama tumbang, ia mewariskan ideologi yang bermasalah namun tak kasat mata ini. Lewat ibuisme, perempuan pada akhirnya tidak bisa dilihat sebagai pribadi yang tunggal, tetapi selalu dilekatkan pada suami, anak, komunitas, bahkan negara dalam fenomena yang dianggap sangat wajar sekalipun, seperti perubahan panggilan terhadap ibu saya. Sejak menikah, ia tidak pernah lagi dipanggil dengan “Ibu Siti” sebagaimana namanya, tetapi menjadi “Ibu Hadi” atau “Mama Fitri”.

Rihanna, Billie Eilish, hingga Emma Watson Menentang Larangan Aborsi, Mengapa?

emma watson aborsi

Dari tahun ke tahun, upaya untuk meloloskan undang-undang yang berpotensi melarang tindakan aborsi hampir selalu ada. Ini terjadi sepanjang waktu di seluruh dunia karena aborsi memang menjadi topik yang senantiasa diperdebatkan. Tetapi, tahun ini ada satu perbedaan utama: upaya yang dilakukan lebih ekstrim dari biasanya. 

Berdasarkan laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Guttmacher Institute, 28 negara dikabarkan sedang mempertimbangkan penerbitan undang-undang yang akan melarang aborsi dengan satu atau lain cara. Yang terbaru, Gubernur Alabama, Kay Ivey bahkan telah menandatangani rancangan undang-undang dimana penyedia layanan kesehatan bisa dikenai hukuman penjara paling lama 99 tahun jika terbukti memberikan layanan aborsi kepada perempuan. Kebijakan ini bahkan berlaku termasuk untuk kasus pemerkosaan atau inces sekalipun. Ini menjadikan Alabama sebagai negara bagian di Amerika Serikat (AS) dengan larangan aborsi paling ketat.

Dilansir dari NBC News, usai penandatangan tersebut ratusan orang dikabarkan turun ke jalan menentang kebijakan yang dianggap telah mencederai Roe v. Wade, putusan Mahkamah Agung tahun 1973 yang melegalkan aborsi di seluruh AS. Menyusul Alabama, negara bagian lainnya seperti Georgia, Indiana, dan Kentucky juga membuat kebijakan yang tidak jauh berbeda: melarang aborsi bagaimanapun caranya. Upaya pelarangan aborsi yang terjadi hampir di seluruh wilayah AS ini kemudian menyulut perlawanan dari berbagai lapisan termasuk para artis Hollywood. Rihanna, pemilik tembang Umbrella pada 16 Mei 2019 mengunggah sebuah foto di akun Twitter miliknya. Foto ini memuat sejumlah politisi AS yang ia sebut sebagai idiot karena telah membuat kebijakan yang bahkan tidak akan pernah mereka rasakan. 

Lihat. Ini adalah orang idiot yang membuat keputusan untuk PEREMPUAN di Amerika,” tulisnya. “Gubernur Kay Ivey… TIDAK TAHU MALU!!!” 

Ada 20 pria kulit putih di dalam foto itu yang sudah pasti tidak akan pernah mengalami aborsi. Namun, kebijakan tersebut justru berasal dari mereka. Selain Rihanna, ada puluhan artis lainnya yang juga berdiri menentang hukum yang membatasi akses aborsi. Dilansir dari Teen Vogue, penyanyi Billie Eilish, juga ikut bicara menentang kebijakan tersebut. Dalam wawancaranya dengan Variety, Billie menyebut kebijakan pembatasan aborsi seperti yang terjadi di Alabama dan Georgia sebagai suatu hal yang tidak dapat dipercaya. Itu membuatnya merasa sangat marah. 

“Perempuan harus bisa berkata, bertindak, dan merasakan, dan menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Tidak boleh ada orang lain yang mendikte mereka harus bagaimana. Kebijakan itu bikin aku marah luar biasa sampai-sampai setiap kali aku mulai bicara tentang itu, aku tidak bisa berhenti. Laki-laki tidak seharusnya membuat keputusan buat perempuan – itu yang mau aku katakan,” terang Billie pada Variety.

Emma Watson yang dikenal berkat perannya sebagai Hermione Granger di film Harry Potter pada 16 Mei 2019 juga menyatakan keberatannya pada kebijakan pembatasan aborsi. Ia mengunggah sebuah foto di akun Instagram miliknya yang memiliki 51 juta pengikut. 

Pekan lalu sebuah RUU yang hampir sepenuhnya melarang aborsi ditandatangani menjadi Undang-Undang di Georgia. Ini menjadi hukum keempat yang berlandaskan ‘heartbeat’ yang disahkan Amerika Serikat sejak tahun lalu- sebuah landasan yang membuat perasaan kita tercabik-cabik,” tulisnya dalam caption.  

RUU yang ada di Georgia sangat tidak masuk akal karena melangkah terlampau jauh hingga ke ranah privat seseorang, mengkriminalisasi tidak hanya penyedia layanan aborsi, tapi juga orang hamil yang melakukan aborsi dan bahkan yang keguguran. Hari ini, Alabama mengeluarkan hukum sendiri yang melarang aborsi sepenuhnya kecuali ketika kesehatan ibu terancam. Kita ingat bagaimana Savita Halappanavar di Irlandia meninggal dengan hukum yang sama.

Emma menggarisbawahi bagaimana orang-orang di Irlandia Utara mencoba bepergian menuju Inggris untuk memperoleh layanan aborsi yang aman dan legal yang justru tidak mereka dapatkan dari tempat asal mereka. Ia melanjutkan, “Undang-Undang ini tidak akan menghentikan perempuan dan orang hamil melakukan aborsi-melakukan yang terbaik bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka, itu cuma berarti kalau mereka mau tak mau harus melakukannya secara tidak aman dan penuh dengan stigma.” 

Aktris yang juga aktivis He For She tersebut menekankan bahwa bagaimanapun juga, dilarang atau tidak, aborsi akan selalu terjadi sepanjang waktu. Kebijakan tersebut menurut Emma tidak akan mampu menghentikan mereka membuat keputusan terbaik bagi diri mereka sendiri dan keluarga. Pembatasan akses terhadap aborsi justru hanya akan memaksa mereka melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman dan penuh dengan stigma.

Rihanna, Billie Eilish, maupun Emma Watson telah menunjukkan dukungannya terhadap gerakan aborsi. Mereka melakukannya karena mereka sadar aborsi telah menjadi bagian hidup seseorang. Itu merupakan keputusan penting karena melanjutkan kehamilan tanpa perencanaan yang matang dapat berdampak pada situasi ekonomi jangka panjang juga kesehatan fisik dan mental. Perempuan punya hak untuk menentukan pilihan yang terbaik bagi hidupnya. Aborsi adalah salah satu pilihan hidup dan oleh karena itu harus legal. 

Undangan Diskusi Bareng Remaja Kulon Progo Soal Sosial Media dan Hak Kesehatan Reproduksi

diskusi kulonprogo

Halo, Kawula Muda Kulon Progo, berapa jam kamu dan remaja seumuranmu menghabiskan waktu untuk instagram-an? Biasanya ngapain aja? Kami, Samsara, organisasi yang fokus pada penyediaan informasi kesehatan seksual dan reproduksi yang ramah remaja mengundang kamu untuk berbagi dan diskusi pengalamanmu bersosial media. Tertarik?

Tapi sebelum itu, mari kita ketahui dulu kenapa kami mengundang kamu untuk bergabung acara ini.

Survei IDN Times 2019 terkait perilaku konsumsi media millennial Indonesia, sebanyak 55 persen mengakses media online, 16 persen mendengarkan radio, 13 persen membaca koran, dan hanya 3 persen yang membaca majalah atau tabloid. Faktanya, selama satu tahun terakhir, lebih dari 10 judul majalah ditutup di Indonesia. Perubahan yang paling dirasa adalah millennial mengakses media secara multi-platform.

Millennial sangat aktif di media sosial, rata-rata mereka memiliki 2 media sosial yang aktif digunakan. Mereka sangat aktif berbagi status maupun mengomentari status orang lain. Beberapa media sosial yang dimiliki dan paling sering digunakan millennial adalah Facebook, Instagram, dan Twitter. Selain itu,  millennial juga aktif dan nyaman mencari informasi di media sosial ataupun mesin pencari terutama terkait informasi yang menurut mereka paling privat, seperti soal menstruasi dan kondom. Rata-rata pencarian perbulan di Google Search terkait kata kunci menstruasi adalah 22.200.

Angka tersebut belum termasuk kata kunci turunan lainnya seperti: menstruasi tidak teratur, menstruasi terlambat, cara menghitung siklus menstruasi, siklus haid dan fase siklus menstruasi. Sedangkan rata-rata pencarian perbulan terkait kata kunci kondom adalah 201.000. Angka tersebut belum termasuk pencarian terpopuler lainnya dengan kata kunci seperti: tips sebelum menggunakan kondom, contoh pakai kondom tetap hamil, contoh kondom bocor, apakah kondom 100 aman dan memakai kondom menurut islam.

Beragamnya kata kunci pencarian memperlihatkan keakraban millennial dalam menggunakan media digital seperti Google. Dari tingginya arus informasi yang diakses dan keakraban millennial dengan media digital, kami bertujuan merancang informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi yang berbasis media digital dan analisis perilaku online millennial. Perancangan dapat dimulai dari menjaring ide-ide langsung dari para millennial dengan metode kelompok diskusi terarah.

Selain itu, juga dengan mendokumentasikan pengalaman-pengalaman dalam mengakses informasi kesehatan seksual dan dan reproduksi. Kelompok diskusi terarah pada periode ini, Samsara bertujuan menggali ide-ide dan pengalaman-pengalaman tersebut dari kalian semua. Untuk itu kami mengharap teman-teman bisa bergabung.

Siapa saja yang boleh gabung?

Bagi remaja dalam rentang usia 17-24 tahun, yang aktif menggunakan media sosial, dan berdomisili di wilayah Kabupaten Kulon Progo dipersilahkan bergabung. Bagi kamu yang punya waktu luang, silahkan mendaftar lewat instagram (@perkumpulan.samsara), Facebook (Samsara) atau WhatsApp (081242727332).

Kapan dan Di mana?

Catat Tanggalnya ya, Sabtu, 11 Mei 2019. Lokasi diskusi akan diinformasikan lebih lanjut via WhatsApp.

Pendaftaran terakhir pada Kamis 9 Mei 2019. Peserta yang terpilih akan diumumkan pada Jum’at 10 Mei 2019.

Jika Misoprostol Tersedia di Indonesia

Ketika melihat brosur online Pelatihan Bidan melalui WhatsApp, Marwa Yustina langsung tertarik. Ia mendaftarkan diri sebagai peserta dan diterima. Sehari sebelum pelatihan, ia berangkat dari Puskesmas Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur. Ia harus naik angkutan umum selama 45 menit menuju Desa Buli dan melanjutkan empat jam perjalanan menuju Kota Sofifi, Pulau Halmahera. Di sana, ia kemudian menggunakan speed boat sekira 45 menit hingga akhirnya tiba di Kota Ternate.  

“Saya mengikuti pelatihan ini karena saya ingin menambah pengetahuan saya terkait Asuhan Pasca Keguguran untuk disosialisasikan kembali di wilayah kerja saya. Menurut saya ini penting, makanya saya tertarik untuk hadir sebagai peserta,” kata Marwa.

Marwa adalah Koordinator Bidan di Puskesmas Wayamli. Ia bertanggung jawab untuk tiga desa di sekitar Puskesmas. Jika umumnya peran utama Bidan adalah melayani tindakan persalinan, Marwa juga bertindak sebagai tenaga promosi kesehatan di wilayahnya. “Di Puskesmas kami kekurangan tenaga promosi kesehatan, sehingga kami juga harus bisa melakukannya tapi ilmu kami juga terbatas,”

Tekad Marwa mengikuti kegiatan Pelatihan Bidan untuk Penatalaksanaan dan  Rujukan Kehamilan Tidak Direncanakan dan Asuhan Pasca Keguguran sangat kuat. Rasa penasaran di awal, berubah menjadi memuaskan. Menurutnya, pelatihan ini berisi informasi baru sekaligus mengingatkan kembali pengetahuan-pengetahuan yang sempat terlupakan semasa kuliah. Salah satu informasi baru yang ia peroleh dari kegiatan ini dan menarik baginya adalah Misoprostol.

Misoprostol Untuk PPH

Misoprostol merupakan analog prostaglandin sintetik yang hingga kini terdaftar sebagai obat pencegahan dan pengobatan tukak lambung di Indonesia. Misoprostol dijual dalam merk dagang bermacam-macam, mulai dari Gastrul, Chromalux, Cytotec, Invitec, Noprostol, Citrosol dan Cytostol. Misoprostol memiliki fungsi yang beragam baik untuk tukak lambung, pencegahan dan penanganan PPH serta fungsi obstetrik lainnya. PPH (Postpartum Haemorrhage) umumnya dikenal sebagai kondisi di mana seorang perempuan kehilangan 500 ml darah atau lebih dalam 24 jam setelah melahirkan. Di Indonesia, istilah PPH biasanya disebut dengan istilah HPP (Haemoragic Post Partum) atau perdarahan paska persalinan dan perdarahan post partum.

PPH merupakan penyebab paling umum kematian ibu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Menurut definisi WHO, kematian ibu (maternal death) adalah kematian yang terjadi selama kehamilan, saat melahirkan dan 42 hari setelah melahirkan, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Di tahun 2015, data Survei Penduduk Antar Sensus menunjukkan penurunan AKI menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup. Sayangnya, Indonesia masih gagal mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) ke-5 untuk menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat dan pasca kehamilan, di mana 75 persen kasusnya disebabkan karena perdarahan, sisanya karena infeksi, tekanan darah tinggi saat kehamilan, komplikasi persalinan dan aborsi tidak aman (WHO, 2014).

PPH primer atau perdarahan postpartum, umumnya disebabkan oleh atonia uteri — kondisi saat uterus gagal berkontraksi. Dalam situasi tersebut, Misoprostol mampu bekerja membantu kontraksi dan menghasilkan perubahan fisiologis yang sama saat rahim mengalami kontraksi sehingga dapat mengurangi perdarahan secara alami.

Pada pelatihan bidan di Ternate dan Sorong, sebagian peserta bidan mengaku pernah menangani kasus atonia uteri dan beberapa kasus tak dapat tertolong. Mereka kehilangan pasien.

“Pernah ada yang meninggal karena atonia uteri di wilayah kerja kami. Saat itu, situasinya sulit di Puskesmas. Kami tidak sempat merujuk dan tidak punya stok darah. Banyak rumah sakit penuh dan tidak bisa dihubungi sementara rumah sakit lainnya sangat jauh,” kata Windy Ika Putri, bidan asal Sorong, Papua Barat.  

Peserta lain asal Desa Moti, Halmahera Selatan, Nuraeni juga bercerita bahwa ia pernah menangani pasien yang mengalami perdarahan karena Retensio Plasenta, adalah suatu kondisi di mana rahim gagal berkontraksi untuk mengeluarkan plasenta. Pasiennya tidak tertolong.

“Ini kasus pertama saya, ketika baru bertugas di kepulauan,” kata Nuraeni.

Ia menghela nafas.

“Pasien saya sudah merasa nyeri sejak siang dan jam 3 subuh sudah mulai lahiran. Bidan dipanggil jam 7 pagi, pasien sudah perdarahan. Akhirnya saya mau paksa melakukan manual plasenta tapi tensinya (tekanan darah – red) di bawah 80. Kita mau rujuk ke Ternate lewat laut paling cepat 1 jam 20 menit. Tapi dari rentang waktu perdarahan dan meskipun sudah usaha memperbaiki keadaan umumnya jadi terpaksa manual saja. Pasien saya mengeluh ulu hati sakit dan selang beberapa lama, dia meninggal.” lanjutnya dengan suara yang pelan dan bergetar.

Saat itu, perasaannya campur aduk. Ia bersedih dan merasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan pasiennya. Ia bertanya-tanya, apakah pasien meninggal karena kesalahan penanganan atau karena hal lain.

Beberapa Bidan lain juga hampir memiliki pengalaman yang sama. Ketika ditanya penyebab kematian ibu yang mereka dapatkan di wilayah kerja, sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri. Meskipun PPH dikenal sebagai komplikasi dalam Kebidanan, namun tidak banyak tenaga medis khususnya bidan mengenal Misoprostol dan fungsinya untuk pencegahan dan penanganan PPH. Bahkan pada tahun 2017, International Federation of Gynecology and Obstetrics  (FIGO) telah mengeluarkan rekomendasi regimen atau dosis Misoprostol untuk kegunaan pencegahan dan penanganan PPH. Akses informasi, wewenang dan kapasitas bidan menjadi tantangan mereka dalam menyelamatkan ibu dan bayi di wilayah pedesaan dan kepulauan.

Misoprostol dan Oksitosin  

Salah satu penanganan umum PPH yang dilakukan para bidan di desa dan pulau di mana infrastruktur, fasilitas dan akses transportasi yang masih minim adalah memberikan Oksitosin yang juga berfungsi untuk memperkuat kontraksi pada rahim, termasuk ketika mengalami atonia uteri. Bahkan WHO merekomendasikan bahwa Oksitosin merupakan salah satu alternatif  untuk penanganan PPH.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi oleh WHO tentang Stabilitas Injeksi Oksitosin di Iklim Tropis: Hasil Studi Lapangan dan Studi Simulasi tentang Ergometrine, Methylergometrine dan Oxytocin menyatakan bahwa stabilitas Oksitosin lebih baik daripada kedua obat tersebut terutama karena tidak memiliki efek buruk dari paparan cahaya dan mungkin akan lebih stabil ketika disimpan dalam gelap dengan atau tanpa pendingin. Ergometrine dan Methylergometrine merupakan obat-obatan yang dianggap berharga dalam pencegahan dan penanganan PPH. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Oksitosin tidak kehilangan potensi atau efektivitasnya setelah 12 bulan dalam lemari pendingin dan 14 % akan menurun setelah satu tahun pada suhu 30 derajat celcius dalam gelap (rata-rata 9-19 %), namun tidak ditemukan efek destabilisasi cahaya.

Meskipun stabilitasnya jauh lebih baik, Oksitosin direkomendasikan disimpan dalam lemari pendingin sebanyak mungkin sebelum disuntikkan. Bahkan semua produk harus diberi keterangan “simpan dalam lemari pendingin”. Periode pendek transportasi saat mendistribusikan Oksitosin tanpa pendingin dapat diterima (tidak melebihi satu bulan pada suhu 30 derajat celcius atau dua minggu pada suhu 40 derajat celcius). Dalam penelitian itu juga menyatakan bahwa fasilitas kesehatan persalinan harus menyimpan Oksitosin dalam lemari pendingin dan hanya boleh diambil ketika akan digunakan. Ketika lemari pendingin tidak tersedia, penyimpanan sementara dapat dilakukan pada suhu 30 derajat celcius untuk jangka waktu tidak lebih dari tiga bulan.

Sebagian besar bidan yang hadir pada pelatihan bidan mengatakan bahwa Oksitosin masih dapat dijangkau di wilayah dan tersedia di fasilitas kesehatan. Di wilayah Ternate, penyimpanan Oksitosin sebagian besar disimpan dalam lemari pendingin. Tapi, berbeda dengan pengalaman bidan di wilayah Sorong, Papua Barat. Sebagian besar bidan di wilayah Sorong khususnya di pulau-pulau terpencil mengatakan bahwa Oksitosin tidak disimpan pada lemari pendingin melainkan lemari biasa bahkan ketika suhu lebih dari 30 derajat celcius.

“Kami simpan dalam lemari biasa saja karena listrik susah. Kendala kami di Papua memang soal listrik,” kata Aminah, salah satu Bidan dari Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. “Kalau kami yang bertugas di Puskesmas yang sudah punya listrik, kami simpan di kulkas tapi bagaimana dengan pustu-pustu yang tidak ada listrik. Biasanya, kita ambil dari dinas lalu disimpan sampai satu tahun di lemari biasa saja selama tidak kadaluarsa untuk kami pakai pada manajemen kala III,” lanjutnya.

Bisa saja, kendala tersebut tidak hanya terjadi di wilayah Papua. Data Kementerian ESDM 2016 dalam artikel berjudul Ribuan Desa Belum Dialiri Listrik oleh Indriyani Astuti menyebutkan bahwa terdapat 12 ribu desa belum teraliri listrik dengan baik, 2.915 desa hidup dalam gelap atau tidak mendapatkan aliran listrik sama sekali dan 9.000 desa lainnya hanya dialiri listrik selama dua hingga tiga jam per hari.

Pada tahun 2014, International Confederation of Midwives (ICM) dan International Federation of Gynecology and Obstetrics  (FIGO), dua organisasi besar perkumpulan para medis mengeluarkan pernyataan bersama bahwa FIGO dan ICM telah berkomitmen untuk meningkatkan akses  ke Misoprostol untuk manajemen PPH, khususnya di wilayah dengan akses terbatas di mana Oksitosin IV sebagian besar tidak tersedia atau tidak memungkinkan untuk diberikan.

Dibandingkan dengan metode lain untuk pencegahan dan penanganan perdarahan pasca persalinan, Misoprostol merupakan tablet yang murah, sederhana, tahan panas,  mudah dikelola, dan tidak membutuhkan penyimpanan khusus. Obat ini bisa dikonsumsi secara oral, rektal atau melalui vagina tanpa membutuhkan injeksi. Juga, dapat diberikan oleh tenaga medis awam dan perempuan hamil, bahkan bisa tersedia di wilayah yang tidak memiliki aliran listrik sekali pun.

Misoprostol untuk Menurunkan AKI

Mari belajar dari Nepal di mana “Pertaruhan dengan Kematian” sering menjadi ancaman bagi perempuan yang mengalami kehamilan di pedesaan. Di sana, fasilitas kesehatan sedikit dan jarang, kadang jalan tak bisa dilewati berbulan-bulan, praktik budaya yang tumbuh kemudian menciptakan jarak pada perawatan profesional. Di Indonesia, kita masih punya banyak wilayah terpencil yang situasinya sama di mana infrastruktur, fasilitas, akses informasi dan layanan terbatas juga praktik-praktik budaya dan ketidakadilan sosial lainnya masih hidup.

Tahun 2014, Indonesia masih memiliki sekitar 20.168 desa tertinggal berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) dengan persentase 27,22 persen dari jumlah total desa yang ada di Indonesia, yakni 74.093 desa. Sebaran desa tertinggal terbanyak berada di Pulau Papua, dengan jumlah mencapai 6.139 desa.

Kembali ke cerita soal Nepal. Pada tahun 2015, hanya ada sedikit negara yang berhasil memenuhi Sasaran Pembangunan Milenium PBB yang kelima untuk mengurangi rasio kematian Ibu, salah satunya adalah Nepal. Meski Misoprostol merupakan obat kontroversial bahkan di negara tersebut, Kementerian Kesehatan menempatkan Misoprostol langsung ke tangan perempuan yang membutuhkan, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pegunungan terpencil yang membutuhkan perjalanan panjang menuju fasilitas kesehatan. Hal ini, menjadi pro dan kontra pada kebijakan medis internasional yang menyatakan bahwa cara terbaik mengurangi kematian ibu adalah dengan cara berinvestasi pada fasilitas kesehatan.

Faktanya, investasi pada fasilitas kesehatan belum tentu menjamin keadilan sosial bagi perempuan. Di wilayah Papua dan Papua Barat, kehadiran Bidan Desa atau bahkan Puskesmas belum tentu menjamin mengangkat derajat kesehatan ibu dan bayi di sana: kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, perkawinan anak, masalah kehamilan dan persalinan (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak dan terlalu dekat), infrastruktur dan juga soal akses layanan masih menjadi masalah.

Lain lagi persoalan tenaga medis. Ketika ditanya, dukungan apa yang tenaga medis butuhkan, Vita, seorang Bidan yang bertugas di Pulau Misool, Raja Ampat, Papua Barat  pun berkata, “Mohon sampaikan kepada pusat, kami butuh lebih banyak alat, keterampilan dan tenaga tambahan untuk bekerja,” Para Bidan lain, banyak bercerita pengalaman mereka dalam menangani PPH. Beberapa pasien selamat dan ada yang tidak bisa diselamatkan. Beberapa meninggal di dalam perjalanan menuju lokasi rujukan. Beberapa juga meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan.   

Nuraeni bahkan tampak terharu ketika mengatakan bahwa Misoprostol baginya adalah “obat dewa” yang bisa menyelamatkan nyawa perempuan khususnya yang berada di wilayah-wilayah terpencil. Itu juga bahkan akan memudahkan kerja-kerja para Bidan sebagai tenaga medis terdepan dalam kesehatan ibu dan anak.  

Sebagai Bidan di wilayah terpencil yang minim fasilitas dan keluhan ibu dan anak yang bervariasi, bagi para Bidan merupakan tantangan. Namun, persoalan lain adalah kapasitas dan informasi yang diperoleh Bidan sangat terbatas. “Sebenarnya, dengan berbagai macam keluhan pasien yang datang ke kami, seharusnya bisa kami tangani. Namun, kemampuan kami juga terbatas. Kadang, kami sedih, seharusnya kami tak perlu “membunuh” pasien jika kami punya banyak pengetahuan dan fasilitas,” keluh Nuraeni.

Kekuatan Pendidikan Perempuan

Seminggu terakhir fokus pengembangan konten sosmed, belum ada insight lebih lanjut.

Mary Wollstonecraft merupakan seorang feminis liberal dan salah satu pelopor pendidikan untuk perempuan yang hidup pada tahun 1759-1799. Pada masanya, posisi sosial dan ekonomi perempuan di Eropa boleh dibilang amat miris, bahkan mengecewakan. Suzzane Hull dalam bukunya Women According to Men: The World of Tudor-Stuart Women pun mengatakan demikian. Perempuan saat itu terlihat, namun tidak didengar. Perempuan bisa berbicara apa yang mereka pikirkan tetapi pikiran dan ide-ide mereka selalu dibentuk dan disetir oleh laki-laki. Perempuan senatiasa dikendalikan orang tuanya dari hari pertama ia dilahirkan sampai hari dia menikah—untuk kemudian peranan ini dilanjutkan oleh sang suami. Tak berhenti di situ, perempuan saat itu dianggap laiknya properti/hak milik yang legal secara hukum bagi sang suami.

Revolusi Prancis-lah (1789) yang membawa popularitas Mary melambung. Revolusi yang disambut oleh banyak aktivis di dataran Eropa. Revolusi Prancis menghadirkan prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan ke relung kesadaran masyarakat. Revolusi membuka babak baru dalam perjuangan melawan aristokrasi dan membangkitkan asa tatanan sosial yang demokratis. Para pendukung revolusi, termasuk Mary, dipandang sebagai sosok subversif yang berbahaya dan dapat dipersekusi sewaktu-waktu. Namun revolusi tak sepenuhnya gemerlap. Ia juga punya gilanya sendiri. Salah satu bentuk kegilaan saat itu ialah adanya ketimpangan hak dan posisi laki-laki dibandingkan hak dan posisi perempuan. Situasi yang demikian diperparah dengan sedikit sekali pemikiran progresif yang berani membahas posisi perempuan di dalam masyarakat saat itu.

Posisi perempuan yang laikya ban serep membuat Mary Wollstonecraft menulis karyanya yang paling fenomenal; A Vindication of the Rights Woman. Sebuah karya yang didasarkan pada premis tentang kebebasan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu kritiknya bertujuan untuk membuka tabir dominasi laki-laki terhadap pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menghidupi sebuah keluarga). Menurut Mary, sebenarnya hingga abad ke-18, pekerjaan produktif telah dilakukan di dan sekitar rumah, baik perempuan maupun laki-laki. Sederhanaya, pekerjaan produktif bukanlah monopoli salah satu pihak. Namun naas, cakar kapitalisme industri telah mencengkram tenaga kerja untuk keluar dari rumah, dan kemudian memasuki ruang publik. Mula-mula arah geraknya perlahan dan tidak teratur, dan meninggalkan dampak bagi perempuan borjuis yang telah menikah. Perempuan dalam kelompok ini harus merasakan tinggal di rumah, dan tidak mempunyai pekerjaan produktif. Hal tersebut adalah efek dari pernikahan mereka dengan golongan aristokrat atau pun pengusaha yang relatif kaya. Walhasil perempuan kelas menengah-atas tidak bekerja secara produktif di luar rumah.

Dengan konteks sosial yang tumpang tindih antara kapitalisme dan ketimpangan yang dialami perempuan. A Vindication of the Rights Woman mungkin lebih sering dianggap sebagai risalah politik murni. Namun seperti Republik karya Plato dan Emile karya J.J. Rousseau, A Vindication of the Rights Woman pun dapat dilihat sebagai risalah politik dan juga pendidikan. Di situ ia melancarkan kritiknya yang keras tentang rasionalitas perempuan. Kritik yang dimaksudkan untuk membantah pandangan pendidikan perempuan yang diajukan oleh Jean-Jacques Rousseau, dalam Emile (1762), yang menyatakan bahwa perempuan haruslah diedukasi terbatas pada dua tujuan: menjadi istri yang baik dan memberikan kebahagiaan pada pria. Rousseau yang menganggap perempuan, lemah, mudah dipengaruhi, dan tidak mampu bernalar secara efektif.

Bagi Mary, seorang perempuan harus cerdas dan itu adalah hak dirinya sendiri. Seorang perempuan tak bisa berangan-angan bahwa suaminya kelak adalah seorang yang cerdas! Perempuan harus berusaha secara mandiri untuk menjadi cerdas melalui pendidikan. Mary menyatakan bahwa pendidikan tidak bertentangan dengan peran perempuan sebagai ibu atau peran perempuan di rumah. Ia percaya bahwa kemajuan, kebebasan, dan kebaikan di dunia hanya dapat dicapai apabila perempuan juga bahagia; bukan hanya pria. Sayangnya, kondisi ini sulit diwujudkan karena perempuan selalu terjebak dalam sebuah stigma berisikan berbagai macam keterbatasan karena ‘ketergantungannya’ pada pria.

Perempuan Harus Mandiri dan Teredukasi

Pada masa Mary hidup, posisi perempuan dalam masyarakat tak lebih sebatas kelompok yang ‘terpaksa’ memperdagangkan kerupawanan dan dengan cerdik memanfaatkannya untuk menarik perhatian pria. Dalam kondisi seperti ini, perempuan yang terhormat, yang ia definisikan sebagai perempuan yang menjauhkan diri dari menggoda pria demi kebahagiaan, namun ia harus menanggung kesulitan hidup paling rumit. Ia mengibaratkan perempuan laksana “burung yang disimpan di dalam sangkar yang tidak mempunyai pekerjaan untuk dilakukan kecuali memamerkan sayapnya, dan ‘berjalan dengan keagungan palsu dari tonggak satu ke tonggak yang lain’.”

Perempuan kelas menengah adalah perempuan ‘peliharaan’ yang telah mengorbankan kesehatan, kebebasan, dan moralitasnya untuk prestise, kenikmatan, dan kekuasaan yang disediakan oleh suaminya. Mereka tidak dibiarkan mengambil keputusan sendiri, mereka tidak mempunyai kebebasan. Dan karena mereka dihambat untuk mengembangkan kemampuan nalarnya—dengan alasan hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah memanjakan diri dan menyenangkan orang lain, terutama laki-laki dan anak-anak—mereka tidak mempunyai moralitas.

Meskipun Mary tidak menggunakan istilah “konstruksi sosial di dalam peranan gender”, ia menyangkal bahwa perempuan secara alamiah cenderung sebagi pemburu dan pemberi kenikmatan bagi laki-laki. Ia berargumen, bahwa jika laki-laki dikurung di dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Laki-laki dengan demikian, akan cenderung bersifat ‘emosional’ jika diabaikan untuk mengembangkan nalarnya secara penuh. Emosional yang dimaksud di sini ialah laki-laki pun akan cenderung ceroboh dalam mengambil keputusan jika setiap hari dikurung di dalam rumah tanpa melakukan hal-hal yang produktif. Rasionalitas adalah titik sentral pemikiran Mary. Rasionalitas yang dimaksud di sini merupakan kemampuan bernalar dan mengambil keputusan sendiri. Baginya, akal budi atau rasionalitaslah yang membentuk dasar hak asasi manusia, karena hanya dengan bernalar manusia dapat memahami kebenaran dan karena itu memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah. Melalui latihan bernalar manusia menjadi agen moral dan politik. Apa yang dilakukan Mary Wollstonecraft ialah memperluas gagasan dasar filosofi era Pencerahan kepada perempuan dan menentang gagasan pendidikan Rousseau yang menyatakan bahwa perempuan adalah sosok lemah, mudah dipengaruhi, dan tidak mampu bernalar secara efisien.

Selain menekankan pentingnya rasionalitas bagi perempuan, Mary juga mengajak para perempuan untuk bisa mandiri. Kemandirian bagi perempuan penting karena hanya dengan hal itulah kebebasan bagi perempuan dapat tercapai. Perempuan dapat menghidupi dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada ‘belas kasihan’ laki-laki. Dengan begitu, perempuan dapat memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi, untuk mencapai titik ini, perempuan semestinya memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan. Rumitnya pada masa itu pendidikan adalah sebuah kemewahan yang teramat sangat bagi kaum perempuan. Stigma yang melekat kuat pada masa itu bahwa perempuan adalah makhluk yang inferior secara intelektual diyakini oleh Mary merupakan akibat dari dibatasinya kesempatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan secara bebas. Ia menyuarakan bahwa kaum perempuan dapat melakukan banyak hal, selaiknya kaum pria, apabila memiliki kesempatan dan pendidikan yang memadai.

Mary menegaskan, jika nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari binatang, maka perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai sifat ini. Karena itu, masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti halnya pada anak laki-laki. Lantas semua orang berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang utuh. Dalam karyanya yang revolusioner ini, Mary juga menjelaskan bahwa kemandirian bagi perempuan pada dasarnya adalah sebuah keuntungan pula bagi kaum pria. Berbekal pendidikan dan kemandirian, perempuan tidak lagi harus memosisikan dirinya sebagai gender yang kelas dua; melainkan setara dan sepadan. Dengan kata lain, dalam pernikahan pun, perempuan dan laki-laki dapat memiliki hubungan yang saling mengasihi dan menghargai satu sama lain.

Berangkat dari berbagai kritiknya terhadap pemosisian perempuan di dalam masyarakat ketika itu, Mary Wollstonecraft menyuarakan tuntutan agar dilakukan reformasi terhadap pendidikan, seperti melakukan peleburan lembaga pendidikan publik dan privat serta pendekatan yang lebih demokratis serta partisipatoris dalam pengelolaan sekolah.

Membebaskan Perempuan dari Standar Ganda

Meskipun Mary Wollstonecraft semasa hidupnya tidak pernah secara literal menyuarakan emansipasi ataupun kesetaraan gender, bukan berarti pemikirannya tidak mengandung nilai-nilai tersebut. Hal itu dikarenakan masih belum dikenal istilah kesetaraan gender dan emansipasi, apalagi istilah feminisme, oleh masyarakat ketika itu. Di samping isu pendidikan, Mary juga mengkritik tajam terhadap adanya standar ganda di dalam masyarakat abad ke-18 dalam memosisikan perempuan dan laki-laki. Salah satu contoh kritiknya adalah bahwa laki-laki semestinya dituntut untuk menghormati kesakralan ikatan pernikahan selaiknya perempuan dituntut untuk melakukan hal yang sama.

Pemikiran-pemikiran Mary Wollstonecraft bisa jadi tidak terdengar revolusioner sama sekali bagi pemikir di abad ke-21, yang mungkin sudah sangat mafhum dengan berbagai isu kesetaraan gender dan emansipasi. Akan tetapi, bagi masyarakat abad ke-18 saat itu, pemikiran Mary merupakan sebuah pemikiran berbahaya yang mengguncang sistem kepercayaan tradisional di mana perempuan adalah lebih kurang ‘komoditas’ yang menjadi objek bagi kaum pria. Pun sebenarnya sebelum Mary Wollstonecraft, pemikiran dengan tema sejenis bukannya belum ada, namun masih sangat terbatas dan hampir tidak pernah didiskusikan sama sekali. Beberapa di antaranya adalah karya sastra Her Protection for Women (1589) oleh Jane Anger serta In Declaration of the Rights of Woman (1791) oleh Olympe de Gouges. Karya-karya ini juga menyuarakan kritik terhadap pemosisian perempuan sebagai makhluk yang inferior dan ditempatkan semata sebagai objek seksual dan kepuasan bagi pria.

Apa yang ingin disuarakan oleh Mary ialah pelurusan pandangan perempuan sebagai personhood—manusia secara utuh. Perempuan bukanlah “mainan laki-laki, atau lonceng milik laki-laki” yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali ia ingin dihibur. Perempuan bukanlah instrumen pemuas kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya, perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Saya jadi ingat perkataan Buddha ketika ia melihat bunga yang indah, ia berkata “jika engkau benar-benar mencintai bunga itu, janganlah engkau petik dan menyimpannya di kamarmu lalu membiarkannya mati. Biarlah ia hidup di taman yang indah itu, agar semua orang dapat melihat keindahannya”.

Di sinilah letak emansipatoris gagasan Mary. Di satu sisi, pada masa itu, pendidikan dirancang sedemikian rupa bagi perempuan untuk sekadar menjadi pemuas bagi pria, sehingga akhirnya, perempuan harus bergantung pada pesona seksualnya agar memeroleh afeksi dan dukungan dari pria. Di sisi lain, perempuan yang enggan mengeksploitasi seksualitasnya demi kemapanan, meskipun lebih terhormat, hidup dalam kesulitan karena sulit memeroleh kemandirian. Prinsip ini akhirnya membentuk postulat “the most respectable women are the most oppressed” yang menjadi salah satu ide feminisme paling populer dan berpengaruh hingga saat ini.

Apa yang dituliskan Mary Wollstonecraft dalam A Vindication of the Rights of Woman mencakup berbagai topik yang masih relevan kondisi perempuan Indonesia saat ini. Misalnya, masih lekatnya stigma di kalangan pejabat negeri ini soal perempuan. Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud menggap hal ini terjadi karena perempuan bertanggung jawab dalam urusan domestik sehingga membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.

Mary juga tidak hanya memperdebatkan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam pendidikan tetapi dia juga menyerukan kesetaraan dalam hukum serta hak mereka untuk perwakilan parlemen. Di Indonesia, pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan masih menafikan hak-hak sipil kaum perempuan. Hukum perpajakan dan warisan misalnya dinilai masih mendiskriminasi perempuan. Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah dan tidak ditegakkan. Menurut survei Women’s Health and Life Experiences pada 2016 silam, satu dari tiga perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Perempuan juga masih menghadapi rintangan hukum dan diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51% pada 2017 silam, keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja masih jauh di bawah rata-rata pria sebesar 80%.

Rendahnya partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja diyakini antara lain disebabkan oleh pernikahan, memiliki anak, pendidikan yang rendah dan perubahan struktur ekonomi di pedesaan yang ditandai dengan melemahnya sektor pertanian sebagai dampak migrasi dari desa ke kota. Saat ini penting bagi kita untuk memastikan bahwa pendidikan dan hukum negara kita saat ini ‘ramah bagi perempuan’. Kita semua harus bersuara untuk kesetaraan gender, terlebih di sector pendidikan. Mary Wollstonecraft sudah mencontohkan dan sampai saat ini ia masih memimpin jalan bagi kaum feminis lewat buku klasiknya yang masih menginspirasi banyak orang hingga saat ini.

Mengabadikan Duka Junko Furuta

Kisah Junko Furuta

Stalin pernah mengatakan, “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian jutaan orang adalah statistik.” Kutipan ini tak lekang oleh waktu: bertahan puluhan tahun berkat relevansinya dengan beragam peristiwa termasuk salah satunya kematian Junko Furuta.

Tentu saja, kematian Junko Furuta adalah tragedi.

Furuta diculik selama 44 hari dan selama itu juga, ia diperkosa bergiliran oleh empat orang pemuda. Ia disiksa sampai mati. Hari-hari setelah penyekapan adalah mimpi buruk baginya.

Berdasarkan catatan dari Crime Library, selama hari-hari penuh kekejaman itu, Furuta disundut dengan rokok, badannya ditimpa dengan timbangan, kemaluannya dimasuki bola lampu panas. Para pelaku bahkan meledakkan petasan di dalam telinga, mulut, dan anusnya. Mereka membuat Furuta kelaparan dengan hanya memberinya kecoa dan memaksanya minum air kencing sendiri. Badannya digantung di langit-langit dan dia diperlakukan seperti samsak: ditinju hingga organ tubuhnya rusak dan mulutnya memuntahkan darah. Yang perlu diingat: itu semua dilakukan sambil mereka bergantian memperkosa Furuta berulang-ulang. Laporan dari persidangan kasus ini mencatat Furuta diperkosa sebanyak 400 kali.

Junko Furuta berusia 17 tahun saat tragedi itu terjadi. Ia salah satu siswa SMA di Prefektur Saitama di Misato, tidak jauh dari jantung kota Tokyo. Furuta nyaris sama seperti siswa lain: muda dan energik, kecuali satu: ia ditaksir oleh seseorang bernama Miyano Hiroshi-pria muda yang dikenal bandel dan punya jaringan dengan Yakuza. Mimpi buruk Furuta dimulai sejak ia menolak bocah ini. Seperti dikutip dari Cultura Colectiva, Furuta diculik oleh Miyano dan tiga kawannya: Minato Nobuharu, Watanabe Yasushi, dan Jo Kamisaku. Ia disekap di rumah Kamisaku dan sempat berusaha melarikan diri meski gagal.

Karena hal ini, kakinya dibakar tetapi Furuta masih bisa bertahan. Beberapa hari kemudian, kematiannya tiba setelah ia dipukul dengan bambu dan tongkat golf, dilempari barbel hingga muntah darah dan akhirnya kejang-kejang. Keempat pelaku sempat mengira bahwa kejang-kejang yang dialami Furuta dibuat-buat sehingga mereka membakarnya lagi. Tetapi, kali ini Furuta tidak mampu bertahan, ia meninggal pada tanggal 5 Januari 1989: tepat pada hari ke-44 ia disekap. Tubuhnya dipendam dalam adonan semen.

Tragedi yang Menimpa Junko Furuta adalah Femisida

Tragedi yang menimpa Junko Furuta tergolong ke dalam femisida. Ia diculik, diperkosa, dianiaya, dan dibunuh karena status gendernya sebagai perempuan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan femisida sebagai tindakan kekerasan baik secara verbal atau non-verbal yang meliputi pelecehan seksual, penyiksaan secara fisik, pemerkosaan, dan yang paling puncak adalah pembunuhan-semata hanya karena korban adalah seorang perempuan. Dalam sistem masyarakat patriarki, perempuan dipandang sebagai sang liyan: gender yang harus selalu berada di bawah kuasa laki-laki.

Pandangan ini mengakibatkan posisi perempuan menjadi lemah dan kerap disepelekan. Pelaku seolah-olah memperoleh pembenaran setiap kali melakukan kekerasan. Ini melahirkan logika di mana jika ada perempuan yang menunjukkan kekuasaan maka ia harus diberi pelajaran. Tindakan Furuta menolak Miyano, seorang pria muda yang punya koneksi kuat dengan jaringan Yakuza tentu meruntuhkan ego maskulinitas bocah lelaki itu. Apa yang kemudian menimpa Furuta setelah itu, seperti dikutip dari Tirto adalah penyiksaan yang tingkat kekejamannya melampaui nalar kemanusiaan-buah dari runtuhnya ego yang dibesarkan dalam masyarakat patriarki.

Junko Furuta yang Abadi

Kasus ini telah berumur 30 tahun tetapi sampai saat ini, tidak sulit mencari kasus yang sama seperti yang menimpa Junko Furuta. Femisida terjadi di seluruh dunia. Argentina,  Republik El Salvador, India, Honduras, dan Meksiko adalah lima negara dengan tingkat kejahatan femisida tertinggi di dunia seperti dikutip dari Elite Daily. Hukum yang berlaku di negara tersebut memang seolah melindungi perempuan. Tetapi stigma, lingkungan yang misoginis, seksisme, dan segala bentuk turunan dari sistem patriarki membuat hukum sulit ditembus dan keadilan bagi para korban seperti cuma omong kosong.

Para pelaku kejahatan terhadap Junko Furuta misalnya, hanya dikenai hukuman paling berat 20 tahun sementara yang paling ringan 7 tahun. Itu berarti saat ini mereka telah bebas. Minato, salah satu pelaku bahkan kembali melakukan tindakan kekerasan dengan menyayat leher seorang karyawan di kota Kawaguchi pada pertengahan Agustus tahun 2018 seperti dikutip dari Tirto.

Kematian Junko Furuta tidak boleh sia-sia. Ia patut diperingati sebagai usaha untuk melawan kejahatan terhadap perempuan, meskipun barangkali itu bentuk dari sekecil-kecilnya perlawanan. Sutradara Hiromu Nakamura mengabadikan kisah tragis Furuta dalam film berjudul Concrete yang rilis pada tahun 2004. Sementara dari negara sendiri, Danilla Riyadi membuat lagu dengan judul Junko Furuta.

Days of a sudden doll who slept with pains
The last powerless crawled in a bloody chains

How could you build revenge while you calmed you heart?
How could you woke you hate while death is the new bed?

IPTEK Ketimbang Seni: Manifesto dan Ajakan Seorang Transpuan Pejuang

Transpuan IPTEK

Aku memang bukanlah yang pertama kali berseru, tapi semoga saja aku bukanlah yang terakhir untuk berseru…

Selaku seorang transpuan yang masih closeted, karena kekhawatiran dan pertentangan keluarga akan bagaimana masa depanku selaku transpuan, tapi anggaplah latar belakang keluargaku termasuk sangat beruntung. Bisa disekolahkan dan diongkosi kuliah Teknik Industri di negeri Abang Sam, di salah satu universitas unggulan di sana, dan lulus.

Aku sadar, kalau latar belakangku itu penuh privilese sosio-ekonomi dibandingkan banyak sekali, kalau bukan kebanyakan teman-teman transpuan lain di Indonesia yang bahkan tidak tamat SD, karena mesti bertahan dari kerasnya hidup akibat tak tahan dirundung, bahkan diusir keluarga, teman dan sekolah.

Saudara-saudara transpuanku, aku tahu dan sadar betul kalau ada jurang yang sangat lebar di antara kita, entah karena latar belakang, suku bangsa, agama, antar golongan. Namun, janganlah jurang itu menjadi dalil untuk kita agar tidak bergandengan tangan dan maju bersama-sama!

Saudara-saudara transpuanku, aku paham akan kenyataan bahwa banyak di antara kita maju bergerak dan bersuara melalui jalur seni. Aku pun ikut menyambut gembira langkah tersebut. Seni memang mestilah berjiwakan kebebasan. Dan kualitas seni itupun beragam, luwes, sebagaimana identitas transpuan kita yang mewakili keberagaman dan keluwesan itu.

Namun begitu, saudara-saudara transpuanku, pernahkah di antara kalian berpikir: bagaimanakah jika kita ikut berjuang dijalur IPTEK?

Aku paham, akan banyak sekali saudara-saudara transpuan sekalian yang berpikir: sebagian besar di antara kita bahkan tidak punya privilese untuk bersekolah tinggi, belajar, bereksperimen, boro-boro bekerja di bidang yang notabene bergengsi itu. Semua gara-gara stigma terhadap kita transpuan.

Iya, aku tahu betul stigma yang kalian maksudkan, sebab akupun juga mengalami dan merasakannya. Tetapi, ketahuilah wahai saudara-saudara transpuanku, bahwa setelah aku menyusuri jalan IPTEK, aku dapat dengan yakin berkata bahwa ibarat dua sisi koin, penguasaan IPTEK adalah sungguh mutlak bagi kemajuan kaum kita (transpuan), bahkan sama pentingnya dengan jalan kesenian yang telah dipilih oleh banyak saudara-saudara transpuan kita. Ya, menguasai IPTEK itu hukumnya penting dan perlu bagi transpuan! Tapi, mengapa penting dan perlu?

Ringkasnya, memang ujung-ujungnya tak jauh-jauh dari persoalan harta, harkat dan martabat bagi kaum transpuan. Namun begitu, ada satu hal yang membedakan jalan IPTEK dengan jalan kesenian: dinamisme itu sendiri!

Ya, memang kesenian dan IPTEK itu sama-sama dinamis. Tapi “dinamisme” di kesenian itu sifatnya sangat relatif, sekalipun luwes. Kesenian itu tidak mengenal benar atau salah. Karena di kesenian, kata “selera” sangat berperan besar. Ada yang suka asin, hijau, ada yang suka biru, manis. Hari ini trennya baju Wakanda, hari esok trennya long dress. Itu sah-sah saja dalam kesenian.

Sementara, perlu kita ketahui, bahwa “dinamisme” di IPTEK itu sifatnya cenderung lebih “absolut”, karena IPTEK selalu bergerak kearah yang satu: lebih maju, efektif, efisien. Karenanya, pengaruh “selera” tidaklah begitu mendapat tempat dalam IPTEK, setidaknya jika dibandingkan dengan didunia kesenian. 1 + 1 = 2.

Karena perbedaan itulah, aku berpikir kalau berjuang dijalur IPTEK akan sedikitnya lebih membawakan rasa kepastian bagi kemajuan kita kaum transpuanDengan kepastian untuk terus maju, kita takkan lebih mudah diombang-ambing angin perubahan. Karena dalam IPTEK, yang kita pegang dan kejar adalah kemajuan. Dan kemajuan tidaklah sama dengan perubahan. Perubahan itu bisa baik bisa buruk, tapi kemajuan hanya mengenal satu kata: ke arah yang lebih baik.

Sampai sini, mungkin ada yang bertanya: ah, bagaimana aku terlibat dalam dunia IPTEK kalau tidak cukup intelek, pandai, atau makmur/sejahtera? Ah, jangan sepesimis itulah, saudara-saudara transpuanku! Isaac Newton yang kita kenal akan hukum fisika klasik dan kalkulusnya pun, dulunya anak yang “biasa-biasa saja” kalau tidak mau dicap “bodoh” disekolah; demikian pula dengan Thomas Alva Edison penemu lampu listrik, yang bahkan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu tolol, tidak dapat mengikuti pelajaran!

Perlu contoh dari kalangan transgender? Saya tahu memang sangat langka. Tetapi, kisah hidup Prof. Lynn Conway (1938-), seorang pensiunan dosen Amerika Serikat yang aktif di bidang ilmu & teknik komputer, melalui proyek DIS & ACS-1 di IBM, setidaknya punya gema yang relatif senada dengan kisah perjuangan saudara-saudara transpuan sekalian. Ketika kecil, Lynn ditinggal ayah, dikekang oleh ibu yang konservatif, menghabiskan masa remaja dengan merasa tersiksa “terperangkap tubuh yang salah”. Ketika kuliah di MIT yang kesohor pun, Lynn muda mesti kucing-kucingan mencuri hormon untuk transisi (walaupun transisinya akhirnya mandeg), didamprat psikiater Harvard Medical School (ingat kualitas Harvard yang mendunia itu?) ketika berkonsultasi hendak menjadi dirinya sendiri, bahkan harus drop out dari MIT, walaupun Lynn akhirnya lulus dari Columbia University, New York. Setelah dewasa, Lynn sempat bekerja di IBM dan berpartisipasi dalam proyek DIS yang legendaris itu, bertransisi, operasi kelamin, bahkan menikah dan memiliki 2 anak. Namun, status transpuannya menyebabkan Lynn dipecat dari IBM dan diceraikan istrinya. Lynn pun sempat luntang-lantung sebelum direkrut Xerox pada 1972, di mana Lynn lalu menemukan “panggung” terbesarnya: Revolusi Mead-Conway dan sistem VLSIIngat, Lynn tumbuh besar disaat “Alan Turing Law” masih berlaku di Amerika Serikat!

Berkaca dari kisah-kisah di atas, wahai saudara-saudara transpuanku sekalian, yakinlah bahwa selama kita memiliki rasa ingintahu yang menggebu untuk memecahkan misteri alam semesta, atau sedikitnya, untuk memecahkan persoalan kerja/sehari-hari menjadi lebih mudah, disanalah IPTEK akan menunjukkan kharismanya.

Mari aku kisahkan sekelumit kisahku: di sekolah, prestasiku pun termasuk “biasa-biasa” saja. Hanya aku ini sangat kepo, ingin menyelesaikan masalah secara instan, tapi ber”gigi”: aman, nyaman, dan berkelanjutan. Maka akupun memilih untuk belajar Teknik Industri, dan karenanya, rasa kepo-ku itu menjadikan aku haus proyek, sehingga aku belajarlah pemrograman Python, R untuk mengolah data, sistem manajemen Toyota Way, Lean Manufacturing, Ekonometri dll. Akupun terlibat proyek riset, dan meskipun saat ini aku tidak bekerja dibidang yang aku pelajari dulu, tapi pegangan disiplin IPTEK itulah yang terus memacuku untuk terus maju, belajar, dan berkarya. Baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku ingin menunjukkan, kalau kita, transpuan bukanlah sampah, bukanlah angin lalu. Tapi kita adalah manusia yang berguna, berdaulat dan mapan! Bahwa kita adalah saksi dan kemajuan peradaban manusia, bukannya parasit maupun penonton!

Saudara-saudara transpuanku, ketahuilah bahwa dunia ini semakin bergerak kencang, dan IPTEK akan terus maju, semakin pesat, dengan atau tanpa kita. Karenanya, meskipun kaum kita masih didera berbagai persoalan hidup yang begitu beratnya, masih maukah kita sama-sama bergandengan tangan mengarungi lautan peradaban yang makin ganas ini? Aku sadar penuh bahwa perjuangan kita takkan mudah, tapi ingatlah, semakin kita terlambat bergandengan tangan dan maju bersama melalui IPTEK, semakin tertinggallah kita oleh kemajuan peradaban, dan semakin muluklah cita-cita kita untuk hidup sejahtera dan bermartabat.

Jadi, masih maukah kita berkelit dan terlelap, bahkan tenggelam, atau maukah kita bergandengan tangan dan maju bersama, menjadi pemenang?

Aku tahu, kalau jauh lebih mudah berucap daripada bertindak, tapi kembali lagi: kalau bukan kita, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi?

(Artikel ini pertama kali terbit di blog Ionna Pavla, IPTEK Ketimbang Seni: Manifesto dan Ajakan Seorang Transpuan Pejuang)

Melihat Bagaimana Stigma Aborsi Bekerja dan Mengapa Itu Harus Segera Diakhiri

sumber: freepik

Stigma aborsi tidak serta merta lahir dari ketiadaan. Ia berkembang seiring waktu bersama dengan budaya masyarakat, kelompok komunitas, pemerintah, dan media massa. Seluruh lapisan ini memiliki perannya masing-masing dalam membentuk stigma terhadap aborsi.

Ipas, sebuah lembaga swadaya masyarakat global yang bergerak di bidang kesehatan seksual dan reproduksi menyebut bahwa selama ini stigma aborsi telah mempermalukan dan membungkam perempuan yang berusaha mencari informasi seputar aborsi, termasuk mengancam mereka yang bekerja di bagian pelayanan kesehatan dan siapa saja yang berkontribusi terhadap aborsi. Akibatnya, banyak perempuan melakukan aborsi secara diam-diam dan itu sangat beresiko mengantarkan mereka pada praktek aborsi tidak aman. Erick Yegon, peneliti dari Ipas Afrika mengatakan bahwa ketakutan akan dilabeli, disalahkan, atau dituntut karena mengupayakan aborsi menyebabkan perempuan mencari informasi secara diam-diam, yang beresiko mengarah pada aborsi tidak aman. Dalam penelitiannya yang berjudul Annals of Tropical Medicine and Public Health, Erick melakukan survei kepada 759 perempuan di Kenya, Afrika  yang menerima layanan kesehatan seputar aborsi di dua kabupaten  — satu berlokasi di wilayah dengan tingkat aborsi tidak aman yang tinggi, sementara yang lain di wilayah dengan tingkat persentase lebih rendah. Hasilnya, perempuan yang menerima layanan di kabupaten dengan tingkat aborsi tidak aman yang tinggi melaporkan bahwa mereka juga memperoleh stigma aborsi yang lebih besar.

 

Ini membuktikan bahwa stigma berhasil membuat banyak orang percaya bahwa aborsi adalah sesuatu yang buruk dan oleh karena itu tidak banyak perempuan yang melakukannya, atau jika pun ada, hanya perempuan yang berperilaku buruk yang mau melakukannya. Menurut Ipas, fenomena ini terjadi hampir di seluruh negara di dunia dan terlepas dari status hukum aborsi di negara tersebut, perempuan lah yang pada akhirnya paling disalahkan jika mereka kedapatan mencari tahu atau melakukan aborsi.

 

International Network for the Reduction of Abortion Discrimination and Stigma atau Inroads menyebutkan bahwa ada lima lapisan di dalam struktur masyarakat yang berperan sangat besar dalam membentuk stigma terhadap aborsi. Mulai dari lapisan yang paling bawah yaitu di tataran individual hingga ke tataran yang paling tinggi yaitu media massa.

  1. Tataran Individual

Perempuan yang tinggal di dalam masyarakat dengan tingkat stigma aborsi yang tinggi cenderung merahasiakan aborsi yang pernah mereka lakukan. Dalam situasi seperti ini, perempuan juga akan memilih untuk melakukan aborsi sendirian. Padahal, ini tidak aman bagi kesehatannya. Selain itu, petugas kesehatan yang melakukan praktek aborsi juga cenderung merahasiakannya. Ini menyebabkan praktek aborsi tidak aman semakin meningkat dan ujung-ujungnya merugikan perempuan baik secara finansial maupun secara medis.

2. Tataran Kelompok Komunitas

Aborsi juga menjadi isu sepanjang waktu di dalam tataran komunitas. Banyak kasus yang menunjukkan, misalnya, sebuah kelompok melakukan demo menolak aborsi atau melaporkan institusi kesehatan yang melakukan praktek aborsi serta perempuan yang melakukan aborsi. Kelompok seperti ini hampir selalu ada di seluruh negara di dunia dan keberadaannya kerap mengancam banyak perempuan.

3. Tataran Institusi

Aborsi seringkali tidak dipandang sebagai salah satu fasilitas kesehatan bagi perempuan. Sehingga banyak institusi kesehatan yang membedakan aborsi dengan fasilitas kesehatan lainnya atau justru ada peraturan dimana petugas pelayanan kesehatan diharuskan melapor ke kantor kepolisian jika ada pasien yang kedapatan melakukan aborsi. Dalam dunia medis, ini sama sekali tidak adil karena seluruh petugas pelayanan kesehatan seharusnya melayani setiap pasien bagaimanapun kondisinya. Stigma aborsi seperti ini juga bisa terjadi di dalam institusi lainnya selain institusi kesehatan, misalnya, jika sebuah institusi perusahaan tiba-tiba memberhentikan karyawan perempuan yang melakukan aborsi dan lain sebagainya.

4. Tataran Pemerintahan Negara

Hukum dan undang-undang negara dapat digunakan untuk melakukan kriminalisasi dan membatasi akses perempuan terhadap aborsi. Adanya perangkat ini akhirnya membentuk sebuah label dimana aborsi dianggap sebagai sesuatu yang buruk karena melanggar hukum dan menciptakan sebuah nilai apapun yang berkaitan dengan aborsi dianggap sebagai tindak kejahatan.

5. Tataran Media Massa dan Budaya

Media massa dan budaya memiliki peran paling besar karena mereka yang nantinya merepresentasikan norma, pandangan, dan lingkungan yang membentuk stigma terhadap aborsi. Representasi ini yang akhirnya mendorong masyarakat memiliki persepsi tersendiri mengenai aborsi. Di dalam negara dengan tingkat stigma aborsi yang tinggi, representasi ini biasanya membingkai perempuan yang melakukan aborsi sebagai perempuan yang tidak baik, yang melawan ibuisme, dan tidak memiliki belas kasih. Ini tentu saja, sebuah pandangan yang salah kaprah, yang terbentuk akibat adanya stigma.

Dampak Stigma Aborsi

Pada akhirnya stigma terhadap aborsi menciptakan sebuah lingkungan dimana apapun yang terkait dengan aborsi perlu dirahasiakan atau bahkan malah dilarang, sehingga perempuan tidak lagi dapat mencari dukungan dan pertolongan karena mereka merasa terancam dan ketakutan. Ini bisa menambah stigma pada diri perempuan itu sendiri  dimana ia merasa malu dan bersalah jika mencari tahu atau melakukan aborsi. Tidak hanya itu, hal ini juga bisa menyebabkan masalah serius pada kesehatan mental seseorang dan kemampuannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Seperti dikutip dari Ipas, berikut adalah beberapa dampak stigma aborsi yang bisa terjadi:

  1. Hukum yang tidak jelas sehingga membuat masyarakat tidak tahu bagaimana legalitas hukum aborsi yang sesungguhnya di negara mereka.
  2. Layanan kesehatan aborsi sangat susah untuk diakses dan cenderung dirahasiakan.
  3. Kurangnya pengetahuan mengenai prosedur dan pilihan aborsi.
  4. Perempuan tidak mau atau tidak dapat mengungkapkan keinginannya untuk aborsi dan ini mendorong mereka mengakses aborsi tidak aman.
  5. Hambatan dalam mengurangi angka kematian ibu. Menurut Ipas, saat ini aborsi tidak aman adalah salah satu penyebab terbesar angka kematian ibu di dunia.
  6. Membahayakan posisi petugas pelayanan kesehatan yang menyediakan fasilitas aborsi, juga dapat menyebabkan hubungan pekerjaan yang tidak harmonis antara penyedia pelayanan aborsi dengan petugas kesehatan lainnya.
  7. Minimnya pelatihan aborsi yang komprehensif bagi petugas pelayanan kesehatan profesional.
  8. Hak perempuan dan hak transgender tidak diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Pada dasarnya, aborsi seharusnya dipandang sebagai bagian dari pelayanan kesehatan dan bukan sebagai suatu tindak kejahatan. Stigma aborsi telah menyumbang banyak sekali kerugian bagi perempuan dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Kita telah melihat bagaimana stigma aborsi bekerja dan bagaimana itu menghancurkan masa depan banyak orang.

Dipublikasi pertama kali: askinna.com

POPULER