Beranda blog Halaman 11

Social Media dan Kesehatan Seksual Anak Muda

Remaja sering menggunakan Internet untuk mengakses informasi kesehatan seksual tanpa harus ditemani orang tua atau wali. Dengan semakin meningkatnya jumlah ponsel cerdas dan akses internet, masuk akal bahwa kaum muda mengakses sumber daya vital ini untuk kebutuhan kesehatan seksual mereka. Namun, sedikit yang telah dilakukan untuk memahami bagaimana dan mengapa remaja berkonsultasi dengan internet untuk informasi kesehatan seksual.

Tapi apa yang kita ketahui tentang lanskap digital saat ini di kalangan pemuda dan bagaimana itu berkaitan dengan akses mereka terhadap informasi? Jika remaja gagal mendapatkan jawaban atas pertanyaan kesehatan seksual mereka, kemana mereka akan mengajukan pertanyaan itu?

Saat ini penting untuk memetakan bagaimana pemuda mengakses informasi kesehatan seksual secara online dan apa artinya bagi kesehatan seksual dan pendidikan seks.

Simak diskusi kita dengan Ida Saraswati. Mbak Ida Saraswati adalah pegiat sosial dan sedang melakukan riset tentang internet.

Geng Gulabi: Geng Feminis dengan Pentung dari India

geng gulabi
Gambar: www.theodysseyonline.com

“Jika seseorang akan memukul kepalamu, bagaimana caramu melindungi diri?” tanya seorang perempuan paruh baya. Ia memegang sebuah tongkat panjang di atas kepalanya, mencoba mengayunkan tongkat itu kepada perempuan lain yang jauh lebih muda di hadapannya.

“Aku akan memegangnya seperti ini,” kata perempuan muda sambil mengangkat tongkatnya. Mereka berdua sama-sama memakai Sari -baju adat India- berwarna merah muda dan kini sama-sama memegang tongkat panjang.

“Baiklah, sekarang aku akan memukulmu.”

Lalu tongkat keduanya berayun. Mereka adalah Sampat Pal Devi, pendiri Geng Gulabi, dengan salah seorang anggotanya, yang sedang berlatih menggunakan lathi-tongkat panjang tradisional India. Sesekali terdengar gelak tawa dari puluhan perempuan lain yang menyaksikan mereka berdua berkelahi menggunakan tongkat. Sama seperti Sampat Pal Devi dan lawan mainnya, mereka juga mengenakan Sari berwarna merah muda, berkumpul di sebuah lapangan, menunggu gilirannya berkelahi.

Geng Gulabi dan Perlawanannya

Gulabi adalah bahasa India untuk menyebut warna merah muda. Ini karena setiap kali melakukan konfrontasi, mereka secara kompak menggunakan Sari berwarna merah muda, sebuah simbol untuk menandai perlawanan mereka. Geng Gulabi didirikan oleh Sampat Pal Devi, perempuan yang lahir pada tahun 1958 dari Banda, salah satu wilayah paling miskin di distrik Bundelkhand, provinsi Uttar Pradesh, India Utara. Meski Devi menyebutnya sebagai geng, tetapi ia menolak mengasosiasikan Geng Gulabi dengan tindakan kriminal.

“Kata geng bisa berarti sebuah tim, sebuah kru. Kami adalah sebuah tim untuk menuntut keadilan,” ungkap Devi seperti dilansir dari vice.com.

Devi yang menikah pada usia 12 tahun ini mendirikan Geng Gulabi dengan tekad untuk melawan kekerasan yang menimpa perempuan seperti dirinya. Semua bermula ketika ia, pada suatu hari melihat seorang suami memukuli istrinya tanpa ampun. Ia memohon kepada pria tersebut untuk berhenti tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Keesokan harinya, Devi kembali bersama lima kawannya, semua perempuan dan masing-masing membawa lathi. Mereka menghajar pria tersebut atas tindakannya menganiaya istrinya sendiri. Kabar mengenai peristiwa tersebut lantas tersebar dengan cepat hingga membuat banyak perempuan lainnya meminta Devi melakukan hal yang sama.

Pada tahun 2006, Devi akhirnya secara resmi memberi nama timnya dengan sebutan Geng Gulabi. Sejak saat itu hampir setiap hari mereka menerima laporan penganiayaan yang berdasarkan pada kekerasan gender seperti pemerkosaan, pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain sebagainya. Pada perjalanannya, Geng Gulabi bahkan tidak hanya menangani kasus-kasus tersebut. Mereka turut mengupayakan pemberdayaan perempuan dengan menyediakan akses pendidikan bagi anak-anak dan membekali perempuan miskin dengan keterampilan seperti menjahit, dengan tujuan untuk menunda usia pernikahan mereka.  Hanya dalam waktu dua tahun setelah didirikan atau tepatnya pada tahun 2008, anggota Geng Gulabi bahkan telah mencapai sepuluh ribu perempuan. Dukungan yang sangat masif ini diperoleh tanpa butuh waktu lama karena perlawanan mereka bersifat langsung sehingga dampaknya juga kentara.

Perlawanan yang Lahir dari Sarang Kejahatan

Seperti dilansir dari Aljazeera, pada tahun 2013, Uttar Pradesh termasuk salah satu provinsi di India Utara yang paling tidak aman bagi perempuan dan anak-anak dengan 1.963 kasus pemerkosaan, 7.910 kasus penculikan, dan 2.244 kasus pembunuhan. Sementara itu, sebagai bagian dari provinsi ini, Bundelkhand adalah sebuah distrik yang sangat miskin dengan populasi penduduk yang meledak. Keadaan ini belum ditambah dengan korupsi yang terjadi pada semua level birokrat, sistem ekonomi yang tidak produktif, hingga pemberlakuan sistem kasta yang bahkan masih dapat disaksikan hingga saat ini. Semua ini menjadikan wilayah tersebut sebagai sarang kejahatan yang bisa menimpa siapapun terutama perempuan dan anak-anak.

Di bawah sistem patriarki, situasi ini bisa menjadi lebih buruk karena perempuan dan anak-anak ditempatkan sebagai warga negara kelas kedua sehingga mereka sangat berpotensi menerima penindasan berlapis. Jika mereka tinggal pada sebuah wilayah miskin seperti misalnya di Bundelkhand, Uttar Pradesh, India Utara, maka mereka tidak saja bertahan hidup dari kemiskinan, tetapi juga dari kekerasan berbasis gender seperti pemerkosaan, perkawinan anak, KDRT, genital mutilation, pemaksaan kehamilan, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi. Ini belum sampai pada puncaknya, karena yang terburuk dari semua tindak kekerasan tersebut adalah seringkali hukum tidak berpihak pada perempuan dan anak. Belum lagi jika mereka adalah perempuan dan anak-anak miskin atau perempuan dan anak-anak dari kasta terendah. Ini lah yang membuat Devi pada akhirnya memutuskan memilih bentuk perlawanan yang berbeda dari Mahatma Gandhi, bapak pendiri negara India.

“Saya sangat menghormati Gandhi. Ia adalah bapak bangsa kami,” kata Devi dalam sebuah wawancara dengan Journeyman TV. Ia berhenti agak lama sebelum melanjutkan perkataannya, “Tapi saya punya gaya yang berbeda. Saya Sampat Pal. Saya melakukan apa yang menurut saya benar.”

infografis geng gulabi

Mendapatkan Pengakuan

Tidak jarang Devi beserta anggota gengnya melakukan perjalanan menggunakan gerobak, traktor, bus, dan kereta untuk menjangkau wilayah-wilayah lain di luar tempat tinggalnya. Mereka menggasak setiap pelaku kekerasan baik itu seorang suami, seorang ayah, atau seorang anggota kepolisian sekalipun. Ia pernah memukul seorang polisi dengan tongkatnya karena diserang setelah melaporkan sebuah keluhan. Pada lain kesempatan ia mendatangi sebuah desa untuk menikahkan sepasang kekasih yang tidak berhasil mendapatkan restu dari masing-masing orang tuanya. Devi dengan suara lantang berkata bahwa tidak ada yang dapat memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai. Setelah melakukan negosiasi, sepasang kekasih itu pun akhirnya dinikahkan. Tidak hanya sampai di sana, Devi juga memberi peringatan keras kepada mempelai pria untuk menghormati istrinya.

“Jika kamu melakukan apapun itu yang sifatnya ilegal dan salah kepada gadis ini, kamu akan dihukum seberat-beratnya,” kata Devi.

“Jangan pernah memukul gadis ini. Kamu harus menjaminnya karena jika kamu memukulnya, aku akan kembali lagi,” lanjutnya.

Ia lantas berkata di depan warga yang datang menyaksikan prosesi pernikahan, mempertanyakan hak seorang perempuan yang selama ini selalu diabaikan.

“Jika seorang laki-laki melakukan kesalahan, apakah seorang perempuan dapat memukulnya?”

“Dia tidak dapat melakukannya,” jawab seorang pria sambil tersenyum meremehkan. Beberapa orang ikut tertawa mendengarnya.

“Mengapa tidak? Laki-laki memiliki kesalahan. Perempuan memiliki kesalahan. Mereka harus menghormati satu sama lain. Kontrak pernikahan harus memuat hal ini.”

Berkat keberanian Devi dan anggota lainnya, Geng Gulabi berhasil dikenal dan disegani oleh banyak orang, dan bahkan telah mendapatkan pengakuan dari otoritas setempat.

“Geng Gulabi telah menunjukkan hak-hak perempuan dan membangkitkan semangat melawan eksploitasi yang selama ini dialami oleh perempuan,” kata Arvind Sen, petugas pengawas kepolisian wilayah Banda, seperti dilansir dari Aljazeera.

Pada tahun 2012, seorang sutradara bernama Nishita Jain membuat film dokumenter mengenai Geng Gulabi. Film dokumenter berdurasi 96 menit itu pun memenangkan sejumlah penghargaan, salah satunya dalam ajang Festival Film Dokumenter Internasional Aljazeera dan Festival Film Internasional Dubai. Tidak mau ketinggalan, industri film terkenal India, Bollywood, juga turut menjadikan kisah perjalanan Geng Gulabi sebagai salah satu ide filmnya. Meskipun Devi sempat menolak film ini.

“Tamasya Bollywood ini adalah kisah yang dibuat-buat. Aku tidak akan mengijinkan film ini dirilis,” ujar Devi.

Sampai saat ini, Geng Gulabi masih terus memperjuangkan hak-hak perempuan India yang selama ini diabaikan. Perjuangannya adalah bagian dari cita-cita mewujudkan kesetaraan yang perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat global. Kekerasan berbasis gender apapun itu bentuknya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan sudah semestinya menjadi perhatian.

Imajinasi Kultural Dan Mimpi Perempuan Untuk ‘Menjadi’

Imajinasi kultural
Gambar: Freepik

Proses yang dialami perempuan tak pernah usai. Dari kelahiran hingga tutup usia, tak ada satu peristiwa pun dapat diabaikan. Dari meraba pengetahuan, budaya, nilai moral hingga menubuhkannya dalam aktivitas hidup sebagai proses  ‘menjadi’. Proses ‘kemenjadian’ ini merupakan sebuah harapan dan atau mimpi perempuan.

Seorang putri yang cantik hidup dengan ibu tiri atau seorang anak tak berpunya tinggal bersama ibunya dan lain sebagainya merupakan pembuka dari berbagai dongeng. Waktu tak begitu penting disetiap kelahirannya. Cinderela, Malin Kundang, Tangkuban perahu, Sangkuriang, Roro Jonggrang hingga Putri Salju, pernah mendengarnya? Atau fabel Kancil Nyolong Timun dan berbagai dongeng rakyat lainnya. Kesemua cerita dongeng pasti mempunyai muasal, laiknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Baik dari latar belakang penciptaannya hingga pesan moral yang bisa diambil sebagai pelajaran.

Dalam sebuah dongeng, perempuan mempunyai posisi yang perlu dikenali dengan jeli. Citra yang dibangun menanamkan nilai tentang kecantikan, keberuntungan, kutukan, kebencian, kemurkaan, dan lain sebagainya. Citra tersebut menyembunyikan nilai dan menjadi perumpamaan yang seolah masuk akal. Citra diserap kemudian menjadi alat stereotiping. Perempuan yang baik hati bak Cinderella yang siap dilamar Pangeran. Ibu yang doanya dikabulkan karena menunggu anaknya pulang. Bocah yang kerja keras akan mendapat keajaiban, dan lain sebagainya. Nilai, stereotipe dan citra merupakan imajinasi kultural yang tanpa ijin minta dipenuhi dan diikuti. Tidak ada yang salah dengan imajinasi kultural tersebut, yang keliru adalah ‘bermimpi’ tanpa tahu harus kemana. Tanpa tahu ‘bagaimana nasib ibu dan saudara tiri Cinderella’, ‘bagaimana nasib istri Malin Kundang’, serta bagaimana menanggapi kenyataan yang terus bergulir tak terduga.

Dalam imajinasi kultural selalu ada garis tegas antara yang buruk dan yang baik. Yang buruk selalu jatuh dan yang baik selalu berakhir bahagia. Apakah ini takdir atau sebab-akibat yang diinginkan Semesta? Boleh menjawab bukan semuanya.

Kenyataan mempunyai segala macam pilihan. Terlepas dari buruk atau baik, ada hasrat untuk bertahan pada ‘mimpi’. Sebab dan akibat tentu saja jelas akan terjadi. Misalnya, jika bermimpi menjadi selebgram, artinya mesti menarik follower sebanyak mungkin. Misalnya, lagi, untuk menentukan karir sebagai dokter artinya harus menempuh pendidikan sekian tahun dan menggali tawaran pekerjaan sedalam-dalamnya. Mungkin saja masih banyak realitas lain yang mendudukkan perempuan pada pilihan. Harus diakui bahwa pilihan tersebut semata-mata mempunyai pertimbangan untuk ‘menjadi’.

Jika saja imajinasi kultural yang didongengkan dipegang secara kuat. Maka mimpi perempuan diikat oleh tali-tali nilai. Artinya, segala macam penanda tentang perempuan yang baik harus lulus kerja domestik, yang cantik yang mempunyai tubuh proporsional dengan perawatan bahan alami serta berdandan seminimal mungkin. Berlaku sopan. Tersenyum, dan segala macam penanda lain yang mencitrakan ‘mimpi’ perempuan untuk menyetujui dan menubuhkan imajinasi kultural. Sebuah mimpi yang diarahkan bukan?

Setiap periode atau setiap tangkapan terhadap makna ‘baik’ layak untuk disusun secara arbitrer. Boleh ‘yang baik’ menurut saya ‘tidak baik’ menurut kamu. Ruang kemungkinan ‘bermimpi untuk menjadi’ harus terbuka seluas-luasnya.

Kristeva menjelaskan mengenai yang tak terucap, tak bernama dan teredam. Ketiga bentuk ini hanya bisa diketahui melalui kenyataan. Dongeng dan mimpi kemudian menjadi medium mengucapkan yang tak terucap dan tak bernama. Sesuatu hal yang tak bernama adalah ‘nilai’ dan ‘menjadi’. Ketika nilai diasosiasikan dengan ‘yang baik’ maka dianggap santun jika tindakan atau aktivitas tersebut menguntungkan. Menguntungkan menurut siapa?

Jejalin ‘nilai’ memang tak sesederhana menjelaskan hitam dan putih. Saat  Cinderela tinggal bersama ibu dan dua orang saudara tirinya, ia diikat dengan aktivitas domestik. Pada suatu malam, diam-diam ia datang ke pesta. Cinderela bertemu dengan Pangeran. Pangeran yang mempunyai kekayaan, posisi terpandang dan mampu mengangkat derajatnya. Bukankan ini ‘mimpi’? Apakah perempuan pada umumnya juga bermimpi bertemu dengan Pangeran untuk mendapatkan cukup materi, posisi terpandang dan mengangkat derajatnya? Setiap keinginan akan saling bertemu. Masyarakat yang patuh, punya keinginan besar mengamini imajinasi kultural dalam bentuk nilai-nilai. Mengamini domestifikasi dan mengabaikan keterbukaan hubungan sosial. Sedangkan dalam dongeng bisa digambarkan dengan Cinderela meninggalkan kegiatan domestik dan pergi ke pesta untuk bertemu Pangeran. Saudara dan ibu tirinya juga memimpikan Pangeran yang berpunya dari segi materi dan posisi. Semua sah, boleh.

Lagi-lagi bahasa jadi medium antara kenyataan yang terjadi dan yang tersembunyi. Kenyataan yang terjadi memberi batas pada aktivitas yang dilakukan perempuan dalam proses ‘menjadi’. Kenyataan, ternyata tidak mempunyai kelonggaran seperti yang diduga. Analoginya adalah sosial media. Semakin seseorang ingin membangun citra diluar kenyataan dirinya dengan membangun penanda di sosial media, maka semakin terjerat masuk pada kenyataan yang tersembunyi. Medium gambar dan kata yang merespon permintaan publik diminta menjadi unik. Harus menarik dan lain sebagainya untuk mendapatkan ruang dan ‘like’ dari follower. Akhirnya semakin ingin terlepas dari kenyataan yang terjadi maka akan semakin terjerembab pada kenyataan lain yang tersembunyi.

Pada akhirnya, dongeng dan mimpi merupakan sebuah analogi tentang proses perempuan untuk ‘menjadi’. Menjadi Putri atau Permaisuri, menjadi orang baik atau menjadi diri sendiri, menjadi buruk atau pengutuk. Proses ‘menjadi’ mesti dilewati dan diperjuangkan karena kehidupan tidak melulu hitam dan putih atau baik dan buruk. Proses disusun lewat berbagai kenyataan yang terjadi dan yang tersembunyi, tidak selalu dapat dinilai benar dan salah. Keterbukaan berpikir serta mengutarakan pendapat adalah cara terkecil yang bisa ditempuh. Mari bermimpi bak Cinderela, Saudara dan Ibu Tiri-nya, mbak Menik, mbak Lastri, Ning Ratri ataupun Triani. Mari mendongeng kenyataan dari mimpi perempuan sebagai tahapan menggayuh proses ‘menjadi’.

Cerita Kami bersama Gerak 28 September (2018)

28 september hari aborsi aman internasional

Sejak tahun 2011 sampai sekarang, Samsara selalu mengikuti kegiatan kampanye global 28 September. Pada tahun-tahun sebelumnya, Samsara melakukan aksi kampanye di jalan tetapi tidak banyak kalangan yang merasa perlu ikut serta merayakan kampanye ini. Kemudian, konteks nasional pun belum mendukung suara tentang aborsi aman dan legal karena pemerintah belum mengimplementasikan peraturan yang memperbolehkan tindakan aborsi untuk kedaruratan medis dan korban perkosaan seperti yang tertuang dalam PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Selain itu, stigma yang muncul dari masyarakat terhadap perempuan yang melakukan aborsi adalah tentang dosa, pelanggaran, mitos dan berbagai narasi negatif lainnya. Berkaca dari hal-hal tersebut, Samsara menawarkan kegiatan yang berbeda pada tahun ini. Simak rincian kegiatan kami pada 28 September 2018 dalam newslatter yang kami tautkan. Kamu bisa download dan baca dalam dua versi, Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.

  1. English
  2. Indonesia

Selamat Membaca, Sampai jumpa pada 28 September tahun depan, dan mari terus dukung pilihan perempuan atas otonomi tubuhnya.

 

Pelatihan Bidan: Penanganan Medis untuk Perdarahan Pasca Persalinan dan Keguguran

pelatihan bidan

Halo bidan-bidan di Yogyakarta dan sekitarnya..

Kali ini Samsara hadir dengan program Pelatihan Bidan untuk penanganan perdarahan pasca persalinan dan keguguran. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas para bidan di Yogyakarta dan sekitarnya.

Kenapa perlu pelatihan ini?

Pada tahun 2035, diperkirakan adanya kekurangan jumlah tenaga ahli layanan kesehatan yang terampil sebanyak 12,9 juta orang secara global. Data dari Menteri Kesehatan menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah bidan 4 kali lebih banyak dari dokter, dan 25,6 kali lebih banyak dari dokter spesialis kebidanan/kandungan (obgyn).

Kurangnya penyedia layanan yang terlatih, hambatan-hambatan dari kebijakan dan regulasi, stigma, atau keberatan hati nurani dinilai dapat membatasi ketersediaan penyedia layanan aborsi aman dan asuhan pasca aborsi dalam beragam konteks (Panduan Peran Tenaga Kerja Kesehatan dalam Penyediaan Layanan Aborsi Aman dan Kontrasepsi Pasca Aborsi – Badan Kesehatan Dunia, 2015).

Oleh karena itu, bidan memegang peran penting di barisan depan, mengingat bidan bekerja secara langsung dengan perempuan dan tersebar di berbagai tempat, bahkan di wilayah pedesaan.

Dengan meningkatkan kemampuan bidan melalui pelatihan tentang Penanganan Medis untuk Perdarahan Pasca Persalinan dan Keguguran, diharapkan dapat menurunkan Angka Kematian Ibu, khususnya untuk perempuan dalam kemiskinan, perempuan yang belum menikah, dan perempuan yang tinggal di pedesaan.

Anda tertarik? Ini persyaratan:

  • Minimal lulusan D3 Akademi Kebidanan
  • Usia 21-35 tahun
  • Berdomisili di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya
  • Aktif melakukan praktik kebidanan di rumah sakit, puskesmas maupun praktik mandiri
  • Memiliki pandangan yang positif dalam memberikan layanan untuk perempuan
  • Bersedia mengikuti pelatihan tanggal 17 November 2018
  • Melengkapi [formulir pendaftaran] sebelum  14 November 2018

Jangan lupa bagikan informasi ini ke dalam komunitasmu, ya!

Twisted Beauty Standards in Indonesia

Beauty Standards
Source: Freepik

According to The Body Project developed by the Women’s Studies Program of Bradley University, Illinois, standards of beauty are arbitrary and they vary greatly both from one culture to another and over time. So is the case here in Indonesia. The beauty standards changes gradually overtime. Traditional values of beauty standard are being replaced nowadays by the media influences, cosmetic industry and their advertisements. In Indonesian beauty industry itself, one of the most popular products with the highest revenue are whitening products. This indicates that there are a lot of demands from Indonesian market that desire fairer skin. Amongst women in Indonesia, fairer skin is more desirable in comparison to darker skin. Unfortunately, many of those women doesn’t know that their darker skin is scientifically beneficial for living in tropical country such as Indonesia.

Back in the 10th century when temples such as Prambanan were built (UNESCO), the beauty standard in Indonesia does not really focus on skin color, it focuses on fertility. Beauty was defined by body proportion. Reliefs and carvings in Prambanan and also Borobudur portray women with curvy figures that symbolize fertility, which at that time is considered as beautiful. Another example of body proportion defining beauty standard took place in the Dayak tribe, long ear is considered as gorgeous.

As time goes by, the beauty standard gradually changes. Nowadays in Dayak tribes, the younger generation will take less attention in considering long ears as a significant standard of beauty. Furthermore, as globalization occurs in Indonesia and affects variety of aspects such as media and entertainment, the beauty standard is also stirred. As they often appear in television, the actress’s features had become a new beauty standard.

Around the 70s and 80s in Indonesia, actresses such as Christine Hakim, Lidya Kandou, and Marissa Haque represent the mixed race epitome of beauty in that era. Around the 90s, soap operas become very popular and programs and commercials were dominated by Eurasian looking actresses such as Tamara Bleszinsky who is of Polish-Indonesian descent. In the 2000s more Asian looking stars such as Leony, Agnes Monica, and Laura Basuki rises. And the latest beauty trend that starts from the 2010 when the Korean soap operas, music and fashion became popular in Indonesia, the Korean celebrity’s features such as milkywhite skin complexions and impeccable white teeth becomes popular (Jakarta Post 2014). Everybody wants their fair skin, which increases the demand of Skin whitening products are ranked highest among all revenue-generating products in the cosmetic industry in Indonesia. Skin whitening advertisements dominate the landscape of Indonesian women’s magazines. In L. Ayu Saraswati’s research, Cosmopolitan Whiteness: The Effects and Affects of Skin Whitening Advertisements in a Transnational Women’s Magazine in Indonesia, she focused on the effect of whitening product advertisement in popular magazine, Cosmopolitan, in Indonesia.

In that magazine the whitening cream portrayed a Caucasian model. This raises the question; what kind of beauty standards are we imposing on Indonesia women? The Caucasian models surely do not represent the market where the product is being sold at. Genetically, they do not have the same DNA constructing their skin that Indonesian women have. Moreover, this kind of advertisement also sends the wrong message towards the women of Indonesia, suggesting them to desire certain skin tone that is naturally impossible for them to have. When they are marketing whitening their products, the advertisements used by these companies are using mostly negative connotations for darker skin. A local beauty brand Ponds used to market this product called “Pond’s White Detox”. This particular product naming offers an idea to the Indonesian-wide audience, especially women, that non-white skin or darker skin is a “toxic” that needed to be “detoxed”.

Another advertisement by Pond’s also said “Dark out, White In. Increase your face value”. This kind of advertisement degrades Indonesian women with darker skin with the particular words selection “Increase your face value” which suggests that people are more valuable when they have whiter skin. The advertisement companies are using only “beautiful” fair-skinned women that results in positive effect towards women with fair skin color. This would then lead to the audience of those ads perceiving the idea that a whiter skin tone is somewhat more beautiful. Moreover, they also help maintain relations of power in which whiteness holds the supreme position. This ad feeds into the reconstruction of white-skinned face as beautiful, desirable, and generating positive effects.

A feminist cultural studies scholar Sara Ahmed argues, “Some objects more than others embody the promise of happiness. In other words, happiness directs us to certain objects, as if they are necessary ingredients for a good life” (Ahmed 2007). In relation to this study the skin whitening products as well as the advertisement become objects necessary for a good life. That particular fact leads Indonesian women to use all kinds of methods to enhance their skin, including the use of products that actually are in the list of illegal whitening products published by BPOM, an Indonesian body that regulates distribution of food and drugs. Those illegal products may contain amount of mercury that is higher than they are. Mercury can cause black spots, skin irritation, and in high dosage can lead to symptoms as dangerous as brain and kidney damage (Saraswati 2012). Mercury, too, is one carcinogenic element that could trigger cancer. This mere fact surely opposes whitening products as objects necessary for a good life.

The fact that women are still buying dangerous whitening products is strengthened by a recent media discussion held at RSU Bunda Jakarta, January 15th 2016, in which oncologist Afrimal Syafarudin stated, “One of my patient caught cancer as a result of cosmetic use. In my observation, they are using whitening creams that results in fairer-white skin in just two or three days”. Another expert, dermatologist Rachel Djuanda said, there is no such thing as skin whitening cream in, it is actually skin brightening cream. Rachel also advised that people should be extra cautious to products that instantly whiten their skin (Kompas 2016).

Other than products and media that embody this very opinion of fairer skin color is more beautiful than darker skin color, women themselves also devalues one another for having darker skin color. When Indonesian women are engaged in conversations, other than ‘Oh my god! Are you getting fat?’ that promotes body negativity, the question ‘Oh my god! Is your skin getting darker?’ is one of the most frequently heard. This portrays how society prefers when women have darker skin and women are made to feel reluctant and it is bad when they have darker skin. Darker skin is deemed very negative. The urge to use whitening products to fit in society amongst Indonesian women nowadays starts when they are teenagers. Teenagers in their puberty feels the change and maturity that comes through their body. This period of life is extremely crucial to them, because most of the changes both physically and mentally took place at this very period. In this period too, they started to embody this particular value ‘fair skin is superior to darker skin’. This is a very dangerous thought process. It could damage and disturb them as well as being carried out throughout their adult life.

It is undeniable that darker skin makes most Indonesian women uncomfortable and ashamed. However, women are also ashamed of admitting of using whitening skin products. This is strengthened by the interviews conducted L. Ayu Saraswati for her research, “Malu”: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia. One interviewee admitted that when she was in high school, her friends would ask whether or not her she uses makeup. She would not dare to confess of using makeup to cover up the fact that her skin was dark. Moreover, women that were being interviewed in Saraswati’s research are often ignored for not having lighter skin which is a parameter for being considered as beautiful (Saraswati 2012). The women fear of being shamed when they do not have lighter skin. Based on her interviews, almost all women with darker skin color are deemed undesirable by Indonesian men. On contrary, Indonesian women are often portrayed as attractive because of their naturally-possessed features, such as darker skin, dark eyes and dark hair by foreigners. More Indonesian women should see themselves in a positive way as such.

It is concerning that most Indonesian women seem to ignore the fact that having a darker skin is actually beneficial when living in a tropical country. By having darker skin Indonesian women are protected  from the high intensity of sunlight that they are exposed to throughout the year. Moreover, it is also a natural shield that protects from harmful skin diseases and neutralizes the dangerous effect caused by damaging chemical radiation (Jablonski and Chaplin 2000).

A bio-anthropology that studies about skin color variations in the five continent clearly state that a higher intensity and longer exposure to the sun results in darker skin color as the amount of melanin produced is higher. Melanin prevents UV getting through the skin up to the extend where the vitamin D is being synthesized by UV which means darker skin could help prevent an excess of hypervitamonis and folate acid (Indriati 2005). The darker skin is indeed beneficial.

In conclusion, the beauty standards vary greatly both from one culture to another and over time. In Indonesia, what is considered as beautiful gradually develops as well. Along the process of those developments, different factors are considered. The beauty standards that were initially based on traditional values being replaced nowadays by the media influences, cosmetic industry and their advertisements. In Indonesian cosmetic industry itself, the most popular products with the highest revenue are whitening products, indicating this very fact that there are a lot of demands from the market, meaning that a lot of Indonesians desire fairer skin. Those being mostly women that believes fairer skin is more desirable in comparison to darker skin when in fact many researches states that the darker skin is indeed scientifically benefit them for living in tropical country exposed to sun throughout the year such as Indonesia.

References
“Bradley University: Body & Beauty Standards”. Bradley.edu. N.p., 2016. Web. 9 Oct. 2016.

Ahmed, S., 2007. MULTICULTURALISM AND THE PROMISE or HAPPINESS. New formations, 2008, p.63.

Indriati, E., 2005. SIKLUS HIDUP DAN KERAGAMAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KEDOKTERAN.

Jablonski, N.G. and Chaplin, G., 2000. The evolution of human skin coloration. Journal of human evolution, 39 (1).

Media, Kompas. “Hati-Hati, Krim Pemutih Wajah Bisa Sebabkan Kanker Kulit” Kompas.Com.
Health.kompas.com. N.p., 2016. Web. 28 Sept. 2016.

Post, The. “Chasing The Quintessential Indonesian Beauty”. The Jakarta Post. N.p., 2016. Web. 28 Sept. 2016.

Saraswati, L.A., 2010. Cosmopolitan whiteness: The effects and affects of skin-whiteningadvertisements in a transnational women’s magazine in Indonesia. Meridians: feminism, race, transnationalism, 10(2), pp.15-41.

Saraswati, L.A., 2012. “Malu”: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia. Feminist Studies, 38(1).1

Memikirkan Ulang Standar Kecantikan Perempuan Indonesia

standar kecantikan
Sumber: Freepik

Menurut The Body Project yang dikembangkan oleh Program Studi Perempuan Universitas Bradley, Illinois, standar kecantikan adalah arbitrer dan sangat berbeda dari budaya satu dengan budaya lainnya. Begitu juga halnya di Indonesia. Standar kecantikan berubah secara bertahap dari waktu ke waktu. Nilai-nilai kecantikan tradisional  sedang berubah sebab pengaruh media, industri kosmetik dan iklan mereka. Di industri kecantikan Indonesia sendiri, salah satu produk paling populer dengan pendapatan tertinggi adalah produk pemutih kulit. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak permintaan dari pasar Indonesia yang menginginkan kulit lebih cerah. Di antara para perempuan di Indonesia, kulit yang lebih cerah lebih diinginkan dibandingkan dengan yang lebih gelap. Sayangnya, banyak dari perempuan itu tidak tahu bahwa kulit gelap mereka secara ilmiah bermanfaat untuk hidup di negara tropis seperti Indonesia.

Kembali pada abad ke 10 ketika candi seperti Prambanan dibangun (UNESCO), standar  kecantikan di Indonesia tidak terlalu fokus pada warna kulit, melainkan fokus pada kesuburan. Kecantikan didefinisikan oleh proporsi tubuh. Relief dan ukiran di Prambanan dan juga Borobudur menggambarkan perempuan dengan sosok melengkung yang melambangkan kesuburan, yang pada saat itu dianggap sebagai perempuan cantik. Contoh lain dari proporsi tubuh mendefinisikan standar kecantikan yang terjadi di suku Dayak, telinga panjang dianggap sebagai cantik.

Seiring berjalannya waktu, standar kecantikan secara bertahap berubah. Saat ini di suku Dayak, generasi yang lebih muda kurang menganggap telinga panjang sebagai standar kecantikan yang signifikan. Selanjutnya, seiring globalisasi yang terjadi di Indonesia dan mempengaruhi berbagai aspek seperti media dan hiburan, standar kecantikan juga berubah. Seperti yang sering muncul di televisi, gaya aktris telah menjadi standar kecantikan baru.

Sekitar tahun 70-an dan 80-an di Indonesia, aktris seperti Christine Hakim, Lidya Kandou, dan Marissa Haque mewakili lambang ras campuran kecantikan di era itu. Sekitar tahun 90an, sinetron menjadi sangat populer, beserta program dan iklan didominasi oleh aktris Eurasia seperti Tamara Bleszinsky yang keturunan Polandia-Indonesia. Pada tahun 2000-an lebih banyak bintang Asia seperti Leony, Agnes Monica, dan Laura Basuki naik di pasaran. Dan tren kecantikan terbaru yang dimulai dari 2010 saat sinetron, musik dan fashion Korea  menjadi populer di Indonesia, ikon selebriti Korea dengan kulit putih dan gigi putih sempurna menjadi populer (Jakarta Post 2014). Semua orang menginginkan kulit yang cerah, yang meningkatkan permintaan produk pemutih kulit.

Produk pemutih kulit menempati peringkat tertinggi di antara semua produk dalam industri kosmetik di Indonesia. Iklan pemutih kulit mendominasi lanskap majalah wanita Indonesia. Dalam penelitian L. Ayu Saraswati, Cosmopolitan Whiteness: The Effects and Affects of Skin Whitening Advertisements in a Transnational Women’s Magazine in Indonesia, Saraswati berfokus pada efek  iklan produk pemutih di majalah populer, Cosmopolitan, di Indonesia. Di majalah tersebut, krim pemutih model Kaukasia menjadi tren. Kemunculan iklan ini menimbulkan pertanyaan; apa jenis standar kecantikan yang majalah suguhkan pada perempuan Indonesia? Model Kaukasia tentu saja tidak mewakili pasar di mana tempat produk dijual. Secara genetik, mereka tidak memiliki DNA kulit yang sama dengan kulit yang dimiliki perempuan Indonesia. Selain itu, iklan semacam ini juga mengirimkan pesan keliru terhadap perempuan Indonesia, dengan menyarankan perempuan untuk memiliki warna kulit tertentu yang secara alami tidak mungkin bagi mereka untuk memilikinya.

Ketika produsen pemutih kulit memasarkan produk, iklan yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan ini menggunakan sebagian besar konotasi negatif untuk kulit yang lebih gelap. Produk kecantikan lokal seperti Pond  biasa memasarkan produk dengan tagline “Pond’s White Detox “. Penamaan produk khusus ini menawarkan ide ke seluruh khalayak Indonesia, terutama perempuan, bahwa kulit yang tidak putih atau kulit yang lebih gelap adalah “beracun” yang perlu “didetoksifikasi”.

Iklan lain dari Pond’s juga mengatakan ““Dark out, White In. Increase your face value ”.  Jenis iklan ini menurunkan derajat wanita Indonesia dengan kulit yang lebih gelap melalui pemilihan kata-kata tertentu “Tingkatkan nilai wajah Anda” yang menunjukkan bahwa orang lebih berharga ketika mereka memiliki kulit lebih putih. Perusahaan-perusahaan iklan hanya menggunakan perempuan “cantik” yang menghasilkan efek positif terhadap perempuan dengan warna kulit yang cerah. Ini kemudian akan mengarah ke audiens dari iklan-iklan yang mempersepsikan ide tersebut bahwa warna kulit yang lebih putih lebih cantik. Selain itu, mereka juga membantu memperkuat hubungan kekuasaan di mana yang putih memegang posisi tertinggi. Iklan ini merekonstruksi wajah berkulit putih sebagai sosok cantik, sosok yang diinginkan, dan menghasilkan efek positif.

Seorang sarjana studi budaya feminis, Sara Ahmed berpendapat, “Beberapa objek lebih dari yang lain mewujudkan janji kebahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaan mengarahkan kita pada objek-objek tertentu, seolah-olah objek-objek tersebut dibutuhkan untuk kehidupan yang baik ”(Ahmed 2007). Sehubungan dengan penelitian ini produk pemutih kulit ataupun iklan menjadi objek yang diperlukan untuk kehidupan yang baik. Fakta khusus tersebut menyebabkan perempuan Indonesia menggunakan semua jenis metode untuk meningkatkan kemulusan kulit mereka, termasuk penggunaan produk yang sebenarnya ada dalam daftar produk pemutihan ilegal yang diterbitkan oleh BPOM, sebuah badan Indonesia yang mengatur distribusi makanan dan obat-obatan. Produk ilegal tersebut mungkin mengandung jumlah merkuri yang lebih tinggi. Merkuri menyebabkan bintik-bintik hitam, iritasi kulit, dan dosis tinggi dapat menyebabkan gejala yang sama berbahaya seperti kerusakan otak dan ginjal (Saraswati 2012). Merkuri juga merupakan salah satu unsur karsinogenik yang dapat memicu kanker. Fakta ini tentu saja bertentangan dengan iklan pemutihan kulit sebagai objek yang diperlukan untuk kehidupan yang baik.

Fakta bahwa perempuan masih membeli produk pemutih yang berbahaya diperkuat oleh diskusi media yang berlangsung di RSU Bunda Jakarta, 15 Januari 2016, dimana onkolog Afrimal Syafarudin menyatakan, “Salah satu dari pasien saya menderita kanker sebagai akibat dari penggunaan kosmetik. Dalam pengamatan saya, mereka menggunakan krim pemutih yang menghasilkan kulit lebih putih hanya dalam dua atau tiga hari ”. Ahli lain, dokter kulit Rachel Djuanda mengatakan, tidak ada yang namanya krim pemutih kulit, yang ada hanyalah krim memutihkan kulit. Rachel juga menyarankan agar orang harus ekstra hati-hati terhadap produk yang langsung menyentuh kulit mereka (Kompas 2016).

Selain produk dan media yang mewujudkan pendapat warna kulit yang lebih putih ialah lebih cantik daripada warna kulit yang lebih gelap, para perempuan sendiri juga meremehkan satu sama lain karena memiliki warna kulit yang lebih gelap. Ketika wanita Indonesia terlibat dalam percakapan, selain ‘Ya Tuhan! Kamu kok jadi gemuk? ’ yang menggerakkan negativitas tubuh, pertanyaan” Oh my god! Apa kulitmu jadi lebih gelap? ’adalah salah satu pertanyaan yang paling sering didengar. Percakapan ini menggambarkan bagaimana masyarakat lebih suka ketika perempuan memiliki kulit yang lebih putih dan perempuan lain merasa enggan dan mempunyai persepsi buruk pada dirinya ketika mereka memiliki kulit yang lebih gelap. Kulit yang lebih gelap dianggap sangat negatif.

Dorongan untuk menggunakan produk pemutih agar memenuhi standar masyarakat di antara para perempuan Indonesia saat ini dimulai ketika mereka remaja. Remaja di masa puber mereka merasakan perubahan dan kematangan yang datang melalui tubuh mereka. Periode kehidupan ini sangat penting bagi remaja tersebut, karena sebagian besar perubahan terjadi baik secara fisik maupun secara permanen pada periode ini. Pada periode remaja juga, mereka mulai mewujudkan nilai khusus seperti, ‘kulit putih lebih unggul dari kulit yang lebih gelap’. Penilaian seperti ini adalah proses berpikir yang sangat berbahaya. Hal ini dapat merusak dan mengganggu mereka sepanjang kehidupan dewasa .

Tidak dapat dipungkiri bahwa kulit yang lebih gelap membuat sebagian besar perempuan Indonesia merasa tidak nyaman dan malu. Namun, perempuan juga malu mengakui menggunakan produk kulit pemutih. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan L. Ayu Saraswati untuk penelitiannya, “Malu: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia”. Seorang yang diwawancara mengakui bahwa ketika dia di sekolah menengah, teman-temannya akan bertanya apakah dia menggunakan riasan atau tidak. Dia tidak akan berani mengaku menggunakan makeup untuk menutupi fakta bahwa kulitnya gelap. Selain itu, perempuan yang diwawancarai dalam penelitian Saraswati sering diabaikan karena tidak memiliki kulit yang lebih terang yang merupakan parameter untuk dianggap sebagai sosok yang cantik (Saraswati 2012).

Para perempuan takut dipermalukan ketika mereka tidak memiliki kulit yang lebih terang. Berdasarkan wawancara langsung, hampir semua perempuan dengan warna kulit yang lebih gelap dianggap tidak diinginkan oleh pria Indonesia. Sebaliknya, perempuan Indonesia sering digambarkan sebagai menarik oleh orang asing karena sifat alami mereka yang dimiliki, seperti kulit yang lebih gelap, mata gelap dan rambut gelap. Lebih banyak perempuan Indonesia yang harus melihat diri mereka dengan cara yang positif seperti itu.

Sangat disayangkan bahwa sebagian besar wanita Indonesia tampaknya mengabaikan fakta bahwa memiliki kulit yang lebih gelap sangat bermanfaat ketika tinggal di negara tropis. Dengan kulit yang lebih gelap, perempuan Indonesia terlindung dari intensitas sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun. Selain itu, kulit gelap juga merupakan perisai alami yang melindungi dari penyakit kulit berbahaya dan menetralkan efek berbahaya yang disebabkan oleh radiasi kimia yang merusak (Jablonski dan Chaplin 2000).

Bio-antropologi yang mempelajari tentang variasi warna kulit di lima benua dengan jelas menyatakan bahwa intensitas yang lebih tinggi dan lebih lama terkena paparan sinar matahari menghasilkan warna kulit yang lebih gelap karena jumlah melanin yang diproduksi lebih tinggi. Melanin mencegah UV melewati kulit sampai ke batas di mana vitamin D yang disintesis oleh UV, berarti kulit yang lebih gelap dapat membantu mencegah kelebihan hypervitamonis dan asam folat (Indriati 2005). Kulit yang lebih gelap memang menguntungkan.

Kesimpulannya, standar kecantikan sangat bervariasi baik dari budaya satu ke budaya yang lain dan dari waktu ke waktu. Di Indonesia, yang dianggap cantik juga berkembang secara bertahap. Sepanjang proses perkembangan itu, faktor yang berbeda dapat dipertimbangkan. Standar kecantikan yang awalnya didasarkan pada nilai-nilai tradisional digantikan oleh pengaruh media, industri kosmetik dan iklan yang mereka buat.

Di industri kosmetik Indonesia sendiri, produk paling populer dengan pendapatan tertinggi adalah produk pemutih, menunjukkan fakta bahwa ada banyak permintaan dari pasar, yang berarti bahwa banyak orang Indonesia menginginkan kulit yang lebih terang. Mereka itulah yang percaya kulit lebih terang lebih diminati dibandingkan dengan kulit yang lebih gelap, padahal sebenarnya banyak penelitian menyatakan bahwa kulit yang lebih gelap memang secara ilmiah bermanfaat bagi mereka yang tinggal di negara tropis yang terkena sinar matahari sepanjang tahun seperti Indonesia.

Daftar Bacaan 

“Bradley University: Body & Beauty Standards”. Bradley.edu. N.p., 2016. Web. 9 Oct. 2016. Ahmed, S., 2007. MULTICULTURALISM AND THE PROMISE or HAPPINESS. New formations, 2008, p.63.

Indriati, E., 2005. SIKLUS HIDUP DAN KERAGAMAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KEDOKTERAN. Jablonski, N.G. and Chaplin, G., 2000. The evolution of human skin coloration. Journal of human evolution, 39(1).

Media, Kompas. “Hati-Hati, Krim Pemutih Wajah Bisa Sebabkan Kanker Kulit – Kompas.Com”. Health.kompas.com. N.p., 2016. Web. 28 Sept. 2016.

Post, The. “Chasing The Quintessential Indonesian Beauty”. The Jakarta Post. N.p., 2016. Web. 28 Sept. 2016.

Saraswati, L.A., 2010. Cosmopolitan whiteness: The effects and affects of skin-whitening advertisements in a transnational women’s magazine in Indonesia. Meridians: feminism, race, transnationalism, 10(2), pp.15-41.

Saraswati, L.A., 2012. ” Malu”: Coloring Shame and Shaming the Color of Beauty in Transnational Indonesia. Feminist Studies, 38(1).

Bicara Kekerasan Seksual di Sekolah

11 Oktober adalah Hari Anak Perempuan Internasional, kami bekerja bersama semua anak perempuan untuk memperluas kesempatan belajar yang ada, memetakan jalur baru dan menyerukan komunitas global untuk memikirkan kembali bagaimana mempersiapkan mereka untuk transisi yang sukses ke dunia kerja.

Di bawah tema global tahun ini, With Her: A Skilled Girlforce, International Day of the Girl akan menandai awal dari upaya satu tahun untuk menyatukan mitra dan pemangku kepentingan untuk mengadvokasi, dan menarik perhatian dan investasi untuk, kebutuhan dan peluang yang paling mendesak bagi anak atau remaja perempuan untuk mencapai keterampilan yang diinginkan.

Bicara kekerasan seksual di sekolah, adalah salah satu usaha memperkuat berbagai kekuatan anak perempuan.

POPULER