Beranda blog Halaman 10

Mengapa Anak Muda Lebih Percaya Google: Tentang Kesehatan Seksual di Internet

sumber: www.deccanchronicle.com

Sebagian besar anak muda lebih percaya internet untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka anggap tabu untuk dibicarakan, termasuk salah satunya adalah informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi. Mereka kemudian memilih alternatif yang paling mudah diakses saat ini: Google, untuk mencari tahu segala sesuatu. Pada tahun 2017 Youth Tech Health (YTH), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Oakland, California melakukan penelitian yang membenarkan kesimpulan ini. Sebanyak 21% dari responden mereka mengatakan bahwa informasi yang ditemukan melalui Google atau mesin pencari lain adalah ‘satu-satunya cara paling efektif untuk belajar tentang seks, seksualitas, dan kesehatan reproduksi.’

Tentu saja, internet bukannya tidak menyediakan sumber informasi yang dapat dipercaya, terlebih yang berkaitan dengan informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Tetapi, daripada informasi yang kredibel, ada lebih banyak sumber di internet yang malah justru bisa menyesatkan pembaca. Ini jadi bumerang. Google dan mesin pencari lainnya memang dapat diandalkan tetapi tidak serta merta dapat dipercaya.

Seperti dikutip dari Healthline, ada beberapa sumber online yang menyediakan informasi akurat mengenai kesehatan seksual serta tidak menghakimi seperti Sex, Etc., Planned Parenthood, Scarleteen, dan Go Ask Alice. Tetapi, perlu diketahui bahwa semua situs tersebut menggunakan bahasa Inggris. Di Indonesia sendiri, situs terkait kesehatan seksual dan reproduksi yang dapat dipercaya masih sangat sedikit, misalnya Angsa Merah Clinic, Samsaranews, Askinna, atau Tabu, yang menyatakan diri sebagai ruang belajar kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak muda Indonesia yang dapat diakses melalui Instagram.  

Meski begitu, kecenderungan anak muda mengakses situs-situs kesehatan yang tidak akurat tidak lagi dapat terelakkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Guttmacher Institute menyatakan bahwa dari 177 situs kesehatan seksual yang mungkin diakses oleh anak muda, 46% memuat informasi yang salah kaprah mengenai kontrasepsi dan 35% menyediakan informasi yang tidak akurat mengenai aborsi. Padahal, kekeliruan informasi seperti itu sangat merugikan. Informasi yang akurat mengenai hal tersebut penting bagi para siswa karena tidak hanya membantu mencegah mereka dari Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) dan penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS), tetapi juga dapat membantu memastikan kesejahteraan mereka.

Dengan banyaknya informasi yang salah kaprah ini, internet seharusnya tidak menjadi satu-satunya rujukan bagi para remaja jika ingin belajar mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Laura Lindberg, salah satu ilmuwan dan pakar kesehatan remaja di Guttmacher Institute mengatakan bahwa tidak masuk akal mengasumsikan remaja dapat menemukan cara mereka sendiri untuk memperoleh informasi yang akurat terkait kesehatan seksual dan reproduksi di internet. Sehingga, pendidikan seksual di sekolah seharusnya tetap menjadi prioritas utama.

“Kamu tidak bisa mengandalkan Google soal kesehatan. Kita perlu memastikan sumber daya lain tersedia bagi remaja,” katanya seperti dikutip dari Healthline.

Kontroversi Pendidikan Seks di Sekolah

Di Indonesia, kebijakan penerapan pendidikan seks di sekolah hampir selalu berujung kontroversi. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan seks bagi remaja justru dapat mendorong mereka melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Padahal, jika pendidikan ini diberikan yang terjadi justru adalah sebaliknya. Seperti dikutip dari Healthline, Guttmacher Institute pada tahun 2012 melakukan penelitian bersama Laura Lindberg dan menemukan fakta bahwa remaja lebih cenderung menunda hubungan seksual pertama mereka jika mereka belajar tentang seks dan pilihan terhadap kontrol kelahiran. Penelitian ini dilakukan kepada hampir lima ribu anak muda di Amerika Serikat dan hasilnya, mereka yang memperoleh pendidikan seks memilih menggunakan kondom saat berhubungan. Sementara itu, di Indonesia sendiri, menurut Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad, mengatakan bahwa pendidikan seksual telah masuk dalam kurikulum di sekolah tetapi materinya hanya pada pendidikan kesehatan reproduksi.

Sebenarnya materi pendidikan kesehatan reproduksi sudah ada di K-13 (kurikulum belajar tahun 2013-red). Sudah lengkap semua, tetapi maunya sebagian masyarakat dieksplisitkan melalui pendidikan seks,” ujar Hamid seperti dikutip dari CNN Indonesia. Menurutnya, pendidikan seksual tidak perlu diterapkan di luar kurikulum selama pihak sekolah mampu mengajarkan materi kesehatan reproduksi sesuai dengan aturan.

Pendapat ini berlawanan dengan guru besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan, yang mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan seks justru perlu diberikan secara mendetail kepada remaja agar mereka tahu bagaimana perilaku seks yang aman serta bahaya apa yang mengancam jika mereka melakukan seks yang tidak aman.

“Masyarakat yang tidak mengerti seks tidak akan tahu bagaimana cara menghindari bahaya penyalahgunaan seks. Begitu juga ABG yang tidak tahu tentang seks, tahu-tahu sudah KTD. Bingung lah dia dan lari ke aborsi ilegal,” jelas Prof. Sarlito, seperti dikutip dari Economica. Ia juga menambahkan bahwa pendidikan seks tidak boleh didasarkan pada kecurigaan akan mendorong anak muda melakukan hubungan seksual sebelum saatnya. Pandangan seperti ini, menurutnya, justru hanya akan melanggengkan stigma bahwa seks adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Terkait hal ini, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Mariana Amiruddin, juga mengatakan hal yang sama. Seks jadi dianggap tabu karena masyarakat Indonesia justru cenderung mengaitkan persoalan ini dengan moral.

“Orang Indonesia tidak mengerti bahwa pendidikan bukan soal kepercayaan, tetapi soal kebenaran yang bisa dibuktikan. Seks itu bukan soal moral. Akan tetapi, diri kita ini sebagai makhluk seksual kita harus tahu fungsinya bagaimana, prakteknya bagaimana, pada usia berapa, tumbuh seperti apa dan bekerja seperti apa,” ujar Mariana seperti dikutip dari Economica.

Pendidikan seks yang komprehensif pada dasarnya tidak hanya mengajarkan para siswa tentang fungsi alat reproduksi tetapi juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai apa itu seks dan seksualitas. Pendidikan ini mencakup informasi yang sangat luas mengenai jenis kelamin, gender, hubungan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, serta lebih banyak lagi. Tentu saja, pada akhirnya pemahaman yang komprehensif dapat mendorong anak muda untuk bersikap lebih toleran kepada sesama manusia dengan berbagai macam keragaman serta kompleksitas gender dan orientasi seksualnya

Kampanye Kesetaraan dalam Film Hollywood?

3 perempuan memegang poster #metoo

Sejak setahun lalu, kita dibuat berpikir ulang untuk mencintai film-film rilisan Hollywood. Kita mungkin akan berpikir ulang untuk mencintai tokoh Lester Burnham yang diperankan Kevin Spacey di film American Beauty (1999). Berpikir ulang untuk menonton Woody Allen memainkan karakter Isaac Davis, yang mencintai remaja perempuan jauh di bawah umurnya, dalam film Manhattan (1979). Atau kita mungkin berpikir dua kali untuk tertawa oleh lelucon tentang seks dari Louis CK dan Bill Cosby.

Di belakang kecanggihan teknologi dan estetika yang ditampilkan, film-film dari negeri Paman Sam menyimpan borok besar. Ada orang-orang bermasalah di belakang Hollywood. Kasus mereka merentang mulai pemerkosaan hingga pelecehan anak. Yang menjadi sorotan utama adalah kasus Harvey Weinstein. Oktober 2017, The New York Times merilis investigasi puluhan tuduhan pelecehan seksual selama puluhan tahun oleh produser besar itu. Setelahnya, pengakuan para bintang top ikut mencuat ke publik.

Tidak ada kompromi lagi sejak saat itu. Pertarungan besar melawan patriarki dan pelecehan seksual telah dilancarkan di Hollywood. Gerakan tagar #Metoo muncul dan kini sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Para aktris turut bersuara menuntut pembayaran gaji yang sama dengan para pemeran laki-laki.

Atmosfir Progresif Film-Film Hollywood

Sebenarnya problem itu sangat kontras dengan atmosfer progresif yang diproyeksikan di layar perak Hollywood akhir-akhir ini. Tokoh utama perempuan dalam film animasi tidak lagi terbatas pada putri-putri Disney yang sedang menunggu pangeran. Putri-putri itu telah melangkah lebih jauh melewati peran yang diambil Pocahontas dan Mulan dua dekade-an lalu–Pocahontas (1995) dan Mulan (1998).

Anak-anak jaman sekarang menonton Moana (2016) dan berdecak kagum ketika pelaut perempuan berambut keriting itu membuktikan dirinya sama dengan dewa yang dipuja-puja. Di film itu, Disney membuat Moana jatuh cinta, bukan kepada laki-laki, melainkan kepada lautan. Moana peduli dengan lingkungan dan menjelajah melampaui batas-batas kampungnya.

Film Brave (2012) memberi bayangan anak-anak tentang memanah dan berkuda yang tidak melulu lekat dengan aktivitas laki-laki. Seorang putri dataran tinggi Skotlandia bernama Merida melawan tradisi dan menolak perintah orang tuanya untuk menikah. Dia lebih memilih pergi ke hutan yang gelap dan mengasah kemampuan memanah. Untuk mengubah nasibnya, pertama-tama Merida mengubah apa yang ada di dalam dirinya.

Lain lagi Elsa, Ratu Arendelle di film Frozen (2013). Elsa bukanlah gula-gula seorang raja. Elsa adalah pemimpin bijaksana yang bisa mengendalikan kecemasan-kecemasan dalam dirinya. Kita telah melalui perjalanan panjang sejak 29 tahun yang lalu Disney merilis The Little Mermaid (1989). Ketika itu, putri duyung Ariel tidak menunjukkan keinginan untuk menikahi pangeran yang diselamatkannya.

Genre superhero menampilkan lebih banyak perempuan beraksi bersama-sama dengan rekan lelaki mereka. Kini mereka tak lagi sekadar sidekicks. Wonder Woman adalah pahlawan yang membawa kekuatan setara ke pertempuran. Film standalone Black Widow kabarnya akan dirilis beberapa tahun ke depan, setelah selama ini dia ikut menyelamatkan dunia bersama The Avengers. Tidak ada wanita di Dewan Jedi, tetapi perjuangan mereka bergantung pada seorang perempuan yang bertempur dengan pasukan terakhir, dan mereka dipimpin oleh Princess Leia yang dihormati. Wolverine, superhero kebanggaan dalam semesta X-Men, kini terlahir lagi dalam tubuh anak perempuan.

Hillary Clinton tidak terpilih, tetapi Presiden AS perempuan ada di tokoh Elizabeth Lanford (Sela Ward) di lanjutan film blockbuster Independence Day (1996). Hollywood juga menceritakan capaian sejarah tiga perempuan kulit hitam NASA dalam Hidden Figures (2016) dan Katherine Graham pentolan penerbit The Washington Post yang menjunjung tinggi kebebasan pers dalam The Post (2017).

Meskipun statistik belum menunjukkan peran lebih perempuan pada posisi pengambilan keputusan, setidaknya Hollywood telah mempromosikan kesetaraan perempuan pada produk akhir mereka. Mereka mencoba mencuri perhatian dan simpati lewat visual yang ditampilkan. Bagaimanapun, peran visual bagi anak-anak dan remaja era digital tak bisa diremehkan. Sebagai suatu kampanye kesetaraan, cara itu terbilang ampuh. Lalu, bagaimana kabar industri film domestik kita dalam masalah ini?

Bagaiamana dengan Film-Film Indonesia?

Bicara film lokal, baru-baru ini kita memilih Marlina (2017) sebagai film resmi mewakili Indonesia di penghargaan Oscars. Selain itu, hanya beberapa film-film lokal terbaru yang menampilkan perempuan-perempuan progresif. Kita mungkin akan kesulitan menyebutkan selain Ini Kisah Tiga Dara (2016) dan Kartini (2017). Di luar urusan belakang layar, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan perempuan luar biasa yang layak diceritakan.

Sebagai permulaan, kita bisa mengambil contoh peristiwa 90 tahun lalu. Pada 22 Desember 1928, Kongres Perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta, di mana 30 organisasi perempuan di seluruh Jawa dan Sumatra berkumpul untuk memperjuangkan kesetaraan di Hindia Belanda. Kini kita mengenal tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Bagaimana setelah kemerdekaan 1945, Soekarno dan Soeharto berhasil menjinakkan 22 Desember menjadi hari untuk perayaan keibuan masih menjadi misteri.

Perempuan-perempuan yang menginisiasi Kongres Perempuan 1928 adalah pahlawan yang bisa diangkat ke film. Beberapa di antaranya adalah para istri dari tokoh-tokoh nasional. Ketua kongres kala itu adalah R.A Sutartinah, yang ikut menggerakan Taman Siswa bersama suaminya, Ki Hajar Dewantara. R.A Soekonto adalah sosok besar dari organisasi Wanita Oetomo. Yang juga ikut berperan penting adalah Soejatin Sastrowiryo, yang kala itu masih berumur 21 tahun.

Faktanya, kita punya banyak perempuan hebat yang layak dikenal selain Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia. Kita telah mengenang Rangkayo Rasuna Said sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Jakarta. Mungkin tak banyak yang mengingat nama Rasuna Said sebagai aktivis kesetaraan perempuan yang vokal dari tanah Minang. Justru banyak dari kita akan langsung menghubungkan nama Rasuna Said dengan jalan yang selalu macet setiap pagi dan sore. Bila industri film kita menghendaki, citra itu dapat dirubah di layar perak.

Jauh sebelum itu, ada Laksamana Malahayati yang memimpin armada laut Aceh berjuang melawan penjajahan Portugis. Ada Christina Martha Tiahahu yang melawan kolonial Belanda yang serakah di pulau rempah-rempah. Kesultanan Aceh abad ke-16 memiliki empat sultana yang memerintah, seperti halnya dinasti Majapahit yang lebih tua memiliki penguasa Suhita dan Kencanawungu.

Jika kita ingin menggali lebih dalam daripada penggambaran patriarkal yang kini tersedia, cerita rakyat kita juga berlimpah dengan model perempuan hebat. Dalam penggambaran yang paling komikal sekalipun, kita bisa mengangkat cerita Nyai Roro Kidul menjadi lebih progresif. Lebih dari sekadar figur mistis di film-film horror, kita bisa mengilustrasikan Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut yang perkasa, layaknya Poseidon. Tentunya ide itu lebih dekat dengan masyarakat, dibanding penggambarannya sebagai istri gaib dari Raja-Raja Jawa.

Kita bisa memulai mengangkat cerita perempuan-perempuan hebat Indonesia ke layar perak. Citra visual dalam film mempunyai efek yang tidak bisa dihiraukan lagi. Sudah saatnya kita memberi kesan progresif pada industri film lokal dengan menampilkan para perempuan yang bisa menginspirasi. Dengan itu, kita bisa mengajarkan generasi yang lebih muda untuk menghargai perjuangan perempuan lewat cerita-cerita mereka. Kita mesti percaya terhadap kekuatan visual, bahwa ia bisa merubah cara pandang masyarakat selama ini terhadap perempuan.

Cengkraman Budaya Patriarki dalam Keseharian

Gambar: www.picswe.com

Keseharian kita adalah keseharian yang patriarkis, bias gender dan pastinya mendiskreditkan perempuan. Sampai hari ini budaya patriarki masih melekat kuat di masyarakat Indonesia. Sederet contoh bisa kita sebutkan. Misalnya, ungkapan masyarakat tentang laki-laki tidak boleh menangis supaya tidak kelihatan lemah seperti perempuan, gaji suami harus lebih tinggi ketimbang gaji istri, perempuan yang sekolah tinggi-tinggi akan susah diatur jika sudah berkeluarga, atau cibiran perawan tua untuk perempuan yang belum nikah tapi malah mengejar studi dan deretan contoh-contoh lainnya.

Contoh-contoh di atas merupakan sebagian kecil bukti bahwa budaya patriarki masih mencengkram dalam keseharian kita. Farrah Aulia Azliani dalam Magdalene mencatat bahwa tiga faktor utama yang menyebabkan budaya patriarki masih melekat dalam keseharian kita, yaitu: peran orang tua, konstruksi sosial-masyarakat tentang laki-laki dan perempuan dan peran media dalam menggambarkan perempuan.

Orang tua dan keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seorang anak, termasuk dalam membentuk pandangan anak tentang laki-laki dan perempuan yang sampai hari ini masih berwatak patriarkal. Anak laki-laki diarahkan untuk bermain mobil-mobilan dan di luar rumah, sedangkan anak perempuan diarahkan untuk bermain boneka dan berada di dalam rumah.

Persepsi orang tua yang patriarkal dalam mendidik anak-anaknya tersebut tidak lepas dari konstruksi sosial masyarakat tentang laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki harus tampil macho dan kuat, sedangkan perempuan harus tampil lemah gemulai dan kemayu. Konstruksi terhadap laki-laki dan perempuan ini menubuh dalam masyarakat; bahwa perempuan itu urusannya dapur, sumur dan kasur. Belum lagi bagaimana konstruksi sosial masyarakat yang sangat ketat atas bagaimana perempuan berpakaian.

Selain itu, konstruksi sosial masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan tersebut ditambah dengan citra negatif terhadap feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Feminisme dianggap melemahkan laki-laki lah, disinyalir menstimulus perempuan membuka aurat dan membangkang pada suami lah serta feminisme mengajarkan untuk tidak percaya pada pernikahan dan citra negatif lainnya.   

Konstruksi sosial masyarakat tersebut dianggap sesuatu yang tetap, final dan dipertahankan; bahwa kodratnya laki-laki demikian dan kodratnya perempuan demikian. Padahal, yang namanya konstruksi sosial masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Pada konteks ini, perbedaan antara sex (kelamin) dan gender, menarik untuk dicermati lebih lanjut. .

Dua hal tersebut jelas berbeda. Kelamin (sex) diidentifikasi murni sebagai kategori biologis, sedangkan gender sebagai kategori sosial –terkonstruksi secara sosial (Jonathan Wolff, 2013: 299). Kelamin (sex) bersifat terberi (given) yang masing-masing orang tidak bisa meminta ataupun menolak terlahir dengan penis atau vagina atau kedua-duanya, sedangkan gender bersifat konstruksi sosial tentang, misalnya, sifat-sifat dan peran serta hak-hak laki-laki dan perempuan. Singkatnya, kelamin (sex) bersifat nature dan gender bersifat nurture.

Perbedaan antara sex dan gender tersebut menjadi dasar feminisme dalam memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahwa bukan kesetaraan kelamin yang diperjuangkan feminisme, melainkan kesetaraan gender yaitu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam pelbagai sektor kehidupan. Pada perbedaan antara sex dan gender tersebut, perjuangan kesetaraan gender dan upaya melepas cengkraman budaya patriarki dalam keseharian kita harus ditempatkan.

Selain peran keluarga, kontruksi sosial masyarakat dan peran media, perempuan juga turut berperan dalam melanggengkan budaya patriarki. Banyak perempuan merasa nyaman berada di bawah ketiak budaya patriarki misalnya dengan menganggap biasa istri harus taat dan patuh pada suami apapun kondisi dan persoalannya. Perasaan biasa dan nyaman perempuan tersebut terus mereproduksi budaya patriarki di masyarakat.

infografis budaya patriarkiFaktor lain yang melanggengkan budaya patriarki adalah agama. Di tengah mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama, faktor agama sangatlah penting dalam menentukan laju keseharian, termasuk dalam melanggengkan budaya patriarki. Ayu Utami dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang menceritakan bagaimana agama mengkonstruksi perempuan sedemikian rupa sebagai kelas dua. Perempuan dikonstruksi oleh agama sebagai makmum dan laki-laki sebagai imam dalam keseharian.

Meskipun penyangkalan-penyangkalan telah banyak dilakukan bahwa agama menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi faktanya agama masih berperan penting dalam mereproduksi budaya patriarki. Di bagian akhir, Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang juga mewartakan penyangkalan terhadap agama yang bias gender dengan menghadirkan ayat-ayat kesetaraan.

Penjelasan-penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa budaya patriarki mendiskreditkan perempuan. Hal ini karena budaya patriarki pada dirinya terkandung ilusi hierarki bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya ketimbang perempuan. Dalam keseharian, budaya patriarki melahirkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan; perempuan dianggap lemah dan rendah. Pada posisi ini, perempuan berada dalam kondisi rentan, misalnya; sangat rentan mengalami diskriminasi, sangat rentan mengalami pelecehan seksual dan lain sebagainya.

Dengan demikian, budaya patriarki harus dilawan dan dikikis demi kesetaraan gender. Perjuangan melawan budaya patriarki tidak terbatas pada perempuan, melainkan laki-laki harus turut serta di dalamnya. Hal ini karena budaya patriarki juga merugikan laki-laki; bahwa laki-laki harus memenuhi kriteria tertentu supaya disebut betul-betul laki-laki dan jika tidak memenuhi kriteria patriarkis, maka akan dinomorduakan layaknya kedudukan perempuan dalam budaya patriarki.

 

Bagaimana #ShoutYourAbortion Bekerja Melawan Stigma di Amerika

sumber: shoutyourabortion.com

Pertengahan September 2015. Amelia Bonow, seorang bartender, mendapatkan ancaman yang mengerikan dari seseorang di internet.

“Seseorang mendapatkan akses ke postingan lama yang saya buat di Facebook, lalu menggunakannya dengan seenaknya, dan menulis artikel yang sangat kacau dan menyeramkan, dan menyebutkan dimana saya tinggal,” katanya seperti dilansir dari Vice. Akibatnya, gadis itu harus mengungsi untuk sesaat dari tempat tinggalnya, dan pergi mencari tempat yang lebih aman.

“Sekitar setahun yang lalu, aku melakukan aborsi di Planned Parenthood di Madison Ave, dan aku mengingat pengalaman ini dengan segenap rasa syukur yang tidak dapat diungkapkan,” ujarnya dalam status yang dia unggah di Facebook.

Dua puluh empat jam sebelum itu terjadi, Amelia baru saja menulis status di Facebook tentang pengalamannya melakukan aborsi di klinik Planned Parenthood, sebuah klinik aborsi legal di Amerika Serikat yang saat itu terancam ditutup. Amelia menulis statusnya itu setelah mendengar bahwa anggota partai Republik, salah satu partai terbesar di Amerika Serikat dengan presidennya, Donald Trump, berusaha menghentikan keberlanjutan Planned Parenthood.

“Aku menceritakannya padamu sekarang ini karena yang bergulir di balik wacana penghentian Planned Parenthood bergantung pada asumsi yang menyebutkan bahwa aborsi adalah sesuatu yang harus dilakukan secara diam-diam. Banyak orang masih percaya bahwa pada tingkat tertentu, jika kamu perempuan baik-baik, aborsi adalah sebuah pilihan yang harus diiringi dengan perasaan sedih, malu, dan kecewa. Padahal, kamu tahu? Aku juga orang baik dan melakukan aborsi membuatku bersyukur dengan cara yang benar-benar tidak dapat diungkapkan,” lanjutnya.

Amelia mengakhiri pernyataannya itu dengan tagar #ShoutYourAbortion dan tidak lama setelahnya, banyak perempuan di media sosial mulai mengikuti apa yang dia lakukan. Dalam waktu sesaat, tagar itu menjadi sangat viral setelah seorang kawannya, Lindy West, membagikan pengalaman Amelia kepada pengikutnya di twitter yang jumlahnya mencapai lebih dari enam puluh ribu orang. Internet kemudian bekerja. Satu per satu perempuan di negeri paman Sam itu mulai berani mengungkapkan perasaan dan pengalaman mereka mengenai aborsi secara terbuka. Mereka berbicara yang sejujurnya tanpa harus merasa bersalah, menyesal, atau terteror seperti sebelumnya. Namun, tentu saja, hal itu tidak hanya mendatangkan dukungan yang besar dari mereka yang setuju dengan aborsi tetapi juga sebaliknya. Mereka yang mengaku anti-aborsi mulai mengirim balasan untuk menyerang tagar #ShoutYourAbortion.     

Sebelum saat-saat itu terjadi, gelombang besar kelompok konservatif di Amerika memang telah menekan pemerintah untuk mengesahkan undang-undang yang mempersulit prosedur aborsi, dan dengan begitu, mendorong pemerintah agar membatasi hak atas tubuh perempuan. Hal ini lantas menuai perlawanan dari kelompok yang pro-aborsi.

“Undang-undang telah berhasil membatasi akses dan melanggengkan stigma. Membuat perempuan merasa malu sampai-sampai mereka tidak bisa mendapatkan akses layanan kesehatan yang dapat menyelamatkan kehidupan mereka,” kata Amelie.

stigma aborsi

Perdebatan Aborsi yang Tidak Pernah Selesai

Perdebatan seputar legalisasi aborsi memang terus bergulir dari waktu ke waktu, baik itu di Amerika Serikat maupun di negara-negara lain. Pemerintah Argentina, misalnya pada tahun 2018 nyaris menyetujui undang-undang yang melegalkan prosedur aborsi. Sayangnya legalisasi tersebut gagal setelah kelompok anti-aborsi di pemerintahan memenangkan suara terbanyak. Argentina adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik. Meski negara tersebut tidak mencantumkan agama resmi namun lembaga keagamaan Katolik memiliki kekuasaan politik yang sangat kuat di Amerika Selatan dimana hampir 80% dari 43 juta penduduknya tercatat sebagai penganut Katolik. Seperti dikutip dari The Conversation, mereka secara terang-terangan melarang aborsi dan mengatakan bahwa tugas mereka adalah mempertahankan kehidupan. Namun, meski demikian, tidak sedikit penganut Katolik di sana yang sepakat dengan adanya legalisasi aborsi, termasuk salah satu di antaranya adalah Cristina Fernández de Kirchner, mantan presiden Argentina yang mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2015.

“Kita telah menolak legalisasi tanpa mengusulkan alternatif lain, sehingga situasinya akan tetap sama,” ujarnya setelah mengambil suara untuk mendukung aborsi. Dia sepenuhnya mendukung aborsi setelah melihat ribuan perempuan turun ke jalan dan menyuarakan bahwa aborsi sesungguhnya adalah hak perempuan atas pelayanan kesehatan.

Luis Naidenoff, anggota dewan dari provinsi Formosa juga mengatakan hal yang sama. Luis adalah seorang Katolik yang agamis tetapi dia memilih untuk ikut mendukung aborsi.

“Kehidupan pribadi seseorang tidak seharusnya diputuskan oleh negara,” ujarnya. Negara Argentina batal melegalkan aborsi setelah 38 anggota dewan menolak hal tersebut dan membuat 31 anggota dewan lainnya yang mendukung aborsi kalah dalam pemungutan suara.

Mengakhiri Stigma Aborsi

Kenyataannya, stigma merupakan penyebab utama mengapa aborsi sampai saat ini dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan bukannya sebagai hak perempuan atas pelayanan kesehatan. Seperti dilansir dari International Network for the Reduction of Abortion Discrimination and Stigma, stigma lahir sebagai akibat dari manifestasi geografi, budaya, dan agama. Dan oleh karena itu, pemahaman mengenai stigma akan terus berkembang. Di seluruh dunia, para peneliti mulai mencari tahu bagaimana stigma aborsi berperan di dalam hukum yang berlaku, kebijakan kesehatan, komunitas, hingga kehidupan perempuan. Jika upaya ini terus dilakukan bukan tidak mungkin stigma aborsi dapat berakhir.    

Apa yang dilakukan oleh Amelie Bonow dengan tagar #ShoutYourAbortion mungkin terlihat sepele tetapi berkat keberaniannya berbicara di depan publik, dia telah mendorong lebih banyak orang untuk ikut mengakhiri stigma yang terlanjur melekat.

“Menghapus stigma adalah tantangan terbesar,” kata Amelia.

Sampai saat ini, tagar #ShoutYourAbortion telah berubah menjadi sebuah gerakan kampanye untuk mendukung aborsi di seluruh penjuru Amerika Serikat. Tagar tersebut bahkan telah memiliki sebuah laman website resmi yang dapat diakses di shoutyourabortion.com.

‘Aborsi itu normal. Cerita kita adalah milik kita sepenuhnya untuk diungkapkan. Ini bukan lagi sebuah perdebatan.’

Kalimat tersebut tertulis di halaman muka laman Shout Your Abortion.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat memang telah melegalkan aborsi. Namun, ada lebih banyak negara lainnya yang menganggap aborsi sebagai tindakan ilegal. Di Indonesia sendiri, aborsi diperbolehkan jika kehamilan beresiko membahayakan nyawa perempuan atau jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan. Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam ini belum memberlakukan legalisasi aborsi secara penuh, dan bahkan wacana seputar hal tersebut masih sangat jarang. Aborsi dianggap tabu dan masyarakat cenderung menghindari pembicaraan mengenai hal itu. Padahal, bukan tidak mungkin legalisasi aborsi bisa terwujud di negara manapun termasuk di Indonesia.

 

 

 

Bagaimana Siklus Kekerasan Berputar dalam Bedevilled

film bedevilled

Jagad film Korea barangkali adalah salah satu yang tidak pernah malu-malu menampilkan kekerasan dalam bentuk paling menyakitkan sekalipun. Film mereka kerap sangat mengganggu mentalitas penonton. Menaburkan teror sepanjang film tanpa tedeng aling-aling. Apalagi jika yang menjadi pusat kekerasan adalah perempuan. Kalau pun berhasil menyaksikan film sampai habis, yang tersisa nyaris hanya ruang untuk mencerca: bagaimana mungkin manusia bisa bersikap sejahat itu?  

Bedevilled, salah satu film Korea yang rilis tahun 2010 adalah salah satu yang berhasil menangkap seluruh teror mematikan yang sanggup dialami seorang perempuan. Film yang digarap oleh sutradara bernama Jang Cheol Soo ini bahkan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada penonton untuk menghela nafas. Sejak menit-menit pertama, Bedevilled sudah membangun situasi yang sarat misoginis: pelecehan seksual di jalan, intimidasi di ruang publik, dan ketidakberpihakan terhadap korban.

Hae Won (diperankan Hwang Geum Hee) adalah seorang pegawai bank yang tinggal di pusat kota dan terpaksa mengambil cuti setelah mengalami dua kali insiden tidak menyenangkan. Pertama, ia menjadi saksi dalam sebuah kasus pelecehan seksual dan yang kedua, di tempatnya bekerja, datang seorang nasabah perempuan yang meminta bantuan dana. Hae Won memilih untuk mengabaikan semuanya. Ia mengaku tidak melihat pelecehan seksual yang sejujurnya ia saksikan dan justru menghardik nasabah yang datang kepadanya. Hae Won seolah mewakili sikap masyarakat yang terkadang memilih untuk bungkam ketika mengetahui kasus kekerasan seksual.

Tetapi, kekerasan yang mengerikan baru akan dimulai ketika ia memutuskan untuk berlibur di sebuah pulau kecil bernama Moo Doo. Dulunya, Hae Won sempat menghabiskan masa kecilnya di pulau ini bersama dengan kakek dan seorang sahabatnya yang bernama Bok Nam. Moo Doo sendiri adalah sebuah pulau terpencil dimana hanya ada sekelompok orang yang tinggal di tempat itu. Bok Nam, sahabatnya termasuk salah satu yang masih bertahan di sana. Lewat Bok Nam ini lah, teror yang sebenarnya dimulai.

Kekerasan dari Segala Arah

Badan Kesehatan Internasional atau WHO telah melaporkan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh negara. Paling tidak berdasarkan laporan mereka, 1 dari 3 orang perempuan di seluruh dunia dapat dipastikan mengalami kekerasan baik yang dilakukan oleh pasangan, keluarga, komunitas, ataupun negara. Film Bedevilled memotret fakta ini dengan jitu. Bok Nam adalah representasi perempuan yang mengalami kekerasan dari segala arah: suaminya, adik iparnya, orang-orang di kampungnya, dan bahkan dari Hae Won; seorang sahabat yang ia anggap dapat menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan.

Kekerasan yang Berputar seperti Siklus

Perempuan dalam masyarakat patriarki dibayang-bayangi kekerasan sepanjang hidupnya. Sejak ia masih di dalam kandungan sampai dengan ia beranjak dewasa dan menua. Kekerasan ini disebut kekerasan berbasis gender yang meliputi pernikahan dini, pemerkosaan dalam perkawinan, pelecehan seksual, diskriminasi dalam bidang pendidikan; kesehatan; pekerjaan; hingga kehidupan sosial, dan masih banyak lagi. Lewat tokohnya yang bernama Bok Nam, film Bedevilled berusaha menampilkan siklus kekerasan yang berputar ini.

Saat masih remaja, Bok Nam diperkosa oleh sekelompok pemuda sampai akhirnya hamil dan melahirkan. Ia lantas dipaksa menikah oleh keluarganya dan diperlakukan seperti hewan ternak: dipekerjakan dengan sewenang-wenang, dipaksa melayani suaminya, diberi makan seadanya. Bok Nam juga diperkosa oleh suaminya sendiri dan bahkan adik suaminya selama berkali-kali. Sementara itu, orang-orang yang tinggal di kampungnya justru menganggapnya bagai aib yang menjijikkan. Anaknya bahkan juga dilecehkan oleh suami Bok Nam, ayah tirinya sendiri. Budaya yang tidak berpihak terhadap korban semacam ini tentu sangat mudah ditemukan dalam masyarakat patriarki. Bedevilled menangkap realita ini dengan sangat baik dan oleh karena itu film ini menampilkan kritik yang cemerlang.

Situasi yang menghimpit Bok Nam membuatnya mencari jalan keluar. Bedevilled barangkali memperlihatkan kualitasnya lewat keputusan ini. Film dengan durasi 115 menit tersebut memang menampilkan teror paling gelap yang sanggup dialami seorang perempuan tetapi film ini juga menampilkan sosok korban yang mampu melawan stigma. Bok Nam bukan tokoh yang lemah seperti banyak diproyeksikan oleh film-film kebanyakan. Ia memang dilemahkan oleh sistem dan justru karena itu ia berusaha melawan sekeras mungkin.

Film Feminis yang Mendapat Penghargaan

Berkat film Bedevilled, sutradara Jang Cheol Soo berhasil memperoleh banyak penghargaan dan tampil dalam berbagai festival film Korea maupun festival film Internasional. Untuk menyebut beberapa di antaranya film ini berhasil memenangkan Asosiasi Kritik Film Korea 2010, Festival Perempuan dalam Film Korea 2010, dan Festival Film Fantastik Amsterdam 2011. Kemenangan film ini tentu saja juga merupakan kemenangan bagi film-film dengan perspektif feminis. Bok Nam mewakili suara korban kekerasan seksual yang dengan sekuat tenaga berusaha mencari keadilannya sendiri. Bedevilled memang sudah mengganggu sejak menit-menit pertama. Ia mengusik hati nurani penonton, mempertanyakan kembali relasi antara perempuan dan laki-laki, serta posisinya di dalam masyarakat. Gangguan itu meninggalkan perasaan marah dan terluka, yang menumbuhkan perlawanan.

Satellite Workshop: Mengunjungi Papua, Provinsi dengan Angka Kematian Ibu (AKI) Sangat Tinggi

Sumber: https://www.healthline.com

Ketika mendaftar sebagai fasilitator Satellite Workshop yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Samsara, Chahya Karin Herbawani adalah seorang akademisi dari Surabaya yang telah mengantongi ijazah sarjana Pendidikan Bidan dan ijazah pasca sarjana Kesehatan Reproduksi. Hanya saja ia belum memiliki pengalaman praktek menjadi bidan di lapangan. Terdorong keinginan untuk bekerja di lapangan, ia akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Papua dan Maluku, dua daerah yang menjadi sasaran Satellite Workshop tahun ini. Sementara itu, rekan perjalanannya, Sartika, adalah seorang aktivis feminis dari Makassar yang telah bertahun-tahun menggeluti kegiatan aktivisme. Berdua mereka berangkat dari masing-masing daerah menuju ke Papua, provinsi pertama yang menjadi tujuan mereka.

Cuaca sore itu sedang baik saat Caca- panggilan untuk Chahya, dan Tika-panggilan untuk Sartika, tiba di sebuah gazebo di pinggir pantai Hamadi. Dulunya, pantai ini bernama pantai Hollandia dan sempat digunakan sebagai benteng pertahanan oleh pasukan sekutu saat Perang Dunia II. Letaknya yang berada di jantung Jayapura, ibukota provinsi Papua, membuat Caca dan Tika tidak sulit menemukan lokasi pantai ini. Hampir pukul tiga sore, satu per satu anggota komunitas Papua Pecandu Damai (Papeda) mulai berdatangan. Papeda adalah komunitas pertama yang menghubungi tim Satellite Workshop untuk berbicara mengenai kekerasan berbasis gender. Selama diskusi, beberapa anggota komunitas mulai menceritakan pengalamannya soal kekerasan. Banyak yang mengaku pernah menjadi korban tetapi juga sekaligus pernah menjadi pelaku.   

Kekerasan berbasis gender adalah salah satu dari total tujuh tema yang disediakan oleh Satellite Workshop untuk dibahas bersama selama tim berkeliling mengunjungi Papua dan Maluku. Kegiatan ini sendiri memakan waktu delapan minggu mulai dari bulan September sampai dengan bulan Oktober. Kota Jayapura menjadi lokasi yang pertama karena letaknya yang relatif lebih dekat daripada daerah lainnya. Selama di Papua, tim berhasil mengadakan sepuluh kali workshop dengan total 120 orang peserta. Caca dan Tika berkeliling menuju wilayah di pusat kota maupun di wilayah terpencil dimana akses terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) masih sangat terbatas. Papua, dalam hal ini memang masih jauh tertinggal daripada provinsi lain di Indonesia. Bahkan, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) di Papua jauh lebih tinggi daripada AKI nasional. Setidaknya pada tahun 2012, sebanyak 573 ibu meninggal dunia dalam setiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih tinggi daripada AKI nasional dimana sebanyak 359 ibu meninggal dunia dalam setiap 100.000 kelahiran hidup.   

Berdasarkan temuan tim dari hasil workshop, AKI yang sangat tinggi di Papua disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Untuk menyebut contoh, misalnya, banyak perempuan di Papua yang dipaksa untuk terus hamil dan melahirkan. Fenomena ini dalam dunia kesehatan sering disebut 4T yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat. Tentu saja ini sangat membahayakan nyawa perempuan. Selain pemaksaan kehamilan, partisipasi pria dalam urusan kehamilan juga sangat rendah sehingga akibatnya seorang perempuan yang tengah hamil sering mengalami beban ganda. Mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah didampingi oleh suami ketika memeriksakan kehamilan. Selain itu, dalam kondisi hamil, mereka masih harus bekerja di ladang dan sekaligus mengurus tugas-tugas domestik di rumah. Caca dan Tika menemui permasalahan ini ketika melakukan workshop di kampung Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Jayapura.

Ketika workshop selesai, kami bertemu dengan seorang Mama yang usianya masih muda dan memiliki tiga orang anak. Dia mengeluh kepada kami bahwa ia kelelahan karena harus mencari uang, mengerjakan pekerjaan rumah, dan merawat anak-anak sendirian. Pasangannya tak kerja, tinggal di rumah dan bersantai. Kadang-kadang mabuk dan selingkuh. Ia mengaku ingin bercerai namun mereka tidak menikah. Ia merasa bingung dan sendirian. Ketika hamil usia sembilan bulan, ia bahkan masih berjualan pinang dan mencari ikan di telaga sambil merawat anak-anaknya yang lain,” ujar Tika.  

Dilema Menghadapi Kasus KDRT di Papua

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi salah satu temuan tim Satellite Workshop ketika berkeliling di Papua. Saat itu masih bulan September, Caca dan Tika baru saja selesai mengadakan workshop di Tabri, Genyem, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura. Wilayah ini adalah salah satu wilayah terpencil yang mereka kunjungi selama berada di Papua. Selama di sana, mereka tinggal di rumah salah seorang warga bernama Indah. Ibu dari empat orang anak ini adalah ketua Dharma Wanita Stasiun Klimatologi wilayah Tabri. Tim memperoleh informasi dari Indah bahwa penyelesaian kasus KDRT di Papua seringkali berhenti di tahap administrasi. Menurut Indah, hal ini disebabkan banyaknya pernikahan di Papua yang dianggap tidak sah secara hukum sehingga ketika melaporkan kasus KDRT, polisi tidak dapat melanjutkan pemeriksaan.

Salah satu tantangan yang berat memproses persoalan kekerasan terhadap perempuan di Papua adalah karena banyaknya perkawinan yang menurut mereka (kepolisian-red) tidak sah secara hukum. Jadi, ketika perempuan melaporkan dirinya sebagai korban KDRT akan berhenti di administrasi karena banyak dari mereka tidak memiliki surat nikah,” ujar Tika mengutip perkataan Indah ketika ditemui usai kembali dari perjalanannya.

Berdasarkan permasalahan ini, Indah sempat meminta tim memberikan edukasi terkait pacaran sehat. Ia juga turut meminta tim menganjurkan para remaja peserta workshop agar tidak tergesa-gesa memutuskan untuk menikah.

“Ibu Indah minta ke kami sosialisasi kepada remaja untuk berpikir tentang masa depan. Menikah jika siap. Hati-hati memutuskan untuk berpasangan atau tinggal bersama. Jika ada persoalan, itu akan sangat merugikan perempuan,” lanjut Tika.   

Seperti dilansir dari Budaya Indonesia, dalam pernikahan adat di Papua, dikenal istilah kamfar untuk menyebut mahar perkawinan. Mahar ini biasanya berupa perhiasan atau barang mahal. Tika menjelaskan lebih lanjut bahwa budaya inilah yang biasanya membuat mempelai pria merasa berhak mengajak mempelai perempuan tinggal dalam satu rumah. Tak jarang, mahar juga dipandang sebagai bentuk kepemilikan sehingga membuat pria merasa bisa memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Siklus ini akhirnya turut melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan.

Mengunjungi Lokalisasi di Papua

Selain Jayapura dan sekitarnya, tim Satellite Workshop juga mengunjungi Papua Barat atau tepatnya di sekitar wilayah Manokwari dan Sorong. Salah satunya adalah Lokalisasi 55 yang terletak di kampung Maruni, Manokwari Selatan. Lokalisasi ini telah berdiri sejak tahun 1985. Sebanyak 165 orang pekerja seks tersebar di 30 wisma.

Pekerja seks adalah kelompok yang paling rentan berhadapan dengan kekerasan. Oleh karena itu informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi justru menjadi kebutuhan yang mendesak bagi mereka. Seringkali karena adanya stigma dan diskriminasi mereka kehilangan HKSR yang seharusnya menjadi milik mereka. Lembaga pelayanan kesehatan dalam hal ini juga turut menjadi pelaku yang terkadang mengabaikan hak-hak tersebut. Selama mengunjungi lokalisasi, tim Satellite Workshop memberikan informasi terkait kontrasepsi, pencegahan kanker serviks dan kanker payudara, hingga Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD). Tak jarang, di sela-sela diskusi, beberapa dari mereka menceritakan pengalamannya saat mendapatkan kekerasan dari pelanggan mereka sendiri.

Pekerja seks sering mendapatkan stigma dan diskriminasi berupa penolakan dan layanan kesehatan yang tidak ramah sehingga berdampak pada masalah kesehatan reproduksi dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit seksual menular, termasuk juga kekerasan dari klien,” ujar Caca ketika ditemui sekembalinya dari perjalanan.

Sorong menjadi wilayah terakhir yang dikunjungi tim Satellite Workshop selama melakukan Travel Activism di Papua. Meski tenaga mereka terkuras tetapi baik Caca dan Tika justru merasa sangat bahagia karena perjalanan mereka kali ini berhasil memperkaya pengetahuan. AKI yang tinggi bukan mitos di Papua. Angka tersebut justru mengatakan fenomena yang sebenarnya terjadi di provinsi paling timur di Indonesia.

 

Mitos-Mitos Tidak Benar Mengenai Menopause

Mitos menopause
Tangan perempuan menulis menopause di layar

Menopause terjadi ketika masa siklus menstruasi bulanan berhenti. Itu adalah hal yang normal, karena tubuh manusia mengalami perubahan hormon seiring bertambahnya umur. Pada perempuan, secara perlahan sel telur akan habis. Ilmuwan mempercayai bahwa menopause berfungsi sebagai mekanisme tubuh perempuan untuk melindungi terjadinya kehamilan di usia tua. Seperti kita ketahui, menopause akan dirasakan oleh setiap perempuan secara alamiah. Maka dari itu, dalam menghadapi menopause kamu tidak perlu khawatir berlebih.

Sayangnya, masih banyak informasi menyesatkan tentang menopause. Beberapa kabar miring memberi gambaran mengerikan yang dialami perempuan ketika menopause. Tentunya tidak semua informasi itu benar adanya. Mari kita telusuri lebih lanjut untuk menepis gambaran mengerikan yang akan terjadi ketika kita menopause.

Depresi

Setiap perempuan akan melalui masa menopause, tetapi masing-masing memiliki pengalaman berbeda. Menopause tidak terjadi pada usia yang sama pada setiap perempuan, dan hal itu bisa menyebabkan gejala yang juga berbeda – baik fisik dan emosional.

Faktanya, bagi banyak perempuan, kondisi menopause tidak benar-benar mengganggu. Kondisi itu melibatkan ketidaknyamanan yang relatif kecil dan sama sekali tidak memerlukan pengobatan. Masalah-masalah yang akan kamu temui ketika menopause biasanya bersifat sementara.

Demikian pula, stereotip bahwa menopause akan membuat pikiran kita terganggu dan jatuh ke dalam depresi, sama sekali tidak akurat. Beberapa perempuan mengalami mood swing yang diakibatkan oleh fluktuasi hormon. Namun, mood swing karena menopause tidak sama dengan depresi, dan itu juga tidak membutuhkan penanganan medis.

Kehilangan Minat Seks

Faktanya, hasrat seksual kita berfluktuasi sepanjang hidup kita. Hal ini dipengaruhi oleh kualitas hubungan kita, kesehatan emosi dan fisik kita, dan banyak faktor lainnya. Kondisi menopause dan perubahan hormon di tubuh perempuan tidak menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi minat seks.

Beberapa obat yang umum dikonsumsi ketika masa tua (termasuk obat tekanan darah dan obat jantung) juga dapat mempengaruhi gairah kamu. Jika kamu menduga bahwa obat-obatan yang kamu konsumsi mungkin mempengaruhi respon seksual, bacalah penjelasan lengkap di kemasan obat dan konsultasikan ke dokter untuk mengurangi dosis. Kamu juga bisa beralih ke obat yang mempunyai lebih sedikit efek samping negatif.

Juga, beberapa perempuan mengalami kekeringan vagina, iritasi atau nyeri ketika penetrasi selama transisi menopause (perimenopause). Ketidaknyamanan tersebut dapat dikurangi dengan pelembab vagina atau pelumas.

infograpik monopause

Masalah Berat Badan dan Metabolisme Tubuh

Menopause tidak berarti metabolisme tubuh juga akan mati. Bahkan jika berat badan kamu bertambah, itu mungkin sementara dan bukan karena menopause semata.

Perubahan hormonal menopause memang membuat kamu lebih mungkin menambah berat badan di sekitar perut. Tapi, perubahan hormon menopause saja tidak menyebabkan kenaikan berat badan. Sebaliknya, kenaikan berat badan biasanya berkaitan dengan bertambahnya umur, faktor genetik dan gaya hidup.

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa mengatur pola makan kamu dapat menyeimbangkan perubahan hormon ketika menopause. Itu juga baik bagi metabolisme tubuh selama menopause. Bila kamu melakukannya, naiknya berat badan dan metabolisme yang tidak berfungsi tidak akan terjadi.

Penting untuk menjaga berat badan yang sehat selama perubahan hormonal ini, karena dapat memengaruhi tempat dan bagaimana lemak disimpan dalam tubuh.

Hot Flash

Hot Flash biasanya dialami dengan rasa panas yang datang dari dalam tubuh, berkeringat ketika malam, detak jantung cepat, dan biasanya berlangsung sekitar 2 menit atau lebih. Percaya atau tidak, tidak semua perempuan menopause mendapat hot flash. Diperkirakan 20 persen perempuan tidak mengalami hot flash selama periode pergeseran hormonal ini.

Hot flash jauh lebih mudah dikelola daripada yang kita kira. Ada banyak solusi alami yang dapat Anda coba dengan mudah untuk menangani hot flash.

Faktanya adalah banyak efek samping negatif terkait menopause dapat dinetralkan dengan pengaturan gaya hidup. Olahraga teratur telah terbukti mengontrol hot flashes, meningkatkan mood, menyeimbangkan berat badan, dan mengurangi kelelahan. Kamu tidak harus merasa seperti terjebak di gurun selama masa menopause.

Masalah-masalah lain yang disebut-sebut akan mudah datang pada perempuan selama masa menopause, seperti osteoporosis dan penyakit kardiovaskular (jantung), juga tidak sepenuhnya benar. Kondisi menopause tidak semengerikan yang diceritakan informasi bohong di internet.

Apalagi, jika kamu adalah perempuan dengan gaya hidup yang sehat, menopause bisa terlewati seperti masa-masa menyenangkan ketika remaja. Jadi, tidak ada gunanya untuk takut. Jalani masa menopause kamu dengan riang gembira!

Yacko, Hip Hop, dan 16 Hari untuk Aktivisme

Sumber: hiphopindo.net

Yani Oktaviana atau Yacko adalah seorang rapper, seorang dosen, seorang ibu, seorang perempuan, dan seorang feminis. Untuk menyebut yang terakhir, tentu karena perempuan kelahiran Surabaya ini adalah seseorang yang sangat vokal menyuarakan hak-hak perempuan. Yacko pernah merilis sebuah lagu berjudul Hands Off pada tahun 2017 yang liriknya sangat vokal menolak tindakan pelecehan seksual. Seperti dikutip dari wawancaranya bersama Globet Rotter Magazine, “The message is clear, we will not accept or tolerate street and sexual harassment any longer.” Pesannya jelas, kami tidak akan menerima atau menoleransi lagi tindakan pelecehan seksual. Yacko terbukti konsisten dengan apa yang ia ucapkan. Belum lama ini, ia kembali merilis sebuah lagu berjudul FYBV, akronim dari Fuck Your Bad Vibes, bekerja sama dengan Lacos. Ia bahkan merilis lagu tersebut tepat pada hari pertama kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau yang secara global disebut sebagai 16 Days of Activism.  

Mendengarkan FYBV: Sebuah Nada Perlawanan dari Hip Hop

Sejak menit-menit pertama, Fuck Your Bad Vibes menegaskan sebuah sikap perlawanan yang jelas. Musuhnya adalah siapa saja yang berperangai misoginis dan mencari perlindungan di bawah sistem patriarki.

A misogyny deserves no priority
You’re looking for a toy, I am not looking for a boy
Horsing around like a cowboy, use patriarchy as a decoy

Seorang misoginis tidak pantas mendapatkan tempat
Kau mencari sebuah mainan, aku tidak mencari seorang bocah
Berjalan seperti seorang koboi, menggunakan patriarki sebagai perangkap

Yacko barangkali bukanlah yang pertama menggunakan hip hop sebagai senjata perlawanan. Hip hop sendiri adalah sebuah perlawanan, setidaknya jika dilihat berdasarkan sejarah panjang di baliknya. Musik rap sebagai salah satu elemen dalam budaya hip hop mulai berkembang pertama kali di Bronx, New York, Amerika Serikat pada tahun 1970. Saat itu orang-orang kulit hitam menggunakan hip hop sebagai salah satu bentuk protes melawan rasisme yang mereka hadapi setiap harinya di Amerika Serikat. Seperti dilansir dari National Public Radio, mengutip salah seorang penulis, Todd Boyd dalam bukunya The New H.N.I.C: The Death of Civil Rights and The Reign of Hip Hop mengatakan, ”Hip hop sendiri bersifat politis, bahasanya politis. Ia menggunakan bahasa sebagai senjata- bukan senjata untuk melanggar ataupun senjata untuk menyinggung, tetapi senjata yang mendorong orang-orang untuk berpikir.” Meski sayangnya, pada periode awal setelah kemunculannya, senjata tersebut justru banyak melukai perempuan termasuk perempuan kulit hitam di Amerika.

Untuk menyebut contoh, Snoop Dogg adalah salah seorang rapper kulit hitam dari Amerika yang di dalam lirik-lirik lagunya sering mengobjektifikasi perempuan sebagai boneka seks, sebagai sebuah kelompok yang inferior, atau selalu bergantung kepada laki-laki. Meskipun setelah itu ia berusaha mengubah penampilannya menjadi lebih baik. Seperti dikutip dari Wikipedia, melansir penelitian yang dilakukan oleh Charis Elizabeth Kubrin dan Ronald Weitzer dalam jurnal akademik berjudul Men and Masculinities, selama tahun 1987 hingga 1993 setidaknya ada lebih dari 400 lagu hip hop yang liriknya memuat kekerasan terhadap perempuan baik dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan, maupun pembunuhan. Lirik-lirik lagu seperti ini terbukti mendorong para pendengar pria melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Lebih jauh lagi lagu-lagu tersebut bahkan telah membentuk stereotip bagi anak-anak muda perempuan kulit hitam di Amerika sebagai akibat karena mereka sering diobjektifikasi hanya untuk memenuhi hasrat seksual para pria.

Namun, tentu saja, ini tidak akan terjadi selamanya. Memasuki era 90-an, datangnya gelombang besar para rapper perempuan pelan-pelan mulai mengubah situasi. Jika pada era 80-an, duo rapper perempuan, Salt N’ Pepa bisa dikatakan memasuki gelanggang hip hop sendirian melawan dominasi laki-laki, maka pada era 90-an, Lauryn Hill, Queen Latifah, Missy Elliott, Foxy Brown, Lil’ Kim, dan masih banyak yang lainnya ramai-ramai memasuki industri ini dan mulai mengambil tempat. Mereka membawa semangat feminisme ke dalam lagu-lagunya dan penampilannya. Vice dalam artikelnya yang berjudul How Black Female MCs Changed The Conversation Through Hip Hop memuji Lauryn Hill sebagai seorang rapper perempuan yang berani mendobrak era dimana para rapper perempuan hanya dipakai sebagai simbol seks semata. Hill telah mengambil tempat di dalam industri hip hop untuk menegaskan bahwa seorang rapper perempuan bisa berpenampilan sebagaimana dirinya ingin terlihat, dan menolak mengikuti standar yang ditetapkan oleh sistem patriarki.

Tidak jauh berbeda seperti Lauryn Hill, Yacko lewat Fuck Your Bad Vibes juga menggunakan semangat yang sama untuk memberitahu penikmat lagunya bahwa seksisme, misogini, body shaming, atau segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak lagi dapat ditoleransi. Lewat lagu ini ia seperti menegaskan bahwa dirinya tidak lagi takut menghadapi ancaman para misoginis sekalipun itu datang dari hip hop, sebuah kultur yang amat dicintainya.

Y.A.C.K.O is the name you can count on
Rep Indo we go on and on
You know I got none but love to hip hop
Imma kill this beat, make you feel the heat
Get up out your seat
Spread it out on the street  

Y.A.C.K.O adalah nama yang bisa kamu perhitungkan
Rep Indo terus melaju
Kau tahu aku tidak punya apapun selain cinta buat hip hop
Akan kutaklukkan dentuman ini, membuatmu merasakan baranya
Bangkitlah
Teriakkanlah di jalan-jalan

yacko hip hop

Yacko dan Kampanye 16 Hari Untuk Aktivisme

Yacko merilis lagu FYBV pada tanggal  25 November 2018, tepat pada hari pertama kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (selanjutnya disebut 16 Days of Activism). Melalui akun resminya, Yacko Oktaviana, ia mengunggah video FYBV berdurasi tiga menit 45 detik itu di kanal Youtube dan hingga tiga hari setelahnya, video tersebut telah ditonton tiga ribu lima ratus kali. Apa yang membuatnya memilih tanggal tersebut?

Yacko memilih tanggal 25 November sebagai waktu rilis FYBV didasari bahwa setiap tahunnya, kegiatan kampanye ini dimulai tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yaitu Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut dirasa tepat menyuarakan isu ini karena kekerasan terhadap perempuan juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.”

Keterangan tersebut diambil dari akun resmi Yacko atau tepatnya dikutip dari kolom deskripsi lagu FYBV. Yacko tentu benar. Momentum ini memang sangat relevan dengan lagu terbarunya. Tetapi apa sebetulnya yang mendasari kampanye ini? Dari mana asalnya kampanye 16 Days of Activism? Siapa yang mencetuskan? Bagaimana itu bisa terjadi?

Pada awalnya, ide tentang kampanye selama 16 hari ini datang dari Women’s Global Leadership Institute bekerja sama dengan Center for Women’s Global Leadership. Penyebabnya tidak lain karena masifnya tindak kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. Perempuan dalam hal ini menjadi objek kekerasan paling utama. Kekerasan tersebut bahkan dihadapi seumur hidup sejak perempuan masih bayi hingga ia tumbuh dewasa dan menjadi tua. Siklus kekerasan ini meliputi sunat perempuan, pernikahan dini, pernikahan paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, diskriminasi dalam dunia pendidikan; pekerjaan; dan sosial budaya, pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, sampai pada pembunuhan.

Sebagai contoh, pada tahun 1960 aktivis politik dari Republik Dominika yaitu Patria, Minerva, dan Maria Teresa atau yang lebih dikenal dengan Mirabal bersaudara dibunuh oleh rezim yang berkuasa saat itu. Mereka adalah korban kekerasan berbasis gender. Pembunuhan ini melatarbelakangi ditetapkannya tanggal 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Tentu ada jutaan kasus lain yang dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender termasuk yang terbaru adalah kasus yang menimpa Agni, mahasiswi Universitas Gajah Mada yang diperkosa oleh mahasiswa berinisial HS. Seperti dilansir dari The Conversation Indonesia, kasus kekerasan berbasis gender semacam ini justru sulit diselesaikan karena kuatnya budaya victim blaming atau budaya menyalahkan korban di Indonesia. Kampanye 16 Days of Activism adalah salah satu upaya untuk melawan siklus kekerasan ini. Di Indonesia, kampanye ini telah berlangsung sejak tahun 2003 dan diperingati setiap tahun sejak tanggal 25 November hingga 10 Desember. Selama kurun waktu tersebut, setidaknya ada tujuh hari yang merupakan hari peringatan untuk melawan kasus kekerasan. Untuk mengetahuinya lebih jelas, berikut keterangannya:

25 November:  Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

01 Desember:  Hari AIDS Internasional

02 Desember:  Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan

03 Desember:  Hari Internasional bagi Penyandang Cacat

05 Desember:  Hari Internasional bagi Sukarelawan

06 Desember:  Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan

10 Desember:  Hari Internasional untuk Hak Asasi Manusia

Apa yang dilakukan Yacko lewat hip hop adalah sebaik-baiknya usaha melawan kekerasan berbasis gender. Sekalipun akan terasa naif jika lantas usaha semacam ini hanya dipandang sebagai perayaan sebagaimana kampanye 16 Days of Activism yang diadakan setiap tahun. Justru kedua-duanya seharusnya menjadi jalan menuju kesadaran untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Tentu kesadaran bagi siapapun, terutama bagi mereka yang sampai saat ini masih bersikap seksis, misoginis, dan mencari perlindungan di bawah kuasa patriarki.

   

 

POPULER