Beranda blog Halaman 12

Ada Apa Dengan 28 September?

28 September telah menjadi kampanye regional untuk dekriminalisasi aborsi di Amerika Latin dan Karibia selama lebih dari dua puluh tahun, sebelum diambil oleh para aktivis SRHR di seluruh dunia pada tahun 2011. Women Global Networks for Reproductive Right (WGNRR): melakukan kegiatan kampanye tahunan 28 September bekerja sama dengan anggotanya, mitra, dan sekutu di seluruh dunia, dan sebagai anggota dari Kampanye Internasional untuk Hak Perempuan mengakses aborsi yang aman.

Samsara dan kolektif yang bergerak dalam isu kehamilan tidak direncanakan dan aborsi aman telah melakukan diskusi dan konsolidasi. Konsolidasi tersebut akhirnya menyepakati beberapa aksi dalam berbagai bentuk yang akan segera digelar hingga akhir September 2018. Berdasar latar belakang tersebut, tema ini dipilih untuk ikut meramaikan dan mengajak kolektif yang ingin bergabung, sekaligus memperkenalkan apa itu Gerak 28 September.

Kunjungan Tim Satellite Workshop Ke Papua

Satellite Workshop adalah program edukasi yang dilakukan oleh Samsara yang berfokus pada penjangkauan komunitas di luar Pulau Jawa. Nama Satellite diambil dengan pertimbangan bahwa akses terhadap informasi dan layanan kesehatan berbasis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) masih banyak berpusat di Pulau Jawa, termasuk program dan kerja Samsara.

Kami akan melakukan perjalanan selama delapan minggu ke beberapa daerah di Papua dan Maluku. Rute yang akan kami ambil adalah Jayapura – Biak – Manokwari – Sorong – Ambon – Maluku Tengah – Kepulauan Buru – Maluku Utara. Bagi pihak yang berminat bergabung, akan tetapi berada di luar rute tersebut dapat tetap mengajukan permintaan workshop dengan mengisi form yang telah disediakan, atau menghubungi kontak yang tersedia. Dua orang fasilitator kami akan membantu komunitas/organisasi lokal untuk melakukan workshop dan diskusi terkait Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Mereka terdiri dari satu orang pegiat isu seksualitas dan gender dan satu orang lagi adalah seorang Bidan.

Video berikut ini adalah rangkuman kegiatan kami di Papua. Kami mengucapkan terima kasih kepada West Papua Update (www.tabloidjubi.com) yang telah membuat video ini dan banyak membantu selama perjalanan kami. Kami juga sangat berterima kasih kepada semua teman-teman komunitas dan masyarakat Papua yang berbagi pengetahuan kepada kami.

Saatnya kita bangkit bersama untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.

Malam Solidaritas 28 September: Dukungan untuk Kemerdekaan Perempuan atas Tubuhnya.

gerak 28 september
Devida dan Yessi sebagai MC di ACara Gerak 28 September 2018

Malam Solidaritas 28 September tahun ini dihadiri oleh berbagai organisasi dan individu, dari kalangan aktivis perempuan hingga seniman. Acara di gelar di area Bale Banjar yang terletak di belakang bangunan Sangkring Art Space, Bantul, Yogyakarta. Acara ini diinisiasi oleh Samsara dan diselenggarakan oleh individu-individu dari pelbagai kalangan yang menamakan diri mereka Kolektif 28 September. Malam solidaritas digelar secara terbuka bagi siapa saja yang ingin mendukung gerakan perempuan. Kampanye 28 September tahun 2018 ini mengusung tema ‘Gerak Bersama, Dukung Pilihan Perempuan atas Tubuhnya’.

Tanggal 28 September merupakan Hari Aksi Global untuk Aborsi Aman dan Legal. Organisasi maupun individu terkait dari seluruh dunia menyelenggarakan aksi demonstrasi, diskusi, pemutaran film dan banyak jenis kegiatan lainnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak dari aborsi tidak aman dan ilegal. Kampanye Global 28 September dilahirkan pada saat WGNRR (Women’s Global Network for Reproductive Rights) bergabung dalam Kampanye Amerika Latin dan Karibia untuk menghentikan kriminalisasi terhadap aborsi di tahun 2011. Selengkapnya mengenai sejarah gerakan 28 September dapat dibaca di artikel yang pernah diterbitkan Samsara disini.

Tujuan gerakan 28 September adalah untuk menggalang gerakan secara internasional dalam mengkampanyekan akses universal terhadap aborsi aman dan legal sebagai isu kesehatan dan hak asasi perempuan. Alasan pentingnya memberikan dukungan pada gerakan ini di antaranya: kampanye ini menyuarakan kebebasan rahim, hak perempuan diakui sebagai seseorang yang memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri, aborsi merupakan pemenuhan Hak Asasi Manusia dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.

Kegiatan aksi mendukung gerakan 28 September telah dilakukan beberapa waktu sebelumnya dengan mengadakan rangkaian kegiatan sebelum malam solidaritas yang diselenggarakan tepat pada 28 September 2018. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan diantaranya yaitu Workshop bersama Samsara selaku inisiator kampanye Gerak 28 September dan Nada Bicara, sebuah komunitas Seniman di Yogyakarta yang memberikan materi mengenai produksi lagu pada 23 September. Selain itu, di hari yang sama juga telah digelar diskusi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi berjudul ‘Membongkar tabu: Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas’ bersama Open Page dan Lavender Study Club serta menyusul kemudian diskusi bersama Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga dengan memberikan materi terkait gender dan parenting yang telah dilaksanakan pada 27 September.

Selain rangkaian acara dan diskusi yang telah dilaksanakan sebelum malam solidaritas 28 September seperti yang disebutkan di atas, kampanye juga telah dilakukan melalui sosial media seperti Instagram, Facebook dan Twitter. Kampanye dilakukan tidak hanya mendukung akses atas aborsi yang aman dan legal, namun juga memberikan pengetahuan mengenai hak yang dimiliki dan seharusnya bisa diakses oleh semua perempuan dan warga negara serta pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas. Gerakan 28 September 2018 juga merupakan bentuk dukungan kepada WA di Jambi yang menjadi korban pemerkosaan dan sempat ditahan lalu kembali dituntut oleh JPU untuk dipidana karena melakukan aborsi atas kehamilan yang terjadi akibat perkosaan yang dialaminya.

acara 28 september
Arya de Siul dalam acara Gerak 28 September di Sangkringan Art Space – Rodearni – 29 September 2018.

Dukungan dari Berbagai Kolektif

Gerakan 28 September juga merencanakan aksi berkelanjutan. Kegiatan lainnya yang akan dilanjutkan diantaranya; produksi lagu hasil dari Workshop sebelumnya yang diadakan oleh Nada Bicara, produksi film pendek mengenai isu perempuan bekerjasama dengan teman-teman dari  Pemetik Buah Khuldi serta teman-teman dari Telur Setengah Matang.

Pada malam solidaritas yang telah digelar beberapa hari lalu di Sangkring Art Space, diisi dengan pelbagai penampilan musik, orasi, video pendek, display karya, bazaar dan pembacaan puisi. Acara diawali dengan sambutan oleh ketua aksi, yaitu Elsa Auliya Rizky yang menyampaikan terima kasih atas segala bentuk dukungan dari banyak pihak serta harapan agar kampanye dan dukungan terhadap perempuan, khususnya korban seperti WA terus berlanjut. Acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian orasi, puisi, monolog, akustik dan penampilan dari beberapa musisi lokal dari Yogyakarta seperti: Rebellion Rose, Arye de Siul, Kolektif Tanpa Nama, Jessica, Shopping list, Deugalih dan Talamariam.

acara 28 september
Salah Satu Display yang Membuka Lapakan di Acara Gerak 28 September 2018

Selain penampilan dari musisi lokal, di lokasi acara juga digelar bazaar barang-barang yang bisa dinikmati atau dibeli oleh pengunjung seperti baju, buku, aksesoris oleh rekan-rekan dari Mimosa Market, Volkerkunde serta pameran foto dari Sliraku dengan tema ‘Self Love’. Selain itu juga tersedia jasa sablon on the spot oleh Needle and Bitch, yang menyediakan desain karya mereka sendiri dan karya dari Autonica, dan pengunjung bisa mendapatkan jasa sablon dengan desain yang unik hanya dengan berdonasi lima belas ribu rupiah. Lebih dari seratus orang datang meramaikan acara malam solidaritas dan ikut mendukung gerakan 28 September. Acara berlangsung hingga pukul 23.30 dan ditutup kembali oleh Elsa Auliya Rizky selaku Ketua Aksi kolektif 28 September serta penandatanganan spanduk oleh semua yang hadir sebagai bentuk dukungan terhadap kampanye gerak 28 September. Harapan terbesar dari kampanye ini adalah keberlanjutan dukungan atas kemerdekaan perempuan dan tubuhnya.

Body shaming dan Upaya Penegasan atas Gender Dominan

Body shaming
Sumber: Good.is

Tubuh manusia tidak hanya diartikan secara fisik, ia juga memiliki makna sosial. Tubuh, terutama pada perempuan menjadi representasi dirinya secara keseluruhan dalam sosial. Melalui media, konsep tubuh seringkali dilekatkan dengan label negatif, seperti pornografi dan dimunculkan untuk kepentingan kapitalisme. Sebagai akibatnya, terdapat standar-standar tubuh yang disebarkan oleh media dan disepakati oleh masyarakat. Body shaming, lahir dan ditujukan pada siapa saja yang tidak dapat memenuhi standar tersebut. Body shaming yang merupakan tindakan melecehkan seseorang melalui tubuhnya, menjadi bukti bahwa tubuh dalam sosial berperan penting bagi seseorang (terutama perempuan) untuk bisa diterima dalam masyarakat. Mengapa body shaming banyak dialami oleh perempuan?

 

Tubuh sebagai wujud fisik manusia tidak lagi dipandang sekedar mewakili eksistensi individual, namun keberadaannya telah menjadi komoditi bagi media. Sudah menjadi pemandangan yang umum bagaimana media, baik cetak ataupun elektronik terutama internet menyuguhkan tubuh-tubuh sebagai sebuah komoditi atau menyertai sebuah komoditi pada iklan komersial. Tubuh manusia telah lama dipandang sebagai objek oleh kacamata media.

Selain sebagai komoditi, media juga membangun sebuah konsep mengenai tubuh. Konsep ini meliputi ukuran ideal tidak ideal, cantik, sehat, bersih, kuat dan lain sebagainya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tubuh mewakili berbagai hal seperti identitas sosial dan dekonstruksi moral, di mana tubuh menjadi ukuran standar nilai di masyarakat. Tubuh (laki-laki dan perempuan) di media, tidak hanya dieksploitasi, tapi juga menjadi sumber sekaligus tujuan segala sifat konsumtif masyarakat, bahwa media membuat tubuh manusia memerlukan banyak sekali produk untuk mencapai standar ‘ideal’. Imbasnya, konsep tubuh ini yang kemudian diterima dan disepakati oleh masyarakat dan tubuh yang tidak mencapai konsep serta standar-standar tersebut, sangat rentan mengalami pelecehan atau dalam tulisan ini diistilahkan dengan body shaming.

Body shaming dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari bullying yang sejatinya sudah terjadi sejak dulu hingga sekarang, dimana media berperan besar dalam melanggengkan praktek-prakteknya. Oxford dictionary mendefinisikan body shaming sebagai ‘Tindakan atau praktik mempermalukan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau mengkritik tentang bentuk atau ukuran tubuhnya’. Jika body shaming hanya ditujukan pada bentuk dan ukuran tubuh, bullying merupakan lingkaran besarnya, didefinisikan sebagai bentuk agresi dimana satu orang atau sekelompok orang berulang kali melecehkan korban secara verbal atau fisik tanpa provokasi (Clarke & Kiselica, 1997 dalam Xin Ma).

Berdasarkan definisi diatas, bullying melebar ke berbagai bentuk. Perilaku koersif terkait bullying bisa dikelompokkan menjadi dua kategori: fisik dan verbal. Penindasan fisik meliputi memukul, mendorong, memegang, dan memberi isyarat bermusuhan. Intimidasi verbal meliputi mengancam, memalukan, merendahkan, menggoda, memanggil nama, menjatuhkan, sarkasme, mengejek, menatap, mencuat lidah, menggulung, memanipulasi persahabatan, dan mengucilkan (Clarke & Kiselica, 1997 dalam Xin Ma).

“Kok badan kamu makin gemuk, sih…diet donk! Nanti ga dapet cowok,lho’
Ih, kulit kamu kok jadi item gini…lulur gih atau suntik putih sekalian!’
“kamu pake heels aja biar ga pendek-pendek amat keliatannya!
lu kurus banget sih, ntar kena angin terbang!”
Badan lu mirip gentong!”
Body lu mirip tiang listrik!”
Rambut lu mirip bonsai!”

Seberapa sering kita mendengar bahkan dengan mudah mengeluarkan komentar-komentar serupa seperti kalimat-kalimat diatas? Baik itu secara sadar berniat mencemooh ataupun tulus memberi saran kepada seseorang yang kita kenal, kalimat-kalimat diatas adalah contoh nyata tindakan body shaming yang dalam tulisan ini, penulis ambil sebagai fenomena mengenai konsep tubuh sebagai akibat citra yang dibentuk dan disebarkan oleh media.

Lalu, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, kenapa body shaming cenderung terjadi pada perempuan? Penulis melihat bahwa kuasa gender dominan menjadi salah satu penyebabnya. Perempuan dan tubuhnya telah lama dikuasai oleh nilai-nilai patriarki yang secara langsung maupun tak langsung memberikan kuasa pada laki-laki untuk menentukan standar ideal dalam pandangan mereka atas tubuh perempuan. Ironisnya, standar ini kemudian diamini bahkan diperkuat oleh kaum perempuan sendiri.

Pada perempuan khususnya, tubuh seperti bukan milik si empunya (personal) tapi milik masyarakat bahkan terkadang juga milik negara. Tubuh diatur dan didisiplinkan sedemikian rupa untuk dapat ‘seragam’ dengan masyarakat pada umumnya. Tubuh yang ‘berbeda’ atau dianggap ‘berbeda’ akan mendapat perlakuan dan pembedaan di masyarakat, terutama soal nilai-nilai. Individu seperti kehilangan hak (otoritas) atas tubuhnya. Apapun yang dilakukan terhadap tubuh umumnya semata-mata untuk memenuhi kriteria dan standar ideal yang sudah ada.

Menurut Carrette, sesuai dengan teori kuasa akan tubuh (seksualitas) atau biopolitik oleh Michel Foucault sebagaimana disebutkan, bahwa kekuasaan membentang atas suatu jumlah yang besar, sejumlah sesuatu yang besar seperti individu yang bergerak, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, ia adalah kekuasaan yang memberi dan mengorbankan sebuah kekuasaan individualistik (Baca lebih lanjut tentang pendapat Carrette dan tema ini di jurnalperempuan.org).

Tubuh, dalam kajian feminisme dipandang sebagai objek yang perlu diperjuangkan, patut untuk diselamatkan terutama dari budaya patriarki yang mendarah daging, yang memandang tubuh perempuan hanyalah sebatas pemuas mata dan hasrat kaum laki-laki, dipelihara dan dirawat untuk kemudian dipilih dan digunakan oleh laki-laki. Namun, saat ini yang mengherankan adalah banyak sekali kasus body shaming yang terjadi pada perempuan justru dilakukan oleh sesama perempuan. Sayangnya penulis tidak berhasil menemukan data ataupun penelitian yang akurat untuk membuktikan hal ini.

Citra Tubuh dan Pengaruh Media

Body shaming tentu tidak serta merta muncul begitu saja. Citra tubuh yang selama ini ada di masyarakat dan direfleksikan secara berlebihan oleh media menjadikannya awet hingga saat ini. Menurut Rice (1995) dalam bukunya yang berjudul Promoting Healthy Body Image: A Guide for Program Planners, citra tubuh adalah gambaran mental yang dimiliki seseorang tentang tubuhnya. Mulai dari pikiran, perasaan, penilaian, sensasi, kesadaran bahkan perilaku yang terkait dengan tubuhnya. Karena berkembang melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan sosialnya, maka citra tubuh juga bisa dikatakan sebagai konstruksi sosial yang membuatnya harus terus dievaluasi dan diawasi terus-menerus secara sosial.

Sayangnya, adanya konsep citra tubuh –khususnya tubuh perempuan– ini menciptakan standar dan penilaian dari masyarakat yang menimbulkan konflik antar perempuan dan di dalam diri perempuan itu sendiri. Standar dan penilaian ini sulit dicapai, sehingga seringkali muncul rasa tidak puas terhadap kondisi dirinya. Media dengan membawa konsep-konsep mengenai tubuh ideal versi iklan-iklan produk kecantikan dan kesehatan, secara langsung maupun tak langsung telah mendiskriminasi mereka yang (ukuran dan bentuk) tubuhnya tidak sama atau bahkan jauh dari standar ideal tersebut.

Perempuan, terutama mereka yang merupakan pengguna media sosial menghadapi tekanan yang luar biasa dari, di antara sesama perempuan sendiri. Entah itu mengenai sifat, pakaian, pernikahan, pola asuh, proses kelahiran terlebih-lebih soal tubuh. Mengutip pemberitaan terkait hal ini, penulis mengambil infografis dari Tirto.id mengenai citra tubuh bagi perempuan dan bagaimana media melalui iklan ikut berpengaruh pada persepsi khalayak mengenai tubuh mereka.

 

Dari infografis yang dipublikasi Tirto.id di atas, semakin jelas bahwa media telah mendukung munculnya stereotip mengenai tubuh perempuan. Sebanyak 91% responden yang disurvei merasa tidak bahagia dengan tubuh mereka, oleh karenanya memutuskan untuk melakukan diet meskipun umumnya tubuh mereka tidak kelebihan bobot. Perempuan-perempuan yang disurvei jelas menunjukkan ketidakpuasan atas tubuhnya sendiri (90% ingin mengubah satu aspek dari tubuhnya) dan menyatakan bahwa terdapat tekanan yang menimbulkan kecemasan untuk tampil sempurna dari media sosial dan iklan di televisi.

Konsep-konsep mengenai ‘kesempurnaan’ tersebut kemudian menciptakan kategori-kategori dalam sosial selain kelas-kelas yang sudah ada, yaitu cantik, tampan, jelek, buruk, sehat, modis, seksi, nakal, kuno, gaul, cupu dan lain sebagainya. Kesemuanya berkaitan dengan tubuh, apa yang melekat padanya dan bagaimana tubuh itu ditampilkan. Tubuh yang juga merupakan standar nilai dan identifikasi sosial kemudian diatur dan dilarang oleh sosial melalui stigma-stigma lainnya, seperti bertato sama dengan amoral atau liar, berpakaian terbuka bisa berarti binal dan bergaya layaknya lawan jenis (tomboy atau feminin) bisa berarti lesbian atau gay dan banyak stigma lainnya yang muncul atas apa yang seseorang lakukan atau lekatkan pada tubuhnya.

Dewasa ini, saat kehadiran media baru seperti internet yang kemudian menciptakan beragam produk media sosialnya memberikan kebebasan secara virtual bagi para pengguna untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. Sayangnya kebebasan berpendapat dan berkomentar inilah yang kemudian seperti mengawetkan dan menyebarluaskan praktek body shaming di masyarakat. Dikenal dengan istilah cyberbullying, yaitu perbuatan merugikan yang disengaja dan diulang-ulang, ditimbulkan melalui penggunaan komputer, telepon genggam, dan perangkat elektronik lainnya ‘(Hinduja dan Patchin, 2010; dalam Brent W. Smith, 2012).

Penindasan secara virtual ini mungkin melibatkan pesan teks agresif, posting yang merendahkan atau memalukan di situs jejaring sosial, email yang mengancam, atau bahkan situs web yang dibuat khusus untuk target individu. Seiring aktivitas online yang terus meningkat di kalangan anak-anak dan remaja, pelaku intimidasi cenderung memperpanjang perilaku agresif terhadap dunia maya, disamping dunia fisik (Pew Internet, 2010 dalam Brent W. Smith, 2012).

Bahkan gambaran tubuh seseorang dalam sebuah foto yang dipublikasikan di akun media sosial dapat menghasilkan komentar-komentar bernada body shaming yang membuat sang pemilik tubuh menghapus foto di ‘wilayah’ nya sendiri dan bahkan trauma untuk kembali berekspresi di media sosialnya. Bayangkan, sebuah foto pun dapat menjadi bahan bagi para pelaku untuk melancarkan tindakan body shaming di dunia maya. Kebebasan atas tubuh benar-benar sesuatu yang semu dan langka saat ini.

Hal seperti yang digambarkan di atas bahkan banyak menimpa mereka yang merupakan selebriti atau public figure yang umumnya berpenampilan yang dianggap ‘ideal’. Haters atau orang-orang yang tidak menyukai selebriti dan public figure ini memang selalu punya cara untuk mencemooh apapun yang dihasilkan atau ditampilkan oleh ‘sang idola’. Tujuannya memang ingin menjatuhkan atau membuat tokoh tersebut kesal atau marah. Banyak dari para selebritis yang akhirnya menutup akun media sosialnya karena trauma dan tidak tahan atas komentar dan ujaran kebencian dari para haters ini, terutama mengenai tubuh mereka.

Masih cukup baru di ingatan publik saat peristiwa body shaming menimpa beberapa selebriti kenamaan di akun Instagram mereka, seperti Audy item (@audyitem) dan Gracia Indri (@graciaz14) mengenai ukuran tubuhnya dan baru-baru ini penyanyi kenamaan Yuni Shara (@yunishara36) mendapat komentar body shaming terkait bentuk anggota tubuh termasuk juga penampakan kulitnya. Bahkan fenomena yang terjadi di media sosial Instagram ini kemudian menjadi bahan pemberitaan di media-media arus utama yang dikonsumsi pula oleh mereka yang bahkan tidak memiliki akun di Instagram.

Beberapa kasus depresi, gangguan kejiwaan dan bunuh diri juga terjadi karena dipicu oleh tindakan body shaming yang kerap muncul dalam bentuk cyberbullying. Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying (dikutip dari Kumparan.com, tanggal 04 Oktober 2017). Cyberbullying ini lebih mengerikan karena dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja melalui media sosial.

infografik body shaming

Faktor Pemicu Body Shaming dan Gender Dominan

Bisa dibayangkan betapa signifikannya dampak dari tindakan bullying, cyberbullying yang umumnya berupa praktek body shaming terhadap diri seseorang, bahkan celotehan yang dianggap iseng atau lelucon sekalipun dapat berakibat hilangnya nyawa seseorang. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu atau penyebab terjadinya body shaming di masyarakat kita, seperti yang telah penulis rangkum dari jurnalperempuan.org, magdalene.co, rappler.com di antaranya:

  • Persepsi yang salah mengenai bentuk fisik, hal ini tentu saja berkaitan dengan citra dan standar ideal yang telah tertanam di masyarakat tentang kecantikan
  • Ketidakpekaan sosial, hal ini berkaitan dengan tindakan-tindakan menjurus kearah body shaming yang biasa dianggap sebagai lelucon atau bahan candaan semata. Ketidakpekaan ini meliputi rasa abai bahwa seseorang mungkin merasa sedih dan sakit hati atas lelucon mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya.
  • Bentuk intimidasi dan dominasi, body shaming merupakan salah satu bentuk intimidasi dan upaya mendominasi seseorang oleh pihak lain yang memiliki kuasa lebih dengan menjatuhkan mental atau harga diri dengan merendahkan fisik si korban.
  • Menghindari rasa inferior, perasaan inferior atau rendah diri biasanya dapat ditutupi dengan bertingkah menjadi superior dan hal ini dapat dicapai dengan membuat orang lain berada di posisi yang lebih inferior. Umumnya hal ini berkenaan dengan sifat kolektif atau kegemaran manusia untuk membentuk dan diterima dalam kelompok-kelompok tertentu.
  • Masalah psikis atau pernah menjadi korban, faktor keluarga dan masa lalu berperan dalam membentuk perilaku seseorang. Korban bullying atau body shaming sebelumnya, berpotensi lebih besar menjadi pelaku di masa depan.

Dari studi pustaka yang penulis dapatkan, body shaming tidak hanya dialami oleh perempuan namun juga laki-laki dan lagi-lagi hal itu terkait dengan gender dan citra tubuh ideal yang tertanam di masyarakat. Keterkaitan antara gender dominan atas maraknya tindakan body shaming yang diterima perempuan memang belum terbukti melalui data yang akurat. Namun, tentu kepemilikan dan dominasi pekerja laki-laki di media yang lebih banyak jumlahnya daripada perempuan tentu berperan dalam melanggengkan hal ini.

Ketidakterwakilan perempuan baik itu dalam ruang publik dan media, menjadikan posisi perempuan lemah dibandingkan laki-laki. Ditambah lagi budaya masyarakat kita yang sangat menjunjung penampilan fisik, baik itu dalam dunia kerja (pada proses wawancara kerja, misalnya), pergaulan sehari-hari hingga ke ranah media sosial. Sebagian besar orang, terutama perempuan berlomba-lomba untuk ‘memperbaiki’ tubuhnya agar terhindar dari body shaming. body shaming, sayangnya justru banyak datang dari orang-orang terdekat, baik itu teman atau anggota keluarga.

Budaya patriarki yang menjadikan laki-laki atau menggunakan pandangan laki-laki (male gaze) sebagai tolok ukur yang cenderung berhak menilai dan menempelkan label kepada tubuh perempuan. Perempuan dengan tubuhnya tidak boleh terlalu gemuk, tidak juga terlalu kurus, kulit seharusnya putih bersih, memiliki rambut yang panjang dan hitam agar bisa disukai, dipilih dan mendapatkan laki-laki. Sebegitu besarkah masalah gender dan kuasa patriarki ini hingga ia seakan meresap dalam pikiran banyak orang tentang tubuh perempuan?.

Rasanya butuh penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk menjawab pertanyaan diatas. Namun hasil kajian pustaka dan analisis penulis meyakini adanya penegasan gender dominan, yang dalam hal ini tentu masih patriarki, yang terus menerus berlangsung di kehidupan sosial kita. Meski emansipasi dan kebebasan perempuan dalam ruang-ruang publik terus didukung dan berkembang, namun nilai dan budaya yang turun temurun mengenai perempuan dan tubuhnya sebagai medan kontestasi atas dominasi laki-laki terus terpelihara hingga saat ini.

Fenomena bagaimana tubuh manusia dikonstruksi oleh sosial dan bagaimana individu-individu terutama perempuan melihat dan menyadari tentang tubuhnya sendiri, otoritas yang tidak pernah ia miliki sepenuhnya atas tubuh, membuat stigma-stigma serta penilaian akan tubuh terus terjadi dalam berbagai bentuk. Body shaming adalah salah satunya. Bagaimana seseorang dinista, dihina dan diintimidasi melalui tubuhnya yang berefek pada hancurnya diri dan hilangnya rasa cinta dan syukur atas karunia tubuh dari sang pencipta.

Body shaming jelas merupakan tindak kejahatan moral yang berakibat pada rasa tertekan, hilangnya kepercayaan diri dan membunuh karakter seseorang. Media, yang merupakan mata dan telinga masyarakat, yang menjadi cerminan sosial budaya kita sayangnya justru melanggengkan praktek-praktek body shaming. Acara talk show, lawak dan iklan komersial telah memperlihatkan bagaimana media membingkai praktek body shaming menjadi sesuatu yang dianggap biasa atau ‘wajar’ dalam kehidupan sehari-hari.

Memang, tidak semua korban yang mengalami atau menyadari mengenai body shaming ini merasa diintimidasi atau dilecehkan, sebagian malah menjadikan hal tersebut jembatan untuk menarik perhatian di kelompok sosialnya dan popularitas di media bagi sebagian selebriti. Namun tindakan body shaming ini tidak dapat dibenarkan dan perlu edukasi khusus mengenai penanaman etika dan moral, mengingat budaya bermedia sosial yang saat ini telah banyak menggerus nilai etika dan moral tersebut.

Melihat banyaknya tindakan body shaming yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap sesamanya, dan seringkali itu dilihat dari sudut pandang laki-laki (male gaze) mengindikasikan adanya upaya penegasan atas gender dominan yang tengah berlangsung. Semua tentang perempuan dan tubuhnya senantiasa dilihat dari standar laki-laki, meskipun hal itu diutarakan oleh kaum perempuan sendiri. Semua yang dilakukan oleh perempuan terhadap tubuhnya, dianggap dan diarahkan untuk memenuhi standar sosial yang itu diciptakan dari budaya patriarki.

Bahan bacaan:

  • Abdullah, Irwan (2001). Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta : Tarawang Press.
  • Gamble, Sarah (2010). Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta : Jalasutra.
  • Gamman, Lorraine & Marshment, Margareth (2010). Tatapan Perempuan. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Ma, Xin (2001). Bullying and Being Bullied: To What Extent Are Bullies Also Victims?. London: Sage Publication.
  • Siregar, Ashadi dkk (2000). Eksplorasi Gender di ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: Galang Printika.
  • Smith, Brent W dkk (2012). Cyberbullying among gifted children. London: Sage Publication.
  • Synnott, Anthony (2007). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.

Magang Desain Grafis Di Samsara

Magang Desain Grafis
Sumber: Pixabay

Halo!

Samsara membuka kesempatan magang untuk posisi desain grafis. Siapa saja yang mempunyai kecintaan pada desain grafis dan tertarik isu feminisme boleh mendaftar. Teman-teman akan berproses dan belajar bersama keluarga Samsara untuk membuat perubahan.

Kenapa magang di Samsara?

  • Samsara memberikan pengalaman belajar dengan organisasi lokal. Peserta magang akan mendapatkan keterampilan dan pengalaman penting yang akan dapat mereka gunakan selama karir profesional mereka. Melalui pengalaman ini, peserta magang menjelajahi budaya tempat kerja, memperkaya praktik kerja-kerja feminisme dan mendapatkan pengalaman yang diperlukan untuk membangun CV.
  • Interaksi antara peserta magang dan staf organisasi, diharapkan dapat memperluas perspektif kedua budaya dan memperdalam pemahaman akan keanekaragaman budaya.

Apa Saja Persyaratannya?

  • Mahasiswa sarjana atau pascasarjana dalam berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai tingkat pengalaman kerja.
  • Magang harus berlangsung minimal enam minggu, 4 jam perhari dari Senin hingga Jumat, jam bebas. Pemagang mempunyai kesempatan casual works (bekerja luar kantor) 2 kali dalam satu minggu. Jam kantor Samsara pukul 10.00 – 18.00.
  • Punya keterampilan desain grafis yang signifikan, baik untuk poster maupun editorial ilustrasi untuk majalah/zine.
  • Mempunyai beberapa contoh desain yang ciamik.Mau bergabung? Langsung saja isi [Formulir Pendaftaran] ini sebelum tanggal 30 September 2018, jangan lupa lampirkan CV, apa saja kesibukanmu saat ini dan juga portofolio desain ciamikmu di formulir tersebut. Kami tunggu kabar baik dari teman-teman!

Diskusi Bareng Remaja Gunung Kidul Soal Sosial Media dan Informasi Kesehatan Reproduksi

Sosial Media dan Informasi Kesehatan Reproduksi

Kawula Muda Gunung Kidul, berapa jam kamu dan remaja seumuranmu menghabiskan waktu untuk facebook-an? Mau tahu datanya?

We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, seperti yang dilansir di Kompas, mengungkap rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta.

Facebook menjadi salah satu yang sering diakses, terutama kawula muda. Rata-rata pengunjung Facebook menghabiskan waktu 12 menit 27 detik untuk mengakses jejaring sosial tersebut. Sebesar 92 persen mengakses Facebook via mobile dengan perbandingan persentase berdasar gender sebanyak 44 persen untuk wanita dan 56 persen adalah pengguna pria. Pengguna Facebook didominasi golongan usia 18-24 tahun dengan presentase 20,4 persennya adalah wanita dan 24,2 persennya adalah pria.

Jadi, kamu yang aktif chatingan, update status ataupun lihat-lihat berita juga masuk hitungan. Apakah kamu mengakses facebook lebih lama dari rata-rata di atas? Biasanya bisa sejam atau lebih, bukan? Dapat informasi apa saja selama itu? Apa kamu juga mencari tahu soal informasi kesehatan seksual dan reproduksi, misalnya soal menstruasi, kehamilan ataupun soal pacaran sehat?

Bagi kamu yang aktif dan suka baca-baca informasi di medsos, kami Tim Kreatif Media Samsara, mau mengajak kawula muda Gunungkidulan untuk pelatihan dan diskusi bareng. Temanya adalah “Sosial Media dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi”. Tujuan ngobrol bareng ini untuk belajar bersama dan mendiskusikan pengetahuan/pengalaman remaja Gunung Kidul tentang kesehatan reproduksi.

Kenapa kamu perlu mengikuti pelatihan dan disuksi ini?

Perkembangan teknologi internet, semakin memiliki peran penting dalam proses pembentukan pengetahuan kita, tidak terkecuali pengetahuan tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Kondisi tersebut turut menciptakan dampak positif, walaupun bukan berarti tidak disertai dampak negatif. Dengan internet dan media sosial siapa saja dapat mengakses informasi apa saja tentang HKSR secara bebas. Akan tetapi, ketepatan informasi tentang HKSR di media sosial juga semakin sulit dipastikan kesahihannya. Nah, supaya kita bisa menjaring berita mana yang tepat, perlu melakukan pelatihan ini.

Anak muda juga sangat dekat dengan teknologi informasi dan bagaimana mengakses informasi kesehatan seksual. Berdasarkan riset tentang teknologi, anak muda, dan kesehatan seksual yang dilakukan TECHsex Youth Sexuality and Health Online, menyatakan bahwa dari 1500 responden anak usia 13 sampai dengan 24 tahun, hanya terdapat 7 persen saja yang merasa keluarga adalah tempat belajar efektif mengenai seks, seksualitas, dan kesehatan reproduksi. Dalam laporan penelitian yang diterbitkan tahun 2017 tersebut, disebutkan bahwa media online yang paling utama digunakan untuk mengakses informasi seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah Google, sebanyak 21 persen koresponden.  Di tempat kedua ada platform YouTube sebanyak 38%, WebMD sebanyak 31 persen, dan Facebook sebanyak 21 persen. Kebanyakan remaja akrab dengan media-media tersebut.

Samsara sebagai LSM yang konsen terhadap isu HKSR bermaksud mengajak kamu berdiskusi sekaligus pelatihan. Pelatihan ini adalah salah satu kegiatan divisi Media Kreatif Samsara yang secara umum tujuannya adalah untuk belajar bersama dan mendiskusikan pengetahuan pengalaman remaja tentang kesehatan reproduksi. Secara khusus, kegiatan ini juga akan mengevaluasi kinerja pembuatan konten dan pembagian informasi layanan yang selama ini dilakukan.

workshop kesehatan seksual

Siapa saja yang boleh gabung?

Bagi remaja dalam rentang usia 17-23 tahun, yang aktif menggunakan media sosial, dan berdomisili di wilayah Kabupaten Gunung Kidul dipersilahkan bergabung. Tertarik? Bagi kamu yang punya waktu luang, silahkan menghubungi kami lewat instagram (@perkumpulan.samsara), Facebook (Perkumpulan Samsara) atau WhatsApp (081377705411).

Kapan dan Di mana?

Catat Tanggalnya: 15 September 2018. Lokasi diskusi di Kampung Tani Resto, Jl. Ki Demang Wonopawiro No.16, Ngrebah I, Piyaman, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul.

Pendaftaran terakhir 14 September 2018. Peserta yang terpilih akan dikonfirmasi sebelum tanggal 15 September 2018.

Ingin Mencoba Travel Activism? Apa Saja yang Perlu Dipersiapkan?

Travel Activism
Sumber: Pixabay

Catatan kolektif ini berusaha menjelaskan tentang travel activism berikut dengan persiapan dan hal-hal yang patut diperhatikan dalam menjalankannya.

Traveling, saat ini telah menjadi semacam gaya hidup (lifestyle) bagi kaum urban dan menjadi tren beberapa tahun belakangan ini. Traveling dilakukan dalam banyak bentuk dan juga dengan berbagai tujuan. Traveling pada umumnya dilakukan bagi mereka yang membutuhkan waktu dan cara untuk menyegarkan (refreshing) pikiran agar mendapatkan kembali semangat atau motivasi dalam menjalankan aktivitas ataupun pekerjaan yang rutin dilakukan sehari-hari. Melalui media, kita mengenal banyak istilah untuk traveling yang umumnya diklasifikasikan pada cara atau gaya perjalanan maupun jumlah dana yang dibutuhkan (budget) dalam melakukan perjalanan tersebut. Sebut saja seperti bacpack traveling, luxury traveling, bussines traveling dan lainnya.

Beberapa dari kalian mungkin juga pernah mendengar tentang voluntourism yang berasal dari gabungan kata volunteering dan tourism, yaitu kegiatan berwisata sambil melakukan kegiatan sukarelawan atau kegiatan amal untuk membantu penduduk lokal di tempat yang dijadikan tujuan wisata. Namun selain nama-nama atau jenis traveling di atas, pernahkah kalian mendengar tentang travel activism atau perjalanan aktivisme?

Berbeda dengan traveling pada umumnya yang bertujuan pada tercapainya kepuasan diri, travel activism memiliki tujuan yang lebih luas. Traveling biasa seperti halnya liburan, memiliki tujuan seperti bersenang-senang, stress release, menikmati jerih payah selama bekerja, memperoleh ketenangan dan lain sebagainya, yang umumnya ditujukan kepada diri sendiri dan memiliki batasan-batasan serta masih berada di dalam zona nyaman atau comfort zone masing-masing individu. Sedangkan pada travel activism, sebuah perjalanan membawa misi yang bertujuan untuk melakukan perubahan dengan semangat aktivisme dan saling berbagi. Pada travel activism, individu yang terlibat dituntut untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan dapat beradaptasi dengan kondisi serta lingkungan baru yang ditemui di tempat tujuan.

Melakukan perjalanan aktivisme tentu saja berbeda dengan melakukan perjalanan biasa seperti liburan, misalnya. Perbedaan bisa dilihat dari tujuan dilakukannya perjalanan tersebut, tempat tujuan atau destinasi yang dituju, persiapan atau metode yang dilakukan hingga lama perjalanan yang direncanakan. Adapun hal-hal yang penting untuk diperhatikan dan juga dipersiapkan dalam melakukan sebuah perjalanan aktivisme atau travel activism, yaitu: travel essential, cross-cultural understanding serta protokol keamanan.

Travel essential

Berkaitan dengan perlengkapan yang perlu dipersiapkan untuk dibawa saat dalam perjalanan. Diantaranya tentu perlengkapan pribadi termasuk dokumen pribadi (contoh: KTP/tanda pengenal, passport dan salinan keduanya), perlengkapan yang mendukung atau dibutuhkan dalam kegiatan aktivisme, obat-obatan, alat tulis, gadget, alat perlindungan, uang tunai yang cukup hingga benda atau sesuatu yang diperlukan sebagai stress relief atau memberikan hiburan bagi diri sendiri serta kebutuhan lain yang dirasa perlu.

Sangat penting untuk memastikan bahwa anda dalam kondisi fisik yang sehat saat akan melakukan travel activism. Terutama jika harus melakukan banyak aktivitas fisik seperti berjalan kaki cukup jauh, maka sebaiknya anda rutin berolahraga atau membiasakan jalan kaki beberapa minggu sebelum memulai perjalanan anda. Khusus untuk obat-obatan, selain obat-obatan khusus yang biasa dibawa sebaiknya juga membawa obat-obatan yang umum seperti pereda nyeri, penurun panas/demam, obat flu dan batuk, obat radang tenggorokan, krim atau salep untuk gigitan serangga atau alergi ringan serta multivitamin.

Persiapan obat mandiri cukup penting mengingat di beberapa daerah cukup sulit mengakses layanan kesehatan dan ketersediaan obat-obatan. Bahkan untuk beberapa daerah tertentu dan pada masa-masa tertentu juga menganjurkan pengunjung untuk melakukan vaksin khusus untuk mengantisipasi virus seperti malaria, demam berdarah dan jenis vaksin lainnya.

Meskipun terdengar sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya, namun kemampuan mempersiapkan travel essential juga perlu dilatih, terutama mengenai kemampuan berkemas atau biasa disebut packing. Saat ini kita biasa menemui berbagai gaya dan metode berkemas yang bisa dipelajari secara mandiri (autodidak), baik lewat buku panduan khusus atau video tutorial di Youtube.

Selain itu, memilih atau mengganti beberapa barang yang dirasa lebih ringkas untuk dibawa bisa membantu perjalanan kalian menjadi lebih praktis, misalnya memilih ransel (backpack/carrier) daripada koper, memakai jenis sepatu seperti kets atau sneakers, membawa pakaian yang nyaman, berbahan ringan, cepat kering dan tidak mudah kusut, membawa handuk yang berbahan microfiber (travel towel) dan peralatan mandi yang lebih praktis atau memiliki ukuran, bentuk dan bobot yang ringan serta tidak menghabiskan banyak ruang di dalam tas.

Catatan untuk travel essential lainnya adalah penting untuk mengenali batasan diri sendiri, misalnya jika harus melakukan perjalanan yang mengharuskan menggunakan transportasi laut, sedangkan anda merasa takut atau mungkin pernah mengalami ‘mabuk laut’, maka harus menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk mengantisipasi munculnya batasan-batasan diri tersebut.

Seorang traveler atau aktivis seharusnya juga ikut bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dengan tidak membawa serta barang-barang yang berpotensi menjadi limbah, seperti botol minum plastik diganti dengan membawa botol minum sendiri (tumbler) atau membawa kantong berbahan kain (tote bag/re-usable bag) untuk menghindari pemakaian kantong plastik.

Cross-cultural understanding

Intinya berkaitan dengan pemahaman dan kesiapan dalam menghadapi perbedaan budaya yang mungkin akan ditemui saat melakukan perjalanan aktivisme. Kemampuan memahami dan menghargai perbedaan budaya di tempat-tempat yang dikunjungi menjadi sebuah kemampuan yang dibutuhkan seseorang yang akan melakukan perjalanan aktivisme. Hal ini dikarenakan dalam menghadapi penduduk lokal, kondisi atau lingkungan yang benar-benar baru, seorang aktivis tentu dituntut untuk memiliki strategi pendekatan yang baik mengingat kegiatan aktivisme yang akan dilakukan tentunya memerlukan partisipasi dari penduduk lokal setempat.

Supaya semakin dekat dengan konsep Cross-cultural understanding, beberapa hal ini dapat menjadi catatan: mempelajari gaya berpakaian yang sesuai dengan nilai atau budaya di tempat tujuan meskipun kenyamanan diri sendiri sebagai pemakai juga dipertimbangkan namun sebaiknya tidak tampil secara mencolok. Mempelajari secara umum mengenai aksen, intonasi, cara bicara dan bahasa yang digunakan di daerah tujuan. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan menghindari penggunaan istilah yang asing dan sensitif bagi penduduk lokal serta menggunakan bahasa dan gaya bicara yang efektif dan atraktif, terutama dalam upaya pendekatan atau ajakan partisipasi kepada penduduk lokal.

Berbaur dan ikut bergabung dalam kegiatan sehari-hari atau kegiatan khusus seperti gotong royong, turut membantu atau menghadiri upacara adat dan upacara pernikahan penduduk lokal dapat menjadi salah satu strategi atau pintu masuk agar diterima sehingga dapat melakukan pendekatan lebih jauh. Terkait dengan kegiatan aktivisme, penting untuk menyesuaikan materi program yang akan disampaikan atau diterapkan dengan nilai, kultur, tradisi dan kepercayaan yang ada. Hal ini agar tujuan kegiatan travel activism dapat tercapai dan terhindar dari penolakan oleh penduduk lokal.

Selain itu, hal yang dirasa perlu untuk diterapkan dalam travel activism adalah tidak membawa stigma tertentu mengenai kondisi dan karakter penduduk lokal. Selanjutnya, tidak menggunakan atau menganggap uang adalah nilai tukar untuk segala hal. Menjadikan ‘pendekatan uang’ untuk menarik minat dan partisipasi penduduk lokal adalah strategi yang keliru dan justru membangun pemahaman yang salah pada masyarakat.

Seorang aktivis atau orang-orang yang akan melakukan travel activism juga perlu belajar menjadi ‘gelas kosong’. Artinya aktivis yang melakukan travel activism hendaknya siap dan terbuka menerima segala pengetahuan baru dan tidak menganggap bahwa ia sudah paham akan segala hal terutama pada bidang yang dikuasai. Selalu menerima dan mendengarkan cerita atau pengalaman dari mereka yang berada di lapangan, penduduk setempat, tetua adat adalah hal yang akan membangun rasa empati, toleransi bahkan memperluas wawasan tentang hal-hal baru dan membuat perjalanan terasa lebih menarik.

Protokol keamanan

Isu keamanan dan persiapan yang dilakukan untuk meminimalisir resiko yang dapat ditimbulkan dari masalah keamanan di tempat yang akan dituju penting untuk diperhatikan. Mencari dan mempelajari informasi mengenai tempat tujuan, seperti isu sensitif, keamanan, tingkat kriminalitas, cuaca dan hal-hal lain yang dapat menjadi pengetahuan dasar sebelum datang ke tempat tujuan. Melakukan riset sederhana atau mengumpulkan informasi yang akurat mengenai tingkat keamanan suatu daerah dan melakukan persiapan yang cukup dapat mengurangi resiko, menjamin serta menambah keyakinan diri dalam menjalankan kegiatan travel activism.

Setelah mengetahui tingkat keamanan di suatu tempat yang mungkin cukup beresiko, sebaiknya tidak dijadikan hambatan besar untuk tetap melakukan kegiatan aktivisme atau dalam hal ini travel activism. Jika dirasa perlu, sebelum melakukan perjalanan, dapat membuat pemetaan sederhana dan menandai lokasi atau daerah yang berbahaya sebagai ‘zona merah’ sebagai catatan antisipasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah membangun jaringan dengan organisasi atau gerakan yang memiliki visi dan misi serupa di daerah-daerah yang menjadi tujuan.

Bersikap ramah dan bersahabat dengan siapapun namun tetap waspada pada segala kemungkinan. Membangun atau menjalin hubungan persahabatan dengan beberapa atau salah seorang penduduk lokal juga dapat membantu kalian dalam dan selama melakukan travel activism. Membawa beberapa barang seperti pisau lipat atau semprotan lada, misalnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk berjaga-jaga.

Selain itu, berhati-hati dalam membawa, menjaga, menggunakan atau menunjukkan barang-barang pribadi, terutama barang berharga di tempat yang dikunjungi. Dalam memakai atau menggunakan gadget seperti kamera untuk dokumentasi, pada beberapa situasi, perlu memastikan apakah penduduk lokal merasa nyaman jika mereka direkam atau difoto dengan menanyakannya sebelum mengabadikan gambar.

Penjelasan mengenai definisi dan persiapan dalam melakukan travel activism yang telah dijelaskan di atas adalah hasil kolektif dari berbagai pengalaman orang-orang yang sudah pernah melakukan kegiatan serupa. Namun, bukan berarti travel activism sulit dilakukan atau hanya dapat dilakukan bagi mereka yang telah berpengalaman. Berbekal semangat untuk berbagi kebaikan serta dengan kesiapan yang memadai, siapapun dan dari latar belakang apapun dapat melakukan travel activism.

Melakukan travel activism setidaknya sekali dalam hidup akan membawa banyak pengalaman berharga, yang paling mungkin didapatkan adalah pengalaman mengenali diri sendiri lebih dalam, tentang kekuatan, kelemahan, keterbatasan dan pertanyaan besar yang seringkali kita tanyakan pada diri kita sendiri ‘apa sebenarnya peran kita di dunia yang luas ini?’. Demikian, semoga menemukan manfaat dan menjadi bermanfaat.

Kunjungan Satellite Workshop ke Wilayah Papua dan Maluku

Salam kenal dari tim Satellite Workshop dan Travel Activism.

Satellite Workshop merupakan salah satu program edukasi yang dilakukan oleh Samsara yang berfokus pada penjangkauan komunitas di luar Pulau Jawa. Nama Satellite diambil dengan pertimbangan bahwa akses terhadap informasi dan layanan kesehatan berbasis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) masih banyak berpusat di Pulau Jawa, termasuk program dan kerja Samsara.

Kami akan melakukan perjalanan selama delapan minggu ke beberapa daerah di Papua dan Maluku. Rute yang akan kami ambil adalah Jayapura – Biak – Manokwari – Sorong – Ambon – Maluku Tengah – Kepulauan Buru – Maluku Utara. Bagi pihak yang berminat bergabung, akan tetapi berada di luar rute tersebut dapat tetap mengajukan permintaan workshop dengan mengisi form yang telah disediakan, atau menghubungi kontak yang tersedia. Dua orang fasilitator kami akan membantu komunitas/organisasi lokal untuk melakukan workshop dan diskusi terkait Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Mereka terdiri dari satu orang pegiat isu seksualitas dan gender dan satu orang lagi adalah seorang Bidan.

Program ini menyasar remaja dan perempuan dalam usia produktif. Kami akan bekerjasama dengan sekolah, gereja, komunitas remaja, komunitas pecinta alam, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas atau lembaga lain yang melibatkan laki-laki. Beberapa materi yang disiapkan untuk lokakarya dengan masyarakat di antaranya adalah:

  • Konsep Dasar Seks dan Gender, termasuk menjelaskan perbedaan keduanya dan bagaimana peran di antara laki-laki dan perempuan kemudian berkontribusi pada ekonomi dan kesehatan masyarakat.
  • Kesehatan Reproduksi, topik yang sangat diminati oleh remaja di sekolah dan asrama. Topik ini akan membahas mengenai fase-fase pubertas, menstruasi termasuk mengenai Menstrual Hygiene dan juga mengenai kehamilan.
  • Kesehatan Ibu dan Anak, merupakan topik yang banyak diminati oleh ibu-ibu di mana topik ini lebih banyak membahas terkait kesehatan selama masa kehamilan, pilihan melahirkan, ASI, kontrasepsi termasuk bagaimana melibatkan laki-laki atau suami dalam peran-peran pengasuhan dan selama masa kehamilan.
  • Pacaran Sehat dan Citra Tubuh Positif, adalah informasi yang ditujukan untuk remaja dan perempuan muda, yang membahas mengenai tanda-tanda hubungan atau relasi yang sehat, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), negosiasi dan pengambilan keputusan. Selain itu, topik ini akan diperkuat melalui pemahaman mengenai citra tubuh positif. Topik ini akan mengajak remaja dan perempuan untuk membangun citra tubuh positif mereka tanpa harus berpatokan dengan citra tubuh yang diciptakan oleh media.
  • Perkawinan Anak, menjelaskan mengenai siapa dan apa yang dimaksud dengan anak dan perkawinan anak, faktor pendorong perkawinan anak dan dampak perkawinan anak termasuk mengenai resiko kesehatan anak.
  • Kekerasan, membahas mengenai jenis-jenis tindakan kekerasan terhadap perempuan dan remaja termasuk di dalamnya mengenai bullying, Kekerasan Dalam Pacaran serta informasi terkait apa saja yang harus dilakukan jika kekerasan terjadi.
  • Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), akan membahas tentang pilihan apa saja yang dimiliki perempuan saat mengalami KTD dan apa saja dukungan yang dibutuhkan, serta kaitannya dengan aborsi tidak aman.
  • Pembuatan Pembalut Kain, topik ini merupakan topik baru pada Satellite Workshop tahun ini. Materi ini akan mengajak peserta untuk membuat pembalut kain dengan metode menjahit tangan dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemukan di rumah, seperti: kain katun (bisa jadi baju bekas), kain handuk (bisa dari handuk bekas), jarum, benang, kertas dan pensil.

Selain topik-topik di atas, Tim Satellite Workshop juga bisa menyediakan materi khusus berdasarkan kebutuhan jaringan/komunitas lokal atau atas permintaan organisasi untuk peningkatan kapasitas stafnya. Topik khusus lainnya adalah (a) Hak Asasi Manusia, (b) SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression) (c) HIV-AIDS (d) Asuhan Pasca Keguguran (e) Otoritas Tubuh dll.

BENTUK KERJASAMA

Jika organisasi/komunitas atau individu yang tertarik dengan program ini, silahkan ajukan permintaan workshop melalui formulir berikut ini. Tim kami akan segera menghubungi Anda.

Tim Satellite Workshop hanya akan menyediakan makanan ringan/makan siang untuk peserta selama workshop. Tidak akan ada pengganti transport lokal untuk peserta atau fee untuk panitia lokal.

Persyaratan umum

  • Komunitas/organisasi lokal yang aktif berkegiatan di Maluku dan Papua.
  • Memiliki anggota sepuluh orang atau lebih.
  • Bersedia mengikuti workshop sesuai tema yang dipilih komunitas masing-masing.
  • Melengkapi data awal tentang profil komunitas dan kebutuhan workshop.

Jadwal Umum Workshop

Papua: 18 September-15 Oktober 2018
Maluku: 16 Oktober-12 November 2018

Batas Akhir Pendaftaran

Papua: 4 September-7 Oktober 2018
Maluku: 4 September-5 November 2018

Jika tertarik, silakan daftar organisasi/komunitas/individu di Form Pendaftaran Kunjungan Satelite Workshop (KLIK DI SINI).

MAU TAU SATELLITE WORKSOP SEBELUMNYA?

2011: Workshop Contrasts in Nusa Tenggara Timur
SRHR-Satellite Workshop 2011
2013: Minggu Pertama Satellite Workshop di Sulawesi
Week 2 : Samsara Sulawesi Satellite Workshop

 

POPULER